Semoga suka :)
Javier melepaskan cengkraman tangannya dari kerah baju Morgan. Wajahnya dipenuhi keterkejutan, sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar."Aku tidak salah dengar apa yang kau katakan barusan, kan?" tanya Javier.Freya yang berdiri di ambang pintu tampak panik. Ia tak pernah berniat membongkar rahasia itu di saat seperti ini. Tatapannya beralih dari Javier ke Morgan, yang kini tampak jauh lebih tenang dari yang ia duga.“Javier, aku... aku tidak bermaksud…” suara Freya serak, bergetar, seolah mencari kata-kata yang tepat.Javier menggeleng cepat, memotong ucapan Freya. “Itu tidak mungkin. Ayahku adalah Rodeo. Dia sudah meninggal. Ini pasti salah!” suaranya meninggi, mencoba menolak kenyataan.Freya menggigit bibirnya, merasa bersalah. Tapi Morgan, alih-alih terlihat marah, ia hanya menatap Javier dengan ekspresi tenang, seperti sudah mempersiapkan diri untuk momen ini sejak lama.“Itulah sebabnya aku tidak pernah memberitahumu,” ujar Morgan pelan. “Aku tahu kau tidak akan pernah m
Sementara waktu, Javier kehilangan jejak dimana Morgan pergi. Tapi hari ini, ia ingin mengesampingkan rasa penasarannya mengenai alasan Morgan tentang apa yang terjadi di masa lalu. Hari pernikahan David dilangsungkan hari ini, dan Javier telah menyiapkan sesuatu di hari kebahagiaan orang yang cukup dekat dengan Freya.Pesta berlangsung di luar ruangan, dengan pemandangan puncak musim semi yang memukau. Semua mata tertuju pada seorang wanita anggun dalam balutan gaun pernikahan berwarna putih gading yang melangkah menuju altar.Di sisi altar, David berdiri dengan senyum lebar, menatap penuh cinta pada wanita yang akan menjadi istrinya. Prosesi pemberkatan berlangsung khidmat, diiringi doa dan restu dari para tamu yang hadir. Saat momen tukar cincin tiba, Felix muncul dengan langkah penuh percaya diri mengenakan setelan kecil berwarna putih, membawa kotak cincin dengan senyuman lebar di wajahnya.Freya yang duduk di antara para tamu, tak bisa menahan rasa bangga saat melihat putranya me
Di antara pesta pernikahan David yang masih berlangsung, Freya duduk dengan pikiran, apakah ia baru saja mimpi bahwa Javier melamarnya di pesta pernikahan itu? Rasanya tidak mungkin secepat ini Javier memutuskan bahwa dia akan menikah lagi, namun saat ia menunduk dan melihat cincin berlian yang mahal itu ada di jari tangannya, semua perasaan ragu Freya terjawab.Tentu saja Javier tidak bercanda dan apa yang Freya pikir mimpi, semuanya nyata. Hatinya masih berdebar mengingat saat Javier mengutarakan perasaannya di depan semua tamu undangan.Sudut bibirnya tertarik membentuk senyum, tatapannya tertuju pada sosok pria bertubuh besar mengenakan pakaian rapi berwarna abu-abu. Javier terlihat sedang bicara dengan David sebelum tatapan Javier mengarah pada Freya, pria itu tersenyum."Dia tau cara membuatku merasa berdebar debar hanya dengan menunjukkan senyumannya." batin Freya sambil membalas senyuman Javier.Tak lama, lamunan Freya teralihkan oleh kedatangan kedua putranya. "Bu, apa ayah da
Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian Javier, ia menoleh dan melihat Morgan datang tapi dengan memegangi sebelah tangan kanannya. Melihat keberadaan Javier di apartemen dan sosok Victor yang akan keluar ruangan membuat Morgan menghela nafas. "Sejak kapan dia disini?" tanya Morgan pada Victor. "Setengah jam yang lalu, Bos." Morgan mengangguk singkat, membiarkan Victor keluar sehingga kini hanya ada ia dan Javier di dalam apartemen tersebut. "Apa yang membuatmu datang kemari, Javier." Tatapan Javier tampak dingin dan menusuk, dari pandangannya ia melihat Morgan mendekat hingga duduk di sofa depannya yang berseberangan dengan meja. "Ada begitu banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu." ujar Javier dengan dingin. Morgan menaikkan alisnya, "Bukankah aku sudah memperingatimu berkali kali untuk tidak mencari tahu tentang diriku lebih dalam?" "Apa yang terjadi antara kau dan ibuku sebenarnya?" sahut Javier tetap tidak peduli dengan peringatan yang Morgan katakan. Ternyata alasan
Ancaman yang Rodeo tekankan pada Morgan masih kerap kali berulang untuk memastikan Morgan tidak mendekati Pamela, hal itu terjadi sampai Morgan akhirnya memilih menjadi anggota marinir yang membuatnya fokus pada pendidikan militer.Semua terasa begitu cepat, sesekali ia hanya mendapatkan foto tentang Javier yang masih kecil tumbuh sangat baik tanpa bisa menemuinya langsung. Sekali waktu, Morgan sangat ingin melihat Javier untuk pertama kalinya saat Javier berusia lima tahun. Itu adalah hal yang sangat ingin Morgan lakukan.Hatinya begitu senang bisa melihat putranya, namun Morgan tidak berani mendekat karena ia khawatir jika Rodeo tau, pria itu akan menyakiti Pamela dan Javier. Alhasil, Morgan hanya melihat keduanya dari kejauhan.Namun, semua itu justru membuatnya kecanduan ingin melihat Javier, sampa
Setelah mendengar penjelasan Morgan, Javier tak bisa berkata kata lagi. Rasanya ia turut hanyut dalam kisah yang terjadi diantara Pamela dan Morgan, ia telah salah paham menilai Morgan yang ternyata berusaha untuk melindunginya."Sekarang, terserah padamu untuk percaya atau tidak. Keputusan untuk percaya ada di tanganmu, memang sulit menerima kenyataan bahwa ayah kandungmu adalah seorang pembunuh. Kau pasti malu, jadi sebaiknya kau tidak perlu mengakui diriku." kata Morgan.Javier tetap diam, masih mencerna apa yang sudah ia dengar. Morgan adalah korban, sementara selama ini Javier tau bahwa ibunya, Pamela, tidak pernah mencintai Rodeo. Mereka menikah karena bisnis, dan kemungkinan besar Pamela juga terpaksa hidup bersama dengan Rodeo walaupun yang sering kali Javier lihat, Pamela terlihat bahagia.Tapi tidak dengan hatinya, bahkan Morgan juga sama, dia memilih untuk tidak menikah hingga sekarang demi satu wanita yang dicintainya."Lalu ... kenapa ayahku memintamu untuk bertanda tanga
Beberapa hari kemudian, setelah banyak pertimbangan akhirnya Javier dan Freya sepakat untuk menikah sebelum musim dingin tiba. Itu artinya, hanya tersisa kurang dari empat bulan untuk mempersiapkan hari istimewa mereka.Namun, bagi Javier waktu yang singkat itu bukan alasan untuk tergesa-gesa, justru ia ingin memastikan setiap detail sempurna, karena hari itu akan menjadi momen yang mengikat Freya sepenuhnya dalam hidupnya.Pagi itu, tepat pukul sembilan, Javier baru saja keluar dari ruang gym. Tubuhnya masih berkeringat, dan handuk kecil di tangannya ia gunakan untuk menyeka leher dan wajah. Suara dering ponsel memecah kesunyian. Ia melihat layar ponselnya, mendesah pelan, lalu mengangkatnya.Dari ujung telepon, suara berat Morgan terdengar penuh dengan kemarahan yang ia coba tahan.“Kau menguji kesabaranku, Javier!”Javier hanya menyeringai tipis sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding. Ia tidak tampak terintimidasi sedikit pun. “Aku tidak pernah berjanji apapun padamu,” jawabnya da
