Maaf ya, kayaknya bab ini kepanjangan jadi menghabiskan banyak koin ;) Kalo di dijadiin dua bab juga malah kependekan ntar, jadi serba salah :P
Selama tiga puluh tujuh tahun Javier hidup, ini adalah kali pertama ia mengantarkan seseorang untuk melakukan cek kehamilan. Saat ia melihat Freya sedang berbaring dan dokter memeriksa kondisi kehamilan Freya, Javier dapat melihat sebuah kantong dengan bulatan kecil nampak di dalam layar monitor.Hatinya serasa berbunga bunga, rasa haru menghampiri karena ini sungguh momen yang telah lama ia nantikan. Momen dimana ia bisa menemani Freya saat melakukan pemeriksaan kandungan, karena sebelumnya Javier kehilangan momen berharga seperti ini."Usia kandungan Nyonya diperkirakan baru berusia tiga minggu, kondisinya baik sejauh ini. Dan tolong untuk sementara waktu, Nyonya tidak perlu mengangkat benda yang terasa berat atau aktivitas yang berlebihan." kata Dokter menyarankan.Setelahnya, proses pemeriksaan selesai dan Javier membantu Freya duduk. "Aku akan memastikan dirimu aman bersamaku," ucap Javier, rasanya begitu bahagia karena ia bisa melangkah sejauh ini bersama Freya.Selesai melakuka
Kabar bahwa Jonathan telah menghirup udara bebas dari penjara membuat Javier terus waspada. Ia tahu benar, pria itu bukan tipe yang memaafkan. Terlebih, ancaman yang Jonathan sampaikan semalam melalui telepon mengisyaratkan satu hal, serangan sudah di ambang pintu.Dengan langkah tegas, Javier melintasi koridor panjang gedung perkantoran megahnya. Dokumen tebal di tangannya dibolak-balik dengan kecepatan seorang profesional yang terbiasa mengelola risiko tinggi.“Ada beberapa kekurangan dalam laporan bulan ini. Pastikan orang yang bertanggung jawab meninjaunya kembali. Aku tidak ingin ada kesalahan sekecil apapun,” ucapnya dingin, menyerahkan dokumen itu kepada asistennya sebelum melangkah masuk ke lift.Di dalam lift, hanya ada Javier dan asistennya. Mereka turun dari lantai empat puluh menuju lantai dasar. Suasana hening menyelimuti ruangan sempit itu hingga ponsel Javier tiba-tiba berdering. Tanpa repot-repot melihat layar, ia langsung menjawab panggilan tersebut.“Halo?”“Hai, Javi
Beberapa waktu sebelumnya, hari terlihat cerah, udara jauh lebih hangat dari biasanya. Banyak bunga bermekaran di taman belakang rumah Pamela yang tercium wangi bersamaan angin yang berhembus lembut, Pamela duduk di sana menikmati keindahan itu.Keheningan menyelimuti sekitarnya, diusia yang tak lagi muda, ia hanya bisa menatap keindahan dunia dengan kesadaran bahwa waktu terus bergulir, namun tubuhnya justru harus duduk di kursi roda seperti ini dalam jangka waktu yang cukup lama.Sambil menghirup udara segar, Pamela merenung. “Setelah semua yang terjadi, setidaknya Freya hamil lagi, kali ini tanpa paksaan dariku.” Senyumnya tipis, namun matanya menyiratkan kelelahan yang cukup dalam.Matanya terpejam sejenak, setelah beberapa saat telinganya mendengar suara langkah kaki mendekat. Tanpa menoleh, ia mengira itu perawat pribadinya yang datang membawakan teh hangat seperti biasa. Namun, suara berat dan dingin yang menyapa justru membuat darahnya membeku."Sudah cukup lama tidak bertemu,
