"Bukan impian tapi mimpiku yang beku." Alessa mengalihkan tatapan membosankannya yang sedari tadi menatap langit-langit apartemen menjadi menatap kedua mata biru milik Jovian. "Apakah mimpi dan impian itu berbeda?" tanya Jovian.Alessa menyunggingkan senyuman. Alessa sadar jika Jovian selama ini hidup tanpa bersusah payah mengejar impiannya. Pria ini sudah sempurna jadi tidak ada cela untuk berusaha menutupi kekurangannya. "How unfair," gumam Alessa. Kedua matanya menatap Jovian yang masih setia dengan raut penasarannya. "Apanya yang tidak adil?" tanya Jovian lagi.Alessa kali ini terkekeh sembari menduduki dirinya. Dia duduk tepat disamping Jovian, sama-sama duduk dipinggiran ranjang kasur ini. "Kamu, Kak, betapa tidak adilnya sampai kamu tidak tahu bedanya impian dan mimpi," kekeh Alessa. "Mimpi itu bunga tidur yang nyaris tak mungkin diraih sementara impian sesuatu yang bisa diraih, misalnya saat ini ... seseorang bercita-cita jadi insinyur," ucap Alessa."Katakan padaku tentang
"Permainan yang indah Alessa," puji Jovian. Kala itu Jovian semakin jatuh hati pada sosok Alessa. Baginya Alessa bukan wanita yang biasa saja. Alessa selalu menyimpan kejutan padanya. Sosok wanita yang paling unik di antara wanita lainnya.Alessa menatap Jovian dengan tatapan aneh. Pria itu tak bergeming menatapnya dengan raut wajah datarnya itu. "Kak Jo, apakah Kakak masih menatapku saja?" tanya Alessa.Jovian menggeleng. "Kenzo sudah memesankan meja di restoran, mau makan dulu?" Jovian mengajak Alessa untuk makan malam.Alessa mengangguk riang. Dia langsung berselancar ke tepian gelanggang kemudian melepaskan sepasang sepatu skate. Alessa mengambil ponselnya dulu setelah meminta Penjaga Gelanggang merekam koreografi skating bebasnya. Inilah kesempatan bagi Alessa untuk menjerat Jovian. Alessa langsung meraih lengan Jovian untuk digandengnya. "Dingin, hehe," kekeh Alessa menggeratkan tangannya pada lengan Jovian ketika Pria bermata biru itu menoleh menatapnya.Jovian mengangguk meng
Alessa terbangun pagi harinya dengan seluruh tubuh yang terasa pegal. Kedua mata kenari madunya membulat sempurna kala merasakan tubuh bagian bawahnya tidak terasa nyaman. "Tidak, tidak mungkin, apa aku dan Jovian melakukannya?" Alessa bertanya seorang diri dengan ingatan yang samar. Dia menyibakkan selimut tebal ini tapi mendapati sekujur tubuhnya sudah bersih bahkan menggunakan piyama baru. Alessa melihat ke sebelah ranjangnya yang kosong. Jovian sudah tidak ada di kamar. Alessa beranjak berdiri dengan perlahan karena rasa nyeri baru terasa di tubuhnya."Alessa, selamat pagi ... mau sarapan dulu?" tanya Jovian yang sedang sibuk di dapur.Pria itu tampak tengah berusaha membuat sup. Raut wajah tampannya datar namun terciptra kerutan di dahi karena dia tengah bingung. Ada satu piring berisi beberapa lembar roti bakar dengan telur yang sudah di panggang. "Maaf aku tidak tahu memasak." Jovian berucap sembari menoleh pada Alessa.Alessa menghela napas. Dia pun berjalan mendekati Jovian
Dia meraba-raba ranjang kasur yang kosong belakangan ini Alessa tidur seranjang dengan Jovian. Keberadaan Pria itu disisinya sudah jadi kebiasaan untuk Alessa. Pagi-pagi Alessa malas beranjak dari kasurnya. Padahal Alessa harus menyiapkan sarapan untuk Jovian yang sudah jadi kebiasaannya selama beberapa minggu ini. Alessa pun beranjak dari ranjang kasurnya kemudian berjalan menuju dapur. Alessa memasak sup karena ia tahu Jovian menyukai makanan berkuah dan segar. Tak lupa membuatkan Pria bermata biru itu satu cangkir kopi panas. Tak lama Alessa menatap Jovian yang baru keluar dari kamar mandi. Alessa terkekeh kecil. "Kenapa kamu tertawa?" tanya Jovian sedang mengeringkan rambutnya.Alessa segera menjawab. "Rambutmu pirang, matamu biru dan namamu Heide, aku kira orang eropa malas mandi," canda Alessa."Oh, kebiasaan sejak kecil tinggal di Indonesia," sahut Jovian.Alessa mengangguk. Jika dipikir-pikir lagi Jovian memiliki penampilan yang mirip dengan ayahnya tapi ibunya Julia tampak
