Lanjut gak nih? Btw komennya mulai sepi lagi :P Kalo rame aku tambah 1 bab lagi deh
Jantung Freya berpacu tak beraturan, setiap detiknya terasa seperti ancaman ketika ia melihat Viona berdiri di depannya, menggenggam sebuah belati tajam dengan tatapan dingin. Perlahan, Freya membuka matanya, melihat Viona tersenyum penuh kemenangan. "Akhirnya kau takut juga," sindir Viona, nadanya mengejek karena teriakan Freya barusan. Siapa pun akan takut jika berada di posisi Freya, menghadapi seorang wanita yang tega menyakiti tanpa ampun. Freya menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian, tapi pikirannya terus dihantui bayangan Viona yang siap menyayatnya. “Viona… kumohon, hentikan semua ini,” suara Freya terdengar serak, nada pintanya teredam oleh ketegangan. Namun permohonannya hanya memancing tawa dari Viona. “Melepaskanmu? Tentu saja. Tapi setelah aku puas bermain-main denganmu,” katanya bernada sinis. Freya memejamkan mata, menahan napas saat ujung belati itu menyentuh pipinya, dingin dan tajam. Hanya dengan sedikit tekanan, kulitnya bisa terkoyak. Ia gemetar, bukan
Tubuh Freya kini pasti dipenuhi oleh memar, ia tak lagi mampu berdiri, hanya bisa terbaring lemah di lantai dingin, berusaha mempertahankan kesadarannya yang terus menghilang. Freya hanya berusaha tetap bertahan meski tubuhnya sudah diambang rasa sakit yang luar biasa. Pandangannya kabur saat ia mencoba merangkak ke arah pintu, namun baru beberapa langkah, kegelapan menyelimutinya, dan dunianya membeku.Saat kesadarannya kembali, Freya tersentak. Viona berdiri di atasnya, seember air dingin baru saja mengguyur wajahnya. Ia tersentak, batinnya masih diguncang ketakutan dan tubuhnya gemetar. Di hadapan Freya, wajah Viona mengerikan dalam senyuman yang penuh ejekan.“Kemana perginya keberanianmu tadi, Freya?” Viona mendesis, sorot matanya puas melihat Freya yang tak lagi mampu melawan.Freya sudah tidak tau lagi cara menghadapi Viona dengan cara apa, tapi tindakan yang Viona lakukan padanya sudah keterlaluan. Rasa lapar yang Freya rasakan seolah hilang digantikan rasa sakit di sekujur tu
Beberapa jam telah berlalu sejak ia ditemukan, dan akhirnya Freya perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa seperti dihantam batu, perih dan memar menghiasi kulitnya. Sekarang, setidaknya ia berada di rumah sakit. Ruangan itu sepi, tanpa siapa pun di sana. Kemana Javier? Mungkinkah ia sedang menjaga anak-anak.Sakit masih mendera, jadi Freya tetap diam, mengumpulkan kekuatan. Lalu, suara pintu yang terbuka membuyarkan lamunannya, dan Javier muncul membawa senyum hangat."Hai, kau sudah bangun," ucapnya lembut, lalu meletakkan tas kecil di meja sebelum mendekat. “Apa kau lapar?”Freya hanya mengerjap, menatap segelas air di meja dengan tenggorokan yang terasa kering. Javier mengerti, ia membantu Freya duduk kemudian menyodorkan segelas air. Freya menyesapnya perlahan, rasa segar mengalir ke tenggorokannya. Ketika ia selesai, Freya mengalihkan pandangannya ke Javier.“Bagaimana keadaan Dylan dan Felix?” tanyanya lirih.“Mereka baik-baik saja. Aku sempat menemui mereka sebelum ke sini,” j
