"Kamu menolakku?"Kasih menggeleng. "Sedari awal hubungan kita itu udah salah. Mau dimulai dari awal juga tetap salah," terang Kasih."Terus kamu maunya kita kayak gini terus, gitu?""Nggak, tetap seperti perjanjian semula. Semua akan berakhir dalam waktu enam bulan. Tidak usah diubah-ubah."Gilang menggeram kesal. Kasih memang keras kepala, sangat sulit untuk dibujuk. Padahal apa susahnya mengiyakan permintaannya, toh mereka juga sama-sama korban dari pasangan mereka."Kamu beneran nggak mau?" tanya Gilang memastikan."Kita udah punya pasangan masing-masing, Gilang. Apa jawaban itu masih perlu aku katakan?""Tapi kamu tahu sendiri kalau suami kamu di luar sana berselingkuh, pun sama halnya dengan istriku."Kasih mengangguk. "Aku memang mengatakan suamiku selingkuh, tapi aku belum menemukan buktinya, aku rasa itu belum cukup. Kalau kamu? Apa udah punya bukti kalau istri kamu selingkuh?" tanya Kasih, wanita itu menatap tajam ke arah Gilang."Kalau selingkuh nggak perlu pakai bukti juga
"Kamu gendutan sekarang, ya," celetuk Diana."Masa sih, perasaan kamu aja kali," elak Kasih."Iya, pipi kamu tambah bulet. Pasti si Gilang kasih vitamin terus ke kamu ya?" ledek Diana."Ya gitu deh. Heran aku sama dia, setiap kami habis berhubungan pasti dia selalu kasih aku obat, nggak tahu obat apa. Katanya sih buat pencegah kehamilan." Kasih membenarkan ucapan Diana. "Tapi anehnya obat itu bisa diminum kalau kami nggak lagi berhubungan, intinya obat itu diminum setiap hari, gitu."Diana mengerutkan keningnya. "Ada ya obat kayak gitu?""Ya nggak tahu juga. Aku sih nurut-nurut aja. Selagi aku aman, kan?"Diana manggut-manggut, dia seperti tengah berpikir sesuatu."Tapi kayaknya ada yang aneh deh. Kalau boleh tahu ciri-ciri obatnya seperti apa? Dia bulat kecil, atau lonjong, atau gimana?"Kasih terdiam sejenak, dia mencoba mengingat-ingat. "Nggak perhatiin obatnya sih. Tahunya langsung minum, tapi ada yang kecil, ada yang besar, ada juga yang lonjong. Intinya jumlah obat itu ada 3, da
"Tadi kamu mau bilang mau datang ke acara pernikahan. Pernikahan siapa?" tanya Gilang.Saat ini mereka tengah dalam perjalanan pulang, Gilang menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang, tangan satunya dia memegang setir, dan satunya lagi dia memegang tangan Kasih."Temanku mau nikah," jawab Kasih."Teman yang mana?""Yang tadi ngobrol sama aku, masa kamu lupa.""Oh, yang itu," ujar pria itu sambil manggut-manggut. "Emangnya dia masih lajang? Aku kira udah nikah, mukanya udah tua gitu."Kasih tergelak pelan. "Dia udah pernah nikah, tapi ditinggal sama suaminya, nggak tahu ke mana.""Oh, jadi janda toh. Pantes tua banget mukanya," cibirnya lagi.Lagi-lagi Kasih tertawa. "Nggak boleh ngejek kayak gitu, jatuh cinta baru tahu rasa.""Aku jatuh cinta sama dia? Ih amit-amit, seleraku masih tinggi ya, nggak rendahan," kata Gilang sambil bergidik ngeri. "Terus besok kamu datang?" tanya pria itu memastikan."Datang dong, masa teman sendiri nggak datang, aku diundang loh ya, dia ngasih sendiri un
