Beberapa hari telah berlalu, dan Javier memutuskan untuk menemani Freya mempersiapkan hadiah pernikahan untuk David. Tak hanya itu, agenda belanja mereka berlanjut ke kebutuhan rumah tangga. Freya yang tengah mengandung tak bisa mengelak dari perhatian Javier yang begitu antusias sejak pagi.“Kau harus lebih banyak makan buah. Kondisi calon anak kita harus dijaga agar tumbuh sehat,” ujar Javier dengan nada serius sambil mendorong troli menuju area buah.Freya tersenyum kecil, mengikutinya dari belakang. Ia melihat bagaimana Javier memilih buah-buahan segar dengan penuh semangat, memeriksa setiap apel, jeruk, hingga melon seperti seorang koki yang memastikan bahan terbaik untuk masakannya.Melihat ada area sayuran di sebelah, Freya berbelok untuk mengambil beberapa yang diperlukan. Namun tak lama kemudian, Javier sudah berdiri di sampingnya. “Aku tidak pernah mengira belanja seperti ini denganmu akan terasa menyenangkan,” katanya sambil mengambil salah satu sayuran yang Freya pilih dan
Javier melepaskan cengkraman tangannya dari kerah baju Morgan. Wajahnya dipenuhi keterkejutan, sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar."Aku tidak salah dengar apa yang kau katakan barusan, kan?" tanya Javier.Freya yang berdiri di ambang pintu tampak panik. Ia tak pernah berniat membongkar rahasia itu di saat seperti ini. Tatapannya beralih dari Javier ke Morgan, yang kini tampak jauh lebih tenang dari yang ia duga.“Javier, aku... aku tidak bermaksud…” suara Freya serak, bergetar, seolah mencari kata-kata yang tepat.Javier menggeleng cepat, memotong ucapan Freya. “Itu tidak mungkin. Ayahku adalah Rodeo. Dia sudah meninggal. Ini pasti salah!” suaranya meninggi, mencoba menolak kenyataan.Freya menggigit bibirnya, merasa bersalah. Tapi Morgan, alih-alih terlihat marah, ia hanya menatap Javier dengan ekspresi tenang, seperti sudah mempersiapkan diri untuk momen ini sejak lama.“Itulah sebabnya aku tidak pernah memberitahumu,” ujar Morgan pelan. “Aku tahu kau tidak akan pernah m
Sementara waktu, Javier kehilangan jejak dimana Morgan pergi. Tapi hari ini, ia ingin mengesampingkan rasa penasarannya mengenai alasan Morgan tentang apa yang terjadi di masa lalu. Hari pernikahan David dilangsungkan hari ini, dan Javier telah menyiapkan sesuatu di hari kebahagiaan orang yang cukup dekat dengan Freya.Pesta berlangsung di luar ruangan, dengan pemandangan puncak musim semi yang memukau. Semua mata tertuju pada seorang wanita anggun dalam balutan gaun pernikahan berwarna putih gading yang melangkah menuju altar.Di sisi altar, David berdiri dengan senyum lebar, menatap penuh cinta pada wanita yang akan menjadi istrinya. Prosesi pemberkatan berlangsung khidmat, diiringi doa dan restu dari para tamu yang hadir. Saat momen tukar cincin tiba, Felix muncul dengan langkah penuh percaya diri mengenakan setelan kecil berwarna putih, membawa kotak cincin dengan senyuman lebar di wajahnya.Freya yang duduk di antara para tamu, tak bisa menahan rasa bangga saat melihat putranya me
