Part 29Dhea keluar kantor dengan langkah gontai, hari sudah setengah enam sore, semua rekan kerjanya sudah pulang duluan dari jam empat tadi. Dia terpaksa membereskan pekerjaannya dulu, karena seperti biasanya, dia juga disuruh mengerjakan pekerjaan yang sebenarnya tugas Gracia ataupun Hendro.Rasa penat tak urung dirasakan gadis itu, apalagi seharian dia dicerca oleh rekan kerjanya tentang suaminya."Memangnya kampung kamu di mana, Dhea?" tanya Nilam waktu mereka makan siang tadi."Di pinggiran kota Metro, Lampung.""Oh, pantasan jauh. Tapi kamu gak papa ketemu suamimu cuma sebentar?""Ya, gak papa, sih?""Kamu sudah belah duren, belum?" Itu pertanyaan Hendro, yang memang suka ceplas-ceplos."Apaan sih, Pak? Aku gak mau jawab," ujar Dhea dengan perasaan tak suka."Palingan juga belum, secara siapa yang selera jika suaminya sudah bau tanah," ujar Gracia sambil tertawa.Dhea hanya tersenyum masam, mereka tidak tahu saja, yang dibilang Gracia bau tanah itu lelaki tampan, walaupun umurny
Part 30 Sesampainya Dhea dirumahnya, ternyata ada sebuah mobil MPV hitam telah terparkir di halaman rumahnya, setelah mendekat, seorang lelaki turun dari mobil itu, Dhea mengerem motor maticnya dengan kuat."Bu Dhea, kenapa baru pulang?" tanya lelaki itu dengan wajah yang datar seperti biasanya."Pak Adi? Sudah lama di sini, Pak?" "Sudah dari jam empat tadi," jawab Adi."Maaf, Pak. Tadi ada sedikit kerjaan yang harus dilembur. Mari, Pak. Masuk dulu!" Dhea segera membuka kunci rumahnya, Adi membuntutinya dari belakang."Pak Adi mau minum apa? Teh apa kopi?""Tidak perlu repot-repot, Bu. Kedatangan saya ke sini, mau menjemput ibu agar tinggal di rumah yang sudah Pak Bram persiapkan untuk rumah tinggal kalian berdua," ujar Adi dengan tatapan serius."Jadi, saya harus pindah ke sana, Pak?" "Iya, sebaiknya begitu. Kalian kan sudah suami istri, Pak Bram tentu saja harus menyiapkan tempat tinggal untuk kalian berdua.""Apakah harus malam ini, Pak? Bisa tidak kalau akhir pekan saja? Sa
Part 31Tengah malam, entah kenapa Dhea merasa sangat haus, dia juga kebelet ingin buang air kecil, matanya yang masih mengangtuk akhirnya terbuka dengan malas, ketika dia akan duduk, tubuhnya tertahan sesuatu, dan sesuatu itu sebuah tangan yang mengerat di pinggangnya, mengingat dia tengah berada di rumah sendirian, tentu saja hal itu sangat mengejutkannya dan membuatnya sangat ketakutan. Tak ayal diapun berteriak."ARRGGGHHHH!!!"Kamar yang hanya memasang lampu tidur tampak temaram, sehingga tidak jelas sosok yang tengah tidur di sampingnya. Akibat keterkejutan dan ketakutannya, Dhea secara refleks berdiri dan mengambil sapu lantai yang tadi sore dipakainya untuk menyapu lantai kamarnya.Suara jeritan seorang perempuan yang cukup keras itu membangunkan sosok lelaki yang tengah tidur terlelap tersebut, refleks lelaki itu juga berjingkat duduk untuk menyadari situasi yang sebenarnya, belum sadar sepenuhnya, lelaki itu merasakan kepalanya sangat kesakitan akibat pukulan benda tumpul."
