Part 37"Sudah kubilang, kan? Kalau Lidia saja yang harus pergi, kenapa kau malah memaksakan diri, Gracia!" dengus Hendro kesal."Aku mana tahu kalau bos kita itu menyebalkan sekali! Dia menghina dan mempermalukan aku di depan umum! Aku batalin mengaguminya! Walaupun marah-marah gitu, dia tetap tampan, sial!" gerutu Gracia membuat sebagian mereka tertawa."Sudah, gak usah diambil hati, Bu Grace. Bukan cuma ibu saja yang dimarahi, semua orang juga dimarahi kecuali Mario.""Kecuali Mario?" Kini Dhea bersuara."Iya, berkat presentasi buatanmu itu, Dhe!" jawab Mario dengan wajah senang."Pak Faisal mana?" tanya Lidia."Dia sedang rapat internal season dua, khusus untuk para manajer," jawab Reno. *****Dhea cukup lega karena Bram masih rapat season kedua seperti yang dikatakan Reno. Sehingga dia bisa pulang dengan tenang tanpa perlu takut diketahui oleh suami dan anak buah yang dikenalnya, seperti Adi dan Fikri. Setalah pulang, dia sempatkan mampir di supermarket yang tidak jauh dari kant
Part 38Pagi hari berjalan seperti biasanya, Dhea membuat sarapan, mau goreng dan teh manis untuk mereka berdua, kali ini nasi goreng paket komplit topingnya, ada telur orak-arik, sosis, suir ayam dan kacang polong ditambah daun bawang dan bawang goreng. Ketika bangun tidur dia tidak mendapati Bram, lelaki itu sudah pergi ke masjid. Dhea sendiri salat sendiri dan langsung ke dapur."Pagi, Dhe! Udah mau ngantor?" Sapa Bram dengan bersimbah keringat, rupanya lelaki itu habis berlari di treadmill."Sarapan dulu, Bang."Dhea sudah duduk di meja makan, Bram menyusulnya."Ini baru jam tujuh, kau sudah mau berangkat?""Iya, sebagai karyawan biasa aku harus lebih disiplin.""Abang antar, ya? Dhea bekerja di mana?"Uhuk ... Uhuk ....Dhea terbatuk-batuk mendengar perkataan Bram, lelaki itu langsung menganggarkan segelas air putih ke hadapannya."Tidak usah ngantar, Bang. Kita beda arah, lagi pula Abang juga belum bersiap," ujar Dhea setelah meminum air putih."Memangnya Dhea tahu Abang kerja d
Part 39Sebulan berlalu usia pernikahan Dhea dan Bram, tetapi hubungan mereka tidak ada kemajuan, hanya berjalan di tempat. Setiap hari Bram selalu pulang sebelum magrib, mereka akan makan malam bersama, Dhea akan memasak makan malam, setelah makan, Bram akan mengurangi diri di ruang kerja, ruang yang belum pernah Dhea sambangi sama sekali, paginya Dhea akan mendapati suaminya tidur di sebelahnya, mereka bangun, salat, sarapan bersama dan pergi bekerja. Mereka sempat pergi bersama ke rumah Om Muhtar tatkala Afkar mengundang mereka, karena suami sepupu Dhea itu dipromosikan jabatannya menjadi manager perencanaan di kantor cabang Medan. Karena suaminya di tempatkan di lain provinsi, Intan otomatis ikut suaminya, apalagi sekarang di sedang hamil memasuki trimester ke dua.Butik yang dikelola Intan akhirnya di serahkan pada Tania, istrinya Andra dan Dhea. Namun Dhea sekali lagi hanya bisa membantu mendesain baju, Tania yang bisa menjahit walau tidak semahir intan kini terima menjahit pe