Keduanya menuju mobil terparkir, niat Javier ingin mengajak Freya ke butik hari ini berakhir di tunda. Mereka pulang, perjalanan dari pantai yang Freya kunjungi dari rumah sangat jauh dan mereka tiba di rumah saat langit sudah gelap. Tapi, rumah dalam keadaan sepi. Biasanya saat jam seperti ini, Dylan dan Felix sangat ribut sehingga rumah sepi seperti ini cukup membuat Freya curiga apa yang dilakukan oleh mereka. "Aku akan lihat mereka di kamar," kata Freya. Ketika Freya menghilang menuju lantai atas, Javier menerima panggilan telepon yang datang tiba-tiba. Ia menjawab dengan santai, “Halo?” Suara berat di ujung telepon langsung terdengar tanpa basa-basi. “Aku akan mengembalikan kedua putramu besok.” Belum sempat Javier menjawab, panggilan itu langsung terputus. Ia menatap layar ponselnya yang kembali gelap, lalu mendesah panjang, memijat pelipisnya perlahan. Sementara itu Freya membuka kamar putranya, tapi kosong. Perasaannya mendadak cemas, dengan langkah tergesa-gesa ia kembal
Sore itu, Felix dan Avery berjalan berdampingan di sebuah pameran seni. Ruangan itu dipenuhi aroma cat dan kayu halus, suasananya tenang dengan bisikan-bisikan kagum dari para pengunjung yang memandangi karya seni yang dipajang. Avery berdiri mematung di depan sebuah lukisan abstrak yang dominan warna biru dan keemasan, ekspresi anggunnya mencerminkan kekaguman mendalam. Felix yang memperhatikannya dari samping, tak bisa menahan senyum kecil melihat adiknya begitu serius."Ave," panggil Felix, berdiri di sebelahnya. "Kau sudah memutuskan di mana kau akan melanjutkan pendidikan?"Avery menoleh, lalu berjalan perlahan menuju lukisan lain. "Aku akan melanjutkan pendidikan ke New York University. Dan aku tidak akan mengambil cuti setelah lulus. Begitu kelulusan tiba, aku langsung masuk."Felix mengangguk sambil berjalan mendampinginya. "Pilihan yang bagus. Aku mendukung penuh keputusanmu. Tapi, kau sadar kan? Masuk ke NYU tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kau sudah mempersiapkan s
Sejak malam itu hubungan Katie dan Felix nyaris tidak ada jarak, sesuai kesepakatan maka setiap kali Felix membutuhkan Katie, maka perempuan itu harus datang memenuhi tugas sampingannya.Tidak terasa, hubungan yang mereka jalani itu sudah dua bulan berlalu. Katie juga sudah mulai aktif melakukan pemotretan perdananya, tak jarang pula ia dan Felix saling bertemu di kantor atau bahkan bercinta di dalam ruang kerja pria itu.Sebuah tindakan yang memalukan jika ketahuan orang lain, tapi baik itu Katie atau Felix tak peduli, mereka hanya saling memuaskan hasrat satu sama lain di manapun dan kapanpun mereka menginginkannya."Kau memanfaatkan tubuhmu dengan sangat baik menggoda orang lain," ujar Felix, ia menekan tengkuk Katie ke meja saat tubuhnya sibuk menghujam area feminim perempuan itu.