Part 32Suara panggilan telepon menggema di dalam kamar yang sepi, membuat Bram yang masih terlelap terganggu dalam tidurnya, setelah beberapa saat akhirnya suara itu terhenti, membuat lelaki itu kembali memejamkan matanya, namun baru saja beberapa detik, bunyi itu kembali terdengar dengan nyaring. Dengan kesal Bram menyambar ponsel yang ada di atas kabinet tempat tidur."Halo!" kata Bram dengan kesal."Pak, anda masih tidur? Ini sudah jam sembilan pagi, Pak. Anda ada temu janji dengan pemilik Griya Arsitektur. Mereka sudah menunggu di kantor." Suara Fikri terdengar cemas di seberang sana.Fikri hapal betul suara khas Bram yang baru bangun tidur, suaranya tampak serak-serak basah."Iya, tunggu sejam lagi!" Bram segera bangkit setelah mematikan telepon, dia menyibak jendela yang langsung tampak terang benderang, matahari sudah terlihat tinggi. Ketika dia akan melangkah ke kamar mandi, di kaca rias dia menemukan catatan yang ditinggalkan istrinya.(Bang, Dhea pergi kerja dulu, ya? Di
Part 33"Kamu belanja di pasar saja, gak usah ikut ke mall! Aku bersyukur, kamu sudah nikah, Dhea! Kalau nggak, nanti semua Bos baru atau stafnya naksir kamu lagi." Gracia berkata sinis sambil berlenggok dan berlalu mengabaikan Dhea, Nilam yang merasa tidak enak hanya bisa meminta maaf pada temannya itu. Mendapatkan kado yang cukup besar dan berat membuat Dhea tentu akan kesulitan membawanya, wanita itu jadi mengurungkan rencananya untuk membeli bahan pangan di mall.Ketika Dhea tengah menunggu lift, ternyata ponselnya berdering, ternyata Intan yang menghubungi, Dhea sampai lupa sejak dia pulang dari Jakarta, wanita itu belum pernah menghubungi sepupunya itu."Assalamu'alaikum, Tan?" "Walaikumsalam, Dhea! Ke mana aja sih, kamu? Gak pernah menghubungi aku lagi!" "Maaf, aku lagi sibuk. Apalagi ini di kantor akan ada bos baru, semuanya sibuk melakukan persiapan," ujar Dhea memberi alasan yang kebetulan memang tepat."Ya sudah. Pokoknya aku gak mau tahu, kamu harus datang ke rumahku. K
Part 34Bram sampai rumah kurang dari dua puluh menit, Dhea sudah bersiap dengan baju gamis warna putih gading dan jilbab hitam yang kontras dengan wajahnya yang seputih susu. Dhea hanya mengoleskan krim wajah dan memakai lipbalm untuk bibirnya yang memang sudah berwarna merah muda alami.Bram yang menatap penampilan istrinya yang berbeda itu cukup terkesima, diam-diam dia mengamati betapa istrinya menjadi sangat anggun jika memakai jilbab. Cantik! Lidahnya hampir saja mengeluarkan kata pujian itu, tetapi entah kenapa gengsi dalam dirinya menahannya."Kamu sudah bersiap-siap?" tanya Bram yang tengah melepaskan jasnya."Iya, kutunggu di ruang tamu, ya?" "Tolong pilihkan pakaianku!""Sudah, itu di atas tempat tidur, Bang."Bram tersenyum penuh arti melihat baju yang masih terlipat di atas tempat tidur, baru sehari dia di rumah ini, istrinya itu sudah cukup memberinya pelayanan. Tadi pagi saja sandwich buatannya untuk sarapan sangat enak walaupun sudah dingin, dia rasanya belum cukup wa
Part 35Pagi hari seperti biasa Dhea setelah azan subuh berkumandang, Bram juga ikut terbangun. Mereka bangun dalam posisi Bram memeluknya dari belakang, seperti malam tadi. Sepertinya Bram cukup nyaman dalam posisi seperti itu. Mereka masih salat berjamaah, Dhea juga masih mencium punggung tangan suaminya. Setalah salat Dhea langsung berkutat mengerjakan pekerjaan rumah, mencuci pakaian, mencuci piring, membuat sarapan dan menyapu lantai. Dia belum memiliki asinten rumah tangga, mungkin jika nanti pekerjaannya lebih sibuk dia akan menyewa jasa pembersih rumah, mengingat rumahnya ini cukup besar hanya dihuni oleh dua orang.Bram turun ke lantai satu dengan pakaian olah raganya, lelaki itu berpamitan untuk melakukan joging setelah salat subuh, Dhea tentu tidak keberatan, mungkin karena rajin olah raga makanya suaminya yang sudah tua itu masih memiliki fisik yang prima.Setelah membereskan semua pekerjaan, Dhea hanya cukup memanaskan makanan dari rumah Tante Maria untuk sarapan, dia j