Di antara pesta pernikahan David yang masih berlangsung, Freya duduk dengan pikiran, apakah ia baru saja mimpi bahwa Javier melamarnya di pesta pernikahan itu? Rasanya tidak mungkin secepat ini Javier memutuskan bahwa dia akan menikah lagi, namun saat ia menunduk dan melihat cincin berlian yang mahal itu ada di jari tangannya, semua perasaan ragu Freya terjawab.Tentu saja Javier tidak bercanda dan apa yang Freya pikir mimpi, semuanya nyata. Hatinya masih berdebar mengingat saat Javier mengutarakan perasaannya di depan semua tamu undangan.Sudut bibirnya tertarik membentuk senyum, tatapannya tertuju pada sosok pria bertubuh besar mengenakan pakaian rapi berwarna abu-abu. Javier terlihat sedang bicara dengan David sebelum tatapan Javier mengarah pada Freya, pria itu tersenyum."Dia tau cara membuatku merasa berdebar debar hanya dengan menunjukkan senyumannya." batin Freya sambil membalas senyuman Javier.Tak lama, lamunan Freya teralihkan oleh kedatangan kedua putranya. "Bu, apa ayah da
Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian Javier, ia menoleh dan melihat Morgan datang tapi dengan memegangi sebelah tangan kanannya. Melihat keberadaan Javier di apartemen dan sosok Victor yang akan keluar ruangan membuat Morgan menghela nafas. "Sejak kapan dia disini?" tanya Morgan pada Victor. "Setengah jam yang lalu, Bos." Morgan mengangguk singkat, membiarkan Victor keluar sehingga kini hanya ada ia dan Javier di dalam apartemen tersebut. "Apa yang membuatmu datang kemari, Javier." Tatapan Javier tampak dingin dan menusuk, dari pandangannya ia melihat Morgan mendekat hingga duduk di sofa depannya yang berseberangan dengan meja. "Ada begitu banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu." ujar Javier dengan dingin. Morgan menaikkan alisnya, "Bukankah aku sudah memperingatimu berkali kali untuk tidak mencari tahu tentang diriku lebih dalam?" "Apa yang terjadi antara kau dan ibuku sebenarnya?" sahut Javier tetap tidak peduli dengan peringatan yang Morgan katakan. Ternyata alasan
Ancaman yang Rodeo tekankan pada Morgan masih kerap kali berulang untuk memastikan Morgan tidak mendekati Pamela, hal itu terjadi sampai Morgan akhirnya memilih menjadi anggota marinir yang membuatnya fokus pada pendidikan militer.Semua terasa begitu cepat, sesekali ia hanya mendapatkan foto tentang Javier yang masih kecil tumbuh sangat baik tanpa bisa menemuinya langsung. Sekali waktu, Morgan sangat ingin melihat Javier untuk pertama kalinya saat Javier berusia lima tahun. Itu adalah hal yang sangat ingin Morgan lakukan.Hatinya begitu senang bisa melihat putranya, namun Morgan tidak berani mendekat karena ia khawatir jika Rodeo tau, pria itu akan menyakiti Pamela dan Javier. Alhasil, Morgan hanya melihat keduanya dari kejauhan.Namun, semua itu justru membuatnya kecanduan ingin melihat Javier, sampa
Setelah mendengar penjelasan Morgan, Javier tak bisa berkata kata lagi. Rasanya ia turut hanyut dalam kisah yang terjadi diantara Pamela dan Morgan, ia telah salah paham menilai Morgan yang ternyata berusaha untuk melindunginya."Sekarang, terserah padamu untuk percaya atau tidak. Keputusan untuk percaya ada di tanganmu, memang sulit menerima kenyataan bahwa ayah kandungmu adalah seorang pembunuh. Kau pasti malu, jadi sebaiknya kau tidak perlu mengakui diriku." kata Morgan.Javier tetap diam, masih mencerna apa yang sudah ia dengar. Morgan adalah korban, sementara selama ini Javier tau bahwa ibunya, Pamela, tidak pernah mencintai Rodeo. Mereka menikah karena bisnis, dan kemungkinan besar Pamela juga terpaksa hidup bersama dengan Rodeo walaupun yang sering kali Javier lihat, Pamela terlihat bahagia.Tapi tidak dengan hatinya, bahkan Morgan juga sama, dia memilih untuk tidak menikah hingga sekarang demi satu wanita yang dicintainya."Lalu ... kenapa ayahku memintamu untuk bertanda tanga