Dalam sebuah ruangan yang remang, aroma rokok bercampur alkohol menciptakan atmosfer pekat yang menyesakkan. Di sudut ruangan, beberapa pria duduk dengan ekspresi datar, sementara di balkon, seorang pria berdiri dengan tatapan kosong menembus gelapnya malam. Asap rokok keluar dari bibirnya, perlahan menghilang di udara."Miris sekali, Eben," gumam Jonathan dengan nada penuh ejekan. Ia menghembuskan asap terakhir dari rokoknya, matanya menyipit. "Kau terlalu lemah untuk bertahan hidup. Tapi tenang saja, Nak, aku akan membalaskan dendammu pada Javier."Senyum sinis menghiasi wajahnya yang keras. Jonathan menoleh ke dalam ruangan, memandangi rekan-rekannya sambil menyulut rokok baru. "Pamela pasti sudah mati. Wanita tua sepertinya tidak akan bertahan lama setelah insiden itu."Namun, ketenangan malam itu terusik oleh suara langkah kaki. Jonathan menoleh, senyum licik muncul di wajahnya saat melihat tamu tak diundang melangkah masuk."Morgan," ucap Jonathan santai, menghisap rokoknya lagi
Morgan duduk di ruang tamunya yang temaram. Hening, hanya suara jam dinding yang terdengar menggema. Di belakangnya, salah satu anak buahnya bernama Victor berdiri dengan sikap setengah ragu."Bos," suara Victor memecah keheningan. "Kenapa Anda tidak memberi tahu Javier apa yang sebenarnya terjadi?"Morgan tidak langsung menjawab. Ia memejamkan mata, menyandarkan tubuhnya ke sofa, dan menghela nafas panjang. "Percuma. Javier tidak akan percaya. Dia terlalu larut dalam dendamnya untuk mendengar apapun dariku.""Tapi jika Anda tidak memberitahunya, dia akan menyimpan kesalahpahaman yang begitu besar, berpikir bahwa Anda berniat untuk membunuhnya."Morgan membuka matanya perlahan, memandang Victor dengan sorot yang dingin namun tenang. "Javier bukan anak kecil, jika memang dia berpikir aku akan membunuhnya maka biarkan saja. Oh ya, apa kau tau bagaimana kondisi Pamela sekarang?""Kondisinya kritis, beliau mengalami patah tulang punggung dan kemungkinan dia hidup sangat tipis." jawabnya.
Tiga hari berlalu dan akhirnya sidang keputusan dilakukan, semua bukti sudah Javier pegang sehingga bukan hal sulit baginya untuk mengirim Jonathan kembali ke penjara dalam waktu yang lebih lama.Dalam sidang itu Morgan juga ikut hadir, menyaksikan hakim memberikan hukuman. Di kursi terdakwa, Jonathan duduk dengan tatapan penuh amarah. Hakim mengetukkan palunya, mengumumkan keputusan yang membuat seluruh ruangan terdiam sejenak."Terdakwa Jonathan akan dihukum tiga puluh tahun penjara atas kejahatan yang telah terbukti di pengadilan ini."Wajah Jonathan memerah, rahangnya mengeras. Ia bangkit dari kursinya, tampak berniat meluapkan amarahnya kepada Javier. Tapi beberapa polisi segera mengamankan tubuhnya yang berontak, membawanya keluar dari ruang sidang dengan paksa.Sementara itu, Morgan yang hadir sebagai saksi bisu tetap tenang di sudut ruangan. Saat semua orang mulai keluar, Javier melirik ke arahnya. Di luar gedung, Morgan sudah berdiri santai, membakar ujung rokoknya dengan ger
Beberapa hari telah berlalu, dan Javier memutuskan untuk menemani Freya mempersiapkan hadiah pernikahan untuk David. Tak hanya itu, agenda belanja mereka berlanjut ke kebutuhan rumah tangga. Freya yang tengah mengandung tak bisa mengelak dari perhatian Javier yang begitu antusias sejak pagi.“Kau harus lebih banyak makan buah. Kondisi calon anak kita harus dijaga agar tumbuh sehat,” ujar Javier dengan nada serius sambil mendorong troli menuju area buah.Freya tersenyum kecil, mengikutinya dari belakang. Ia melihat bagaimana Javier memilih buah-buahan segar dengan penuh semangat, memeriksa setiap apel, jeruk, hingga melon seperti seorang koki yang memastikan bahan terbaik untuk masakannya.Melihat ada area sayuran di sebelah, Freya berbelok untuk mengambil beberapa yang diperlukan. Namun tak lama kemudian, Javier sudah berdiri di sampingnya. “Aku tidak pernah mengira belanja seperti ini denganmu akan terasa menyenangkan,” katanya sambil mengambil salah satu sayuran yang Freya pilih dan