Part 36Mobil Maybach itu berhenti di carport lobi kantor, seorang ajudan yang sudah bersiap dengan sigap membukakan pintu belakang mobil. Seorang pria bertubuh tinggi dengan badan porposional turun dari mobil dengan sikap yang elegan, wajahnya yang terlihat tampan dan berwibawa terlihat seperti raja zaman kerajaan, bibirnya membentuk senyum profesional. Semua wanita cantik yang menyambut di depan terperangah melihat pria yang memakai baju stelan jas hitam yang dijahit khusus, sungguh, lelaki yang mereka tunggu-tinggu ini melebihi ekspektasi mereka.Para pejabat manajemen atas langsung menyambut kedatangan pria itu dengan jabat tangan hangat, seorang wanita cantik dan elegan, mengalungkan kalung bunga pada pria itu. Tetapi setelah kalung itu terpasang, beberapa saat pria itu melepaskannya dan memberikan pada asistennya."Itu bos baru kita?" seru Nilam tak bisa mengendalikan diri."Astaga! Astaga! Oh my God! Aku jadi semangat kerja sekarang!" pekik Gracia, sedangkan para pria hanya me
Sebulan yang lalu ..... "Kakak yakin mau melakukan ini? kalau kita lakukan ini, Amel bisa celaka, Kak." "Kita tabrak dari depan, jadi kemungkinan kecelakaan untuk penumpang belakang tidaklah terlalu vital." "Baiklah, ini hanya kita saja yang tahu, jika ada yang tahu selain kita berdua, tidak bisa dibayangkan berapa orang yang akan tersakiti." "Makanya kau rahasiakan!" Hari itu, dengan truk pengangkut pasir yang dia beli bekas, dengan kendaraan yang sarat muatan, Viyatan mengendarai mobil itu dengan kecepatan rendah, setelah mendapat telpon dari Fathan jika mobil target dia sedang mendekat, maka dia memacu kendaraan sarat muatan itu dengan kecepatan tinggi, akibatnya mobil oleng dan langsung menabrak mobil sedan di depannya. Viyatan langsung melompat dari dalam mobil, dengan modal kunci inggris di tangan, dia memecahkan kaca jendela mobil sedan itu, dan menghantamkan kunci inggris itu pada dua pria yang duduk di depan, dan menutup hidung pria di bangku belakang dengan saput
"Acara apa memangnya?" "Lihat itu, dekorasi itu untuk apa?" "Seperti pelaminan ya, Bang?" "Ya, hari ini jam sepuluh kita akan menikah lagi." "Ha? Apa nggak apa-apa?" "Nggak, pernikahan kita dulu kurang sempurna, karena tidak diwali nikahkan ayahmu, padahal ayahmu masih hidup. lagipula aku menikahimu dengan identitas orang lain, sekarang aku akan mengucapkan ijab kabul dengan mengucapkan namamu sendiri." "Apa tidak apa-apa menikah ulang?" "Aku sudah bertanya di KUA, mereka bilang tidak apa-apa. Mereka akan menerbitkan buku nikah yang baru atas namamu yang asli." "Iya, karena ingatanku sudah kembali, aku juga ingin kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, nama Dhea akan ku kembalikan pada pemilik aslinya." "Baiklah, jadi ... apakah aku bisa memanggil istriku dengan nama Lia?" "Maaf, Bang ... karena nama itu sudah pernah dipakai orang lain, aku jadi tidak mau lagi. Panggil nama kecilku seperti ayah dan saudaraku memanggil, yaitu Amel." "Baiklah, Amel. siapapun nama
