"Revan," sapa Misa, ia memegang tanganku dengan erat seraya kedua matanya menelisik jauh ke arahku.
Aku tidak bisa mengelak, tatapannya sungguh kuat seolah-olah mengintimidasiku untuk tidak beranjak dari tempatku berdiri.
Aku membiarkan mereka pergi dengan meninggalkan kesan kecewa dari masing-masing raut wajah mereka. Violet-lah yang begitu terkejut ketika mendengar Misa hamil anakku.
Misa masih menggenggam tanganku, kutatap matanya dan perlahan ia mulai melepaskan pegangannya. Ia beranjak pergi masuk meninggalkanku sendiri.
Tiba-tiba Bianca datang dengan membawa sepucuk surat di tangannya. Ia memberikan surat itu padaku dan terkejutnya aku melihat isi surat tersebut.
Surat itu berasal dari Michelle.
"Apa yang kamu duga tidak selamanya benar, aku tidak pernah berniat melakukannya dan mereka tetap memaksaku." Begitulah apa yang dijelaskan Michelle di dalam surat singkat tersebut.
Kuhela napas panjang memikirkan bagaimana
Sepertiapa sebenarnya perasaan yang dimiliki oleh Revan? Apakah dia mencintai Misa sama seperti ia mencintai Tiara? Jangan lupa simak terus kisahnya, yah. Tak lupa untuk vote, comment, dan share ke temen-temen kalian, yah. Selamat membaca:)
*** Pagi hari di keadaan yang baru. Dinding, jendela, hingga pintu berlumuran darah dari pertempuran singkat semalam. Aku masih terjaga sampai pagi ini, menemani Michelle yang terpaksa kusekap di salah satu ruangan kosong. Semalam, ia banyak bercerita padaku, tentang dirinya yang dijebak atau playing victim. Tentu saja itu tidak menjadikan dirinya terbebas begitu saja ketika ia ikut bersama pemberontak tersebut. Di hadapanku, Michelle terlihat masih tidur di atas kursi dengan kaki dan tangannya yang terikat. Secercah cahaya masuk dari belakangku dan melihat beberapa orang masuk setelah membuka pintu. “Nyonya menanyakanmu, Tuan,” balas seorang pria berpakaian jas menghampiriku. Kuangkat tubuh ini dari atas sofa dan sesekali meregangkan tubuh mengingat rasanya pegal sekali harus duduk menemani wanita itu semalaman, sialnya lagi dia sama sekali tidak ingin mengakui perbuatannya. “Baiklah. Kalian berdua awasi dia dan kabari aku ji
*** Kami duduk melingkar di ruang kamar Misa. Nathan duduk berdampingan dengan Violet, sedangkan Aku duduk bersama di samping Misa. Kurasakan Misa merangkul tanganku dengan erat di hadapan mereka, Nathan menyadari dan matanya semakin menatapku dengan tajam. “Kukira hubungan kalian hanya sebatas pemuas nafsu, apa aku benar?” tanya Nathan, ia bicara dengan spontan membuat Violet yang berada di sampingnya kaget bukan main. “Hush! Apa kamu tidak bisa menyaring perkataanmu itu?” tanya Violet. “Kita tidak perlu bersikap ramah dengan dua orang ini. Mereka bersenang-senang di tengah kita sedang berjuang untuk hidup dan mati kita. Sungguh orang yang menjijikan!” erang Nathan. Kutarik kerah Nathan dengan kasar sambil membalas tatapannya dengan penuh kedengkian, aku tidak menyangka dia akan berkata sedemikian kasar padaku. “Kenapa?! Apa kamu keberatan?!” bentak Nathan. “Kita belum pernah bertengkar sebelumnya, aku sama sekali tida
Kujabat tangan pria tersebut dengan gemetar, tak kusangka ia akan berada di hadapanku saat ini. Terlihat Stefano datang bersama dua orang berpakaian sama setelan jas. “Saya sungguh terkesima melihat perkembangan perusahaan Anda, sungguh melewati ekspektasi kami,” puji Stefano. Aku menunduk sambil tersenyum