Javier melepaskan cengkraman tangannya dari kerah baju Morgan. Wajahnya dipenuhi keterkejutan, sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar."Aku tidak salah dengar apa yang kau katakan barusan, kan?" tanya Javier.Freya yang berdiri di ambang pintu tampak panik. Ia tak pernah berniat membongkar rahasia itu di saat seperti ini. Tatapannya beralih dari Javier ke Morgan, yang kini tampak jauh lebih tenang dari yang ia duga.“Javier, aku... aku tidak bermaksud…” suara Freya serak, bergetar, seolah mencari kata-kata yang tepat.Javier menggeleng cepat, memotong ucapan Freya. “Itu tidak mungkin. Ayahku adalah Rodeo. Dia sudah meninggal. Ini pasti salah!” suaranya meninggi, mencoba menolak kenyataan.Freya menggigit bibirnya, merasa bersalah. Tapi Morgan, alih-alih terlihat marah, ia hanya menatap Javier dengan ekspresi tenang, seperti sudah mempersiapkan diri untuk momen ini sejak lama.“Itulah sebabnya aku tidak pernah memberitahumu,” ujar Morgan pelan. “Aku tahu kau tidak akan pernah m
Pesta pernikahan itu berlangsung singkat, tetapi meninggalkan jejak kenangan manis yang mendalam. Semuanya terasa seperti mimpi yang indah, mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan setelah perjalanan panjang yang telah mereka lalui bersama.Kini, Freya dan Javier resmi menjadi suami istri, sebuah status yang melambangkan cinta mereka yang akhirnya menemukan tempatnya.Beberapa hari telah berlalu sejak hari pernikahan. Pagi itu, Freya melangkah keluar dari kamar menuju ruang tamu dengan langkah ringan. Namun, pandangannya segera terpaku pada sesuatu yang baru di dinding. Sebuah foto pernikahan mereka, berukuran besar dan menonjol, tergantung megah di tengah ruangan. Cahaya pagi yang lembut menyinari bingkai foto itu, mempertegas keindahan momen yang diabadikan di sana.Freya terkejut sekaligus terpesona. Foto itu begitu besar, hampir setinggi tubuhnya, memancarkan aura kebahagiaan dari senyuman mereka di hari spesial tersebut. Sebelum ia bisa berkata apa-apa, langkah Javier terdengar mend
Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Udara pagi itu terasa segar, namun bagi Javier, udara seolah dipenuhi dengan ketegangan yang manis. Berdiri di ruang gantinya, ia merapikan tuksedo putih bersih yang melekat sempurna di tubuhnya. Setiap detail tampak serasi, memberikan kesan bahwa ia adalah pria yang siap memulai kembali kehidupan baru dalam hidupnya, sebagai suami dari wanita yang ia cintai.Javier menatap cermin di depannya, memperhatikan bayangan dirinya. Ada sedikit senyum puas di wajahnya, namun tatapannya segera berubah lembut ketika ia membayangkan sosok Freya."Aku ingin melihat seperti apa dia sekarang," gumamnya pelan.Namun, ketika ia berbalik untuk pergi, langkahnya di hadang oleh David yang tiba-tiba muncul di pintu."Hei, hei! Kau mau kemana, Dude?" David bertanya dengan nada menggoda, tangannya terangkat seolah ingin menghentikan langkah Javier."Bertemu istriku," jawab Javier tanpa ragu, alisnya sedikit terangkat.David tertawa kecil, melipat tangannya di dada. "Di
