Javier menunggu di ruang tamu dengan sabar, tangannya memegang ponsel, tapi pikirannya melayang pada sosok yang tengah bersiap di dalam kamar. Suara hentakan sepatu heels di lantai kayu menarik perhatiannya. Javier mendongak, dan saat pintu kamar terbuka, dunia seolah melambat.
Freya muncul dengan anggun, rambutnya tertata sempurna, membingkai wajah cantiknya yang dihiasi senyuman tipis. Gaun biru laut yang ia kenakan memeluk tubuh rampingnya dengan indah, memperlihatkan elegansi tanpa kehilangan kesan sederhana yang menjadi cirinya.
Javier berdiri, matanya tak berpaling sedetik pun. "Kau terlihat luar biasa," katanya, suaranya rendah tapi penuh kekaguman.
Ia mendekat, merangkul pinggang Freya dengan lembut. "Aku harus menahan diri untuk tidak menciummu sekarang," bisiknya dengan senyuman menggoda.
Ballroom itu gemerlap, dipenuhi suara gelas berdenting dan tawa para tamu yang tenggelam dalam obrolan ringan. Sepanjang acara berlangsung, Freya lebih banyak diam memperhatikan sekitarnya.Matanya terpejam sesaat, dan bayangan wanita asing yang mengajaknya bicara beberapa waktu lalu kembali melintas di benaknya. Kata-katanya terngiang-ngiang, membawa sensasi dingin yang menjalari tengkuknya.“Kau baik-baik saja?” Suara Javier memecah lamunannya, disertai sentuhan lembut di tangannya.Freya tersentak kecil, matanya langsung terbuka. "Ah, ya... aku baik," jawabnya cepat, senyum dipaksakan menghiasi wajahnya.Namun Javier mengenali nada gugup itu. Ia mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat, menatap Freya dengan penuh perhatian. "Kau tak suka acara
"Kenapa akhir acara tiba-tiba jadi ricuh seperti itu?" tanya Freya dengan nada penuh keheranan. Langkahnya terhenti di depan pintu setelah turun dari mobil bersama Javier. Tatapan matanya mencerminkan kebingungan yang mendalam karena tadinya semua berjalan lancar mendadak kacau.Sebelumnya, ketika Freya pergi ke toilet, suasana pesta masih tertib. Namun saat ia kembali melewati koridor menuju ballroom, suasana berubah drastis. Para tamu tampak panik, suara gaduh memenuhi ruangan, dan ada beberapa yang terluka. Beruntung, sebagian besar tamu sudah meninggalkan lokasi sebelum kejadian itu memuncak."Aku juga tidak tahu pasti," jawab Javier, nadanya serius namun tetap tenang. "Penyerangan itu terlalu mendadak. Besok kita akan tahu lebih jelas apa yang sebenarnya terjadi."Javier menghentikan langkahnya ti
Demi keselamatan Freya dan juga anak-anaknya, Javier memilih untuk berhenti mencari tahu siapa Morgan Davidson sebenarnya. Dan sejak Javier berhenti, Morgan juga tidak pernah lagi menampilan dirinya.Rupanya pria itu bukan hanya memperingati Javier, tapi juga menepati ucapannya. Meskipun demikian, Javier tentu perlu waspada. Karena penjahat tetap penjahat, ia tidak boleh lengah.Pagi ini, rumah mereka dipenuhi tawa. Dylan turun dari tangga dengan penuh semangat, rambutnya yang berantakan tak mengurangi energinya sedikit pun."Liburan! Akhirnya liburan!" teriaknya, melompat seperti bola yang memantul tanpa henti.Freya tersenyum tipis, menikmati kegembiraan putranya. Sementara itu, Javier sibuk memastikan semua barang siap. "Ayo, kita siapkan semuanya sebelu
