"Kasih, bisa kamu jelaskan ini maksudnya apa?" tanya pria itu lagi.Kasih menunduk, tak berani menatap pria itu, karena menurutnya Gilang begitu menakutkan."Kenapa diam saja? Ayo jawab!" bentak pria itu lagi."Maaf, Gilang. Sebenarnya tadi aku sudah melarangnya agar tidak usah mengantarku, tapi dia ngotot, takutnya nanti kalau aku tidak memperbolehkannya, dia malah curiga sama aku, makanya aku ... izinkan dia buat ikut," kata Kasih lirih, wanita itu menelan salivanya dengan susah payah.Gilang menyugar rambutnya dengan kasar. "Aku memakluminya, tapi bagaimana sekarang. Apa aku harus membukakan pintu untuknya?"Kasih menggeleng cepat. "Jangan! Nanti yang ada malah dia curiga sama kita," larangnya dengan suara tegas."Terus membiarkan dia berdiam diri seperti itu?""Nanti juga dia capek sendiri, pulang sendiri.""Tapi aku nggak setuju dengan pendapatmu, sebaiknya aku bukakan pintunya," usul Gilang."Jangan! Aku mohon jangan, please." Mata Gilang melotot ketika Kasih loncat dari ranjan
"Jadi kamu selama ini sering menginap di rumah bos kamu?" tanya Dani dengan tatapan tajam.Kasih gelagapan, dia bingung harus menjawab apa. Gilang benar-benar keterlaluan, karena seenaknya saja berbicara seperti itu."Memangnya dia bicara seperti itu?" tanya Kasih balik."Iya, dia bilang kalau kamus sering menginap katanya, karena dia sering lapar tengah malam, benar begitu?""Iya," jawab Kasih singkat."Kok kamu mau sih nginap di sana. Apalagi katanya istrinya jarang di rumah?" tanya Dani dengan raut wajah jengkel.Kasih mengedikkan bahunya acuh. "Namanya juga kerja, apa yang dia suruh ya harus dipatuhi. Kenapa jadinya mas yang nyolot, emangnya ada masalah?""Kamu tahu nggak sih, laki-laki kalau ditinggal istrinya cukup lama, dia itu bisa khilaf."Kali ini Kasih memberanikan diri menatap pria itu."Lalu bagaimana jika suami yang meninggalkan istrinya seorang diri? Apakah di sana dia juga khilaf?" tanya Kasih sinis.Dani mengusap wajahnya dengan kasar. "Kasih, aku sedang menasehati ka
[Untuk beberapa hari ke depan sepertinya kita tidak akan bertemu, karena ada yang harus aku urus, masalah proyek pembangunan hotel yang sempat tertunda, sekaligus aku juga mau menjenguk Yura, dia bilang lagi sakit. Jangan merindukanku.]Kasih membaca pesan itu dengan cermat, tak lama kemudian dia mendesah berat."Padahal ada yang ingin aku tanyakan pada dia, lalu aku harus meminta bantuan pada siapa," keluh wanita itu.Kasih beranjak dari ranjang, kini dia tengah berdiri di depan cermin, mengamati tubuhnya dari cermin itu dengan penuh hati-hati dan juga teliti."Benar juga, kalau dilihat-lihat ada yang berbeda dengan tubuhku, lebih berisi dari pada yang dulu. Kira-kira sudah berapa bulan aku tidak mengecek berat tubuhku ya?" gumam wanita itu lagi.Kasih kembali menuju ranjang, berniat untuk membalas pesan Gilang.[Ada yang ingin aku tanyakan padamu.][Besok saja, kalau masalah sudah selesai. Kamu bebas menanyakannya padaku.]Kasih mencebikkan bibirnya, sedikit kesal karena Gilang tak
"Ternyata kamu setega itu ya sama aku?" tanya Kasih sinis."Sumpah! Aku--"Plak! Lagi-lagi Kasih menampar Dani, wanita itu menatap Dani begitu bengis."Tamparan pertama itu adalah balasan karena selama ini kamu sudah menelantarkan aku, yang kedua karena kamu sudah tega mengkhianatiku, dan ini yang terakhir." Kasih menampar Dani sekali lagi, "itu sebagai rasa sakit hatiku karena sudah dibodohi oleh kamu, mungkin rasa sakit itu tidak ada artinya dibandingkan dengan apa yang kamu lakukan padaku. Kamu benar-benar berengsek!" umpat Kasih.Seumur hidup, baru kali ini Kasih berbicara sekasar itu pada lawan bicaranya, entah dapat keberanian dari mana, dia juga kaget karena suaranya yang tiba-tiba meninggi itu, sulit rasanya untuk dikontrol.Dani melongo karena mendapat perlakuan kasar dari Kasih, dia masih tak percaya jika ternyata wanita itu bisa bertindak kejam juga. Kalau seperti ini mana berani dia banyak bicara, baru satu kata saja sudah dibalas 200 kata oleh wanita itu."Kasih--""Stop