Dua hari berlalu sejak Freya dirawat di rumah sakit. Setiap harinya, Javier selalu menemani, meski terkadang ia larut dalam pekerjaan sambil menatap layar MacBooknya dengan fokus setelah memastikan Freya tidur nyenyak.Terkadang Freya hanya pura-pura tidur, untuk bisa melihat apa yang Javier lakukan ketika ia memejamkan mata. Dan ternyata, Javier memanfaatkan waktunya untuk tetap bekerja. Wajahnya yang fokus, menegaskan kewibawaannya sebagai seorang pemimpin.Tidak heran mengapa Javier begitu disegani sekaligus ditakuti oleh sebagian orang, itu karena karakternya yang tidak bisa ditebak oleh orang lain. Salah satunya adalah, Javier hanya akan menunjukkan kepeduliannya pada orang-orang yang menurutnya berarti baginya.“Kalau dia terus seperti ini, mungkin aku benar-benar akan terjebak dalam pesonanya,” batin Freya, menahan senyum tipis.Javier tak hanya menjaga Freya dengan perhatian yang belum pernah dirasakannya sebelumnya, namun juga selalu memastikan segalanya nyaman baginya. Perta
Di sebuah ruangan kosong, terdengar suara teriakan dari dalamnya. Satu-satunya orang yang berteriak untuk dibebaskan, di dalam ruangan yang tertutup, Viona menggedor gedor pintu berharap ada yang membukanya.Tapi, tidak satu orang pun yang menyahut. Sementara, di dalam ruangan itu tak ada celah untuk bisa kabur. Hanya ruang ventilasi udara yang sangat kecil, jadi mustahil kalau ia kabur melalui tempat itu."Keluarkan aku dari sini!" teriak Viona.Untuk kesekian kalinya, tak ada yang menyahut, hanya ada keheningan sehingga Viona mulai frustasi. Mengacak rambutnya tidak bisa tenang, karena ia tidak tau siapa yang menguncinya di dalam ruangan ini.Setelah beberapa saat, terdengar suara kunci yang digunakan untuk membuka pintu, buru-buru Viona menerobos tapi seorang wanita tidak dia kenal tiba-tiba saja menendang bagian perutnya hingga tersungkur."Sialan, siapa kau!" umpatnya.Tapi wanita asing itu mendekat, tanpa ragu menampar wajah Viona hingga suara tamparan itu menggema di dalam ruan
Tak ada jalan untuk kabur. Viona merasakan jantungnya berdebar panik. Eben telah tertangkap, dan entah apa yang sedang direncanakan Javier. Dengan kesal, ia menghampiri Eben, mendorong pria itu hingga wajahnya yang terluka terlihat jelas di bawah cahaya lampu yang redup.“Kenapa kau malah di sini?! Seharusnya kau berusaha membebaskanku, bukan ikut tertangkap!” desisnya tajam."Aku juga tidak mengharapkan hal ini terjadi padaku, Sialan." Eben mendengus kesal, menahan sakit sambil perlahan mencoba duduk. “Jangan salahkan aku. Semua ini terjadi karena rencana gilamu menculik Freya. Sekarang Javier hilang kesabaran. Kita tak punya kesempatan untuk melarikan diri.”Viona mengusap wajahnya frustrasi, tatapannya penuh kebencian. “Freya pasti tertawa puas, tahu kita tertangkap,” gumamnya, matanya menyipit penuh dendam.Di sisi lain, Freya bahkan tidak tahu bahwa Javier adalah orang yang memerintahkan pria bertopeng untuk membawa Viona sebelum tertangkap oleh polisi. Hingga saat ini, Freya sen
Keesokan harinya, Javier menerima laporan akhir dari tangan kanan kepercayaannya. Bukti penculikan dan kejahatan lainnya yang melibatkan Viona dan Eben kini sudah lengkap di tangannya. Dengan bukti itu, Javier bisa menyerahkannya pada pihak kepolisian kapan saja.Tapi, Javier masih memikirkan konsekuensi yang akan ia terima di kemudian hari. Karena Eben dan Viona tidak mungkin di penjara seumur hidup dengan kesalahan yang mereka perbuat, kemungkinan penjara paling lama adalah lima belas tahun.Lalu, setelah lima belas tahun itu ada kemungkinan mereka akan balas dendam lagi atas apa yang sudah dialami. Di sisi lain, Javier tidak mungkin membunuh mereka."Siapa saja yang ada di belakang Eben?" tanya Javier, mencoba menelisik lebih dalam."Saudaranya seorang Dokter, dan orang tuanya adalah pengedar senjata ilegal yang kini sedang mendekam di penjara kurang lebih dua tahun." lapor orang kepercayaannya.Javier tercenung, menatap catatan riwayat keluarga Eben dengan ekspresi terkejut. Duluny