Langit malam yang gelap dihiasi ribuan bintang, menciptakan suasana damai di pinggir danau. Namun, keceriaan Dylan dan Felix sama sekali tidak surut, seolah malam itu milik mereka. Javier muncul dari arah perapian, membawa nampan berisi ikan bakar yang aromanya menggoda siapa pun yang menciumnya.“Dylan, ambilkan botol air di dalam tenda,” ucap Javier santai.Dylan langsung menurut, berlari kecil ke tenda, dan tak lama kemudian kembali dengan botol air di tangannya.“Harum sekali! Aku ingin mencobanya sekarang,” seru Felix penuh semangat, tangannya sudah melayang untuk mencicipi ikan bakar yang mengepul hangat.Namun, suara lembut Freya menghentikannya. “Cuci tangan dulu. Kalian tadi banyak memegang benda kotor,” tegurnya sambil tersenyum.Felix mengangguk dengan patuh, begitu juga Dylan. Beberapa saat kemudian, mereka duduk melingkar, siap menyantap masakan Javier yang dipadukan dengan salad segar buatan Freya.“Cobalah,” ujar Javier, suaranya terdengar sedikit gugup. “Ini pertama kal
Saat cahaya pagi menyelusup lembut melalui celah-celah tenda, suara ribut dari luar mulai membangunkan Freya. Telinganya menangkap obrolan kedua putranya yang tampak begitu bersemangat. Ia menggosok matanya perlahan, menyadari bahwa Javier tidak ada di dalam tenda.Freya keluar dan menghirup udara segar pagi yang begitu menenangkan. Liburan di alam seperti ini adalah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan begitu ia nikmati. Sejak pertama kali Javier mengajaknya, ia langsung jatuh cinta pada suasananya."Dylan, apa jamur ini bisa dimakan?" suara Felix terdengar nyaring. Bocah itu memegang dua jamur besar di tangannya.Dylan menggeleng sambil menatap jamur tersebut dengan ragu. "Aku belum pernah lihat jamur itu sebelumnya."Freya yang mendengar percakapan itu segera mendekat. Ia mengambil jamur dari tangan Felix sambil tersenyum. "Ini namanya jamur porcini. Tidak beracun dan sangat lezat jika dimasak. Di mana kamu menemukannya, Felix?"Felix menunjuk ke arah hutan kecil di dekat me
Saat hari mulai sore, hujan turun cukup deras. Empat orang berbaring di dalam tenda dengan pemandangan atap tenda yang transparan. Suasananya dingin, tenang, terlebih air yang berjatuhan dari langit membuat suasana nyaman begitu terasa."Bu, saat aku besar nanti, apa yang Ibu harapkan dariku?" tanya Felix tiba-tiba, matanya menatap tetes-tetes air yang menempel di permukaan atap tenda.Freya tersenyum, membelai lembut rambut putranya, lalu mendaratkan kecupan ringan di kening Felix dan Dylan bergantian."Ibu tidak mengharapkan apa pun yang akan membebani kalian. Lakukan apa yang kalian sukai, selama itu tidak merugikan orang lain. Jadilah anak-anak yang baik dan tumbuh menjadi seseorang yang hebat di kemudian hari," jawabnya dengan nada penuh kasih."Apa kita akan menikah suatu hari nanti?" celetuk Dylan tiba-tiba, memecah suasana.Freya menahan tawa, menggeleng pelan. "Tentu saja, kalian akan menikah jika sudah dewasa dan waktunya tepat.""Apa kita akan menikah dengan Ibu?" kini Feli
Pagi itu terasa masih segar ketika Freya terbangun karena suara langkah Javier yang perlahan meninggalkan tempat tidur. Pria itu sedang memunguti pakaian-pakaian yang semalam mereka biarkan berserakan di lantai. Punggungnya yang lebar terlihat kokoh meski hanya diterangi cahaya lembut matahari pagi yang masuk melalui celah tirai.Freya duduk sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Suaranya masih serak ketika bertanya, "Apa ada perubahan jadwal keberangkatan?"Javier berbalik dengan senyuman tipis, lalu menghampirinya. "Tidak, aku tetap berangkat pukul sepuluh," jawabnya sebelum mendaratkan kecupan lembut di bibirnya. Setelah itu, Javier melangkah keluar kamar dengan santai, hanya mengenakan kaus sederhana dan celana selutut.Freya tetap duduk sejenak di ranjang, menikmati sisa kehangatan yang ditinggalkan suaminya, sebelum akhirnya ia berdiri dan melangkah menuju balkon. Angin pagi yang sejuk menyambutnya, membuatnya merapatkan cardigan rajut yang ia kenakan. Dari balkon, matanya