Part 40Ya, tak salah lagi! Dia adalah Bram dan asistennya Adi. Sedang apa mereka? Kenapa posisi duduk mereka sangat ambigu?Dhea tidak jelas apa yang mereka percakapan karena jarak mereka sekitar lima puluh meter, tetapi dari tempatnya berdiri, jelas sekali keberadaan mereka. Di sana terlihat Bram telah menanggalkan pakaian atasnya, tetapi lelaki itu duduk membelakanginya, sedangkan Adi terlihat pakaiannya juga berantakan. Adi, lelaki itu adalah lelaki paling misterius bagi Dhea, lebih misterius dari Bram sendiri. Usianya lebih tua setahun dari Bram, dia mengaku seorang duda tanpa anak. Tubuhnya yang atletis seperti atlit beladiri membuat orang takut di dekatnya, wajahnya yang selalu datar dan tidak pernah tersenyum semakin menakutkan.Tapi lihat itu, Adi tampak tertawa, rambutnya yang selalu rapi belah pinggir, kini sudah acak-acakan. Tiba-tiba Bram mengahadap ke arahnya, sama dengan Adi, lelaki itu juga tertawa dengan ceria, bahkan sampai terbahak-bahak. Entah apa yang dilakukan Ad
Part 41 Arrrggg!! Dhea terkejut mendengar teriakannya dari dalam ruangan Bram, suaranya memang tidak begitu jelas, apa ruangan itu kedap suara? Rasa penasaran membuat Dhea menempelkan telinganya ke pintu, ternyata suara teriakan itu memang ada, diiringi suara tawa dan percakapan. Berarti ada orang di dalam, ini sudah jam sembilan, Dhea jelas tidak ingin ketinggalan pesawat. Dhea memegang handle pintu, ternyata tidak terkunci. Ketika pintu terbuka, mata Dhea membola melihat pemandangan di hadapannya. "Abang!!" Spontan wanita muda itu menutup mulutnya, map yang dia pegang terlepas dari tangan dan jatuh ke lantai dengan bunyi yang cukup keras. Di sana, dia atas sofa busa yang terlihat empuk itu, lelaki yang telah menikahinya tengah berbaring telungkup dengan bertelanjang dada, di atasnya, Adi juga tidak mengenakan baju. Lelaki yang menjadi pengawal suaminya itu hanya mengenakan celana blue jeans, otot perut dan otot dadanya yang menonjol itu terlihat mengkilap karena berkeringat. Le
Part 42Bram walaupun sudah berumur, nyatanya dia belum pernah melakukan hubungan seksual dengan siapapun. Tetapi usia matang memang membuatnya memiliki fantasinya sendiri, bukan munafik, dia juga pernah menonton tontonan dewasa seperti itu, secara teori dia sudah menguasai, secara naluri tubuh lelaki itu bergerak otomatis.Suara decakan lidah dan bibir yang menyatu itu terdengar di telinga mereka laksana musik yang melenakan, membuat semangat dalam dada semakin berkobar. Entah kapan tepatnya tangan Bram terampil melepaskan hijab yang menutupi kepala istrinya itu, sementara Dhea, secara naluri mengalungkan kedua tangannya ke leher lelaki itu. Tungkai Dhea terasa lemas akibat getaran hebat yang tengah menguasainya, bergelayut di leher lelaki itu membuatnya merasa aman.Bram melepaskan ciuman panas mereka perlahan ketika menyadari Dhea sudah kehabisan napas, dahi keduanya saling menempel, napas mereka tersengal-sengal dengan debaran di dada yang terasa berdentum. Tangan Bram bahkan g
Part 43Dhea sudah sampai bandara Soekarno Hatta, di area kedatangan, Mang Aceng sudah bersiap menjemputnya, dengan mengendarai mobil Toyota Yaris, Dhea langsung meminta mang Aceng menemui ibunya di rumah sakit.Hari sudah jam delapan malam, sebenarnya jam kunjungan sudah lewat, tetapi karena Paramita menempati ruang VVIP, mereka mendapat hak istimewa, selagi keluarga yang menjenguk masih diperbolehkan, apalagi Dhea anaknya sendiri."Ibu harus kuat, Ya? Semangat biar cepat sembuh.""Iya, Dhea. Ibu selalu semangat, kok.""Ini, Dhea bawakan pesanan ibu, mpek-mpek dari Tante Rini."Paramitha hanya memakan dua saja, itupun tidak pakai kuah, Dhea menyisakan untuk suster Halimah, selebihnya akan dibawa untuk oleh-oleh Bik Yati dan Mang Aceng, juga untuk Sania.Ketika di mobil menuju rumah kediaman Bram, Dhea menghubungi Sania, sayang gadis itu sedang di luar kota, dia berjanji akan datang ke rumah sakit besok siang."Apa kabar, Bik Yati?" sapa Dhea ramah ketika sudah sampai di rumah suaminy