simpul, mencoba memeragakan adegan di mana aku tidak mengenal pria tersebut. “Anda terlalu berlebihan, saya hanya menjalankan tugas seperti bagaimana CEO pada umumnya.” “Aku sangat senang berada di sini, bagaimana jika kita langsung mulai pertemuannya?” tanya Stefano, wajahnya cukup tua jika kugambarkan, terdapat garis keriput di pipi dekat hidung dan alisnya begitu tebal dan lurus. Ia duduk di kursi sembari mengeluarkan berkas-berkas yang ada di dokumennya, beberapa rekannya juga ikut memberikan berkas tersebut sehingga ada tiga berkas yang menumpuk di atas meja pertemuan. Nancy mengambil ketiga berkas tersebut dan memberikannya pad
*** Tiga tahun kemudian. “Sayang, bisakah kamu temani Rafael sebentar?” Teriakan dari luar kamar terdengar nyaring, aku masih bersantai di atas kasur empuk ditemani oleh Rafael yang asik bermain dengan mainan miliknya. “Iya,” balasku singkat. Pagi itu, Misa berencana memasak sarapan untukku dan juga untuk Rafael. Benar! Dia adalah anak pertama kami, ia tumbuh menjadi lelaki yang gagah dan tampan di usianya yang beranjak dua tahun. “Papa….” Aku melirik sambil menepikan tab yang tengah kupegang, terlihat Rafael mengangkat sebuah mainan dinosaurus dan perlahan menuntun benda itu berjalan di kakiku. “Itu T-Rex,” jawabku sambil tersenyum, mendengar T-Rex, Rafael malah mengaum dengan kencang hingga seisi kamar cukup bising karenanya. “T-Rex Papa memang hebat,” sambungku, kututup telinga kiriku yang sakit mendengar teriakan dari Rafael, tetapi itu bagus untuknya, itu berarti responnya begitu baik dan cepat belakangan i
*** Perjalanan panjang ini akhirnya berakhir tepat ketika aku masuk ke daerah tempat Carlos bermukim, jaraknya cukup jauh dari Ibukota Mindanao. Letaknya berada di pedalaman yang terasingkan, meski begitu alam dan keasrian desa tersebut masih terjaga dengan sangat baik. Kita datang kemari dengan menggunakan satu bus besar, kulihat reaksi warga desa ketika melihat kedatangan kami seperti tidak ramah. Tatapan mereka begitu sinis melirik ke kendaraan kami, bahkan anak kecil yang biasa tersenyum dan ceria bisa sebegitu ketus dan cueknya pada kami. “Ada yang aneh dengan warga desa ini, mereka seperti tidak pernah mendapatkan tamu sebelumnya,” ucapku. Kebetulan Nathan duduk di sampingku dan ia juga pasti menyadari keganjilan yang terjadi di desa ini. Sampai kami turun dari dalam bus, mereka masih melirik kami dengan tatapan ketus, itu membuatku merasa tidak nyaman. “Apa Carlos melakukan sesuatu pada mereka?” tanyaku, Nathan menggelen
“Apa mereka bergantian menjaga dermaga ini?” tanyaku, pria itu mengangguk sembari menunjuk ke tempat lain, sebuah rumah kecil berukuran 4x5 berada dekat dermaga. “Pergantian jaga dilakukan setiap enam jam sekali, jadi kita hanya memiliki waktu sekitar tiga jam lagi,” balas pria di sampingku. Ia juga menjelaskan kalau rumah tersebut sering digunakan untuk pertemuan para penjaga, terkadang warga di sini juga melihat adanya kerumunan di rumah itu setiap satu bulan sekali. Warga yang memisahkan diri dengan warga utara memilih untuk mengandalkan hidup dan makannya dari hutan, baik itu buruan hewan liar atau tanaman yang bisa dimakan. Mereka terlalu takut untuk keluar dan mencoba bersosialisasi dengan warga utara, mengingat mereka sudah dicap sebagai anak buah Carlos. “Padahal dermaga ini jauh dari pusat desa Vixi, tapi bagaimana bisa mereka menguasai tempat ini?” tanyaku. “Itu terjadi karena perebutan, beberapa hari setelah Carlos meninggal