Rumah terasa hampa setelah Javier pergi. Freya duduk di sofa ruang tamu, tatapannya kosong, tangan memegang cangkir teh yang sejak tadi tak ia sentuh. Kedua putranya bermain di kamar, sementara dua penjaga yang ditugaskan Javier berjaga di luar. Meski suasana rumah terlihat damai, perasaan Freya justru jauh dari itu.Hanya setengah jam sejak Javier meninggalkan rumah, tetapi kecemasan sudah menggerogoti pikirannya. Ada sesuatu yang tak biasa, sesuatu yang ia tak bisa jelaskan. Perasaan itu menyerupai firasat, samar namun menusuk, seolah ada badai yang sedang mengintai dari kejauhan."Kenapa aku merasa begini?" gumam Freya lirih, menatap ke luar jendela. Hatinya gelisah, tetapi ia mencoba menepisnya.Sementara itu, di bandara Javier berjalan menuju jet pribadinya. Wajahnya memancarkan ketenangan seorang pria yang terbiasa dengan ketepatan waktu dan tanggung jawab besar. Namun, di balik ketenangan itu, pikirannya sedang bekerja keras, memikirkan tugas yang menantinya di Colorado.Jet lep
Pesta pernikahan itu berlangsung singkat, tetapi meninggalkan jejak kenangan manis yang mendalam. Semuanya terasa seperti mimpi yang indah, mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan setelah perjalanan panjang yang telah mereka lalui bersama.Kini, Freya dan Javier resmi menjadi suami istri, sebuah status yang melambangkan cinta mereka yang akhirnya menemukan tempatnya.Beberapa hari telah berlalu sejak hari pernikahan. Pagi itu, Freya melangkah keluar dari kamar menuju ruang tamu dengan langkah ringan. Namun, pandangannya segera terpaku pada sesuatu yang baru di dinding. Sebuah foto pernikahan mereka, berukuran besar dan menonjol, tergantung megah di tengah ruangan. Cahaya pagi yang lembut menyinari bingkai foto itu, mempertegas keindahan momen yang diabadikan di sana.Freya terkejut sekaligus terpesona. Foto itu begitu besar, hampir setinggi tubuhnya, memancarkan aura kebahagiaan dari senyuman mereka di hari spesial tersebut. Sebelum ia bisa berkata apa-apa, langkah Javier terdengar mend
Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Udara pagi itu terasa segar, namun bagi Javier, udara seolah dipenuhi dengan ketegangan yang manis. Berdiri di ruang gantinya, ia merapikan tuksedo putih bersih yang melekat sempurna di tubuhnya. Setiap detail tampak serasi, memberikan kesan bahwa ia adalah pria yang siap memulai kembali kehidupan baru dalam hidupnya, sebagai suami dari wanita yang ia cintai.Javier menatap cermin di depannya, memperhatikan bayangan dirinya. Ada sedikit senyum puas di wajahnya, namun tatapannya segera berubah lembut ketika ia membayangkan sosok Freya."Aku ingin melihat seperti apa dia sekarang," gumamnya pelan.Namun, ketika ia berbalik untuk pergi, langkahnya di hadang oleh David yang tiba-tiba muncul di pintu."Hei, hei! Kau mau kemana, Dude?" David bertanya dengan nada menggoda, tangannya terangkat seolah ingin menghentikan langkah Javier."Bertemu istriku," jawab Javier tanpa ragu, alisnya sedikit terangkat.David tertawa kecil, melipat tangannya di dada. "Di
