Part 39Sebulan berlalu usia pernikahan Dhea dan Bram, tetapi hubungan mereka tidak ada kemajuan, hanya berjalan di tempat. Setiap hari Bram selalu pulang sebelum magrib, mereka akan makan malam bersama, Dhea akan memasak makan malam, setelah makan, Bram akan mengurangi diri di ruang kerja, ruang yang belum pernah Dhea sambangi sama sekali, paginya Dhea akan mendapati suaminya tidur di sebelahnya, mereka bangun, salat, sarapan bersama dan pergi bekerja. Mereka sempat pergi bersama ke rumah Om Muhtar tatkala Afkar mengundang mereka, karena suami sepupu Dhea itu dipromosikan jabatannya menjadi manager perencanaan di kantor cabang Medan. Karena suaminya di tempatkan di lain provinsi, Intan otomatis ikut suaminya, apalagi sekarang di sedang hamil memasuki trimester ke dua.Butik yang dikelola Intan akhirnya di serahkan pada Tania, istrinya Andra dan Dhea. Namun Dhea sekali lagi hanya bisa membantu mendesain baju, Tania yang bisa menjahit walau tidak semahir intan kini terima menjahit pe
Part 40Ya, tak salah lagi! Dia adalah Bram dan asistennya Adi. Sedang apa mereka? Kenapa posisi duduk mereka sangat ambigu?Dhea tidak jelas apa yang mereka percakapan karena jarak mereka sekitar lima puluh meter, tetapi dari tempatnya berdiri, jelas sekali keberadaan mereka. Di sana terlihat Bram telah menanggalkan pakaian atasnya, tetapi lelaki itu duduk membelakanginya, sedangkan Adi terlihat pakaiannya juga berantakan. Adi, lelaki itu adalah lelaki paling misterius bagi Dhea, lebih misterius dari Bram sendiri. Usianya lebih tua setahun dari Bram, dia mengaku seorang duda tanpa anak. Tubuhnya yang atletis seperti atlit beladiri membuat orang takut di dekatnya, wajahnya yang selalu datar dan tidak pernah tersenyum semakin menakutkan.Tapi lihat itu, Adi tampak tertawa, rambutnya yang selalu rapi belah pinggir, kini sudah acak-acakan. Tiba-tiba Bram mengahadap ke arahnya, sama dengan Adi, lelaki itu juga tertawa dengan ceria, bahkan sampai terbahak-bahak. Entah apa yang dilakukan Ad
Part 41 Arrrggg!! Dhea terkejut mendengar teriakannya dari dalam ruangan Bram, suaranya memang tidak begitu jelas, apa ruangan itu kedap suara? Rasa penasaran membuat Dhea menempelkan telinganya ke pintu, ternyata suara teriakan itu memang ada, diiringi suara tawa dan percakapan. Berarti ada orang di dalam, ini sudah jam sembilan, Dhea jelas tidak ingin ketinggalan pesawat. Dhea memegang handle pintu, ternyata tidak terkunci. Ketika pintu terbuka, mata Dhea membola melihat pemandangan di hadapannya. "Abang!!" Spontan wanita muda itu menutup mulutnya, map yang dia pegang terlepas dari tangan dan jatuh ke lantai dengan bunyi yang cukup keras. Di sana, dia atas sofa busa yang terlihat empuk itu, lelaki yang telah menikahinya tengah berbaring telungkup dengan bertelanjang dada, di atasnya, Adi juga tidak mengenakan baju. Lelaki yang menjadi pengawal suaminya itu hanya mengenakan celana blue jeans, otot perut dan otot dadanya yang menonjol itu terlihat mengkilap karena berkeringat. Le
Part 42Bram walaupun sudah berumur, nyatanya dia belum pernah melakukan hubungan seksual dengan siapapun. Tetapi usia matang memang membuatnya memiliki fantasinya sendiri, bukan munafik, dia juga pernah menonton tontonan dewasa seperti itu, secara teori dia sudah menguasai, secara naluri tubuh lelaki itu bergerak otomatis.Suara decakan lidah dan bibir yang menyatu itu terdengar di telinga mereka laksana musik yang melenakan, membuat semangat dalam dada semakin berkobar. Entah kapan tepatnya tangan Bram terampil melepaskan hijab yang menutupi kepala istrinya itu, sementara Dhea, secara naluri mengalungkan kedua tangannya ke leher lelaki itu. Tungkai Dhea terasa lemas akibat getaran hebat yang tengah menguasainya, bergelayut di leher lelaki itu membuatnya merasa aman.Bram melepaskan ciuman panas mereka perlahan ketika menyadari Dhea sudah kehabisan napas, dahi keduanya saling menempel, napas mereka tersengal-sengal dengan debaran di dada yang terasa berdentum. Tangan Bram bahkan g