Malam itu, suasana rumah Javier berubah menjadi hidup ketika suara deru mobil terdengar berhenti di halaman. Beberapa saat kemudian, riuh celotehan anak-anak mengisi udara. Dylan dan Felix melompat keluar dari mobil, berlari ke arah Freya dengan semangat yang nyaris meledak-ledak. Mereka berlomba-lomba untuk menceritakan petualangan mereka selama di luar rumah, wajah mereka berseri-seri seperti dua matahari kecil yang membawa keceriaan.Javier yang duduk di ruang tamu menoleh sejenak. Senyumnya tipis, cukup hangat untuk menandakan kebahagiaannya melihat anak-anak begitu bersemangat. Tapi pandangannya segera tertuju ke arah pintu mobil yang masih terbuka. Dari sana, Morgan muncul, langkahnya mantap namun terlihat lelah. Javier meletakkan ponselnya di meja, bangkit dan berjalan menghampirinya."Biasanya anak buahmu yang mengantar mereka pulang," ucap Javier, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.Morgan hanya menatap Javier sekilas, tidak langsung merespons. Ia menyerahkan dua tas milik D
Langkah Javier terdengar ringan ketika memasuki rumah, senyuman tak henti-hentinya menghiasi wajahnya. Di tangannya ada sebuah kotak beludru hitam, kecil namun begitu berharga, isinya adalah cincin pernikahan yang telah ia pesan. Pandangannya menyapu ruangan sesaat, mencari sosok yang sudah memenuhi setiap sudut hidupnya dengan kehangatan.Ia menemukannya di halaman belakang, wanita cantik dengan perut yang mulai membesar itu sedang memetik buah plum dari pohon. Freya terlihat begitu damai dalam kesederhanaannya, meskipun tubuhnya tengah mengandung keajaiban kecil yang sebentar lagi akan hadir di dunia.Javier berjalan perlahan ke arahnya, menikmati setiap detik pemandangan ini. Ada kebahagiaan sederhana yang terpancar dari Freya, meskipun dia tampak sibuk dengan keranjang buah di tangannya.“Hai, kau sedang apa?” tanya Javier sambil menyandarkan tubuhnya pada pintu kaca yang menghubungkan ruang tamu dengan halaman belakang.Freya menoleh, senyuman lembut menghiasi wajahnya. “Memetik b
Hari-hari berlalu dengan cepat, tapi satu hal selalu sama, setiap kali Dylan dan Felix pulang dari pertemuan mereka dengan Morgan, keduanya terlihat kelelahan. Javier sudah mulai terbiasa melihat wajah letih kedua putranya, meski rasa penasarannya terus mengganggu. Setiap kali ia bertanya apa yang mereka lakukan, jawaban mereka selalu singkat, "Bermain dengan Kakek."Namun sore itu berbeda. Wajah Dylan terlihat memerah seperti habis terbakar matahari, dan kulitnya tampak kasar. Freya yang cemas melihat kondisi anaknya, segera mengambil pelembap dan mengoleskannya ke wajah Dylan dengan lembut.Javier yang berdiri di sudut ruangan sambil memperhatikan, "Permainan apa yang kalian lakukan dengan Kakek sampai seperti ini?" tanyanya dengan nada tegas, tatapannya tajam mengarah pada Dylan.Dylan hanya menunduk, sementara Felix yang biasanya lebih blak-blakan, terlihat ragu-ragu. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Dylan buru-buru menutup mulut saudaranya.Alis Javier terangkat tinggi. "Jad
"Kau yakin hanya pesta biasa saja?" tanya Javier, matanya memandang Freya dengan ragu, seolah memastikan dia tidak salah dengar.Freya mengangguk mantap, senyum lembut tersungging di wajahnya. "Aku tidak terlalu menyukai sesuatu yang berlebihan. Lebih baik kita mengadakan pernikahan yang sederhana. Hanya menghadirkan orang-orang terdekat, tanpa kemewahan yang berlebihan. Bagiku yang penting adalah maknanya, bukan pesta besar yang mencuri perhatian."Javier terdiam sejenak, lalu meraih tangan Freya, menggenggamnya erat. Ia menatap mata wanita itu dengan penuh perhatian. "Jangan khawatir soal biaya. Aku bisa memberikan segalanya untukmu. Aku ingin hari itu menjadi sempurna, sesuatu yang tak akan pernah kita lupakan."Freya tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, seolah meyakinkan pria di depannya. "Bukan soal biaya, Javier. Ini tentang apa yang membuatku bahagia. Aku tidak butuh pesta yang megah untuk merasa istimewa. Yang aku butuhkan hanyalah kamu, dan janji yang kita bangun bersama. It