Malam itu, suasana rumah Javier berubah menjadi hidup ketika suara deru mobil terdengar berhenti di halaman. Beberapa saat kemudian, riuh celotehan anak-anak mengisi udara. Dylan dan Felix melompat keluar dari mobil, berlari ke arah Freya dengan semangat yang nyaris meledak-ledak. Mereka berlomba-lomba untuk menceritakan petualangan mereka selama di luar rumah, wajah mereka berseri-seri seperti dua matahari kecil yang membawa keceriaan.Javier yang duduk di ruang tamu menoleh sejenak. Senyumnya tipis, cukup hangat untuk menandakan kebahagiaannya melihat anak-anak begitu bersemangat. Tapi pandangannya segera tertuju ke arah pintu mobil yang masih terbuka. Dari sana, Morgan muncul, langkahnya mantap namun terlihat lelah. Javier meletakkan ponselnya di meja, bangkit dan berjalan menghampirinya."Biasanya anak buahmu yang mengantar mereka pulang," ucap Javier, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.Morgan hanya menatap Javier sekilas, tidak langsung merespons. Ia menyerahkan dua tas milik D
Langkah Javier terdengar ringan ketika memasuki rumah, senyuman tak henti-hentinya menghiasi wajahnya. Di tangannya ada sebuah kotak beludru hitam, kecil namun begitu berharga, isinya adalah cincin pernikahan yang telah ia pesan. Pandangannya menyapu ruangan sesaat, mencari sosok yang sudah memenuhi setiap sudut hidupnya dengan kehangatan.Ia menemukannya di halaman belakang, wanita cantik dengan perut yang mulai membesar itu sedang memetik buah plum dari pohon. Freya terlihat begitu damai dalam kesederhanaannya, meskipun tubuhnya tengah mengandung keajaiban kecil yang sebentar lagi akan hadir di dunia.Javier berjalan perlahan ke arahnya, menikmati setiap detik pemandangan ini. Ada kebahagiaan sederhana yang terpancar dari Freya, meskipun dia tampak sibuk dengan keranjang buah di tangannya.“Hai, kau sedang apa?” tanya Javier sambil menyandarkan tubuhnya pada pintu kaca yang menghubungkan ruang tamu dengan halaman belakang.Freya menoleh, senyuman lembut menghiasi wajahnya. “Memetik b
Hari-hari berlalu dengan cepat, tapi satu hal selalu sama, setiap kali Dylan dan Felix pulang dari pertemuan mereka dengan Morgan, keduanya terlihat kelelahan. Javier sudah mulai terbiasa melihat wajah letih kedua putranya, meski rasa penasarannya terus mengganggu. Setiap kali ia bertanya apa yang mereka lakukan, jawaban mereka selalu singkat, "Bermain dengan Kakek."Namun sore itu berbeda. Wajah Dylan terlihat memerah seperti habis terbakar matahari, dan kulitnya tampak kasar. Freya yang cemas melihat kondisi anaknya, segera mengambil pelembap dan mengoleskannya ke wajah Dylan dengan lembut.Javier yang berdiri di sudut ruangan sambil memperhatikan, "Permainan apa yang kalian lakukan dengan Kakek sampai seperti ini?" tanyanya dengan nada tegas, tatapannya tajam mengarah pada Dylan.Dylan hanya menunduk, sementara Felix yang biasanya lebih blak-blakan, terlihat ragu-ragu. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Dylan buru-buru menutup mulut saudaranya.Alis Javier terangkat tinggi. "Jad
"Kau yakin hanya pesta biasa saja?" tanya Javier, matanya memandang Freya dengan ragu, seolah memastikan dia tidak salah dengar.Freya mengangguk mantap, senyum lembut tersungging di wajahnya. "Aku tidak terlalu menyukai sesuatu yang berlebihan. Lebih baik kita mengadakan pernikahan yang sederhana. Hanya menghadirkan orang-orang terdekat, tanpa kemewahan yang berlebihan. Bagiku yang penting adalah maknanya, bukan pesta besar yang mencuri perhatian."Javier terdiam sejenak, lalu meraih tangan Freya, menggenggamnya erat. Ia menatap mata wanita itu dengan penuh perhatian. "Jangan khawatir soal biaya. Aku bisa memberikan segalanya untukmu. Aku ingin hari itu menjadi sempurna, sesuatu yang tak akan pernah kita lupakan."Freya tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, seolah meyakinkan pria di depannya. "Bukan soal biaya, Javier. Ini tentang apa yang membuatku bahagia. Aku tidak butuh pesta yang megah untuk merasa istimewa. Yang aku butuhkan hanyalah kamu, dan janji yang kita bangun bersama. It