***Perjalanan dari Filipina ke Indonesia membutuhkan waktu yang lama. Kami langsung berangkat dengan menggunakan ketiga kapal yang tersedia di dermaga. Aku sudah mengabari Nathan dan menyuruhnya menghubungi Violet, aku ingin wanita itu datang dan menjemputku dari Gorontalo.Malam berganti pagi, tetapi aku sama sekali belum melihat pulau terdekat dari sepanjang garis pandanganku, aku sungguh yakin kalau kapal ini melaju ke arah selatan.Aku terus melajukan kapal ini dengan kecepatan stabil hingga terlihatlah pulau kecil di arah tenggara, kuhubungi kedua kapal yang lainnya dan memerintahka mereka untuk segera mendarat di pulau tersebut.Pulau tersebut bernama Pulau Miangas, pulau terluar di ujung utara Indonesia. Kulihat penduduk di sana begitu ramah menyambut kami, mereka mengira kami adalah orang Filipina karena bahasa yang mereka gunakan Bahasa Inggris.“Kami baik-baik saja, Pak,” ucapku, sontak orang yang menjemput kami terperanjat k
***“HENTIKAN!”Terdengar suara lengkingan seorang wanita dari luar penginapan. Tanpa pikir panjang, aku langsung berjalan menuruni tangga dan mendapati seorang wanita terbunuh di depan penginapan.Luka di lehernya terlihat menganga, seperti bentuk dari sayatan benda tajam yang digunakan pembunuh. Aku langsung menyebar pasukanku yang masih terbangun untuk mencari pelaku, ia pasti belum jauh dari tempat pembunuhan tersebut.Nathan datang menghampiriku, ia menanyakan tentang kejadian yang sedang terjadi. Kuhembus pelan napasku sambil kedua tangan ini berkacak pada pinggang.“Detailnya aku kurang tahu, tapi sepertinya dia memang dibunuh karena suatu hal,” balasku, Nathan berjongkok di depan mayat wanita yang tertutup kain putih.Ia buka kain tersebut perlahan dan kuperhatikan wajahnya begitu terkejut, ia langsung berdiri tanpa menutup kain itu kembali saking kagetnya.“Ada apa?” tanyaku.&
Kamis, 21 Oktober 2021 Setelah menghabiskan kurang lebih lima bulan menulis –terkendala tugas perkuliahan dan sebagainya. Serial PARTNER IN CRIME resmi tamat kemarin malam, rasanya begitu lega dan menyenangkan bisa memberikan hasil akhir yang sesuai dengan keinginanku. Namun, cerita ini masih menyimpan beberapa kekurangan dan plothole di berbagai sisi. Oleh karena itu, penulis meminta maaf sebesar-besarnya jika ada cerita atau scene yang tidak dijelaskan secara detail. Tentu hal ini berkaitan dengan alur cerita agar tidak melenceng dan tetap di jalur utama kisah Revan dan Tiara. Dasar dari ide saya membuat cerita perselisihan ditambah dengan romansa antara Mafia dan Polisi tak lain adalah nuansa yang baru, menciptakan kisah baru yang segar dan anti mainstream di kalangan pembaca yang banyak didominasi oleh cerita-cerita CEO, silat, dan sebagainya. Saya memang tipikal orang yang menyukai perbedaan dalam suatu perkumpulan, platform membaca online adalah perkum