Setelah sampai di rumah nenek, halaman rumah nenek yang luas sudah terpasang tenda dengan dekorasi yang sangat mewah, dengan dominasi warna biru laut, biru muda dan putih. Perpaduan warna-warna itu tampak begitu indah dan elegan, bahkan ada bunga-bunga segar sebagai dekorasi. "Ini, dekorasi acara peringatan kematian apa kawinan, sih? kok mewah banget begini?" tanya Dhea yang membuka jendela mobil dan menatap ke arah halaman rumah nenek. "Sebentar, aku keluar dulu. Kamu jangan keluar dulu." "Eh, kenapa?" Bram tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia bergegas turun dan membuka pintu istrinya, dengan sigap lelaki itu langsung menggendong istrinya ala putri. "Eh, kenapa di bopong? itu Kruk aku ketinggalan di mobil," seru Dhea yang langsung mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya takut terjatuh. "Selamat datang, Pak Bram, Bu Kamelia ...." Dhea menatap semua orang yang menyambut kedatangannya di gerbang masuk rumah. Mereka memakai seragam batik yang sama, seperti pelayan di
Setelah seminggu, Dhea dan Bram kembali dari ke tanah suci. Mereka segera kembali ke kediaman Bram, Dhea yang belum bisa berjalan, dengan kekuatan lengan Bram masih dibopong menuju ke kamarnya yang kini berada di lantai bawah. "Sayang, Istirahatlah. Besok kita akan kembali menerapi kakimu agar lebih kuat untuk berjalan. Sania akan bulan madu selama sepuluh hari lagi, nanti setelah dia pulang, kita jiga pulang ke Batam." "Iya, Bang. Aku harus semangat berlatih jalan." Hanya memikirkan Angga membuat Dhea semakin semangat berlatih jalan, seminggu kemudian dia sudah bisa memakai satu Kruk untuk berjalan, dia tidak mau lagi memakai kursi roda. "Dhea! Aku sudah pulang!" teriak Sania sambil berlari memeluk wanita yang tengah berdiri disangga Kruk. "Loh, kok sudah pulang? katanya sepuluh hari di sana? ini baru tujuh hari." "Iya, aku sudah kangen sama tanah air." "Ish, basi banget alasanmu." Sania malah tertawa lebar, kerudung warna hitamnya yang terpasang di kepalanya membuat
"Bang, aku kangen banget sama Angga, kapan aku akan bertemu dengannya?" keluh Dhea ketika malam tiba, dia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan anaknya itu. "Sabar, Sayang. Keberadaan Abimanyu belum diketahui, lagian pendukungnya mafia Antonio juga melarikan diri ke Colombia." "Apa Abimanyu juga ikut melarikan diri ke sana?" "Belum bisa dipastikan. Orang-orang GIR akan menyelidikinya. Kamu sabar, ya? Sekalian sembuhkan dulu kaki dan bahumu, biar bisa menggendong Angga." "Ayah nanyain terus, kapan kita ke sana. Mereka akan menyiapkan pesta resepsi pernikahan kita." "Menunggu kepastian dari GIR, ya? kalau memang Abimanyu pergi ke Colombia, tentu situasi akan lebih aman. Kalau dia masih di sini, aku takut terjadi apa-apa pada kalian." "Iya, baik, Bang. Aku akan menuruti apa yang kamu katakan, tapi tolong pikirkan apa yang aku rasakan." "Setiap saat, yang dipikiran Abang hanya kebahagiaan dan keselamatan kamu dan anak kita, Sayang. Maaf, ya? Abang belum bisa memberi kebaha
Sudah sebulan berlalu, luka Dhea sudah mulai sembuh. Wanita itu sudah belajar berjalan satu dua langkah, hanya saja masih terasa sakit akibat patah tulang itu. Dia lebih banyak bergerak dengan kursi roda, jadwal terapi jalan dilakukan seminggu dua kali. Perusahaan juga sudah stabil, dua hari setelah tragedi penyerangan itu, Niko segera memulihkan saham perusahaan, Arjuna kini menjabat sebagai direktur utamanya dan Bram mengambil alih komisaris. Arjuna yang dulu sering menolak diberi wewenang puncak jabatan, kini terpaksa mengambil alih demi keluarga kakaknya yang memang butuh banyak perhatian. Bram juga ke kantor hanya dua kali seminggu, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istrinya berobat, Arjuna yang masih belajar hanya menghubunginya untuk berkonsultasi jika mengenai pekerjaan dan keputusan yang harus diambil. Kedua keluarga pamannya juga kini tidak meributkan kembali mengenai perusahaan, apalagi Siska sepupunya juga kini sibuk mengurus pernikahannya dengan seora