"Kamu kenapa menangis? Hei, apa aku menakutiku?" tanya Bima, dia mulai cemas karena melihat sikap Kasih."Kamu berbicara seperti itu hanya bercanda, kan?""Bercanda?" tanya Bima balik sambil mengernyitkan dahi. "Aku tidak bermaksud untuk bercanda, aku mengatakan yang sejujurnya," ucap Bima meyakinkan."Memangnya kamu tahu dari mana kalau aku ini hamil? Kamu itu laki-laki, mana mungkin bisa menebak seperti itu." Kasih masih tak percaya, kendati demikian hatinya mulai was-was.Bima menghela napas panjang, dia benar-benar heran karena ternyata Kasih tak menyadari jika wanita itu hamil. Pantas saja wanita itu terkejut."Gini ya, aku memang laki-laki, tapi kalau untuk memastikan kamu hamil atau tidak, aku mengetahuinya.""Gimana caranya?""Oke, yang pertama, sewaktu pertama kali kita bertemu, badan kamu nggak seberisi ini, kalau nggak salah itu sudah empat bulan lalu, kan, ya? Nah yang kedua, waktu pertama kali kita bertemu, perut kamu tidak sebuncit sekarang, waktu itu perut kamu masih ra
Jantung Kasih berdegup begitu kencang ketika melihat tespack itu ada di tangan Dani, wajahnya berubah menjadi pucat pasi."Lagi cari ini?" tanya Dani sekali lagi.Kasih diam seribu bahasa, dia tidak bisa menjawabnya, lebih tepatnya dia bingung harus menjawab apa."Kenapa diam aja, hah?! Kamu lagi cari ini, kan?!" bentak Dani.Kepala Kasih menunduk sambil meremat kedua tangannya, terkejut juga dengan bentakan Dani.Mata Kasih terpejam ketika Dani melemparkan tespack itu ke kepalanya."Kamu bilang kemaren lagi datang bulan, terus ini apa, hah?! Kamu hamil? Jawab, Kasih, di mana suara kamu yang biasanya selalu melawanku, kenapa sekarang kamu diam aja?!" pekik pria itu."Maaf."Dani tertawa keras sambil bertepuk tangan. "Wow, wow, wow, jadi ini yang bikin sifat kamu berubah, Kasih? Aku benar-benar nggak nyangka sama kamu," desis pria itu dengan tangan mengepal.Lagi-lagi Kasih terdiam, membuat emosi Dani semakin memuncak. Dani menarik rambut wanita itu, lalu mencengkram kedua pipi Kasih b
"Maafkan aku, Bu. Seandainya saja waktu bisa diputar kembali, pasti aku nggak akan melakukan hal ini," kata wanita itu sambil menangis tergugu.Dia terus memandangi batu nisan yang bertuliskan nama ibunya itu dengan perasaan sakit yang sangat amat luar biasa. Tidak ada yang menemaninya di sini, semua orang sudah pada pergi, para tetangga Kasih mencerca Kasih habis-habisan, bahkan ada juga yang mengatainya dengan sebutan binatang.Ya, waktu ketika Dani dan Kasih bertengkar hebat, bukan hanya ibu Kasih saja yang mendengar, tapi para tetangga yang dekat dengan rumahnya juga ikut mendengarnya, dan dalam sekejap saja hal itu sudah banyak yang mengetahuinya.Ibaratnya hanya satu telinga yang mendengar, tapi banyak mulut yang ikut berbicara.Ketika Kasih membawa Mutia ke rumah sakit, dokter mengatakan jika denyut nadi ibunya mulai melemah, dan dokter itu juga mengatakan jika Mutia mengalami serangan jantung secara mendadak yang mengakibatkan nyawa wanita paruh baya itu tidak tertolong lagi.