Part 44Dengan perlahan Dhea memasukkan anak kunci ke lubang kunci, cocok! Perlahan Dhea putar anak kunci tersebut, tak bisa dipungkiri, dada Dhea berdebar dengan kuat, dia tidak tahu apa yang ada di dalam sana, tetapi perasaannya sangat takut, tangannya bahkan gemetar, dia yakin kamar ini berhubungan erat dengan nama yang terukir di cincin itu, LIA!Dhea melongok ke dalam ruangan tersebut, luas kamar tersebut sama dengan kamar yang dia tempati sekarang. Namun di kamar ini tidak ada ranjangnya, hanya ada beberapa buffet yang menempel di dinding dan dipenuhi dengan benda-benda pajangan. Di tengah ruangan terdapat piano berwarna putih mengkilap, dengan tempat duduk memanjang cukup diduduki dua orang.Dhea masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya, mengamati setiap sudut ruangan, di dinding sebelah kiri terdapat lukisan wajah Bram, tengah tertawa lebar memakai kaca mata hitam. Ada beberapa lukisan abstrak juga di sana. Dhea menyusuri pajangan dalam buffet, ada boneka beruang, ada harmon
Sebulan yang lalu ..... "Kakak yakin mau melakukan ini? kalau kita lakukan ini, Amel bisa celaka, Kak." "Kita tabrak dari depan, jadi kemungkinan kecelakaan untuk penumpang belakang tidaklah terlalu vital." "Baiklah, ini hanya kita saja yang tahu, jika ada yang tahu selain kita berdua, tidak bisa dibayangkan berapa orang yang akan tersakiti." "Makanya kau rahasiakan!" Hari itu, dengan truk pengangkut pasir yang dia beli bekas, dengan kendaraan yang sarat muatan, Viyatan mengendarai mobil itu dengan kecepatan rendah, setelah mendapat telpon dari Fathan jika mobil target dia sedang mendekat, maka dia memacu kendaraan sarat muatan itu dengan kecepatan tinggi, akibatnya mobil oleng dan langsung menabrak mobil sedan di depannya. Viyatan langsung melompat dari dalam mobil, dengan modal kunci inggris di tangan, dia memecahkan kaca jendela mobil sedan itu, dan menghantamkan kunci inggris itu pada dua pria yang duduk di depan, dan menutup hidung pria di bangku belakang dengan saput
"Acara apa memangnya?" "Lihat itu, dekorasi itu untuk apa?" "Seperti pelaminan ya, Bang?" "Ya, hari ini jam sepuluh kita akan menikah lagi." "Ha? Apa nggak apa-apa?" "Nggak, pernikahan kita dulu kurang sempurna, karena tidak diwali nikahkan ayahmu, padahal ayahmu masih hidup. lagipula aku menikahimu dengan identitas orang lain, sekarang aku akan mengucapkan ijab kabul dengan mengucapkan namamu sendiri." "Apa tidak apa-apa menikah ulang?" "Aku sudah bertanya di KUA, mereka bilang tidak apa-apa. Mereka akan menerbitkan buku nikah yang baru atas namamu yang asli." "Iya, karena ingatanku sudah kembali, aku juga ingin kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, nama Dhea akan ku kembalikan pada pemilik aslinya." "Baiklah, jadi ... apakah aku bisa memanggil istriku dengan nama Lia?" "Maaf, Bang ... karena nama itu sudah pernah dipakai orang lain, aku jadi tidak mau lagi. Panggil nama kecilku seperti ayah dan saudaraku memanggil, yaitu Amel." "Baiklah, Amel. siapapun nama
