Rumah terasa hampa setelah Javier pergi. Freya duduk di sofa ruang tamu, tatapannya kosong, tangan memegang cangkir teh yang sejak tadi tak ia sentuh. Kedua putranya bermain di kamar, sementara dua penjaga yang ditugaskan Javier berjaga di luar. Meski suasana rumah terlihat damai, perasaan Freya justru jauh dari itu.Hanya setengah jam sejak Javier meninggalkan rumah, tetapi kecemasan sudah menggerogoti pikirannya. Ada sesuatu yang tak biasa, sesuatu yang ia tak bisa jelaskan. Perasaan itu menyerupai firasat, samar namun menusuk, seolah ada badai yang sedang mengintai dari kejauhan."Kenapa aku merasa begini?" gumam Freya lirih, menatap ke luar jendela. Hatinya gelisah, tetapi ia mencoba menepisnya.Sementara itu, di bandara Javier berjalan menuju jet pribadinya. Wajahnya memancarkan ketenangan seorang pria yang terbiasa dengan ketepatan waktu dan tanggung jawab besar. Namun, di balik ketenangan itu, pikirannya sedang bekerja keras, memikirkan tugas yang menantinya di Colorado.Jet lep
Hari sudah cukup pagi saat Javier kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa, pekerjaan telah menanti dan sebelum ia memulai hari yang cukup panjang ini, ia perlu mengisi tenaganya lebih dulu sambil menikmati sarapan.Di meja, iPad-nya menyala, menampilkan agenda penuh yang menanti sepanjang hari. Jari-jarinya sesekali menyentuh layar, memeriksa rincian jadwal sambil menyuap makanannya dengan santai."Tuan, kendaraan sudah siap," suara asistennya terdengar lembut namun tegas.Javier menoleh sekilas dan mengangguk. Sebelum beranjak, ia mengambil cangkirnya, meneguk minuman terakhir, lalu berdiri mengikuti asistennya keluar dari ruang makan.Hari ini akan menjadi hari yang sibuk, terlalu sibuk bahkan untuk sekadar menghubungi Freya. Javier menyerahkan ponselnya kepada sang asisten agar ia bisa sepenuhnya fokus. Pekerjaan datang bertubi-tubi, menuntut perhatian dan dedikasi penuh.Saat ia meninggalkan penginapan, sesuatu menarik perhatiannya. Sebuah mobil hitam melaju pelan di depannya
Hari berikutnya, semua masih berlangsung seperti kemarin, hanya saja kali ini Javier tidak melihat keberadaan Morgan. Mungkin pria itu sudah pindah penginapan di tempat lain, yang berbeda dari yang Javier tempati.Tapi, kebetulan juga hari ini adalah hari dimana Javier terakhir tinggal di penginapan tersebut karena besok ia harus melakukan pekerjaan di Denver. Javier melangkah dengan mantap menyusuri koridor panjang bersama asistennya. Langkahnya tegas, seperti membawa bobot tanggung jawab yang besar."Berapa banyak lagi pekerjaan hari ini?" tanyanya tanpa menoleh.Asistennya langsung melihat jadwal Javier, "Untuk hari ini tidak banyak, Tuan. Anda perlu melakukan pertemuan dengan para dewan hingga pukul dua belas siang, dan di lanjutkan dengan makan siang bersama direktur perusahaan Bank Kota. Setelah itu, Anda tidak punya jadwal hari ini sehingga sore nanti kita bisa langsung ke Denver."Javier mengangguk tanpa berkata apa-apa, namun dalam hati ia merasa sedikit lega. Setidaknya, ada
