Part 174Dhea tidur cukup nyenyak malam ini, itu juga karena Bram sudah menelponnya setiap tiga jam sekali. Lelaki itu memang perhatiannya begitu over akhir-akhir ini. Ketika jam menunjukan pukul delapan pagi, Khaidir sudah menjemputnya, di dalam mobil juga sudah ada Adi yang akan mendampinginya ke pertemuan.Pertemuan kali ini tidak di kantor wali kota, pertemuan akan diadakan di hotel bintang empat di kota ini. Adi mengatakan jika Ilham dan dua staf lainnya sudah menunggu di sana. Dhea mengambil sebuah tas map dan membuka isinya, di sana ada draf data yang sudah dikerjakan jauh-jauh hari setelah ke Batam tempo hari, draf itu dikerjakannya dengan teliti."Bahan presentasinya sudah siap, Bu?" tanya Adi memastikan."Sudah, Pak. Ada di laptop. Kira-kira siapa yang akan hadir dari pihak klien?""Sepertinya Pak Ibrahim yang akan datang sendiri, beserta Penanggung jawab dari PU dan pihak pelabuhan.""Apa ada investor yang mendanai proyek ini?""Sepertinya tidak, dana ini sepenuhnya dibiaya
Sudah dua Minggu Dhea berada di kota ini, setiap dua hari sekali, Pak Ibrahim selalu mengundangnya makan. kalau tidak makan siang, ya kadang makan malam. Suasana yang terbangun diantara mereka benar-benar membuat Dhea takjub, dia menjadi akrab dan tidak canggung lagi dengan Ibrahim maupun Fathan putranya. Hanya saja dengan Sovia Veronika istri Ibrahim masih belum bisa mengakrabkan diri. Bukan karena Dhea tidak berusaha, tetapi Sovia memang selalu menjaga jarak dan terkesan tidak menyukainya.Siang itu Dhea kembali dijemput Fathan untuk mengunjungi rumah mereka. Ibrahim sudah memasak makanan kesukaan Dhea, dia bahkan memesan SOP kerang khusus dari kedai Pakcik Ali."Pekerjaanku sudah selesai di sini, Pak. Lusa aku ijin akan kembali ke Jakarta," ujar Dhea di tengah acara makan siang itu."Sudah berapa kali aku bilang jangan panggil Pak. Panggil aku ayah!" sela Ibrahim dengan nada tidak suka "Oh iya, Ayah. maaf ....""Tidak bisakah kau menetap di kota ini saja?aku bisa memberimu pekerja
Part 176 Ketika sampai perusahaan itu, mereka disambut oleh Raditya. Lelaki ini memiliki kepribadian yang luwes dan pandai bicara, penampilannya yang perlente memperlihatkan jika dia pandai bergaya. Penampilan seperti itu mengesankan bahwa lelaki ini baru saja memiliki sedikit kekayaan dan membuatnya berdandan habis-habisan. Dari segi wajah, Raditya terlihat biasa-biasa saja, tetapi karena ditunjang dengan penampilannya ini, membuat lelaki itu sedikit berkelas. Raditya mencerikatan sedikit latar belakang perusahaan mereka, dia sudah serius untuk menjual sahamnya. Karena perusahaan ini didirikan berdua dengan Tommy, jadi saham mereka juga Fifty-Fifty. Persoalannya sekarang Tommy justru tidak mau menjual sahamnya, semntara Bram akan mengakuisisi perusahaan itu total, bukan hanya membeli separuh saham saja. Tidak berapa lama Tommy juga datang ke ruangan direktur, yang saat ini diduduki oleh Raditya, sekali lagi dengan tegas lelaki itu menolak menjual sahamnya. "Saya tidak bersedia me
Part 177 "Bukankah itu Adelia? sepertinya dia mabuk?" ujar Dhea sambil menatap heran ke arah kedua orang yang tengah berseteru tersebut. Melihat adegan di depannya, membuat perasaan Dhea menegang dan tidak enak, diam-diam dia melirik ke arah suaminya, terlihat tangan lelaki itu mencengkeram erat stir kemudi. Tatapan Bram juga begitu tajam mengarah ke arah Adelia. Dhea sudah menduga, pasti lelaki ini tidak akan bisa berpaling dari Adelia, apalagi melihat wanita itu dalam kesulitan seperti itu. "Cantik, ayo ikut aku! Tidak baik perempuan cantik sepertimu berkeliaran seperti ini!" "Lepaskan aku! Aku tidak Sudi ikut denganmu! Lepaskan aku!" Dialog mereka terdengar samar-samar. Adelia tampak memberontak, tetapi lelaki itu ternyata memiliki tenaga yang tidak sebanding dengannya, dengan mudah lelaki itu bisa menyeret wanita itu untuk mengikutinya. Dhea hanya merapatkan bibir melihat semua itu, perempuan seperti apa yang sudah larut seperti ini berkeliaran di klub malam? Apakah sebenarny
