Dua hari sebelumnya.Setelah mendapat serangan dadakan dari orang tak dikenal, tubuh Javier dibawa ke sebuah tempat yang tidak ia kenali. Di sana, ia mendapat perlakukan kasar dan beberapa kali mendapat pukulan."Siapa kalian!" seru Javier, kaget karena posisinya yang tidak bisa bergerak dalam ikatan yang cukup kuat.Alih-alih jawaban, sebuah tinju mendarat keras di rahangnya, membuat wajahnya memerah dan nyeri. Salah satu dari pria itu mendekat dan berbicara dengan nada penuh ancaman.“Inilah akibatnya kalau kau ikut campur dalam urusan yang tidak seharusnya kau dekati.”Pada saat itu juga, Javier langsung teringat dengan Morgan. Apakah orang-orang ini suruhan dari Morgan? Javier tidak tau, tapi kemungkinannya bisa begitu.Setelah satu jam berada di dalam ruangan yang tertutup sendirian, seseorang kembali masuk, kali ini tidak menghajar Javier melainkan berkata.“Kau akan menemui seseorang besok,” ujar orang itu singkat, lalu pergi begitu saja.Javier menggertakkan rahang, tapi akhir
Setelah kejadian itu berlalu, akhirnya Javier kembali pada keluarganya dan di sambut oleh kepanikan Freya. Meskipun begitu, hatinya kini merasa lebih baik karena ia adalah salah satu penumpang yang selamat karena tidak mengikuti penerbangan yang menewaskan hampir seratus orang.Tapi, disisi lain Javier penasaran akan dua hal. Siapa yang menculiknya waktu itu, ia belum sempat melihat orang yang akan menemuinya. Dan satu lagi, siapa orang yang membantunya membebaskan diri dari ledakan yang hampir meratakan tempat itu?"Aku juga penasaran siapa yang menarik bajuku saat debu memenuhi sekitarku, aku tidak dapat melihat orangnya karena begitu banyak debu yang menutup pandangan." batin Javier.Ia melamun di halaman rumah, dalam sehari ia nyaris mati dua kali. Beruntungnya ia masih hidup walaupun masih kaget dengan kejadian yang begitu tiba-tiba."Apakah Morgan dibalik semua ini? Tapi walaupun dia ingin membunuhku, dia punya banyak kesempatan untuk melakukannya sehingga tidak harus mengikat da
Selama tiga puluh tujuh tahun Javier hidup, ini adalah kali pertama ia mengantarkan seseorang untuk melakukan cek kehamilan. Saat ia melihat Freya sedang berbaring dan dokter memeriksa kondisi kehamilan Freya, Javier dapat melihat sebuah kantong dengan bulatan kecil nampak di dalam layar monitor.Hatinya serasa berbunga bunga, rasa haru menghampiri karena ini sungguh momen yang telah lama ia nantikan. Momen dimana ia bisa menemani Freya saat melakukan pemeriksaan kandungan, karena sebelumnya Javier kehilangan momen berharga seperti ini."Usia kandungan Nyonya diperkirakan baru berusia tiga minggu, kondisinya baik sejauh ini. Dan tolong untuk sementara waktu, Nyonya tidak perlu mengangkat benda yang terasa berat atau aktivitas yang berlebihan." kata Dokter menyarankan.Setelahnya, proses pemeriksaan selesai dan Javier membantu Freya duduk. "Aku akan memastikan dirimu aman bersamaku," ucap Javier, rasanya begitu bahagia karena ia bisa melangkah sejauh ini bersama Freya.Selesai melakuka
Kabar bahwa Jonathan telah menghirup udara bebas dari penjara membuat Javier terus waspada. Ia tahu benar, pria itu bukan tipe yang memaafkan. Terlebih, ancaman yang Jonathan sampaikan semalam melalui telepon mengisyaratkan satu hal, serangan sudah di ambang pintu.Dengan langkah tegas, Javier melintasi koridor panjang gedung perkantoran megahnya. Dokumen tebal di tangannya dibolak-balik dengan kecepatan seorang profesional yang terbiasa mengelola risiko tinggi.“Ada beberapa kekurangan dalam laporan bulan ini. Pastikan orang yang bertanggung jawab meninjaunya kembali. Aku tidak ingin ada kesalahan sekecil apapun,” ucapnya dingin, menyerahkan dokumen itu kepada asistennya sebelum melangkah masuk ke lift.Di dalam lift, hanya ada Javier dan asistennya. Mereka turun dari lantai empat puluh menuju lantai dasar. Suasana hening menyelimuti ruangan sempit itu hingga ponsel Javier tiba-tiba berdering. Tanpa repot-repot melihat layar, ia langsung menjawab panggilan tersebut.“Halo?”“Hai, Javi