Seperti yang Javier harapkan, keesokan paginya, bahkan sebelum cahaya matahari menyentuh cakrawala, suara mesin mobil terdengar memasuki halaman rumah. Javier yang sudah menunggu sejak semalam turun dari lantai dua ke ruang tamu.Saat pintu mobil terbuka, dua pria dengan tubuh tegap keluar, masing-masing menggendong Dylan dan Felix yang tertidur pulas di pelukan mereka. Bocah-bocah itu tampak damai, seolah-olah tak terganggu oleh perjalanan panjang yang baru saja mereka lalui.Javier melangkah keluar, matanya menyapu kendaraan dengan hati-hati, berharap menemukan sosok Morgan. Namun yang ia temui hanyalah seorang supir berdiri kaku di sisi pintu mobil.“Dimana bos kalian?” tanya Javier dengan nada datar, meskipun ada sedikit ketegangan yang terselip dalam suaranya.Supir itu menunduk hormat. “Tuan mempercayakan kami sepenuhnya untuk mengantar putra Anda kembali dengan selamat. Jika tidak ada yang lain, kami permisi.”Tanpa menunggu jawaban, kedua pria yang menggendong Dylan dan Felix
Keduanya menuju mobil terparkir, niat Javier ingin mengajak Freya ke butik hari ini berakhir di tunda. Mereka pulang, perjalanan dari pantai yang Freya kunjungi dari rumah sangat jauh dan mereka tiba di rumah saat langit sudah gelap. Tapi, rumah dalam keadaan sepi. Biasanya saat jam seperti ini, Dylan dan Felix sangat ribut sehingga rumah sepi seperti ini cukup membuat Freya curiga apa yang dilakukan oleh mereka. "Aku akan lihat mereka di kamar," kata Freya. Ketika Freya menghilang menuju lantai atas, Javier menerima panggilan telepon yang datang tiba-tiba. Ia menjawab dengan santai, “Halo?” Suara berat di ujung telepon langsung terdengar tanpa basa-basi. “Aku akan mengembalikan kedua putramu besok.” Belum sempat Javier menjawab, panggilan itu langsung terputus. Ia menatap layar ponselnya yang kembali gelap, lalu mendesah panjang, memijat pelipisnya perlahan. Sementara itu Freya membuka kamar putranya, tapi kosong. Perasaannya mendadak cemas, dengan langkah tergesa-gesa ia kembal
Beberapa hari kemudian, setelah banyak pertimbangan akhirnya Javier dan Freya sepakat untuk menikah sebelum musim dingin tiba. Itu artinya, hanya tersisa kurang dari empat bulan untuk mempersiapkan hari istimewa mereka.Namun, bagi Javier waktu yang singkat itu bukan alasan untuk tergesa-gesa, justru ia ingin memastikan setiap detail sempurna, karena hari itu akan menjadi momen yang mengikat Freya sepenuhnya dalam hidupnya.Pagi itu, tepat pukul sembilan, Javier baru saja keluar dari ruang gym. Tubuhnya masih berkeringat, dan handuk kecil di tangannya ia gunakan untuk menyeka leher dan wajah. Suara dering ponsel memecah kesunyian. Ia melihat layar ponselnya, mendesah pelan, lalu mengangkatnya.Dari ujung telepon, suara berat Morgan terdengar penuh dengan kemarahan yang ia coba tahan.“Kau menguji kesabaranku, Javier!”Javier hanya menyeringai tipis sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding. Ia tidak tampak terintimidasi sedikit pun. “Aku tidak pernah berjanji apapun padamu,” jawabnya da