Part 178"Ambil perempuan itu, aku tidak minat! Aku hanya berminat pada perempuan yang ada di dalam mobil ini.""FRANS! JANGAN MACAM-MACAM, BRENGSEK!"Frans tidak menghiraukan teriakan Bram, lelaki itu bahkan tersenyum meremehkan, seolah-olah menantang lelaki yang kini bergerak akan menyerangnya. Namun sayang, gerakan Bram dihentikan oleh tiga orang anak buah Frans. Frans menghampiri mobil dan mengetuk kaca jendelanya, Tak berapa lama jendela itu terbuka, tampak raut wajah cantik menyembul dari dalam membuat Frans sangat kegirangan."Hello, my beautiful love?" sapa Frans dengan senyum yang dipaksakan manis.Dhea yang melihat lelaki urakan itu tersenyum seperti itu justru tidak melihat manisnya dari mana, senyum itu justru terlihat seperti seringai jahat."Dhea! tutup jendelanya! cepat kunci!" teriak Bram.Lelaki itu jelas sangat mengkuatirkan istrinya, dia tahu pasti seberapa gilanya Frans, lelaki tidak waras itu bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa dibayangkan demi membalas dendam
Part 179Dhea membuka matanya ketika terdengar adzan subuh menggema dari ponselnya. Dia memang sengaja memasang waktu salat untuk mengingatkan waktu ataupun sebagai alarm. Matanya mengerjap beberapa kali, kepalanya sedikit pusing karena dia hanya tidur kurang dari dua jam. Pandangannya mengarah ke segala arah di kamar ini, mencari sosok yang biasanya tidur disampingnya. Tetapi orang itu tidak ada di sana, berarti memang belum pulang.Dengan langkah malas Dhea menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu dan melaksanakan salat subuh, setelah salat dia berharap rasa kantuk datang menghampiri tetapi ternyata malah sulit memejamkan mata, yang ada kepalanya tambah sakit karena memikirkan banyak hal, terutama lelaki itu.Dengan langkah malas akhirnya Dhea turun ke dapur untuk membuat secangkir kopi panas, kopi tubruk tradisional lebih di sukai apalagi yang ditambah gula sedikit.Duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang masih mengepul membuatnya tampak sedikit kesepian, tidak mungkin Bram
part 180Pagi itu Dhea menghubungi Raditya akan bertemu dengannya di kantornya seperti kemarin. Dia tidak membiarkan Bram pergi bersamanya karena lelaki itu terlihat begitu lelah karena semalaman tidak tidur. Ya, sudahlah ... lupakan saja masalah Adelia, yang jelas Bram tidak bersama gadis itu tadi malam sudah cukup membuat Dhea tenang. Ketika sampai perusahaan teknologi itu, Raditya langsung melakukan penawaran. Dia menawarkan harga sepuluh miliyar, sebelum pergi ke perusahaan ini Dhea sudah berdiskusi dengan Bram, berapa penawaran tertinggi yang Bram sanggupi, suaminya itu mengatakan tiga puluh miliyar, itu artinya untuk saham Raditya dihargai maksimal lima belas miliyar."Bagaimana, Bu Dhea?" tanya Radit dengan tidak sabaran."Kalau hanya saham anda saja, aku menghargai delapan miliyar itu sudah maksimal. Tetapi akan aku pertimbangkan kalau saham Tommy juga saya beli, saya berani dua puluh miliyar semuanya," jawab Dhea dengan tegas."Cuma delapan miliyar? property dan surat ijin p