Beberapa hari kemudian, setelah banyak pertimbangan akhirnya Javier dan Freya sepakat untuk menikah sebelum musim dingin tiba. Itu artinya, hanya tersisa kurang dari empat bulan untuk mempersiapkan hari istimewa mereka.Namun, bagi Javier waktu yang singkat itu bukan alasan untuk tergesa-gesa, justru ia ingin memastikan setiap detail sempurna, karena hari itu akan menjadi momen yang mengikat Freya sepenuhnya dalam hidupnya.Pagi itu, tepat pukul sembilan, Javier baru saja keluar dari ruang gym. Tubuhnya masih berkeringat, dan handuk kecil di tangannya ia gunakan untuk menyeka leher dan wajah. Suara dering ponsel memecah kesunyian. Ia melihat layar ponselnya, mendesah pelan, lalu mengangkatnya.Dari ujung telepon, suara berat Morgan terdengar penuh dengan kemarahan yang ia coba tahan.“Kau menguji kesabaranku, Javier!”Javier hanya menyeringai tipis sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding. Ia tidak tampak terintimidasi sedikit pun. “Aku tidak pernah berjanji apapun padamu,” jawabnya da
Suasana makan malam itu dipenuhi kehangatan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Lilin di atas meja makan memancarkan cahaya temaram, memantulkan kilau lembut di permukaan piring dan gelas kristal. Aroma masakan rumahan yang menggugah selera menyatu dengan tawa dan percakapan ringan yang mengalir begitu alami, menciptakan momen yang terasa seperti potongan kecil kebahagiaan.Freya duduk di bersebelahan dengan Javier, matanya menelusuri wajah-wajah yang dicintainya. Sesekali, pandangannya tertuju pada pasangan anak-anaknya yang duduk berdampingan, menikmati hidangan yang ia siapkan dengan sepenuh hati. Ada senyum kecil di sudut bibir Freya, senyum penuh kebanggaan dan rasa syukur yang sulit disembunyikan.Mereka berbicara dalam nada lembut, berbagi cerita tentang hari mereka, sementara suara denting garpu dan sendok sesekali terdengar, menambah harmoni pada suasana. Freya memperhatikan cara anak-anaknya saling bertukar pandang, tertawa pada lelucon sederhana, dan berbagi piring kecil
Kediaman rumah Javier hari ini seperti panggung pertunjukan yang dipenuhi dengan aktivitas yang tak pernah berhenti. Para pelayan berlarian ke sana kemari, menyiapkan meja, kursi, dan dekorasi untuk makan malam keluarga yang spesial malam ini. Suasana riuh rendah terdengar dari halaman belakang, di mana meja panjang sudah mulai diatur dengan taplakan putih bersih dan peralatan makan yang berkilauan. Bunga-bunga segar yang dipesan Freya tiba tepat waktu, menambah sentuhan keanggunan di tengah keramaian.Freya sendiri tampak bersemangat, tangannya tak pernah berhenti bergerak. Dari memeriksa bahan masakan hingga memastikan setiap detail dekorasi sempurna, ia ingin semuanya berjalan lancar untuk menyambut Eloise, anggota baru keluarga mereka."Jangan lupa hiasan bunga di tengah meja," pesannya pada salah satu pelayan sambil tersenyum. "Aku ingin semuanya terlihat istimewa."Rumah yang biasanya tenang kini dipenuhi dengan energi yang menggebu-gebu. Meski anak-anaknya belum datang, Freya s