"Bu, hari ini ayah akan pulang kan?" tanya Dylan saat melihat Freya berada di dapur menyiapkan cemilan untuk kedua putranya.Sejenak Freya diam, harusnya hari ini Javier pulang seperti yang pria itu katakan. Namun sejak semalam, Javier tidak menghubunginya. Sekarang, Freya masih berpikir positif karena mungkin saja Javier masih sibuk sehingga tak sempat memberikan kabar kalau dia jadi pulang hari ini atau tidak."Aku tidak sabar memberi kejutan untuk ayah di hari ulang tahunnya. Ayah pulang hari ini kan, Bu?" tanya Felix ikut menimpali.Freya memaksakan senyum, meski hatinya terasa resah. "Ibu akan coba menghubungi Ayah nanti. Mungkin dia sedang sibuk. Untuk sekarang, bagaimana kalau kalian bantu Ibu menyiapkan kejutan? Pasti Ayah senang melihatnya."Dylan dan Felix mengangguk setuju, Freya menyunggingkan senyum namun hatinya tak bisa dibohongi kalau sejak kemarin ia merasa cemas dengan kondisi Javier. Hal ini tidak biasa terjadi, karena Javier sering kali bepergian jauh dan Freya tak
Keinginan Freya untuk menyusul Javier ke Colorado pupus di tengah badai yang melanda. Ia kembali ke rumah dengan rasa kecewa yang tak terkatakan, memendam harapan bahwa Javier akan kembali dengan selamat. Namun, sesampainya di rumah, rasa cemasnya tak kunjung surut. Ia berulang kali memeriksa ponselnya, tetapi tetap tak ada kabar dari Javier ataupun asistennya. Freya mencoba mengalihkan perhatian, namun hatinya terus dihantui firasat buruk. Sejak Javier pergi, ia tak pernah merasa setakut ini. Ia meremas kedua tangannya, memanjatkan doa dalam diam. "Aku mohon, Tuhan, lindungi dia. Tolong bawa dia kembali padaku." Sesekali, ia melangkah ke arah pintu, berharap mendengar suara langkah Javier. Namun, pintu yang terbuka hanya menyambut Dylan dan Felix yang baru pulang sekolah. "Bu, ayah sudah pulang?" tanya Felix polos. Freya menelan ludah, mencoba menguasai emosinya. "Belum, sayang. Ayah masih dalam perjalanan. Ada masalah di penerbangan, jadi mungkin butuh waktu lebih lama. Sekarang
Dua hari sebelumnya.Setelah mendapat serangan dadakan dari orang tak dikenal, tubuh Javier dibawa ke sebuah tempat yang tidak ia kenali. Di sana, ia mendapat perlakukan kasar dan beberapa kali mendapat pukulan."Siapa kalian!" seru Javier, kaget karena posisinya yang tidak bisa bergerak dalam ikatan yang cukup kuat.Alih-alih jawaban, sebuah tinju mendarat keras di rahangnya, membuat wajahnya memerah dan nyeri. Salah satu dari pria itu mendekat dan berbicara dengan nada penuh ancaman.“Inilah akibatnya kalau kau ikut campur dalam urusan yang tidak seharusnya kau dekati.”Pada saat itu juga, Javier langsung teringat dengan Morgan. Apakah orang-orang ini suruhan dari Morgan? Javier tidak tau, tapi kemungkinannya bisa begitu.Setelah satu jam berada di dalam ruangan yang tertutup sendirian, seseorang kembali masuk, kali ini tidak menghajar Javier melainkan berkata.“Kau akan menemui seseorang besok,” ujar orang itu singkat, lalu pergi begitu saja.Javier menggertakkan rahang, tapi akhir
Setelah kejadian itu berlalu, akhirnya Javier kembali pada keluarganya dan di sambut oleh kepanikan Freya. Meskipun begitu, hatinya kini merasa lebih baik karena ia adalah salah satu penumpang yang selamat karena tidak mengikuti penerbangan yang menewaskan hampir seratus orang.Tapi, disisi lain Javier penasaran akan dua hal. Siapa yang menculiknya waktu itu, ia belum sempat melihat orang yang akan menemuinya. Dan satu lagi, siapa orang yang membantunya membebaskan diri dari ledakan yang hampir meratakan tempat itu?"Aku juga penasaran siapa yang menarik bajuku saat debu memenuhi sekitarku, aku tidak dapat melihat orangnya karena begitu banyak debu yang menutup pandangan." batin Javier.Ia melamun di halaman rumah, dalam sehari ia nyaris mati dua kali. Beruntungnya ia masih hidup walaupun masih kaget dengan kejadian yang begitu tiba-tiba."Apakah Morgan dibalik semua ini? Tapi walaupun dia ingin membunuhku, dia punya banyak kesempatan untuk melakukannya sehingga tidak harus mengikat da