"Kamu kenapa sih, dari tadi kenapa diemin aku terus, apa aku ada salah?"Kasih terus diam. Tidak mungkin, kan, kalau dia harus mengatakan jika dirinya tidak suka Gilang memanggil istrinya dengan cara seperti itu? Lagian hal itu sah-sah saja dalam hubungan suami-istri, lantas mengapa Kasih begitu kesal? Cemburukah dirinya?"Kasih," panggil Gilang, pria itu tengah membujuk wanita itu."Apa," sahut Kasih ketus."Kamu kenapa? Apa aku ada salah ngomong sama kamu tadi?" tanya pria itu hati-hati."Nggak ada!" Kali ini suara Kasih tambah ketus."Terus kenapa marah?""Satenya nggak enak," elaknya.Gilang melirik bungkusan plastik bekas sate itu, dia mengerutkan keningnya heran. Sate itu sudah Kasih makan separo."Beneran nggak enak?" tanya pria itu sekali lagi."Iya!""Terus kenapa satenya tinggal dikit? Kalau nggak enak, kan, nggak usah dimakan.""Aku laper."Gilang mengangguk paham, alasan itu masih bisa diterima di indera pendengarannya."Terus kamu pengin makan apa?""Aku mau pulang, lagi
"Besok kamu jadi pergi?" tanya Gilang yang saat ini tengah memeluk Kasih dari belakang."He'em," jawab wanita itu singkat."Beneran nih aku nggak boleh ikut?""Kamu ngapain ikut?""Buat jagain kamu lah, masa nggak boleh sih.""Nggak boleh, Gilang. Katanya kamu juga mau ke luar kota, ada proyek yang harus kamu kerjakan. Gimana sih.""Itu mah gampang, bisa diatur. Seriusan ini loh, boleh nggak kalau aku ikut?""Nggak boleh!" jawab Kasih tegas.Gilang semakin mengeratkan pelukannya, mencium pundak wanita itu berkali-kali."Beneran nggak boleh.""Iya."Gilang mendesah berat. Sejujurnya dia tidak rela membiarkan Kasih pergi sendiri, apalagi wanita itu pergi dalam waktu satu Minggu. Pasti dia akan kangen berat."Kenapa harus datang sih," keluh pria itu."Dia, kan, teman aku. Jadi aku wajib datang. Kamu kenapa sih, kok tumben jadi manja gini?" tanya Kasih dengan alis berkerut."Nanti kalau aku kangen gimana? Nanti kalau Jerry aku kepengin gimana? Kamu nggak kasihan?""Jerry? Siapa?" tanya Ka
Beberapa kali Kasih mencoba menghubungi nomor Gilang, sayangnya pria itu sama sekali tidak mengangkat panggilannya."Dia ke mana sih? Tumben banget hari ini nggak ada nelpon aku, biasanya jam segini udah ada 10 kali nelpon. Ini kok nggak ada. Apa jangan-jangan dia cari teman tidur baru?" gumam Kasih menduga-duga."Kasih, apa kamu masih lama? Taxinya dari tadi udah nunggu nih," ucap Diana sambil menggedor-gedor pintu toilet itu dengan sedikit keras.Kasih menghela napas panjang, dia segera menghapus air matanya supaya tidak ketahuan Diana jika dia habis menangis."Iya, bentar dulu. Tiba-tiba aja aku sakit perut. Bentar lagi selesai kok," jawab Kasih."Ya udah, aku tunggu di tempat tadi ya.""Iya."Kasih mendengar suara langkah kaki itu menjauh, membuat wanita itu menghela napas lega. Ia cepat-cepat mencuci wajahnya, memakai riasan tipis untuk menutupi wajah habis menangisnya itu."Lama banget keluarnya. Apa masih sakit perut?" tanya Diana ketika melihat kedatangan Kasih. "Kopermu sudah
"Kasih, kamu seriusan tadi ngomong gitu?" tanya Diana.Kasih melirik temannya itu dengan sinis. "Emangnya kenapa? Ada yang salah?""Ya nggak tahu sih. Aku, kan, nggak tahu kalian ada masalah apa, tapi dengan kamu ngomong kayak gitu, itu sama aja kalau kamu ... halah, sudahlah, tuh dari tadi ponsel kamu bunyi terus. Diangkat kenapa," gerutu Diana."Ish! Nggak mau, dia itu nyebelin banget. Giliran ada maunya aja hubungi aku."Diana mengedikkan bahunya acuh. "Terserah kamu aja deh, aku mau ke kamar aku dulu ya, nanti kalau butuh apa-apa tinggal panggil aku. Eh, telepon aku aja, kamu kan malu kalau keluar kamar.""Oke deh, ingat ya, jangan ngewe dulu, nanti kena azab loh karena bercinta mendekati pernikahan," peringat Kasih.Diana tergelak mendengarnya. "Bahasamu masih belepotan, Kasih. Lagian kalau dipikir-pikir mana mungkin bercinta di saat lagi ada banyak orang di sini. Nah, kecuali kalau semi-semi baru bisa dipikirkan."Kasih mendelik kesal. "Udahlah, sana pergi aja. Mesum aja kamu tu