Setelah memastikan Viona dan Eben berada di tempat yang aman dan dipastikan tidak bisa kabur, hati Javier merasa jauh lebih tenang. Sekarang, dia kembali ke rumah pribadinya menggunakan helikopter.Saat ini, langit sudah gelap dan mungkin saja anak-anak dan Freya sudah tidur. Sesampainya di halaman belakang, baling-baling helikopter berputar menghentak udara, mengisi keheningan malam.Tiba-tiba, suara ceria menyambutnya dari balkon."Ayah!"Javier menoleh dan melihat Dylan serta Felix melambaikan tangan penuh semangat dari balkon lantai dua. Senyum lebar merekah di wajahnya, kehangatan membanjiri dadanya saat melihat kedua putranya. Dia bergegas memasuki rumah, meski waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.Felix berlari ke arahnya, berniat memeluknya, namun Javier segera memberi isyarat. “Jangan dekat dulu, Ayah kotor. Tunggu sebentar, Ayah bersih-bersih dulu.”Felix pun langsung berhenti, sementara itu pandangan Javier sekilas melihat Freya. Wanita itu cuman menatapnya tanpa ekpr
Pesta pernikahan itu berlangsung singkat, tetapi meninggalkan jejak kenangan manis yang mendalam. Semuanya terasa seperti mimpi yang indah, mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan setelah perjalanan panjang yang telah mereka lalui bersama.Kini, Freya dan Javier resmi menjadi suami istri, sebuah status yang melambangkan cinta mereka yang akhirnya menemukan tempatnya.Beberapa hari telah berlalu sejak hari pernikahan. Pagi itu, Freya melangkah keluar dari kamar menuju ruang tamu dengan langkah ringan. Namun, pandangannya segera terpaku pada sesuatu yang baru di dinding. Sebuah foto pernikahan mereka, berukuran besar dan menonjol, tergantung megah di tengah ruangan. Cahaya pagi yang lembut menyinari bingkai foto itu, mempertegas keindahan momen yang diabadikan di sana.Freya terkejut sekaligus terpesona. Foto itu begitu besar, hampir setinggi tubuhnya, memancarkan aura kebahagiaan dari senyuman mereka di hari spesial tersebut. Sebelum ia bisa berkata apa-apa, langkah Javier terdengar mend
Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Udara pagi itu terasa segar, namun bagi Javier, udara seolah dipenuhi dengan ketegangan yang manis. Berdiri di ruang gantinya, ia merapikan tuksedo putih bersih yang melekat sempurna di tubuhnya. Setiap detail tampak serasi, memberikan kesan bahwa ia adalah pria yang siap memulai kembali kehidupan baru dalam hidupnya, sebagai suami dari wanita yang ia cintai.Javier menatap cermin di depannya, memperhatikan bayangan dirinya. Ada sedikit senyum puas di wajahnya, namun tatapannya segera berubah lembut ketika ia membayangkan sosok Freya."Aku ingin melihat seperti apa dia sekarang," gumamnya pelan.Namun, ketika ia berbalik untuk pergi, langkahnya di hadang oleh David yang tiba-tiba muncul di pintu."Hei, hei! Kau mau kemana, Dude?" David bertanya dengan nada menggoda, tangannya terangkat seolah ingin menghentikan langkah Javier."Bertemu istriku," jawab Javier tanpa ragu, alisnya sedikit terangkat.David tertawa kecil, melipat tangannya di dada. "Di