Part 181Ketika pulang dari perusahaan teknologi itu, hari sudah siang. Bram juga sudah bangun dan sudah berpakaian formil dengan rapi. Mendengar suara mobil berhenti di halaman rumah, lelaki itu segera membuka pintu dan keluar menyambut kedatangan istrinya. Dhea yang membuka pintu mobil langsung tersenyum melihat kehadiran suaminya yang sudah merentangkan kedua tangannya."Baru pulang, Sayang? Bagaimana pertemuannya dengan Tommy?" ujar lelaki itu setelah memeluk istrinya erat."Maaf, Bang. Sepertinya aku belum bisa membuat Tommy menjual sahamnya," jawab Dhea dengan penuh penyesalan."Ya, sudah. Jangan terlalu dipikirkan, yang penting sudah usaha," bujuk Bram dengan penuh kelembutan "Jadi gimana dengan saham Raditya? apa kita melepas begitu saja?""Kita pikirkan nanti, yang penting kita sekarang masuk rumah dulu, ayo kita makan siang dulu. Kamu pasti lapar, kan?" ujar Bram sambil menggandeng istrinya masuk ke dalam rumah."Memangnya di rumah ada makanan? kamu masak, Bang?""Mana ada m
Rasa sakit itu tidak tertahan, Dhea terus memegangi kepalanya dan mengeluh kesakitan. Bram yang kuatir juga meraba kepala istrinya dan mendapati tangan istrinya di sana tengah memegang kepala dengan erat. "Apa kepalamu sakit?" "Iya, sakit banget!" "Sini, berbaring. Tumpukan kepalamu di paha Abang, biar Abang pijat." Dhea segera merebahkan kepalanya di paha Bram yang kakinya sudah berselonjor, tubuh Bram bersandar pada dinding batu yang sebenarnya tidak rata. Lelaki itu langsung meraba kepala dan pelipis istrinya memijat daerah itu dengan tekanan secara perlahan-lahan. "Masih sakit?" "Iya, sakitnya berdenyut-denyut." "Coba pejamkan tubuhmu." Ketika Bram menekan bagian bawah telinga Dhea rasa sakit terasa begitu menyengat dan kuat membuat wanita itu hilang kesadaran. "Dhea?!" panggil Bram. Dhea yang hilang kesadaran itu seperti halnya orang yang tengah tertidur, terdengar juga napasnya begitu teratur. Siapa yang menyangka jika sebenarnya wanita itu pingsan karena ras
"Berhenti kau betina jalang!" "Dasar perempuan sialan! Mau lari ke mana lagi kau, ha?" "Mau kabur? Kamu pikir bisa, ha?" "Arrhg! Lepaskan! Lepaskan!" "Bang, jangan sakiti perempuan itu." "Diaam kamu Rais!" Penggalan dialog-dialog itu terlintas di kepala Dhea membuat kepalanya sangat sakit. Tetapi tekadnya yang kuat membuatnya terus berlari Jangan sampai tertangkap oleh penculik itu. DOR!!! Suara tembakan itu terdengar jelas. "ABANG, JANGAN TINGGALKAN DHEA, BANG!" teriak Dhea berbalik memeluk suaminya dengan tubuh gemetar dan air mata yang menetes deras. "Abang, Abang ...." "Dhea, Abang tidak apa-apa." Bram merasakan betapa istrinya ini sangat ketakutan, wanita ini memeluk tubuhnya erat dan meraba punggungnya dengan gerakan acak dan gemetar. "Abang nggak apa-apa," bisik Bram memenangkan istrinya. "Terdengar suara tembakan, punggung Abang tertembak." "Tidak, punggung Abang tidak tertembak." "Aku melihatnya sendiri orang itu menembak punggung Abang! Abang, Abang
"Akh!" Bram memekik tertahan mana kala kakinya kesandung akar pohon membuatnya terjatuh, Dhea yang memegang tangannya otomatis juga ikut terjatuh. "Bang, Abang nggak apa-apa? ada yang terluka? sakit?" tanya wanita itu dengan kuatir. Ponsel yang dipegang Dhea dipakai sebagai senter terjatuh. wanita itu segera bangkit dan mengambil ponselnya dan mengarahkan senter pada suaminya yang tengah berusaha bangkit. "Nggak apa-apa. Hanya tersandung saja," lelaki itu berjalan meraba-raba. Dhea segera meraih tangan suaminya, lelaki itu hanya bisa mempercayai Dhea pada saat seperti ini. "Pegang tangan Dhea erat-erat, Bang. Dhea akan menjadi mata Abang. Jalan yang Dhea tempuh ini sedikit sulit karena masih semak belukar. Kalau kita melewati jalan setapak, para penjahat itu pasti bisa dengan mudah menyusul kita." "Iya, Dhea tidak perlu mengkuatirkan Abang. Sekarang ayo cepat kita jalan." Walaupun langkah mereka terseok-seok, tetapi mereka berusaha berjalan dengan cepat, untuk berlari tentu s