"Habis ketemu sama Rio kenapa kamu banyak melamun gitu? Pasti terpesona sama dia ya? Aku bilang juga apa," cibir Diana.Kasih diam saja, dia masih memikirkan kejadian tadi. Dia tidak salah lihat, wanita tadi itu benar-benar istri Gilang.Bahkan Kasih juga sempat mengikuti kedua sejoli itu sampai masuk ke kamar hotel. Jelas saja di situ pikiran Kasih mulai ke mana-mana.Kasih terus menggelengkan kepalanya ketika menyadari pikirannya yang terlalu jauh.'Astaga! Mikir apa sih kamu, Kasih. Kamu itu nggak ada jauh bedanya sama dia,' batin wanita itu."Kasih!" sentak Diana.Kasih terlonjak, dia mengelus dadanya karena kaget, Diana memanggilnya cukup keras."Apa sih, kamu ini selalu aja kalau ngomong selalu ngegas," decak wanita itu."Jelas aja aku ngegas, orang kamunya diajak ngobrol malah melamun, kesambet baru tahu rasa," cibir Diana. "Sampai segitunya ya karena terpesona sama si Rio," ejeknya lagi.Kasih mengerutkan keningnya. Terpesona? Hah! Memikirkannya saja tidak pernah."Kamu ngomon
Tidak ada yang paling membahagiakan menurut Gilang selain menikah dengan orang yang dia cintai.Wanita yang selama ini dia tunggu-tunggu kehadirannya akhirnya sudah berada digenggamannya untuk selamanya.Kebahagiaan Gilang terasa sangat lengkap karena kedua anak yang lahir dari perut Kasih, wanita yang dicintainya.Ya, bukankah pria itu dari dulu sangat menginginkan hal itu? Mungkin dulunya Kasih menganggap jika omongan Gilang hanya candaan belaka, tapi tidak menurut Gilang, pria itu benar-benar sangat serius mengatakannya.Dulu, hubungan mereka sangatlah salah, tidak pantas ditiru untuk siapapun. Sebatas partner di atas ranjang, karena dia begitu kesepian, dan dia memanfaatkan Kasih karena wanita itu sangat membutuhkan bantuan.Gilang menggeleng seraya tersenyum kecil ketika mengingat awal pertemuan mereka yang menurut pria itu sangat berkesan."Ngapain senyum-senyum sendiri? Hayo, pasti lagi mikirin sesuatu," celetuk Kasih. Wanita itu menatap suaminya penuh curiga."Iya nih, tahu aj
"Selamat ya, akhirnya hari-hari yang kalian tunggu tiba juga," celetuk Fandi seraya menyalami Gilang."Makasih, Bro. Kalau bukan karena kamu, pasti hari ini nggak akan terjadi," ucap Gilang dengan suara tulus.Fandi tertawa kecil. "Habisnya aku greget banget sama hubungan kalian berdua. Sama-sama mau tapi gengsinya gede banget. Wanita itu memang harus digertak, kalau nggak digituin nanti malah teus mengulur waktu. Dan ya ... rencanaku berhasil, kan. Pada dasarnya itu Kasih cinta sama kamu, terlihat begitu jelas dengan tatapan matanya. Cuma ya seperti tadi yang aku bilang, gengsinya wanita itu besar. Yang dia mau lelaki harus berusaha sekuat mungkin berjuang buat meyakinkan dia, kalau sudah dirasa cukup barulah dia nerima kamu. Pikiran wanita itu gampang ditebak," celoteh Fandi panjang lebar."Ya, ya, ya. Terserah kamu bilang apa, intinya aku berterima kasih karena pada akhirnya kami sudah menikah, itu semua berkat kamu."Fandi menepuk pundak Gilang dengan pelan. "Sama-sama, tapi aku y