Malam itu, suasana rumah Javier berubah menjadi hidup ketika suara deru mobil terdengar berhenti di halaman. Beberapa saat kemudian, riuh celotehan anak-anak mengisi udara. Dylan dan Felix melompat keluar dari mobil, berlari ke arah Freya dengan semangat yang nyaris meledak-ledak. Mereka berlomba-lomba untuk menceritakan petualangan mereka selama di luar rumah, wajah mereka berseri-seri seperti dua matahari kecil yang membawa keceriaan.Javier yang duduk di ruang tamu menoleh sejenak. Senyumnya tipis, cukup hangat untuk menandakan kebahagiaannya melihat anak-anak begitu bersemangat. Tapi pandangannya segera tertuju ke arah pintu mobil yang masih terbuka. Dari sana, Morgan muncul, langkahnya mantap namun terlihat lelah. Javier meletakkan ponselnya di meja, bangkit dan berjalan menghampirinya."Biasanya anak buahmu yang mengantar mereka pulang," ucap Javier, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.Morgan hanya menatap Javier sekilas, tidak langsung merespons. Ia menyerahkan dua tas milik D
Langkah Javier terdengar ringan ketika memasuki rumah, senyuman tak henti-hentinya menghiasi wajahnya. Di tangannya ada sebuah kotak beludru hitam, kecil namun begitu berharga, isinya adalah cincin pernikahan yang telah ia pesan. Pandangannya menyapu ruangan sesaat, mencari sosok yang sudah memenuhi setiap sudut hidupnya dengan kehangatan.Ia menemukannya di halaman belakang, wanita cantik dengan perut yang mulai membesar itu sedang memetik buah plum dari pohon. Freya terlihat begitu damai dalam kesederhanaannya, meskipun tubuhnya tengah mengandung keajaiban kecil yang sebentar lagi akan hadir di dunia.Javier berjalan perlahan ke arahnya, menikmati setiap detik pemandangan ini. Ada kebahagiaan sederhana yang terpancar dari Freya, meskipun dia tampak sibuk dengan keranjang buah di tangannya.“Hai, kau sedang apa?” tanya Javier sambil menyandarkan tubuhnya pada pintu kaca yang menghubungkan ruang tamu dengan halaman belakang.Freya menoleh, senyuman lembut menghiasi wajahnya. “Memetik b
Hari-hari berlalu dengan cepat, tapi satu hal selalu sama, setiap kali Dylan dan Felix pulang dari pertemuan mereka dengan Morgan, keduanya terlihat kelelahan. Javier sudah mulai terbiasa melihat wajah letih kedua putranya, meski rasa penasarannya terus mengganggu. Setiap kali ia bertanya apa yang mereka lakukan, jawaban mereka selalu singkat, "Bermain dengan Kakek."Namun sore itu berbeda. Wajah Dylan terlihat memerah seperti habis terbakar matahari, dan kulitnya tampak kasar. Freya yang cemas melihat kondisi anaknya, segera mengambil pelembap dan mengoleskannya ke wajah Dylan dengan lembut.Javier yang berdiri di sudut ruangan sambil memperhatikan, "Permainan apa yang kalian lakukan dengan Kakek sampai seperti ini?" tanyanya dengan nada tegas, tatapannya tajam mengarah pada Dylan.Dylan hanya menunduk, sementara Felix yang biasanya lebih blak-blakan, terlihat ragu-ragu. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Dylan buru-buru menutup mulut saudaranya.Alis Javier terangkat tinggi. "Jad
"Kau yakin hanya pesta biasa saja?" tanya Javier, matanya memandang Freya dengan ragu, seolah memastikan dia tidak salah dengar.Freya mengangguk mantap, senyum lembut tersungging di wajahnya. "Aku tidak terlalu menyukai sesuatu yang berlebihan. Lebih baik kita mengadakan pernikahan yang sederhana. Hanya menghadirkan orang-orang terdekat, tanpa kemewahan yang berlebihan. Bagiku yang penting adalah maknanya, bukan pesta besar yang mencuri perhatian."Javier terdiam sejenak, lalu meraih tangan Freya, menggenggamnya erat. Ia menatap mata wanita itu dengan penuh perhatian. "Jangan khawatir soal biaya. Aku bisa memberikan segalanya untukmu. Aku ingin hari itu menjadi sempurna, sesuatu yang tak akan pernah kita lupakan."Freya tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, seolah meyakinkan pria di depannya. "Bukan soal biaya, Javier. Ini tentang apa yang membuatku bahagia. Aku tidak butuh pesta yang megah untuk merasa istimewa. Yang aku butuhkan hanyalah kamu, dan janji yang kita bangun bersama. It