Selama tiga puluh tujuh tahun Javier hidup, ini adalah kali pertama ia mengantarkan seseorang untuk melakukan cek kehamilan. Saat ia melihat Freya sedang berbaring dan dokter memeriksa kondisi kehamilan Freya, Javier dapat melihat sebuah kantong dengan bulatan kecil nampak di dalam layar monitor.Hatinya serasa berbunga bunga, rasa haru menghampiri karena ini sungguh momen yang telah lama ia nantikan. Momen dimana ia bisa menemani Freya saat melakukan pemeriksaan kandungan, karena sebelumnya Javier kehilangan momen berharga seperti ini."Usia kandungan Nyonya diperkirakan baru berusia tiga minggu, kondisinya baik sejauh ini. Dan tolong untuk sementara waktu, Nyonya tidak perlu mengangkat benda yang terasa berat atau aktivitas yang berlebihan." kata Dokter menyarankan.Setelahnya, proses pemeriksaan selesai dan Javier membantu Freya duduk. "Aku akan memastikan dirimu aman bersamaku," ucap Javier, rasanya begitu bahagia karena ia bisa melangkah sejauh ini bersama Freya.Selesai melakuka
Suasana makan malam itu dipenuhi kehangatan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Lilin di atas meja makan memancarkan cahaya temaram, memantulkan kilau lembut di permukaan piring dan gelas kristal. Aroma masakan rumahan yang menggugah selera menyatu dengan tawa dan percakapan ringan yang mengalir begitu alami, menciptakan momen yang terasa seperti potongan kecil kebahagiaan.Freya duduk di bersebelahan dengan Javier, matanya menelusuri wajah-wajah yang dicintainya. Sesekali, pandangannya tertuju pada pasangan anak-anaknya yang duduk berdampingan, menikmati hidangan yang ia siapkan dengan sepenuh hati. Ada senyum kecil di sudut bibir Freya, senyum penuh kebanggaan dan rasa syukur yang sulit disembunyikan.Mereka berbicara dalam nada lembut, berbagi cerita tentang hari mereka, sementara suara denting garpu dan sendok sesekali terdengar, menambah harmoni pada suasana. Freya memperhatikan cara anak-anaknya saling bertukar pandang, tertawa pada lelucon sederhana, dan berbagi piring kecil
Kediaman rumah Javier hari ini seperti panggung pertunjukan yang dipenuhi dengan aktivitas yang tak pernah berhenti. Para pelayan berlarian ke sana kemari, menyiapkan meja, kursi, dan dekorasi untuk makan malam keluarga yang spesial malam ini. Suasana riuh rendah terdengar dari halaman belakang, di mana meja panjang sudah mulai diatur dengan taplakan putih bersih dan peralatan makan yang berkilauan. Bunga-bunga segar yang dipesan Freya tiba tepat waktu, menambah sentuhan keanggunan di tengah keramaian.Freya sendiri tampak bersemangat, tangannya tak pernah berhenti bergerak. Dari memeriksa bahan masakan hingga memastikan setiap detail dekorasi sempurna, ia ingin semuanya berjalan lancar untuk menyambut Eloise, anggota baru keluarga mereka."Jangan lupa hiasan bunga di tengah meja," pesannya pada salah satu pelayan sambil tersenyum. "Aku ingin semuanya terlihat istimewa."Rumah yang biasanya tenang kini dipenuhi dengan energi yang menggebu-gebu. Meski anak-anaknya belum datang, Freya s