Part 43Dhea sudah sampai bandara Soekarno Hatta, di area kedatangan, Mang Aceng sudah bersiap menjemputnya, dengan mengendarai mobil Toyota Yaris, Dhea langsung meminta mang Aceng menemui ibunya di rumah sakit.Hari sudah jam delapan malam, sebenarnya jam kunjungan sudah lewat, tetapi karena Paramita menempati ruang VVIP, mereka mendapat hak istimewa, selagi keluarga yang menjenguk masih diperbolehkan, apalagi Dhea anaknya sendiri."Ibu harus kuat, Ya? Semangat biar cepat sembuh.""Iya, Dhea. Ibu selalu semangat, kok.""Ini, Dhea bawakan pesanan ibu, mpek-mpek dari Tante Rini."Paramitha hanya memakan dua saja, itupun tidak pakai kuah, Dhea menyisakan untuk suster Halimah, selebihnya akan dibawa untuk oleh-oleh Bik Yati dan Mang Aceng, juga untuk Sania.Ketika di mobil menuju rumah kediaman Bram, Dhea menghubungi Sania, sayang gadis itu sedang di luar kota, dia berjanji akan datang ke rumah sakit besok siang."Apa kabar, Bik Yati?" sapa Dhea ramah ketika sudah sampai di rumah suaminy
Part 44Dengan perlahan Dhea memasukkan anak kunci ke lubang kunci, cocok! Perlahan Dhea putar anak kunci tersebut, tak bisa dipungkiri, dada Dhea berdebar dengan kuat, dia tidak tahu apa yang ada di dalam sana, tetapi perasaannya sangat takut, tangannya bahkan gemetar, dia yakin kamar ini berhubungan erat dengan nama yang terukir di cincin itu, LIA!Dhea melongok ke dalam ruangan tersebut, luas kamar tersebut sama dengan kamar yang dia tempati sekarang. Namun di kamar ini tidak ada ranjangnya, hanya ada beberapa buffet yang menempel di dinding dan dipenuhi dengan benda-benda pajangan. Di tengah ruangan terdapat piano berwarna putih mengkilap, dengan tempat duduk memanjang cukup diduduki dua orang.Dhea masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya, mengamati setiap sudut ruangan, di dinding sebelah kiri terdapat lukisan wajah Bram, tengah tertawa lebar memakai kaca mata hitam. Ada beberapa lukisan abstrak juga di sana. Dhea menyusuri pajangan dalam buffet, ada boneka beruang, ada harmon
Part 45"Abang! Abang sudah datang? Katanya mau datang besok?" tanya Dhea dengan binar bahagia. Bram segera memeluk istrinya itu, perasaan rindu tak bisa lagi dibendung, padahal baru semalam tidak bertemu, kenapa rasanya serasa seabad? Bram bukannya menjawab pertanyaan Dhea, lelaki itu malah mencium dahi istrinya dengan kuat, menghirup aroma mawar pada shampoo yang biasa dipakai Dhea. "Memangnya kerjaan Abang sudah beres?" tanya Dhea lagi. "Iya, sudah Abang bereskan semua. Makanya Abang langsung ke sini," jawab Bram sambil mengusap lembut jilbab yang dikenakan Dhea. "Abang sudah kangen," bisik lelaki itu ditelinga Dhea, membuat bulu kuduk Dhea meremang. "Hmm, hmmm! Benar-benar ya, kalian? Kalau mau bermesraan itu jangan ditempat umum, jangan manas-manasi jomblo, gak kasihan apa kalian sama aku?" gerutu Sania melihat kelakuan kakak dan kakak iparnya ini. Dhea yang mendengar perkataan Sania langsung melepaskan pelukan Bram, semburat merah mewarnai pipinya, Dhea benar-benar meras