Tit .... tit ... tit .... Suara monitor terdengar teratur, sepasang mata tiba-tiba membuka, menatap lurus ke arah plafon. Bunyi monitor itu terdengar begitu mengganggu. "Masyaallah! kamu sudah bangun, Sayang?!" Suara itu mengagetkannya, dia menoleh dan mendapati seorang lelaki berpenampilan kuyu dengan sepasang mata yang memerah. di mana ini? "Alhamdulillah, kamu sudah sadar. Aku benar-benar cemas!" Perlahan-lahan kesadaran muncul pada diri wanita ini, bayangan terakhir sebelumnya. Dia berada di dalam mobil bersama lelaki brengsek Abimanyu. Perdebatan di dalam mobil itu membuat lelaki itu murka dan menodongkan pistol ke arahnya, namun belum sempat peluru itu dimuntahkan, mobil tiba-tiba terguncang hebat, seperti terbentur dengan kuat sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terpental ke depan dengan kuat, kepalanya bahkan membentur dasbor mobil membuatnya tidak sadarkan diri. "Di mana ini?" akhirnya dengan susah payah dia mengeluarkan suara. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Sud
"Niko, cepat kacak ke mana perginya mobil yang membawa Dhea!" perintah Bram melalui sambungan telepon. Untung saja Bram mengingat nomor plat mobil yang membawa Dhea tadi, jadi bisa sekalian meminta Niko untuk melacaknya. "Baik, Bos!" Niko yang selalu stanby di markas langsung melaksanakan perintah Bram. dalam beberapa menit dia sudah mengetahui nomor plat tersebut. "Bos, nomor plat mobil ini palsu. Ini nomor plat mobil keluaran tahun 1978, mobilnya bahkan sudah jadi rongsokan. Plat aslinya mungkin sudah dicopot." "Mobilnya BMW, apa tidak bisa dilacak?" "Iya, mobil keluaran 1978 ini juga BMW. bahkan nama pemiliknya sudah mati." Bram mendengus kesal, sungguh sial sekali nasibnya. Adi yang ada di sampingnya hanya bisa terdiam dan fokus menyetir, semntara Lingga yang duduk di kursi belakang sibuk menjaga Frans. Mobil yang dikendarai Adi dengan cepat sampai di rumah sakit terdekat, paramedis segera membawa blankar dan membawa tubuh Frans ke ruang gawat darurat, ketiga orang
"Sini, Kamu!" Dhea meringkuk ketakutan mana kala tiga orang lelaki mendatangi kamarnya dengan wajah beringas. Dengan kasar tangannya dicengkeram dan ditarik paksa, agar mengikuti langkah lelaki itu. "Mau ke mana?" tanya Dhea dengan suara keras yang dipaksakan. "Jangan banyak tanya!" Dhea hanya pasrah mengikuti langkah cepat lelaki itu, tubuhnya sedikit goyah karena kurang tenaga. Dulu dia mudah saja melawan lelaki seperti ini walaupun hanya sendirian. Tetapi efek tidak diberi makan cukup selama dua Minggu cukup melumpuhkan semua tenaganya, mana bisa dia melawan lagi. Lelaki yang mencekeram tangannya juga tidak peduli apakah dia kesusahan mengikuti langkahnya atau tidak, dia terus saja diseret walaupun kepayahan. Apalagi ketika menuruni tangga, tubuhnya hampir saja terjerembab ke bawah jika saja cengkeraman lelaki itu tidak kuat. "BERHENTI!!!" lelaki itu berteriak ketika sampai di bawah anak tangga. Dhea melebarkan matanya melihat pemandangan di lantai satu, bukan kar