Setelah terdiam cukup lama, Kasih hanya bisa menghela napas berat, kentara sekali jika begitu berat beban yang dia pikul. Fandi pun menyadari hal itu."Sekarang apa yang akan kamu lakukan?"Kasih tak menjawab, dia hanya bisa menggeleng, karena memang dia tidak tahu setelah ini apa yang akan dia lakukan. Dia seperti kehilangan arah dan tidak tahu harus di mana lagi tempatnya mengadu.Fandi menepuk pundak wanita itu secara perlahan. "Aku tahu kalau kamu sedang dalam suasana sedih, dan mungkin kabar kehamilan ini juga begitu mengejutkanmu. Sebaiknya jangan terlalu dipikirkan, kasihan bayi yang kamu kandung," nasehat pria itu.Kasih tertawa mendengarnya. "Maksud kamu aku harus tetap tenang gitu? Kamu itu nggak tahu apa yang aku rasakan itu seperti apa. Sakit!"Fandi manggut-manggut. "Aku tahu, mungkin aku memang tidak pernah merasakan apa yang kamu rasakan, tapi aku paham sakitnya seperti apa. Tenangkan pikiran kamu, aku yakin semua ini pasti akan ada jalan keluarnya."Lagi-lagi wanita it
Tidak ada yang paling membahagiakan menurut Gilang selain menikah dengan orang yang dia cintai.Wanita yang selama ini dia tunggu-tunggu kehadirannya akhirnya sudah berada digenggamannya untuk selamanya.Kebahagiaan Gilang terasa sangat lengkap karena kedua anak yang lahir dari perut Kasih, wanita yang dicintainya.Ya, bukankah pria itu dari dulu sangat menginginkan hal itu? Mungkin dulunya Kasih menganggap jika omongan Gilang hanya candaan belaka, tapi tidak menurut Gilang, pria itu benar-benar sangat serius mengatakannya.Dulu, hubungan mereka sangatlah salah, tidak pantas ditiru untuk siapapun. Sebatas partner di atas ranjang, karena dia begitu kesepian, dan dia memanfaatkan Kasih karena wanita itu sangat membutuhkan bantuan.Gilang menggeleng seraya tersenyum kecil ketika mengingat awal pertemuan mereka yang menurut pria itu sangat berkesan."Ngapain senyum-senyum sendiri? Hayo, pasti lagi mikirin sesuatu," celetuk Kasih. Wanita itu menatap suaminya penuh curiga."Iya nih, tahu aj
"Selamat ya, akhirnya hari-hari yang kalian tunggu tiba juga," celetuk Fandi seraya menyalami Gilang."Makasih, Bro. Kalau bukan karena kamu, pasti hari ini nggak akan terjadi," ucap Gilang dengan suara tulus.Fandi tertawa kecil. "Habisnya aku greget banget sama hubungan kalian berdua. Sama-sama mau tapi gengsinya gede banget. Wanita itu memang harus digertak, kalau nggak digituin nanti malah teus mengulur waktu. Dan ya ... rencanaku berhasil, kan. Pada dasarnya itu Kasih cinta sama kamu, terlihat begitu jelas dengan tatapan matanya. Cuma ya seperti tadi yang aku bilang, gengsinya wanita itu besar. Yang dia mau lelaki harus berusaha sekuat mungkin berjuang buat meyakinkan dia, kalau sudah dirasa cukup barulah dia nerima kamu. Pikiran wanita itu gampang ditebak," celoteh Fandi panjang lebar."Ya, ya, ya. Terserah kamu bilang apa, intinya aku berterima kasih karena pada akhirnya kami sudah menikah, itu semua berkat kamu."Fandi menepuk pundak Gilang dengan pelan. "Sama-sama, tapi aku y