Part 46"Lia?" gumam Bram.Suara Bram memang hanya berupa gumaman, tetapi sangat jelas di telinga Dhea.Pegangan di tangan Dhea kini Bram lepaskan, lelaki itu terlihat bingung dan terburu-buru."Sayang, kamu tunggu di sini sebentar, ya? Abang ada perlu sebentar. Ini tolong dibawa dulu."Bram menyerahkan paper bag belanjaan ke tangan Dhea.Dengan secepatnya lelaki itu berlari menaiki tangga eskalator, dalam sekejap dunia Dhea terasa runtuh. Wanita itu tak bisa menyembunyikan raut kecewanya. Tanpa menunggu lama, Dhea juga bergegas menuju lantai atas, dia jelas tahu apa yang membuat suaminya itu terburu-buru meninggalkannya.Bram tidak akan menyangka jika Dhea sudah mengetahui tentang wanita yang kini membuat suaminya ketar-ketir itu. Sampai lantai atas, Dhea berlari mengedarkan pandangan ke segala arah mencari keberadaan suaminya.Begitu juga dengan Bram, dia yakin sekali, wanita yang tanpa sengaja dilihatnya tadi adalah wanita yang sama, wanita yang tidak pernah dilihatnya selama ini,
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga
Di vidio terlihat Angga yang sedang tertidur dipangkuan Naima, sementara Azka tidur di bangku belakang. "Dia sudah tidur?" ujar Dhea sambil tersenyum mengamati putranya yang tertidur dengan lelap. "Iya, Bu. Baby Angga pinter banget, diperjalanan dia langsung tertidur. Ibu jangan kuatir, baby Angga akan saya rawat dengan baik. Ibu fokus dengan pekerjaan ibu, kalau di perusahaan sudah stabil, baru saya bawa kembali baby Angga ke jakarta, Bu. Kalau ibu kangen ibu bisa video call, ibu juga bisa berkunjung ke Palembang." Suster Naima tidak tega melihat Dhea yang sudah meleleh air matanya, bagaimana bisa tahan dipisahkan dengan anaknya yang masih bayi, apalagi Angga juga masih menyusui. "Baiklah, jaga baik-baik anak saya ya, Suster. Saya akan memerah ASI saya di sini, dan saya akan membayar orang untuk mengantar ke Palembang. Saya tidak ingin anak saya tidak diberi ASI saya, walaupun kini saya jauh, saya tidak bisa membiarkan dia tidak mendapatkan kasih sayang ibunya." Dhea mengak
Dhea datang membawa segelas jus mangga yang masih penuh, belum diminum sama sekali, rencananya setelah dia duduk baru dia akan menikmati jus tersebut. "Minuman ini belum kamu minum kan, Sayang?" tanya Bram. "Belum." "Ayo, kita pulang!" "Ha? kok cepat nian, aku belum makan, belum minum." Dhea terkejut mendengar ajakan suaminya yang tampak terburu-buru, melihat jus mangga yang baru saja dia bawa membuatnya sangat sayang jika tidak diminum. "Jangan meminum jus itu, kita beli di luar saja!" Tanpa menghiraukan tatapan protes istrinya, Bram langsung mengamit tangan istrinya dan beranjak untuk pergi dari lokasi pesta. Dia tidak lupa berpamitan pada semua orang, terutama direksi yang menjadi panitia penyelenggara. "Saya pamit dulu, putra saya sedang kurang sehat dan terpaksa kami tinggal. Istri saya juga harus menyusuinya." Semua orang mengangguk dengan maklum keputusan Bram yang pergi terlebih dahulu meninggalkan lokasi pesta, semntara mendengar alasan suaminya Dhea juga m