Hari itu cerah, dan sinar matahari menembus jendela apartemen Felix, memantulkan kilau halus di dasi sutra yang baru saja ia kenakan. Dengan gerakan cekatan, ia meraih kunci mobil dari meja, lalu melangkah keluar, meninggalkan aroma kopi pagi yang masih hangat di udara.Pukul sembilan tepat, mobil sport hitamnya meluncur mulus ke arah gedung agensi. Dunia kerja menyambutnya dengan hiruk-pikuk yang biasa, tapi hari ini terasa berbeda. Waktunya di agensi hanya sebentar karena jadwalnya padat, penuh dengan pertemuan penting bersama mitra-mitra bisnis.Namun, satu hal yang terus mengganggu pikirannya adalah ponsel di saku jasnya. Setiap getaran kecil membuat jantungnya berdetak lebih cepat, ia menunggu telepon dari Katie. Jawaban atas tawaran yang ia berikan semalam menjadi satu-satunya hal yang benar-benar ingin ia dengar hari ini."Ada kemajuan pesat sejak kau mengambil alih hotel. Aku senang melihat bagaimana kau mengelolanya dengan baik," ucap Javier, dengan suara yang penuh kebanggaa
Pintu tertutup rapat dengan dentuman keras setelah Felix mendorongnya dengan kasar. Ia berbalik, nafasnya memburu, dan langsung bertemu dengan tatapan Katie.Namun berbeda dari yang ia bayangkan, perempuan itu tampak santai, terlalu santai, seolah situasi ini bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan. Tak ada jejak ketakutan atau khawatir di wajahnya, hanya ekspresi datar yang sulit diterjemahkan."Aku sudah memberitahumu kalau aku hamil," kata Katie, suaranya ringan namun menusuk. "Dan kau juga pasti sudah tahu siapa ayah dari bayi ini."Felix mengepalkan tangannya."Aku hanya berpikir," lanjut Katie sambil memainkan melipat tangan di depan dada. "Janin ini masih sangat kecil. Jika aku mengeluarkannya sekarang, resikonya tidak terlalu besar."Felix merasa dadanya menghantam batu."Kau gila?!" serunya, langkahnya maju mendekat.Dengan frustasi, ia menyisir rambutnya ke belakang, mencoba mengendalikan emosinya. "Aku tidak akan mengizinkanmu menggugurkan bayi itu!"Katie mendesah pelan,
Pesta masih berlangsung meriah, meski tak diadakan di gedung mewah dengan lampu kristal berkilauan. Sebaliknya, halaman belakang kediaman baru Dylan dan Eloise yang luas menjadi saksi kebahagiaan malam itu. Suara tawa, denting gelas sampanye yang saling beradu, serta alunan musik yang mengiringi tarian para tamu menciptakan suasana hangat dan intim.Namun, seiring waktu berlalu dan malam semakin larut, satu per satu tamu mulai berpamitan. Udara yang tadinya penuh dengan euforia perlahan berubah menjadi kehangatan yang lebih tenang."Selamat sekali lagi untuk pernikahan kalian," ujar Freya, merangkul Eloise dengan penuh kasih sayang. "Selamat bergabung di keluarga kami, Eoise." tambahnya dengan senyum tulus.Eloise membalas senyum itu dengan mata berbinar. Kebahagiaan yang ia rasakan malam ini begitu sempurna. Tak lama kemudian, Javier mendekat, menyampaikan ucapan serupa dengan sedikit canggung, namun tetap tulus.Di tengah percakapan, Daniel dan Avery ikut bergabung. Daniel menatap Ja
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pesta pernikahan Dylan dan Eloise diselenggarakan dengan megah di halaman luas sebuah rumah di New Jersey, rumah yang akan mereka tempati setelah resmi menjadi suami istri.Para tamu mulai berdatangan, memenuhi tempat pernikahan dengan senyum bahagia. Di tengah hiruk-pikuk itu, Dylan berdiri dengan perasaan campur aduk antara gugup dan bahagia. Dylan sudah merasa berdebar debar karena hari ini ia akan memiliki Eloise sepenuhnya. Wanita itu akan menjadi istrinya, ini adalah pilihan yang tepat setelah tiga tahun menjalin hubungan dengan Eloise."Ini cukup mendebarkan," gumam Dylan.Felix yang mendengar itu menoleh, kemudian menepuk pundak saudara kembarnya dengan santai. "Kau bahkan setiap hari bertemu dengan Eloise." katanya.Dylan berdecak, "Kau ini, saat dirimu menikah nanti, aku yakin kau pasti akan merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang." Felix terkekeh, namun tatapan Dylan tiba-tiba beralih ke seorang perempuan berbaju cokelat y