Setelah sampai di rumah nenek, halaman rumah nenek yang luas sudah terpasang tenda dengan dekorasi yang sangat mewah, dengan dominasi warna biru laut, biru muda dan putih. Perpaduan warna-warna itu tampak begitu indah dan elegan, bahkan ada bunga-bunga segar sebagai dekorasi. "Ini, dekorasi acara peringatan kematian apa kawinan, sih? kok mewah banget begini?" tanya Dhea yang membuka jendela mobil dan menatap ke arah halaman rumah nenek. "Sebentar, aku keluar dulu. Kamu jangan keluar dulu." "Eh, kenapa?" Bram tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia bergegas turun dan membuka pintu istrinya, dengan sigap lelaki itu langsung menggendong istrinya ala putri. "Eh, kenapa di bopong? itu Kruk aku ketinggalan di mobil," seru Dhea yang langsung mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya takut terjatuh. "Selamat datang, Pak Bram, Bu Kamelia ...." Dhea menatap semua orang yang menyambut kedatangannya di gerbang masuk rumah. Mereka memakai seragam batik yang sama, seperti pelayan di
Setelah seminggu, Dhea dan Bram kembali dari ke tanah suci. Mereka segera kembali ke kediaman Bram, Dhea yang belum bisa berjalan, dengan kekuatan lengan Bram masih dibopong menuju ke kamarnya yang kini berada di lantai bawah. "Sayang, Istirahatlah. Besok kita akan kembali menerapi kakimu agar lebih kuat untuk berjalan. Sania akan bulan madu selama sepuluh hari lagi, nanti setelah dia pulang, kita jiga pulang ke Batam." "Iya, Bang. Aku harus semangat berlatih jalan." Hanya memikirkan Angga membuat Dhea semakin semangat berlatih jalan, seminggu kemudian dia sudah bisa memakai satu Kruk untuk berjalan, dia tidak mau lagi memakai kursi roda. "Dhea! Aku sudah pulang!" teriak Sania sambil berlari memeluk wanita yang tengah berdiri disangga Kruk. "Loh, kok sudah pulang? katanya sepuluh hari di sana? ini baru tujuh hari." "Iya, aku sudah kangen sama tanah air." "Ish, basi banget alasanmu." Sania malah tertawa lebar, kerudung warna hitamnya yang terpasang di kepalanya membuat
"Bang, aku kangen banget sama Angga, kapan aku akan bertemu dengannya?" keluh Dhea ketika malam tiba, dia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan anaknya itu. "Sabar, Sayang. Keberadaan Abimanyu belum diketahui, lagian pendukungnya mafia Antonio juga melarikan diri ke Colombia." "Apa Abimanyu juga ikut melarikan diri ke sana?" "Belum bisa dipastikan. Orang-orang GIR akan menyelidikinya. Kamu sabar, ya? Sekalian sembuhkan dulu kaki dan bahumu, biar bisa menggendong Angga." "Ayah nanyain terus, kapan kita ke sana. Mereka akan menyiapkan pesta resepsi pernikahan kita." "Menunggu kepastian dari GIR, ya? kalau memang Abimanyu pergi ke Colombia, tentu situasi akan lebih aman. Kalau dia masih di sini, aku takut terjadi apa-apa pada kalian." "Iya, baik, Bang. Aku akan menuruti apa yang kamu katakan, tapi tolong pikirkan apa yang aku rasakan." "Setiap saat, yang dipikiran Abang hanya kebahagiaan dan keselamatan kamu dan anak kita, Sayang. Maaf, ya? Abang belum bisa memberi kebaha
Sudah sebulan berlalu, luka Dhea sudah mulai sembuh. Wanita itu sudah belajar berjalan satu dua langkah, hanya saja masih terasa sakit akibat patah tulang itu. Dia lebih banyak bergerak dengan kursi roda, jadwal terapi jalan dilakukan seminggu dua kali. Perusahaan juga sudah stabil, dua hari setelah tragedi penyerangan itu, Niko segera memulihkan saham perusahaan, Arjuna kini menjabat sebagai direktur utamanya dan Bram mengambil alih komisaris. Arjuna yang dulu sering menolak diberi wewenang puncak jabatan, kini terpaksa mengambil alih demi keluarga kakaknya yang memang butuh banyak perhatian. Bram juga ke kantor hanya dua kali seminggu, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istrinya berobat, Arjuna yang masih belajar hanya menghubunginya untuk berkonsultasi jika mengenai pekerjaan dan keputusan yang harus diambil. Kedua keluarga pamannya juga kini tidak meributkan kembali mengenai perusahaan, apalagi Siska sepupunya juga kini sibuk mengurus pernikahannya dengan seora