Beberapa waktu sebelumnya, hari terlihat cerah, udara jauh lebih hangat dari biasanya. Banyak bunga bermekaran di taman belakang rumah Pamela yang tercium wangi bersamaan angin yang berhembus lembut, Pamela duduk di sana menikmati keindahan itu.Keheningan menyelimuti sekitarnya, diusia yang tak lagi muda, ia hanya bisa menatap keindahan dunia dengan kesadaran bahwa waktu terus bergulir, namun tubuhnya justru harus duduk di kursi roda seperti ini dalam jangka waktu yang cukup lama.Sambil menghirup udara segar, Pamela merenung. “Setelah semua yang terjadi, setidaknya Freya hamil lagi, kali ini tanpa paksaan dariku.” Senyumnya tipis, namun matanya menyiratkan kelelahan yang cukup dalam.Matanya terpejam sejenak, setelah beberapa saat telinganya mendengar suara langkah kaki mendekat. Tanpa menoleh, ia mengira itu perawat pribadinya yang datang membawakan teh hangat seperti biasa. Namun, suara berat dan dingin yang menyapa justru membuat darahnya membeku."Sudah cukup lama tidak bertemu,
Dalam sebuah ruangan yang remang, aroma rokok bercampur alkohol menciptakan atmosfer pekat yang menyesakkan. Di sudut ruangan, beberapa pria duduk dengan ekspresi datar, sementara di balkon, seorang pria berdiri dengan tatapan kosong menembus gelapnya malam. Asap rokok keluar dari bibirnya, perlahan menghilang di udara."Miris sekali, Eben," gumam Jonathan dengan nada penuh ejekan. Ia menghembuskan asap terakhir dari rokoknya, matanya menyipit. "Kau terlalu lemah untuk bertahan hidup. Tapi tenang saja, Nak, aku akan membalaskan dendammu pada Javier."Senyum sinis menghiasi wajahnya yang keras. Jonathan menoleh ke dalam ruangan, memandangi rekan-rekannya sambil menyulut rokok baru. "Pamela pasti sudah mati. Wanita tua sepertinya tidak akan bertahan lama setelah insiden itu."Namun, ketenangan malam itu terusik oleh suara langkah kaki. Jonathan menoleh, senyum licik muncul di wajahnya saat melihat tamu tak diundang melangkah masuk."Morgan," ucap Jonathan santai, menghisap rokoknya lagi
Morgan duduk di ruang tamunya yang temaram. Hening, hanya suara jam dinding yang terdengar menggema. Di belakangnya, salah satu anak buahnya bernama Victor berdiri dengan sikap setengah ragu."Bos," suara Victor memecah keheningan. "Kenapa Anda tidak memberi tahu Javier apa yang sebenarnya terjadi?"Morgan tidak langsung menjawab. Ia memejamkan mata, menyandarkan tubuhnya ke sofa, dan menghela nafas panjang. "Percuma. Javier tidak akan percaya. Dia terlalu larut dalam dendamnya untuk mendengar apapun dariku.""Tapi jika Anda tidak memberitahunya, dia akan menyimpan kesalahpahaman yang begitu besar, berpikir bahwa Anda berniat untuk membunuhnya."Morgan membuka matanya perlahan, memandang Victor dengan sorot yang dingin namun tenang. "Javier bukan anak kecil, jika memang dia berpikir aku akan membunuhnya maka biarkan saja. Oh ya, apa kau tau bagaimana kondisi Pamela sekarang?""Kondisinya kritis, beliau mengalami patah tulang punggung dan kemungkinan dia hidup sangat tipis." jawabnya.