Suasana mendadak tegang, Katie merasa bingung untuk mengambil keputusan dengan situasi yang tercipta antara ia dan Felix saat ini. Dari tatapannya, Felix berjalan membelakanginya untuk meraih sebuah dokumen yang berisi kontrak perjanjian di atas meja."Ini kontraknya," ucap Felix, nada suaranya tenang, hampir seperti tantangan yang terselubung. Ia menyerahkan dokumen itu kepada Katie. "Baca baik-baik. Jika ada yang tidak kau suka, kau bebas pergi. Pintu apartemenku akan selalu terbuka untukmu... ke luar."Tatapan Katie tajam namun penuh keraguan saat ia meraih dokumen itu. Ia menunduk, mulai membaca setiap halaman. Matanya menelusuri baris demi baris, mencari jebakan yang mungkin tersembunyi di antara kata-kata.Tapi anehnya, tidak ada yang merugikan. Setiap poin dalam kontrak itu terasa masuk akal, bahkan menguntungkan. Meski begitu, ada satu hal yang membuatnya terdiam, lima tahun. Lima tahun adalah waktu yang panjang untuk dihabiskan bersama pria seperti Felix."Jadi," Katie menata
Satu minggu berlalu dan Felix belum mendapatkan konfirmasi dari Katie, ia berpikir mungkin gadis itu sudah menemukan pekerjaan di agensi lain. Felix berusaha mengabaikan hal itu, meskipun sangat di sayangkan karena dalam hatinya ia tak bisa membohongi diri bahwa ia rindu suara jeritan Katie saat mereka melakukan hubungan yang kasar itu.Hari ini, setelah menyelesaikan pertemuan bisnis yang memakan waktunya hampir sepanjang pagi, Felix berniat segera kembali ke kantor. Namun, langkahnya terhenti begitu saja ketika ia menangkap sosok Katie di lobi hotel tempat ia melakukan pertemuan bisnis. Tubuhnya membeku sejenak, alisnya berkerut tajam.Katie berdiri santai dengan tangan menyilang di dada, seakan-akan kehadirannya di sana memang disengaja. Saat tatapan mereka bertemu, gadis itu mengangkat dagunya dengan percaya diri."Oh, disini kau ternyata." ucap Katie, kalimatnya seakan perempuan itu memang sengaja menunggunya.Felix mendekat, memasang ekspresi tenang meski di dalam dirinya timbul
Felix berdiri perlahan dari kursinya, matanya membeku pada sosok Katie yang baru saja memasuki ruangannya. Untuk beberapa saat, keheningan merayap di antara mereka, hanya dipecahkan oleh tatapan tajam yang saling bertautan.Akhirnya, suara Felix terdengar setelah beberapa saat. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya.Katie memiringkan kepalanya, seolah menyelidik. "Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau ada di tempat ini?" balasnya, dengan nada penuh tantangan.Felix mengangkat satu alis tinggi-tinggi, lalu tanpa tergesa-gesa, ia mengulurkan tangan menunjuk papan nama di ujung meja yang terukir jelas dengan nama dan jabatannya. "Kau tidak lihat? Aku direktur di agensi ini. Jadi, aku yang seharusnya bertanya, kenapa kau di sini?"Katie menatap papan nama itu dengan mata yang melebar, seolah tak percaya. Bagaimana bisa kebetulan yang sangat tidak masuk akal ini terjadi? New York adalah kota besar yang terbentang luas, dari sekian banyak perusahaan yang ada di kota New York, kenapa m