"Apa kamu menyesal karena sudah melakukan kesalahan fatal, Dina?" tanya Bima sinis.Wanita itu tak berani menatap calon suaminya itu, dia benar-benar begitu malu.Karena melihat Dina diam saja, Bima pun duduk di hadapan wanita itu, pria itu menghela napas berat."Sejujurnya aku nggak mau lihat kamu seperti ini, tapi ... kamu memang pantas dihukum seperti ini, karena kesalahanmu itu. Apa sampai saat ini kamu belum menyadari kesalahanmu itu? Apa sampai saat ini kamu masih menyalahkan aku dan Kasih karena kami dekat? Dan masih benci dengan Bastian yang jelas-jelas anak itu tidak memiliki kesalahan apapun? Apa kamu masih mempertahankan egomu itu, Dina?" tanya Bima secara beruntun.Tak lama setelah itu, terdengar suara isak tangis dari wanita itu. Sejujurnya Bima tak tega mendengarnya, ingin sekali memeluk wanita itu, tapi mati-matian ia tahan, dia ingin kalau Dina menyadari kesalahannya."Aku ... aku sangat menyesal, Mas. Aku menyesal. Seandainya saja waktu bisa diputar kembali, aku nggak
Gilang tersenyum puas karena pada akhirnya Tiara sudah masuk ke dalam penjara. Untuk sebagai bukti yang akan dia tujukan pada calon istrinya itu, Kasih, jadi dia mengambil foto Tiara ketika sedang di dalam penjara."Gimana? Enak, kan, rasanya hidup di sini. Makan gratis, nggak ngapa-ngapain lagi, harusnya kamu berterima kasih sama aku," kata pria itu dengan bangga.Tiara menggerakkan giginya. Rasa amarah dan juga malu menjadi satu.Niatnya ingin memiliki pria itu, malah berakhir seperti ini. Sungguh mengenaskan."Saya mohon, Pak. Tolong bebaskan saya dari sini," mohon wanita itu."Gimana? Kamu minta untuk dibebaskan? Bukannya di sini tempatnya sungguh nyaman?" Lagi-lagi Gilang mengejek wanita itu."Saya tidak mau tinggal di sini, Pak. Tolong keluarkan saya dari penjara ini, Pak. Saya janji akan menuruti semua perintah Anda kalau Anda mau mengeluarkan saya dari sini." Lagi-lagi Tiara memohon ampun.Wanita itu sangat menyesal karena sudah masuk ke dalam kehidupan pria itu. Sungguh, keja
"Aku sudah menuruti semua keinginanmu, sekarang giliran aku menagih janjimu.""Janji? Emangnya aku punya janji sama kamu?" tanya Kasih heran."Oh, jadi kamu mau melupakan hal itu?""Aku serius!" bantah Kasih."Bukankah kamu yang bilang sendiri kalau aku sudah berhasil memecahkan kasus siapa yang menabrak Bastian, kamu mau menikah denganku? Apa kamu mencoba untuk ingkar janji?" tanya Gilang dengan sorot mata tajam."Oh, yang itu. Aku kira apaan. Masih ada satu lagi yang belum kamu selesaikan.""Mencoba cari alasan lagi?"Kasih menggeleng. "Aku sama sekali nggak cari alasan," bantah wanita itu dengan mata melotot."Ya sudah, katakan saja. Aku harap ini yang terakhir kalinya kamu mencari alasan. Setelah itu, tidak ada lagi yang namanya ngeles, kamu harus menikah denganku secepatnya.""Kenapa harus terburu-buru?" tanya Kasih dengan senyum remeh."Serius kamu bertanya seperti itu? Baiklah, aku akan menjawabnya dengan sejujur-jujurnya. Apa lagi kalau tidak merindukan tubuhmu. Tubuhmu itu ca
"Untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Kasih heran. Bima menghela napas berat, dia melirik ke arah Gilang yang saat ini tengah duduk anteng di dekat Kasih. Tatapan mereka berdua bertemu, Bima memberi kode pada Gilang agar pria itu pergi dari situ, karena Bima ingin berbicara berdua saja dengan Kasih. Sayangnya yang diberi kode sama sekali tak mengerti, lebih tepatnya Gilang pura-pura tidak tahu apa maksud Bima, pria itu malah melengos. "Bim?" panggil Kasih heran karena melihat pria itu tampak diam saja. "Tadi katanya mau ngomong, kok malah diam aja?" "Bisakah hanya kita berdua saja di sini, nggak lama kok," pinta Bima. Gilang mendelik kesal ketika mendengar Bima berbicara seperti itu. Tidak cukup jelaskah kalau tadi Gilang menolak usiran dari pria itu melalui tatapannya? Lantas kenapa harus diperjelas lagi? "Kalian ngobrol aja, anggap aja aku nggak ada di sini. Aku nggak bakalan dengar pembicaraan kalian berdua kok," kata Gilang dengan suara tenang. "Gilang, biarkan kami berdua