Tiga hari berlalu dan akhirnya sidang keputusan dilakukan, semua bukti sudah Javier pegang sehingga bukan hal sulit baginya untuk mengirim Jonathan kembali ke penjara dalam waktu yang lebih lama.Dalam sidang itu Morgan juga ikut hadir, menyaksikan hakim memberikan hukuman. Di kursi terdakwa, Jonathan duduk dengan tatapan penuh amarah. Hakim mengetukkan palunya, mengumumkan keputusan yang membuat seluruh ruangan terdiam sejenak."Terdakwa Jonathan akan dihukum tiga puluh tahun penjara atas kejahatan yang telah terbukti di pengadilan ini."Wajah Jonathan memerah, rahangnya mengeras. Ia bangkit dari kursinya, tampak berniat meluapkan amarahnya kepada Javier. Tapi beberapa polisi segera mengamankan tubuhnya yang berontak, membawanya keluar dari ruang sidang dengan paksa.Sementara itu, Morgan yang hadir sebagai saksi bisu tetap tenang di sudut ruangan. Saat semua orang mulai keluar, Javier melirik ke arahnya. Di luar gedung, Morgan sudah berdiri santai, membakar ujung rokoknya dengan ger
Sejak malam itu hubungan Katie dan Felix nyaris tidak ada jarak, sesuai kesepakatan maka setiap kali Felix membutuhkan Katie, maka perempuan itu harus datang memenuhi tugas sampingannya.Tidak terasa, hubungan yang mereka jalani itu sudah dua bulan berlalu. Katie juga sudah mulai aktif melakukan pemotretan perdananya, tak jarang pula ia dan Felix saling bertemu di kantor atau bahkan bercinta di dalam ruang kerja pria itu.Sebuah tindakan yang memalukan jika ketahuan orang lain, tapi baik itu Katie atau Felix tak peduli, mereka hanya saling memuaskan hasrat satu sama lain di manapun dan kapanpun mereka menginginkannya."Kau memanfaatkan tubuhmu dengan sangat baik menggoda orang lain," ujar Felix, ia menekan tengkuk Katie ke meja saat tubuhnya sibuk menghujam area feminim perempuan itu.
Suasana mendadak tegang, Katie merasa bingung untuk mengambil keputusan dengan situasi yang tercipta antara ia dan Felix saat ini. Dari tatapannya, Felix berjalan membelakanginya untuk meraih sebuah dokumen yang berisi kontrak perjanjian di atas meja."Ini kontraknya," ucap Felix, nada suaranya tenang, hampir seperti tantangan yang terselubung. Ia menyerahkan dokumen itu kepada Katie. "Baca baik-baik. Jika ada yang tidak kau suka, kau bebas pergi. Pintu apartemenku akan selalu terbuka untukmu... ke luar."Tatapan Katie tajam namun penuh keraguan saat ia meraih dokumen itu. Ia menunduk, mulai membaca setiap halaman. Matanya menelusuri baris demi baris, mencari jebakan yang mungkin tersembunyi di antara kata-kata.Tapi anehnya, tidak ada yang merugikan. Setiap poin dalam kontrak itu terasa masuk akal, bahkan menguntungkan. Meski begitu, ada satu hal yang membuatnya terdiam, lima tahun. Lima tahun adalah waktu yang panjang untuk dihabiskan bersama pria seperti Felix."Jadi," Katie menata