"Apa kamu menyesal karena sudah melakukan kesalahan fatal, Dina?" tanya Bima sinis.Wanita itu tak berani menatap calon suaminya itu, dia benar-benar begitu malu.Karena melihat Dina diam saja, Bima pun duduk di hadapan wanita itu, pria itu menghela napas berat."Sejujurnya aku nggak mau lihat kamu seperti ini, tapi ... kamu memang pantas dihukum seperti ini, karena kesalahanmu itu. Apa sampai saat ini kamu belum menyadari kesalahanmu itu? Apa sampai saat ini kamu masih menyalahkan aku dan Kasih karena kami dekat? Dan masih benci dengan Bastian yang jelas-jelas anak itu tidak memiliki kesalahan apapun? Apa kamu masih mempertahankan egomu itu, Dina?" tanya Bima secara beruntun.Tak lama setelah itu, terdengar suara isak tangis dari wanita itu. Sejujurnya Bima tak tega mendengarnya, ingin sekali memeluk wanita itu, tapi mati-matian ia tahan, dia ingin kalau Dina menyadari kesalahannya."Aku ... aku sangat menyesal, Mas. Aku menyesal. Seandainya saja waktu bisa diputar kembali, aku nggak
Gilang tersenyum puas karena pada akhirnya Tiara sudah masuk ke dalam penjara. Untuk sebagai bukti yang akan dia tujukan pada calon istrinya itu, Kasih, jadi dia mengambil foto Tiara ketika sedang di dalam penjara."Gimana? Enak, kan, rasanya hidup di sini. Makan gratis, nggak ngapa-ngapain lagi, harusnya kamu berterima kasih sama aku," kata pria itu dengan bangga.Tiara menggerakkan giginya. Rasa amarah dan juga malu menjadi satu.Niatnya ingin memiliki pria itu, malah berakhir seperti ini. Sungguh mengenaskan."Saya mohon, Pak. Tolong bebaskan saya dari sini," mohon wanita itu."Gimana? Kamu minta untuk dibebaskan? Bukannya di sini tempatnya sungguh nyaman?" Lagi-lagi Gilang mengejek wanita itu."Saya tidak mau tinggal di sini, Pak. Tolong keluarkan saya dari penjara ini, Pak. Saya janji akan menuruti semua perintah Anda kalau Anda mau mengeluarkan saya dari sini." Lagi-lagi Tiara memohon ampun.Wanita itu sangat menyesal karena sudah masuk ke dalam kehidupan pria itu. Sungguh, keja
"Aku sudah menuruti semua keinginanmu, sekarang giliran aku menagih janjimu.""Janji? Emangnya aku punya janji sama kamu?" tanya Kasih heran."Oh, jadi kamu mau melupakan hal itu?""Aku serius!" bantah Kasih."Bukankah kamu yang bilang sendiri kalau aku sudah berhasil memecahkan kasus siapa yang menabrak Bastian, kamu mau menikah denganku? Apa kamu mencoba untuk ingkar janji?" tanya Gilang dengan sorot mata tajam."Oh, yang itu. Aku kira apaan. Masih ada satu lagi yang belum kamu selesaikan.""Mencoba cari alasan lagi?"Kasih menggeleng. "Aku sama sekali nggak cari alasan," bantah wanita itu dengan mata melotot."Ya sudah, katakan saja. Aku harap ini yang terakhir kalinya kamu mencari alasan. Setelah itu, tidak ada lagi yang namanya ngeles, kamu harus menikah denganku secepatnya.""Kenapa harus terburu-buru?" tanya Kasih dengan senyum remeh."Serius kamu bertanya seperti itu? Baiklah, aku akan menjawabnya dengan sejujur-jujurnya. Apa lagi kalau tidak merindukan tubuhmu. Tubuhmu itu ca
"Untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Kasih heran. Bima menghela napas berat, dia melirik ke arah Gilang yang saat ini tengah duduk anteng di dekat Kasih. Tatapan mereka berdua bertemu, Bima memberi kode pada Gilang agar pria itu pergi dari situ, karena Bima ingin berbicara berdua saja dengan Kasih. Sayangnya yang diberi kode sama sekali tak mengerti, lebih tepatnya Gilang pura-pura tidak tahu apa maksud Bima, pria itu malah melengos. "Bim?" panggil Kasih heran karena melihat pria itu tampak diam saja. "Tadi katanya mau ngomong, kok malah diam aja?" "Bisakah hanya kita berdua saja di sini, nggak lama kok," pinta Bima. Gilang mendelik kesal ketika mendengar Bima berbicara seperti itu. Tidak cukup jelaskah kalau tadi Gilang menolak usiran dari pria itu melalui tatapannya? Lantas kenapa harus diperjelas lagi? "Kalian ngobrol aja, anggap aja aku nggak ada di sini. Aku nggak bakalan dengar pembicaraan kalian berdua kok," kata Gilang dengan suara tenang. "Gilang, biarkan kami berdua