Felix menatap ke arah Katie yang tertidur pulas setelah apa yang mereka lakukan beberapa saat lalu, pakaian yang berserakan kembali Felix ambil dan ia pakai kembali. Di luar, langit sudah mulai terang dan ia harus kembali ke penginapan karena pukul delapan nanti, ia dan keluarganya akan menuju bandara.Sebelum ia benar-benar pergi, sekali lagi Felix melihat ke arah Katie. Perempuan itu sudah memberinya sebuah pengalaman yang tampaknya akan sulit untuk Felix lupakan, tapi cukup kali ini saja karena setelahnya ia dan Katie kemungkinan tidak akan bertemu lagi.Sekilas Felix menghembuskan nafas dan keluar dari rumah itu, langkahnya berjalan santai hingga tiba di bibir pantai. Dari kejauhan terlihat Dylan dan Eloise bermain air di pinggiran, sebenarnya melihat keromantisan mereka membuatnya sedikit iri, apalagi semalam, Felix melihat Dylan melamar Eloise."Semoga kalian lebih bahagia setelah hari pernikahan itu dilakukan," batinnya, ia menyunggingkan senyum tipis kemudian menuju ke pengina
Suasana rumah tampak hening, sementara Felix dengan santai bersandar mengatur nafasnya setelah apa yang dia dan Katie lakukan. Sementara Katie, perempuan itu mengenakan kembali pakaian berwarna maroon miliknya sebelum menatap ke arah Felix."Apa yang membawamu kemari? Aku pikir kau tidak akan datang karena suatu hal, cukup mengejutkan karena kedatanganmu di luar prediksiku." ucap Katie sambil menatap Felix yang kini meliriknya.Tapi Felix tak langsung menjawab, pria itu menghembuskan nafas panjang dan menyentuh keningnya. Ia tak mengerti ada apa dengannya, ia tadi hanya melihat kalau Dylan melamar Eloise yang artinya mereka akan menikah.Sialnya hal itu membuat emosi aneh dalam dirinya bangkit, ia butuh sebuah kesenangan dan orang yang bisa membantunya mendapatkan hal itu adalah Katie. Toh, besok Felix dan keluarganya juga akan meninggalkan tempat tersebut."Anggap saja sebagai salam perpisahan," ujar Felix dengan nada acuh tak acuh.Katie menyeringai, ia berdiri dan berjalan menuju se
Liburan keluarga Bennett tinggal satu hari lagi, mereka kembali ke penginapan sebelumnya dan sebelum meninggalkan pulau, Avery sempat melihat ke arah Daniel yang berdiri cukup jauh dari dermaga.Pria itu berdiri tegap, tangan dimasukkan ke dalam saku celana, tatapannya sulit dibaca. Ada sesuatu tentang Daniel yang terus membuat Avery berpikir, seolah pria itu memancarkan aura yang tak terjangkau. Namun, perlu diakui, Daniel adalah tipe pria yang ia dambakan. Hanya saja, entah mengapa, ada jarak tak terlihat yang membuat Avery yakin bahwa pria itu tidak menyukainya.Avery memalingkan wajah, mengusir pikiran itu. Dengan langkah mantap, ia naik ke atas yacht bersama kedua saudaranya. Mesin kapal mulai bergetar halus, memecah permukaan air yang tenang saat mereka meninggalkan dermaga.“Nona Katie, apa kau setiap hari menyediakan jasa penyewaan antar-jemput menggunakan yacht?” tanya Dylan, memecah keheningan yang sempat terasa di kapal.Katie, yang duduk dibalik kemudi, menoleh sambil ters
Malam semakin larut, suara deburan ombak sesekali terdengar tak jauh dari posisi mereka. Di bawah pohon yang rindang dan nyaris gelap tanpa cahaya, Katie masih terikat dalam keadaan tergantung, namun kakinya masih menapak di pasir.Erangannya sesekali tak dapat ditahan, kehangatan lidah dari seorang pria yang menjelajahi tubuhnya membuat ia meremang. Setengah pakaiannya sudah terbuka, sementara bibir seorang pria menyesap dadanya bergantian. Gelenyar aneh menguasai tubuhnya, membuat pikirannya kacau hingga tak dapat berpikir secara rasional.Sesekali tubuhnya tersentak saat Felix memukulnya, alih-laih kesakitan, semua itu justru terasa menyenangkan. Di sisa kesadaran yang masih ada, Katie perlu menjaga suaranya untuk tidak memekik terlalu keras karena penghuni penginapan lain bisa saja mendengar hal itu."Felix, apa hanya itu yang bisa kau lakukan, ukh!" Katie langsung bungkam, satu tangan Felix mencengkramnya, kali ini lebih kuat.Tidak ada kalimat dari pria itu, hanya sentuhan-sentu