Satu minggu berlalu dan Felix belum mendapatkan konfirmasi dari Katie, ia berpikir mungkin gadis itu sudah menemukan pekerjaan di agensi lain. Felix berusaha mengabaikan hal itu, meskipun sangat di sayangkan karena dalam hatinya ia tak bisa membohongi diri bahwa ia rindu suara jeritan Katie saat mereka melakukan hubungan yang kasar itu.Hari ini, setelah menyelesaikan pertemuan bisnis yang memakan waktunya hampir sepanjang pagi, Felix berniat segera kembali ke kantor. Namun, langkahnya terhenti begitu saja ketika ia menangkap sosok Katie di lobi hotel tempat ia melakukan pertemuan bisnis. Tubuhnya membeku sejenak, alisnya berkerut tajam.Katie berdiri santai dengan tangan menyilang di dada, seakan-akan kehadirannya di sana memang disengaja. Saat tatapan mereka bertemu, gadis itu mengangkat dagunya dengan percaya diri."Oh, disini kau ternyata." ucap Katie, kalimatnya seakan perempuan itu memang sengaja menunggunya.Felix mendekat, memasang ekspresi tenang meski di dalam dirinya timbul
Felix berdiri perlahan dari kursinya, matanya membeku pada sosok Katie yang baru saja memasuki ruangannya. Untuk beberapa saat, keheningan merayap di antara mereka, hanya dipecahkan oleh tatapan tajam yang saling bertautan.Akhirnya, suara Felix terdengar setelah beberapa saat. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya.Katie memiringkan kepalanya, seolah menyelidik. "Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau ada di tempat ini?" balasnya, dengan nada penuh tantangan.Felix mengangkat satu alis tinggi-tinggi, lalu tanpa tergesa-gesa, ia mengulurkan tangan menunjuk papan nama di ujung meja yang terukir jelas dengan nama dan jabatannya. "Kau tidak lihat? Aku direktur di agensi ini. Jadi, aku yang seharusnya bertanya, kenapa kau di sini?"Katie menatap papan nama itu dengan mata yang melebar, seolah tak percaya. Bagaimana bisa kebetulan yang sangat tidak masuk akal ini terjadi? New York adalah kota besar yang terbentang luas, dari sekian banyak perusahaan yang ada di kota New York, kenapa m
Felix menatap ke arah Katie yang tertidur pulas setelah apa yang mereka lakukan beberapa saat lalu, pakaian yang berserakan kembali Felix ambil dan ia pakai kembali. Di luar, langit sudah mulai terang dan ia harus kembali ke penginapan karena pukul delapan nanti, ia dan keluarganya akan menuju bandara.Sebelum ia benar-benar pergi, sekali lagi Felix melihat ke arah Katie. Perempuan itu sudah memberinya sebuah pengalaman yang tampaknya akan sulit untuk Felix lupakan, tapi cukup kali ini saja karena setelahnya ia dan Katie kemungkinan tidak akan bertemu lagi.Sekilas Felix menghembuskan nafas dan keluar dari rumah itu, langkahnya berjalan santai hingga tiba di bibir pantai. Dari kejauhan terlihat Dylan dan Eloise bermain air di pinggiran, sebenarnya melihat keromantisan mereka membuatnya sedikit iri, apalagi semalam, Felix melihat Dylan melamar Eloise."Semoga kalian lebih bahagia setelah hari pernikahan itu dilakukan," batinnya, ia menyunggingkan senyum tipis kemudian menuju ke pengina
Suasana rumah tampak hening, sementara Felix dengan santai bersandar mengatur nafasnya setelah apa yang dia dan Katie lakukan. Sementara Katie, perempuan itu mengenakan kembali pakaian berwarna maroon miliknya sebelum menatap ke arah Felix."Apa yang membawamu kemari? Aku pikir kau tidak akan datang karena suatu hal, cukup mengejutkan karena kedatanganmu di luar prediksiku." ucap Katie sambil menatap Felix yang kini meliriknya.Tapi Felix tak langsung menjawab, pria itu menghembuskan nafas panjang dan menyentuh keningnya. Ia tak mengerti ada apa dengannya, ia tadi hanya melihat kalau Dylan melamar Eloise yang artinya mereka akan menikah.Sialnya hal itu membuat emosi aneh dalam dirinya bangkit, ia butuh sebuah kesenangan dan orang yang bisa membantunya mendapatkan hal itu adalah Katie. Toh, besok Felix dan keluarganya juga akan meninggalkan tempat tersebut."Anggap saja sebagai salam perpisahan," ujar Felix dengan nada acuh tak acuh.Katie menyeringai, ia berdiri dan berjalan menuju se