"Mas aku beneran minta maaf, Mas. Tolong maafin aku, Mas. Please," mohon Dina."Kamu itu salah, Din. Salah besar! Apa pantas aku maafin kamu?" tanya pria itu sinis."Aku benar-benar khilaf, Mas. Aku minta maaf, Mas. Aku harus gimana supaya kamu mau maafin aku?"Bima terus menggeleng. "Aku benar-benar masih nggak nyangka aja, Din. Wanita yang selama ini aku anggap baik, nyatanya aku salah kira. Di depanku aja kamu terlihat begitu baik, tapi di belakangku ... hatimu begitu busuk," desis pria itu."Aku akui kalau aku ini salah, Mas. Aku ini cemburu melihat kedekatan kalian, Mas," kata Dina jujur."Aku selalu meluangkan waktu untukmu, Din. Bahkan aku menemui Kasih dan Bastian itu termasuk jarang, itu semua aku lakukan demi menjaga hati kamu. Tapi apa? Kamu malah egois!" tandas pria itu."Aku nggak egois, Mas. Aku hanya ingin mempertahankan hubungan kita!" kata Dina tak terima.Bima yang melihat sikap arogan Dina pun tertawa sinis."Kamu itu ya, udah tahu salah bukannya minta maaf tapi mal
"Iya bentar!" Bima terlihat begitu kesal karena sedari tadi ada yang mengetuk pintu rumahnya dengan sangat kencang.Pria itu berjalan menuju ke arah pintu dengan terburu-buru, setelah itu dia pun membuka pintu, matanya terbelalak ketika melihat siapa yang datang ke rumahnya."Selamat siang," sapa pria itu.Bima tak segera menjawab, dia masih kaget dengan kedatangan pria itu."Ehem! Selamat siang," kata pria itu sekali lagi."Siang," jawab Bima kikuk."Apa aku mengganggu waktumu?""Nggak, nggak kok," sahut Bima seraya menggeleng cepat. "Omong-omong ada apa ya datang ke sini, apa ada yang bisa dibantu?""Apa aku tidak dipersilahkan untuk duduk?""Oh, ya, silakan duduk. Tunggu sebentar, aku buatkan minum dulu.""Nggak usah, aku datang ke sini bukan untuk minta minum, tapi ada yang harus aku selesaikan.""Kamu datang ke sini mau cari Kasih? Sorry aja ya, Kasih nggak pernah datang ke sini," jelas Bima, dia mengira kedatangan Gilang ke rumahnya karena ingin mencari wanita itu."Kedatangank
"Kasih!" teriak Diana, wanita itu berlari kecil mendekati sahabatnya. "Selama ini kamu ke mana aja sih, kok nggak pernah ada kabar," lanjut wanita itu seraya memeluk erat tubuh Kasih."Pelan-pelan, Di. Aku sesak napas, kamu meluknya kekencengan," keluh wanita itu."Oh, sorry-sorry." Diana pun langsung melepaskan pelukannya itu. "Ke mana aja sih kamu, kok nggak pernah kasih aku kabar. Udah lupa ya sama aku?"Kasih tertawa kecil. "Kalau udah lupa, nggak mungkin aku ngajak kamu ketemu, Di.""Terus selama ini kamu ke mana?" tanya Diana lagi."Nggak ke mana-mana sih, cuma menenangkan diri aja."Diana mendengkus keras. "Nyatanya dirimu nggak bisa tenang, kan, selain di sini?" cibir wanita itu.Lagi-lagi Kasih menanggapinya dengan tawa. "Kok tahu sih?" "Ya tahu lah, secara, kan, pujaan hatimu ada di sini. Gimana? Udah ketemu belum sama dia? Pasti udah dong ya. Omong-omong, si Manda itu anak kamu sama Gilang, kan? Itu beneran nggak sih, takutnya dia bohongin aku, siapa tahu itu anaknya sama