"Mas aku beneran minta maaf, Mas. Tolong maafin aku, Mas. Please," mohon Dina."Kamu itu salah, Din. Salah besar! Apa pantas aku maafin kamu?" tanya pria itu sinis."Aku benar-benar khilaf, Mas. Aku minta maaf, Mas. Aku harus gimana supaya kamu mau maafin aku?"Bima terus menggeleng. "Aku benar-benar masih nggak nyangka aja, Din. Wanita yang selama ini aku anggap baik, nyatanya aku salah kira. Di depanku aja kamu terlihat begitu baik, tapi di belakangku ... hatimu begitu busuk," desis pria itu."Aku akui kalau aku ini salah, Mas. Aku ini cemburu melihat kedekatan kalian, Mas," kata Dina jujur."Aku selalu meluangkan waktu untukmu, Din. Bahkan aku menemui Kasih dan Bastian itu termasuk jarang, itu semua aku lakukan demi menjaga hati kamu. Tapi apa? Kamu malah egois!" tandas pria itu."Aku nggak egois, Mas. Aku hanya ingin mempertahankan hubungan kita!" kata Dina tak terima.Bima yang melihat sikap arogan Dina pun tertawa sinis."Kamu itu ya, udah tahu salah bukannya minta maaf tapi mal
"Iya bentar!" Bima terlihat begitu kesal karena sedari tadi ada yang mengetuk pintu rumahnya dengan sangat kencang.Pria itu berjalan menuju ke arah pintu dengan terburu-buru, setelah itu dia pun membuka pintu, matanya terbelalak ketika melihat siapa yang datang ke rumahnya."Selamat siang," sapa pria itu.Bima tak segera menjawab, dia masih kaget dengan kedatangan pria itu."Ehem! Selamat siang," kata pria itu sekali lagi."Siang," jawab Bima kikuk."Apa aku mengganggu waktumu?""Nggak, nggak kok," sahut Bima seraya menggeleng cepat. "Omong-omong ada apa ya datang ke sini, apa ada yang bisa dibantu?""Apa aku tidak dipersilahkan untuk duduk?""Oh, ya, silakan duduk. Tunggu sebentar, aku buatkan minum dulu.""Nggak usah, aku datang ke sini bukan untuk minta minum, tapi ada yang harus aku selesaikan.""Kamu datang ke sini mau cari Kasih? Sorry aja ya, Kasih nggak pernah datang ke sini," jelas Bima, dia mengira kedatangan Gilang ke rumahnya karena ingin mencari wanita itu."Kedatangank
"Kasih!" teriak Diana, wanita itu berlari kecil mendekati sahabatnya. "Selama ini kamu ke mana aja sih, kok nggak pernah ada kabar," lanjut wanita itu seraya memeluk erat tubuh Kasih."Pelan-pelan, Di. Aku sesak napas, kamu meluknya kekencengan," keluh wanita itu."Oh, sorry-sorry." Diana pun langsung melepaskan pelukannya itu. "Ke mana aja sih kamu, kok nggak pernah kasih aku kabar. Udah lupa ya sama aku?"Kasih tertawa kecil. "Kalau udah lupa, nggak mungkin aku ngajak kamu ketemu, Di.""Terus selama ini kamu ke mana?" tanya Diana lagi."Nggak ke mana-mana sih, cuma menenangkan diri aja."Diana mendengkus keras. "Nyatanya dirimu nggak bisa tenang, kan, selain di sini?" cibir wanita itu.Lagi-lagi Kasih menanggapinya dengan tawa. "Kok tahu sih?" "Ya tahu lah, secara, kan, pujaan hatimu ada di sini. Gimana? Udah ketemu belum sama dia? Pasti udah dong ya. Omong-omong, si Manda itu anak kamu sama Gilang, kan? Itu beneran nggak sih, takutnya dia bohongin aku, siapa tahu itu anaknya sama