Dhea dan Bram makan malam di villa itu, Dhea tidak menyangka masakan hari ini dibuat oleh pemuda dua puluhan bernama Soleh ini. Dengan sayang Dhea menyuapi suaminya, hal ini mengingatkan mereka saat Bram pertama datang di kediaman Lia di rumah tepi pantai. Saat itu lelaki ini hanya bisa melamun dan tidak memiliki gairah hidup, akhirnya Kamelia lah yang terus membujuknya makan dan menyuapinya. "Sudah, Abang sudah kenyang," ujar Bram menolak suapan yang sudah berapa kalinya dari tangan Dhea. "Kalau Abang ke Jerman, Dhea tetap di jakarta, ya? menghandle semua bisnis di sini." "Bagimana bisa suami sedang berobat aku malah sibuk mengurusi bisnis." "Ini demi kebaikan kita, Sayang. Kita baru saja memimpin perusahaan, rasanya tidak bertanggung jawab kalau kita tinggalkan." "Bang, bagiku Abang lebih penting dari perusahaan ini. Bagaimana kalau aku resign saja, biar saja perusahaan ini dikelola oleh orang lain. Kita juga tidak kekurangan uang." "Nenek sudah berpesan agar kita yang m
"Adi__" Suara Bram tercekat, lelaki itu menyadari jika seseorang yang datang bukanlah Adi. Adi baru saja datang menyapanya sekitar lima menit yang lalu, karena dia banyak melamun tidak terlalu menanggapi. Lagipula setelah tiga hari ini dia kehilangan penglihatan, pendengaran dan penciumannya jauh lebih sensitif, setiap gerakan dan aroma seseorang akan dikenali dengan mudah. Orang yang berjalan ke arahnya dengan perlahan ini bukan Adi. Dhea yang melihat lelaki itu tampak bingung hanya bisa menahan napas dan perasaannya, tetapi tetap saja air mata lolos ke pipinya, pertahannya juga jebol, Isak tangisnya tidak bisa dia tahan lagi. Mendnegar isakan itu membuat Bram terkejut, mata lelaki itu melebar terbelalak. Otaknya memutar, memindai suara isakan kecil itu, tanpa berpikir lama dia sudah bisa mengenali suara itu. "Dhea ...," panggil lelaki itu lirih. Mendnegar panggilan itu, jebol sudah pertahan Dhea, wanita itu menangis histeris melihat keadaan suaminya seperti ini. Bram y
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga
Di vidio terlihat Angga yang sedang tertidur dipangkuan Naima, sementara Azka tidur di bangku belakang. "Dia sudah tidur?" ujar Dhea sambil tersenyum mengamati putranya yang tertidur dengan lelap. "Iya, Bu. Baby Angga pinter banget, diperjalanan dia langsung tertidur. Ibu jangan kuatir, baby Angga akan saya rawat dengan baik. Ibu fokus dengan pekerjaan ibu, kalau di perusahaan sudah stabil, baru saya bawa kembali baby Angga ke jakarta, Bu. Kalau ibu kangen ibu bisa video call, ibu juga bisa berkunjung ke Palembang." Suster Naima tidak tega melihat Dhea yang sudah meleleh air matanya, bagaimana bisa tahan dipisahkan dengan anaknya yang masih bayi, apalagi Angga juga masih menyusui. "Baiklah, jaga baik-baik anak saya ya, Suster. Saya akan memerah ASI saya di sini, dan saya akan membayar orang untuk mengantar ke Palembang. Saya tidak ingin anak saya tidak diberi ASI saya, walaupun kini saya jauh, saya tidak bisa membiarkan dia tidak mendapatkan kasih sayang ibunya." Dhea mengak