*** Satu minggu kemudian Pergantian kepemimpinan di Cincin Hitam terjadi. Tanpa hadirnya aku, dewan komite yang sudah kubentuk mengesahkan Violet sebagai penerus organisasi Cincin Hitam yang terselubung sebagai organisasi masyarakat pembela rakyat kecil. Mereka katanya menyambut dengan baik pergantian kepemimpinan tersebut, bersuka cita dan membuat pesta meriah untuk merayakannya. Itulah yang kudengar dari Nathan yang belakangan sering mengunjungiku, lebih sering ketimbang Violet. “Baguslah. Keadaan pemerintah juga semakin membaik, meski Yudha tidak naik menjadi Plt Presiden, tetapi ia tetap memegang kendali parlemen menggantikan Stefano,” balasku. Perkembangan tubuhku semakin membaik dari hari ke hari, Dokter sudah memperbolehkanku makan-makanan keras dengan syarat harus dikunyah secara halus. Bahkan dengan kondisiku yang seperti ini, dalam beberapa hari ke depan aku mungkin diperbolehkan untuk pulang. Pagi itu, udara hangat m
***Sudah dua hari aku terbaring di kasur rumah sakit. Dokter yang memeriksaku sudah melakukan CT-scan dan mendapatkan hasil yang sesuai dengan perkiraan dokter pribadi yang kupanggil tempo hari.Tukak lambung, penyakit yang terjadi karena adanya infeksi di dinding lambung akibat bakteri. Ia menjelaskan penyebab terjadinya penyakit tersebut, salah satunya adalah konsumsi minuman beralkohol.Aku sadar. Belakangan ini, aku banyak minum-minuman beralkohol, aku kira aku baik-baik saja hingga kejadian ini terjadi.Untuk menjaga kesehatanku agar semakin membaik, Violet terus menemaniku di ruang perawatan ini, terkadang Nathan yang berjaga menggantikannya.“Parlemen sedang sibuk-sibuknya saat ini,” ucapku tatkala melihat pemberitaan di tv yang banyak mengulas seputar penunjukan Presiden pengganti David.Hingga saat ini, mereka masih belum menemukan keberadaan pria tua itu. Jika pun mereka berhasil, mereka hanya akan menemukan jasadnya y
“Mengorbankan hidup kalian untuk orang lain? Apa semudah itu kalian menyerahkan nyawa pemberian dari tuhan?!” bentakku.Aku benar-benar marah saat ini, tak hanya keluarga David tetapi Tiara juga ikut memohon ampun untuk nyawa pria tua penjahat tersebut.Aku berpikir, apa bagusnya dia dibandingkan dengan nyawanya? Dia juga tidak akan mengingat Tiara yang sudah menyelamatkan nyawanya.Sungguh sia-sia.Tiba-tiba kepalaku begitu pusing, telingaku berdengung dan pandanganku mulai berat. Tanganku bertumpu pada sudut meja untuk menahan agar badanku tidak ikut terjatuh.Sontak aku melepaskan senapan dari genggamanku dan langsung diraih oleh Tiara, wanita yang tadi memohon ampun kepadaku, kini berbalik mengacungkan senapannya padaku, mengancamku atas kejahatan yang jauh lebih banyak dibandingkan David.“Semua kejahatan di negeri ini berawal darimu. Aku tidak akan keberatan membunuhmu saat ini juga,” ancam Tiara.Wanita
“Kenapa aku harus pergi dari sini?” tanya David, bingung.“Aku tidak ingin orang-orang mengira kamu masih hidup. Aku akan memalsukan kematianmu dan kamu bebas hidup dengan identitas yang baru,” balasku. David terdiam mendengar penjelasanku, hanya itu satu-satunya pilihan yang kuberikan padanya jika dia ingin tetap hidup.Aku ajak dirinya keluar dari ruang tersebut dan berjalan menuju meja makan yang berada di lantai dasar. Namun, ketika hendak menuruni tangga, ia menolak ajakanku dan meminta waktu untuk memikirkan itu sendiri.Itu yang ia pinta dan aku menghargai keputusannya, lagi pula aku juga banyak berterima kasih atas pengakuannya di siaran tadi, tidak banyak orang berani yang mampu melakukan dan mengakui kesalahannya sendiri.Ia berjalan ditemani seorang pengawal yang sudah kutugaskan untuk tetap bersama David. Ketika aku tengah fokus memandang pria tua itu dari bawah, Nathan tiba-tiba mengejutkanku dengan ditemani beberapa o