Tit .... tit ... tit .... Suara monitor terdengar teratur, sepasang mata tiba-tiba membuka, menatap lurus ke arah plafon. Bunyi monitor itu terdengar begitu mengganggu. "Masyaallah! kamu sudah bangun, Sayang?!" Suara itu mengagetkannya, dia menoleh dan mendapati seorang lelaki berpenampilan kuyu dengan sepasang mata yang memerah. di mana ini? "Alhamdulillah, kamu sudah sadar. Aku benar-benar cemas!" Perlahan-lahan kesadaran muncul pada diri wanita ini, bayangan terakhir sebelumnya. Dia berada di dalam mobil bersama lelaki brengsek Abimanyu. Perdebatan di dalam mobil itu membuat lelaki itu murka dan menodongkan pistol ke arahnya, namun belum sempat peluru itu dimuntahkan, mobil tiba-tiba terguncang hebat, seperti terbentur dengan kuat sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terpental ke depan dengan kuat, kepalanya bahkan membentur dasbor mobil membuatnya tidak sadarkan diri. "Di mana ini?" akhirnya dengan susah payah dia mengeluarkan suara. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Sud
"Niko, cepat kacak ke mana perginya mobil yang membawa Dhea!" perintah Bram melalui sambungan telepon. Untung saja Bram mengingat nomor plat mobil yang membawa Dhea tadi, jadi bisa sekalian meminta Niko untuk melacaknya. "Baik, Bos!" Niko yang selalu stanby di markas langsung melaksanakan perintah Bram. dalam beberapa menit dia sudah mengetahui nomor plat tersebut. "Bos, nomor plat mobil ini palsu. Ini nomor plat mobil keluaran tahun 1978, mobilnya bahkan sudah jadi rongsokan. Plat aslinya mungkin sudah dicopot." "Mobilnya BMW, apa tidak bisa dilacak?" "Iya, mobil keluaran 1978 ini juga BMW. bahkan nama pemiliknya sudah mati." Bram mendengus kesal, sungguh sial sekali nasibnya. Adi yang ada di sampingnya hanya bisa terdiam dan fokus menyetir, semntara Lingga yang duduk di kursi belakang sibuk menjaga Frans. Mobil yang dikendarai Adi dengan cepat sampai di rumah sakit terdekat, paramedis segera membawa blankar dan membawa tubuh Frans ke ruang gawat darurat, ketiga orang
"Sini, Kamu!" Dhea meringkuk ketakutan mana kala tiga orang lelaki mendatangi kamarnya dengan wajah beringas. Dengan kasar tangannya dicengkeram dan ditarik paksa, agar mengikuti langkah lelaki itu. "Mau ke mana?" tanya Dhea dengan suara keras yang dipaksakan. "Jangan banyak tanya!" Dhea hanya pasrah mengikuti langkah cepat lelaki itu, tubuhnya sedikit goyah karena kurang tenaga. Dulu dia mudah saja melawan lelaki seperti ini walaupun hanya sendirian. Tetapi efek tidak diberi makan cukup selama dua Minggu cukup melumpuhkan semua tenaganya, mana bisa dia melawan lagi. Lelaki yang mencekeram tangannya juga tidak peduli apakah dia kesusahan mengikuti langkahnya atau tidak, dia terus saja diseret walaupun kepayahan. Apalagi ketika menuruni tangga, tubuhnya hampir saja terjerembab ke bawah jika saja cengkeraman lelaki itu tidak kuat. "BERHENTI!!!" lelaki itu berteriak ketika sampai di bawah anak tangga. Dhea melebarkan matanya melihat pemandangan di lantai satu, bukan kar