Hari itu cerah, dan sinar matahari menembus jendela apartemen Felix, memantulkan kilau halus di dasi sutra yang baru saja ia kenakan. Dengan gerakan cekatan, ia meraih kunci mobil dari meja, lalu melangkah keluar, meninggalkan aroma kopi pagi yang masih hangat di udara.Pukul sembilan tepat, mobil sport hitamnya meluncur mulus ke arah gedung agensi. Dunia kerja menyambutnya dengan hiruk-pikuk yang biasa, tapi hari ini terasa berbeda. Waktunya di agensi hanya sebentar karena jadwalnya padat, penuh dengan pertemuan penting bersama mitra-mitra bisnis.Namun, satu hal yang terus mengganggu pikirannya adalah ponsel di saku jasnya. Setiap getaran kecil membuat jantungnya berdetak lebih cepat, ia menunggu telepon dari Katie. Jawaban atas tawaran yang ia berikan semalam menjadi satu-satunya hal yang benar-benar ingin ia dengar hari ini."Ada kemajuan pesat sejak kau mengambil alih hotel. Aku senang melihat bagaimana kau mengelolanya dengan baik," ucap Javier, dengan suara yang penuh kebanggaa
Pintu tertutup rapat dengan dentuman keras setelah Felix mendorongnya dengan kasar. Ia berbalik, nafasnya memburu, dan langsung bertemu dengan tatapan Katie.Namun berbeda dari yang ia bayangkan, perempuan itu tampak santai, terlalu santai, seolah situasi ini bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan. Tak ada jejak ketakutan atau khawatir di wajahnya, hanya ekspresi datar yang sulit diterjemahkan."Aku sudah memberitahumu kalau aku hamil," kata Katie, suaranya ringan namun menusuk. "Dan kau juga pasti sudah tahu siapa ayah dari bayi ini."Felix mengepalkan tangannya."Aku hanya berpikir," lanjut Katie sambil memainkan melipat tangan di depan dada. "Janin ini masih sangat kecil. Jika aku mengeluarkannya sekarang, resikonya tidak terlalu besar."Felix merasa dadanya menghantam batu."Kau gila?!" serunya, langkahnya maju mendekat.Dengan frustasi, ia menyisir rambutnya ke belakang, mencoba mengendalikan emosinya. "Aku tidak akan mengizinkanmu menggugurkan bayi itu!"Katie mendesah pelan,
Pesta masih berlangsung meriah, meski tak diadakan di gedung mewah dengan lampu kristal berkilauan. Sebaliknya, halaman belakang kediaman baru Dylan dan Eloise yang luas menjadi saksi kebahagiaan malam itu. Suara tawa, denting gelas sampanye yang saling beradu, serta alunan musik yang mengiringi tarian para tamu menciptakan suasana hangat dan intim.Namun, seiring waktu berlalu dan malam semakin larut, satu per satu tamu mulai berpamitan. Udara yang tadinya penuh dengan euforia perlahan berubah menjadi kehangatan yang lebih tenang."Selamat sekali lagi untuk pernikahan kalian," ujar Freya, merangkul Eloise dengan penuh kasih sayang. "Selamat bergabung di keluarga kami, Eoise." tambahnya dengan senyum tulus.Eloise membalas senyum itu dengan mata berbinar. Kebahagiaan yang ia rasakan malam ini begitu sempurna. Tak lama kemudian, Javier mendekat, menyampaikan ucapan serupa dengan sedikit canggung, namun tetap tulus.Di tengah percakapan, Daniel dan Avery ikut bergabung. Daniel menatap Ja
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pesta pernikahan Dylan dan Eloise diselenggarakan dengan megah di halaman luas sebuah rumah di New Jersey, rumah yang akan mereka tempati setelah resmi menjadi suami istri.Para tamu mulai berdatangan, memenuhi tempat pernikahan dengan senyum bahagia. Di tengah hiruk-pikuk itu, Dylan berdiri dengan perasaan campur aduk antara gugup dan bahagia. Dylan sudah merasa berdebar debar karena hari ini ia akan memiliki Eloise sepenuhnya. Wanita itu akan menjadi istrinya, ini adalah pilihan yang tepat setelah tiga tahun menjalin hubungan dengan Eloise."Ini cukup mendebarkan," gumam Dylan.Felix yang mendengar itu menoleh, kemudian menepuk pundak saudara kembarnya dengan santai. "Kau bahkan setiap hari bertemu dengan Eloise." katanya.Dylan berdecak, "Kau ini, saat dirimu menikah nanti, aku yakin kau pasti akan merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang." Felix terkekeh, namun tatapan Dylan tiba-tiba beralih ke seorang perempuan berbaju cokelat y