"Hiks ... aku senang karena aku mulai mencintainya tapi apakah aku harus mempertahankan bayi ini?" Alessa mulai terisak sendiri dalam keheningan toilet. Dia bahkan mengabaikan ucapan Mina dari sambungan teleponnya. Alessa mendadak merasa takut dengan kehamilannya sendiri."Alessa, dengarkan aku, kali ini berbeda karena kalian saling mencintai," ucap Mina dari seberang sambungan telepon ini. Alessa termangun mendengar ucapan Mina. Alessa memang merasa bahagia bersama dengan Jovian. Ia bahagia menjalani pernikahan pura-puranya ini. Mereka memang sungguhan menikah tapi dengan tempo waktu tertentu. "Aku menandatangi kontrak dua tahun menikah tapi baru berjalan tiga bulan, aku malah hamil," ucap Alessa terkekeh sendiri. "Kak, aku matikan ya nanti aku telepon lagi." Alessa berucap sembari menutup sambungan teleponnya. Kini Alessa mulai merenungi kelanjutan hidupnya sendiri. Alessa menghabiskan waktu dengan melamun sembari berbaring di ranjang kasur. Kedua mata Alessa juga sudah sembab kar
"Akan aku majukan rencananya, Alessa harus benar-benar mati kali ini," gumam Julia seorang diri. Julia langsung memasuki mobil putihnya yang sudah terparkir di depan apartemen. Wanita itu sempat menekan nomor seseorang melalui ponselnya. "Besok, aku mau kau membereskannya dengan rapi," ucap Julia singkat. Julia langsung mematikan ponselnya kemudian beranjak pergi. Hari sudah larut malam tapi Alessa masih terjaga. Alessa merebahkan dirinya di sofa ruang tamu kemudian menatap kosong siaran berita dari televisi. Usai kedatangan Julia membuat Alessa menjadi merasakan traumanya lagi namun dia tak sanggup mengatakannya pada Jovian. Pintu apartemen terdengar berdecit terbuka. Jovian pergi keluar apartemen seorang diri untuk membelikan macaron. Jovian memandangi Alessa yang berbaring di atas sofa dengan kedua mata sembabnya. Jovian pun mendekati Alessa sembari menyodorkan bungkusan berisi macaron."Alessa, sejak sore kamu belum makan apapun," ucap Jovian."Aku mual," sahut Alessa singkat.
"Kalau begitu jawabanmu bersama Jovian, jadi bersiaplah pada bencana keduamu, Wanita Kampung," cibir Julia. Julia mendecak kesal. Seharusnya dia sudah menghabisi Alessa yang jadi penghambat untuknya tapi Julia tahu cara melemahkan tekad Alessa. "Lihatlah dirimu, apa kau model? pendidikanmu? bisa apa kau bersanding dengan anakku yang kemilau di podium itu, Tuan Muda Kaya Raya yang seharusnya berdampingan dengan Wanita jelas asal usulnya." Julia menegak segelas wine yang sedari tadi ia pegang. "Kau tidak ingat ya, anakmu sudah pernah mati, ckck," kekeh Julia. Julia beranjak pergi usai melihat wajah terancam dari Alessa. Dia tersenyum puas menatap raut wajah Alessa yang menyadari ancamannya. "Setelah ini, kau akan merasakan kematian lagi," ucap Julia sembari melenggang pergi.Alessa langsung bersandar pada ujung meja. Pikirannya jadi tak fokus belum lagi kedua tangannya jadi mendingin. Perasaan tak nyaman menyelimuti dirinya. "Apa ... apa dia baru saja mengancamku lagi?" tanya Alessa s
Sehari sebelumnya ... "Kak, ini aku Alessa," ucap Alessa sembari memegang ponselnya. Niatnya sudah bulat, usai terbebas dari penculikan atas penyelamatan yang dilakukan Jovian. Alessa menyusun rencana kaburnya bersama Eidar. Semula Alessa menceritakannya pada Mina namun Mina menyarankan Alessa meminta bantuan Eidar. Semua itu karena sebenarnya seseorang bernama Rinka Amarei mencari keberadaan Alessa melalui Eidar. Kebetulan ini membuat keuntungan bagi Alessa. "Kak kata Kak Mina sedang pendidikan lanjut di Kyoto ya?" tanya Alessa masih pada sambungan teleponnya. "Aku mau kabur, Kak." Alessa berucap sembari menahan getar pada bibirnya. Saat ini Alessa sudah memantapkan keinginannya. Ia bertemu dengan Eidar di bandara. "Iya, ayo kita pergi Kak Eidar," ucap Alessa sembari menurunkan topi yang ia kenakan. "Biar aku saja yang membawa kopermu," sahut Eidar. Pria itu mengambil alih koper yang semula Alessa pegang. Dia bahkan menggandeng tangan kanan Alessa sembari berjalan mendorong koper