Seperti yang Javier harapkan, keesokan paginya, bahkan sebelum cahaya matahari menyentuh cakrawala, suara mesin mobil terdengar memasuki halaman rumah. Javier yang sudah menunggu sejak semalam turun dari lantai dua ke ruang tamu.Saat pintu mobil terbuka, dua pria dengan tubuh tegap keluar, masing-masing menggendong Dylan dan Felix yang tertidur pulas di pelukan mereka. Bocah-bocah itu tampak damai, seolah-olah tak terganggu oleh perjalanan panjang yang baru saja mereka lalui.Javier melangkah keluar, matanya menyapu kendaraan dengan hati-hati, berharap menemukan sosok Morgan. Namun yang ia temui hanyalah seorang supir berdiri kaku di sisi pintu mobil.“Dimana bos kalian?” tanya Javier dengan nada datar, meskipun ada sedikit ketegangan yang terselip dalam suaranya.Supir itu menunduk hormat. “Tuan mempercayakan kami sepenuhnya untuk mengantar putra Anda kembali dengan selamat. Jika tidak ada yang lain, kami permisi.”Tanpa menunggu jawaban, kedua pria yang menggendong Dylan dan Felix
Keduanya menuju mobil terparkir, niat Javier ingin mengajak Freya ke butik hari ini berakhir di tunda. Mereka pulang, perjalanan dari pantai yang Freya kunjungi dari rumah sangat jauh dan mereka tiba di rumah saat langit sudah gelap. Tapi, rumah dalam keadaan sepi. Biasanya saat jam seperti ini, Dylan dan Felix sangat ribut sehingga rumah sepi seperti ini cukup membuat Freya curiga apa yang dilakukan oleh mereka. "Aku akan lihat mereka di kamar," kata Freya. Ketika Freya menghilang menuju lantai atas, Javier menerima panggilan telepon yang datang tiba-tiba. Ia menjawab dengan santai, “Halo?” Suara berat di ujung telepon langsung terdengar tanpa basa-basi. “Aku akan mengembalikan kedua putramu besok.” Belum sempat Javier menjawab, panggilan itu langsung terputus. Ia menatap layar ponselnya yang kembali gelap, lalu mendesah panjang, memijat pelipisnya perlahan. Sementara itu Freya membuka kamar putranya, tapi kosong. Perasaannya mendadak cemas, dengan langkah tergesa-gesa ia kembal
Beberapa hari kemudian, setelah banyak pertimbangan akhirnya Javier dan Freya sepakat untuk menikah sebelum musim dingin tiba. Itu artinya, hanya tersisa kurang dari empat bulan untuk mempersiapkan hari istimewa mereka.Namun, bagi Javier waktu yang singkat itu bukan alasan untuk tergesa-gesa, justru ia ingin memastikan setiap detail sempurna, karena hari itu akan menjadi momen yang mengikat Freya sepenuhnya dalam hidupnya.Pagi itu, tepat pukul sembilan, Javier baru saja keluar dari ruang gym. Tubuhnya masih berkeringat, dan handuk kecil di tangannya ia gunakan untuk menyeka leher dan wajah. Suara dering ponsel memecah kesunyian. Ia melihat layar ponselnya, mendesah pelan, lalu mengangkatnya.Dari ujung telepon, suara berat Morgan terdengar penuh dengan kemarahan yang ia coba tahan.“Kau menguji kesabaranku, Javier!”Javier hanya menyeringai tipis sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding. Ia tidak tampak terintimidasi sedikit pun. “Aku tidak pernah berjanji apapun padamu,” jawabnya da