Hari pernikahan Dylan dan Eloise hanya tinggal menghitung waktu. Keluarga Javier begitu menantikan hari bahagia ini, merayakan kedatangan anggota baru dalam keluarga mereka.Semua persiapan telah rampung. Gaun pengantin sudah siap, dekorasi telah disempurnakan, dan undangan telah tersebar. Dalam dua hari, Dylan dan Eloise akan mengucapkan janji suci mereka.Di sisi lain kota, Avery tengah sibuk di dalam butik milik Daniel. Pria itu dengan ketelitian seorang seniman, membantu Avery memilih dan menyesuaikan gaun terbaik untuk dikenakannya di hari pernikahan Dylan nanti.Avery menatap bayangannya di cermin besar yang memantulkan dirinya dalam gaun elegan yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Senyum puas terukir di bibirnya."Kau sangat berbakat," ujarnya, mengagumi hasil karya Daniel. "Gaunku jadi terlihat luar biasa."Daniel tersenyum tipis. "Aku hanya memastikan kau akan terlihat paling memukau setelah pengantin perempuan nanti."Avery tertawa kecil, kemudian menoleh pada Daniel denga
Pesta masih berlangsung meriah, lantunan musik memenuhi ruangan, dan para tamu menikmati malam dengan penuh semangat. Avery dan Daniel turut larut dalam suasana, melangkah mengikuti irama dalam tarian perdana mereka. Mata mereka saling bertaut, seakan dunia hanya milik mereka berdua.Namun, kehangatan itu perlahan bergeser saat acara utama tiba, yaitu pengumuman King dan Queen malam ini.Seorang pembawa acara naik ke panggung, memegang mikrofon dengan percaya diri. "Hadirin sekalian, saat yang kita tunggu-tunggu akhirnya tiba!" suaranya menggema, membuat semua mata tertuju padanya.Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang hampir terasa di udara, sebelum akhirnya satu nama disebut dengan lantang."Dan pemenang King tahun ini adalah… Gabriel!"Sorak-sorai memenuhi ruangan. Beberapa orang bertepuk tangan, sementara yang lain bersiul riang. Gabriel melangkah ke panggung dengan senyum percaya diri, menerima mahkota yang diberikan kepadanya.Tak lama, nama sang Queen pun diumumkan."Dan
Beberapa waktu telah berlalu, dan pagi ini Avery tampak lebih sibuk dari biasanya. Ia berjalan cepat menuju pintu, memeriksa kembali tasnya, memastikan semua peralatan ujian sudah lengkap. Hari ini adalah hari yang menentukan, ujian masuk Universitas New York. Semua persiapan telah ia lakukan jauh-jauh hari, namun tetap saja, perasaan gugup tak bisa ia hindari.Saat membuka pintu, ia mendapati Daniel sudah menunggu di dalam mobilnya, bersandar santai dengan satu tangan di kemudi. Begitu melihat Avery, pria itu langsung tersenyum tipis."Kau sudah siap?" tanyanya begitu Avery masuk ke dalam mobil.Avery mengangguk, meskipun kedua tangannya mencengkeram erat tali tasnya. "Sedikit gugup," jawabnya.Daniel tertawa kecil, lalu mulai menjalankan mobilnya. "Itu hal yang wajar. Tapi aku yakin kau akan melakukannya dengan baik."Selama perjalanan, Avery mencoba mengatur nafasnya, sementara Daniel terus berusaha membuatnya rileks dengan beberapa obrolan ringan. Namun, saat mereka tiba di depan