Liburan keluarga Bennett tinggal satu hari lagi, mereka kembali ke penginapan sebelumnya dan sebelum meninggalkan pulau, Avery sempat melihat ke arah Daniel yang berdiri cukup jauh dari dermaga.Pria itu berdiri tegap, tangan dimasukkan ke dalam saku celana, tatapannya sulit dibaca. Ada sesuatu tentang Daniel yang terus membuat Avery berpikir, seolah pria itu memancarkan aura yang tak terjangkau. Namun, perlu diakui, Daniel adalah tipe pria yang ia dambakan. Hanya saja, entah mengapa, ada jarak tak terlihat yang membuat Avery yakin bahwa pria itu tidak menyukainya.Avery memalingkan wajah, mengusir pikiran itu. Dengan langkah mantap, ia naik ke atas yacht bersama kedua saudaranya. Mesin kapal mulai bergetar halus, memecah permukaan air yang tenang saat mereka meninggalkan dermaga.“Nona Katie, apa kau setiap hari menyediakan jasa penyewaan antar-jemput menggunakan yacht?” tanya Dylan, memecah keheningan yang sempat terasa di kapal.Katie, yang duduk dibalik kemudi, menoleh sambil ters
Malam semakin larut, suara deburan ombak sesekali terdengar tak jauh dari posisi mereka. Di bawah pohon yang rindang dan nyaris gelap tanpa cahaya, Katie masih terikat dalam keadaan tergantung, namun kakinya masih menapak di pasir.Erangannya sesekali tak dapat ditahan, kehangatan lidah dari seorang pria yang menjelajahi tubuhnya membuat ia meremang. Setengah pakaiannya sudah terbuka, sementara bibir seorang pria menyesap dadanya bergantian. Gelenyar aneh menguasai tubuhnya, membuat pikirannya kacau hingga tak dapat berpikir secara rasional.Sesekali tubuhnya tersentak saat Felix memukulnya, alih-laih kesakitan, semua itu justru terasa menyenangkan. Di sisa kesadaran yang masih ada, Katie perlu menjaga suaranya untuk tidak memekik terlalu keras karena penghuni penginapan lain bisa saja mendengar hal itu."Felix, apa hanya itu yang bisa kau lakukan, ukh!" Katie langsung bungkam, satu tangan Felix mencengkramnya, kali ini lebih kuat.Tidak ada kalimat dari pria itu, hanya sentuhan-sentu
Suasana menjadi terasa ganjil bagi Eloise. Setelah menyadari pria di depannya adalah Dylan, bukan Felix seperti yang ia duga sebelumnya, pikirannya dipenuhi kebingungan dan kesal. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apakah kedua pria ini telah bersekongkol untuk mengujinya? Betapa menyebalkannya situasi seperti ini, seolah-olah ia sedang dipermainkan.“Tunggu,” Eloise menyipitkan matanya, menatap Dylan dengan curiga. “Bukankah kau tadi masih tidur saat aku keluar dari kamar? Bagaimana mungkin secepat ini kau sudah ada di luar?”Dylan tersenyum samar, sorot matanya lembut namun penuh arti. “Aku dan Felix sudah bertukar posisi sejak makan malam tadi,” ujarnya tenang. “Dan lihat, kau sama sekali tidak bisa membedakan aku dengan Felix. Tapi sekarang aku merasa jauh lebih lega. Kau tetap setia padaku meskipun kami memiliki wajah yang sama. Itu cukup membuktikan segalanya.”Eloise tercengang mendengar pengakuan itu. Rasa marah dan kesal sempat berkecamuk dalam dirinya, tapi sebelum ia sempa