Seperti yang Javier harapkan, keesokan paginya, bahkan sebelum cahaya matahari menyentuh cakrawala, suara mesin mobil terdengar memasuki halaman rumah. Javier yang sudah menunggu sejak semalam turun dari lantai dua ke ruang tamu.Saat pintu mobil terbuka, dua pria dengan tubuh tegap keluar, masing-masing menggendong Dylan dan Felix yang tertidur pulas di pelukan mereka. Bocah-bocah itu tampak damai, seolah-olah tak terganggu oleh perjalanan panjang yang baru saja mereka lalui.Javier melangkah keluar, matanya menyapu kendaraan dengan hati-hati, berharap menemukan sosok Morgan. Namun yang ia temui hanyalah seorang supir berdiri kaku di sisi pintu mobil.“Dimana bos kalian?” tanya Javier dengan nada datar, meskipun ada sedikit ketegangan yang terselip dalam suaranya.Supir itu menunduk hormat. “Tuan mempercayakan kami sepenuhnya untuk mengantar putra Anda kembali dengan selamat. Jika tidak ada yang lain, kami permisi.”Tanpa menunggu jawaban, kedua pria yang menggendong Dylan dan Felix
Keduanya menuju mobil terparkir, niat Javier ingin mengajak Freya ke butik hari ini berakhir di tunda. Mereka pulang, perjalanan dari pantai yang Freya kunjungi dari rumah sangat jauh dan mereka tiba di rumah saat langit sudah gelap. Tapi, rumah dalam keadaan sepi. Biasanya saat jam seperti ini, Dylan dan Felix sangat ribut sehingga rumah sepi seperti ini cukup membuat Freya curiga apa yang dilakukan oleh mereka. "Aku akan lihat mereka di kamar," kata Freya. Ketika Freya menghilang menuju lantai atas, Javier menerima panggilan telepon yang datang tiba-tiba. Ia menjawab dengan santai, “Halo?” Suara berat di ujung telepon langsung terdengar tanpa basa-basi. “Aku akan mengembalikan kedua putramu besok.” Belum sempat Javier menjawab, panggilan itu langsung terputus. Ia menatap layar ponselnya yang kembali gelap, lalu mendesah panjang, memijat pelipisnya perlahan. Sementara itu Freya membuka kamar putranya, tapi kosong. Perasaannya mendadak cemas, dengan langkah tergesa-gesa ia kembal
Beberapa hari kemudian, setelah banyak pertimbangan akhirnya Javier dan Freya sepakat untuk menikah sebelum musim dingin tiba. Itu artinya, hanya tersisa kurang dari empat bulan untuk mempersiapkan hari istimewa mereka.Namun, bagi Javier waktu yang singkat itu bukan alasan untuk tergesa-gesa, justru ia ingin memastikan setiap detail sempurna, karena hari itu akan menjadi momen yang mengikat Freya sepenuhnya dalam hidupnya.Pagi itu, tepat pukul sembilan, Javier baru saja keluar dari ruang gym. Tubuhnya masih berkeringat, dan handuk kecil di tangannya ia gunakan untuk menyeka leher dan wajah. Suara dering ponsel memecah kesunyian. Ia melihat layar ponselnya, mendesah pelan, lalu mengangkatnya.Dari ujung telepon, suara berat Morgan terdengar penuh dengan kemarahan yang ia coba tahan.“Kau menguji kesabaranku, Javier!”Javier hanya menyeringai tipis sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding. Ia tidak tampak terintimidasi sedikit pun. “Aku tidak pernah berjanji apapun padamu,” jawabnya da