Hari pernikahan Dylan dan Eloise hanya tinggal menghitung waktu. Keluarga Javier begitu menantikan hari bahagia ini, merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka.Semua persiapan telah rampung. Gaun pengantin sudah siap, dekorasi telah disempurnakan, dan undangan telah tersebar. Dalam dua hari, Dylan dan Eloise akan mengucapkan janji suci mereka.Di sisi lain kota, Avery tengah sibuk di dalam butik milik Daniel. Pria itu dengan ketelitian seorang seniman, membantu Avery memilih dan menyesuaikan gaun terbaik untuk dikenakannya di hari pernikahan Dylan nanti.Avery menatap bayangannya di cermin besar yang memantulkan dirinya dalam gaun elegan yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Senyum puas terukir di bibirnya."Kau sangat berbakat," ujarnya, mengagumi hasil karya Daniel. "Gaunku jadi terlihat luar biasa."Daniel tersenyum tipis. "Aku hanya memastikan kau akan terlihat paling memukau setelah pengantin perempuan nanti."Avery tertawa kecil, kemudian menoleh pada Daniel denga
Pesta masih berlangsung meriah, lantunan musik memenuhi ruangan, dan para tamu menikmati malam dengan penuh semangat. Avery dan Daniel turut larut dalam suasana, melangkah mengikuti irama dalam tarian perdana mereka. Mata mereka saling bertaut, seakan dunia hanya milik mereka berdua.Namun, kehangatan itu perlahan bergeser saat acara utama tiba, yaitu pengumuman King dan Queen malam ini.Seorang pembawa acara naik ke panggung, memegang mikrofon dengan percaya diri. "Hadirin sekalian, saat yang kita tunggu-tunggu akhirnya tiba!" suaranya menggema, membuat semua mata tertuju padanya.Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang hampir terasa di udara, sebelum akhirnya satu nama disebut dengan lantang."Dan pemenang King tahun ini adalah… Gabriel!"Sorak-sorai memenuhi ruangan. Beberapa orang bertepuk tangan, sementara yang lain bersiul riang. Gabriel melangkah ke panggung dengan senyum percaya diri, menerima mahkota yang diberikan kepadanya.Tak lama, nama sang Queen pun diumumkan."Dan
Beberapa waktu telah berlalu, dan pagi ini Avery tampak lebih sibuk dari biasanya. Ia berjalan cepat menuju pintu, memeriksa kembali tasnya, memastikan semua peralatan ujian sudah lengkap. Hari ini adalah hari yang menentukan, ujian masuk Universitas New York. Semua persiapan telah ia lakukan jauh-jauh hari, namun tetap saja, perasaan gugup tak bisa ia hindari.Saat membuka pintu, ia mendapati Daniel sudah menunggu di dalam mobilnya, bersandar santai dengan satu tangan di kemudi. Begitu melihat Avery, pria itu langsung tersenyum tipis."Kau sudah siap?" tanyanya begitu Avery masuk ke dalam mobil.Avery mengangguk, meskipun kedua tangannya mencengkeram erat tali tasnya. "Sedikit gugup," jawabnya.Daniel tertawa kecil, lalu mulai menjalankan mobilnya. "Itu hal yang wajar. Tapi aku yakin kau akan melakukannya dengan baik."Selama perjalanan, Avery mencoba mengatur nafasnya, sementara Daniel terus berusaha membuatnya rileks dengan beberapa obrolan ringan. Namun, saat mereka tiba di depan