Akhirnya di sinilah Dhea, memakai gaun hitam panjang dengan hiasan sulam benang emas, jilbab berwarna emas dan sepatu high heel hitam, pakaian yang dipesan khusus oleh Bram pada disainer busana muslimah terkenal tanah air. Gaun berharga puluhan juta itu rasanya sangat sayang uangnya, tapi demi menghormati suaminya, dia terpaksa memakainya. Memang ada harga, ada rupa, memakai gaun itu, Dhea benar-benar terlihat seperti seorang ratu dengan penampilan elegan, berwibawa dan benar-benar menjadi bintang yang bersinar malam ini. Pesta yang diadakan di sebuah hotel mewah di jakarta ini, tentunya juga menghabiskan budget yang tidak sedikit, untungnya hotel ini salah satu usaha milik Aditama grup. "Halo, Bu Dhea? selamat atas diangkatnya menjadi komisaris utama HG Aditama grup, Semoga perusahaan ini semakin maju dan semakin banyak menyumbang pajak untuk kontribusi terhadap pembangunan bangsa," sapa seorang gubernur DKI dengan senyum yang cerah menyambut kedatangan Dhea. "Wah, terima k
Bram dan Dhea tentu terkejut mendengar perkataan Sayuti yang bernada menghina itu, Bram begitu geram mendengarnya, tadi waktu rapat tidak ada bersuara setelah rapat baru berani berkoar-koar. "Apa ini rencana kalian? suami istri menguasai hampir semua saham, apa perusahan juga tidak akan kenapa-napa dipimpin oleh bocah ingusan seperti ini, mana dia perempuan pula. bisa apa perempuan muda seperti dia?" serang Sayuti dengan nada tidak senang. "Ini juga bukan keinginan kami, Om! ini keinginan nenek. kalau aku boleh memilih lebih baik istriku tinggal di rumah menjadi ibu rumah tangga dan merawat anak kami," balas Bram tak kalah kesal pula. "Halah, munafik kamu! sejak kamu menikahinya, dia sudah kamu beri kedudukan sebagai direktur di anak cabang perusahan padahal pendidikan dan kemampuannya tidak kualified." Bram ingin membalas kembali perkataan pamannya ini, tetapi Dhea sudah mencekal lengannya dan dengan gelengan dia mengisyaratkan agar suaminya ini menghentikan perdebatan. "
"Tidak bisa! apa tidak ada kandidat yang lain? masih banyak orang yang kompeten selain wanita yang masih muda itu. Lagipula, dia juga punya riwayat pernah di penjara, dia juga sudah sangat lama absen dan telah mengundurkan diri dari perusahaan." "Pak Sayuti, jaga bicara anda!" Bram yang sudah membuka mulut, ternyata kalah cepat dengan ucapan Samsudin, pengacara itu menatap Sayuti dengan tajam seperti malaikat pencabut nyawa yang diutus di ruangan itu, segala apa yang dikatakan Samsudin berlindung dari hukum, ada juga petugas pengadilan dan kejaksaan yang menyaksikan jalannya rapat. "Pak sekretaris, putar lagi vidionya!" perintah Samsudin. "Demikianlah pesan dan wasiatku, saya ingatkan buat semuanya, patuhilah semua yang saya katakan ini, jika ada salah satu pihak menentang ataupun tidak patuh dan tidak menuruti semua yang saya katakan, saya sudah mengajukan perkara hukum dengan pengacara saya, dan menuntut untuk hukuman yang tidak main-main." "Ha!" Beberapa orang mendeng
"Sebelum Nyonya Hartina wafat, beliau meminta saya menjadi pengacaranya, untuk mengurus semua harta benda yang dia tinggalkan dan meninggalkan surat wasiat untuk dibacakan di depan semua anggota direksi perusahaan HG Aditama grup." Semua orang memusatkan perhatian pada Samsudin, lelaki itu memang pandai berbicara hingga membius semua orang, pantasan saja menjadi pengacara top dalam waktu enam tahun. "Saudara sekalian lihat? ini adalah surat yang ditulis tangan sendiri oleh Nyonya Hartina, ada tanda tangan beliau dan cap tiga jari di sini. Tetapi selain itu, beliau juga membuat rekaman vidio, karena jika dengan surat menurut beliau tidak kuat, jadi setelah bangun dari koma, beliau langsung menghubungi saya dan meminta rekaman vidio, coba tolong putar vidionya," pinta pengacara itu pada Fikri yang sudah siap di depan laptop. Di hadapan mereka sudah terpajang layar monitor dengan sorot ini infokus yang mulai memutarkan sebuah tayangan vidio, kemudian sosok nenek Hartina yang tenga