***Pagi itu, terpaksa aku harus membawa Tiara ikut bersamaku. Ia tidak bisa memberikanku jaminan pasti kalau dia tidak akan memberikan pernyataan tersebut. Alhasil, semua rencana yang sudah kususun sejak awal tak berjalan lancar.“Kamu membawa lagi orang kemari?” tanya Nathan, pria itu datang menghampiri tatkala melihatku berjalan seraya menggendong seorang wanita, Tiara di dekapanku.“Kamu pasti mengenalnya,” ujarku.Pria itu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, wajahnya menegang dan kedua bola matanya membulat tajam. Ia melihat kehadiran Tiara yang tak sadarkan diri di hadapan wajahnya, ia mengingat betul kalau aku tidak ingin bertemu dengan Tiara secara langsung.“Apa dia mengetahui identitasmu?” tanya Nathan, kesal menatapku tajam.“Ya begitulah, aku perlu melakukannya untuk membungkan mulut Tiara,” jawabku, lirih.“Apa kamu gila?! Dia bisa saja membocorkan keberadaan Pres
***Kedua mata Tiara membelalak tajam, mulutnya tak henti menutup tatkala mendapati aku muncul hidup-hidup di depan matanya. Kucoba raih lengan Violet dan membantu wanita itu untuk kembali bangkit dan berdiri.“R-Revan … apakah itu kamu?” tanya Tiara, ia menjatuhkan selang air yang sedari tadi ia genggam dan menumpahkan aliran air itu terbuang sia-sia.“Aku senang bisa melihatmu lagi, Tiara,” ungkapku.Kudekati pagar rumah Tiara, wanita itu tersentak kaget dan segera mengambil sebuah sapu untuk membela diri. Melihat responnya yang demikian, membuat diriku kebingungan, apakah dia benar-benar merindukanku atau tidak?“Jangan sekali-kali mencoba membodohiku! Aku tidak akan tertipu dengan wajah palsunya,” erang Violet, ia bersikap aneh menganggap aku adalah orang lain yang memakai wajah palsu di mukanya.Tidak pernah terpikirkan aku akan melakukan hal seperti itu, bahkan aku sendiri tidak memiliki alat
“Bawa mereka menjauh dari sini.” Aku langsung memerintahkan beberapa anggotaku untuk membawa mereka berpisah, wajah David sudah dipenuhi oleh lebam, begitu juga sama dengan Jayakarta.Mereka, kedua orang yang sudah bekerja sama selama beberapa tahun, hancur seketika oleh sebuah kepercayaan yang terkhianati. Mereka bertengkar, bergaduh layaknya anak kecil yang memperebutkan layangan.Keluarga Jayakarta, istri dan anak-anaknya begitu ketakutan dan sedih melihat suami dan ayah bagi anak-anaknya babak belur dihajar secara brutal oleh David, yang notabene mereka kenal sebagai rekan kerja Jayakarta.“Apa yang akan kamu lakukan pada suami saya?” tanya istri Jayakarta, menangis tersedu-sedu dalam dekapanku.Kulepaskan wanita paruh baya tersebut dan menyuruhnya untuk tidak ikut campur. Nasib mereka bergantung pada sikap dan ucapan Jayakarta, jika Jayakarta mati, maka mereka juga demikian.“Jika begitu, kalian juga harus menangk
***David terus terdiam, terus menatap lurus ke arah jalanan dengan pandangan yang kosong. Sikapnya berubah tepat ketika aku sudah menjelaskan tentang ambisi tersembunyi dari Jayakarta, David mungkin masih syok mendengarnya.“Apa dia baik-baik saja?” tanya Nathan, ia kini memegang kendali kemudi dan aku duduk tepat di sebelahnya.“Sebelum dia mati, aku pikir dia baik-baik saja.”“Pasti mengejutkan baginya, orang yang bersama-sama sejak dulu malah mengkhianatinya,” jelas Nathan, aku hanya berdeham seraya terus memerhatikan jalanan di depanku.Setengah perjalanan menuju Ibukota sudah terlewati. Mobil kami melaju dengan kecepatan stabil di ruas jalan tol yang cukup lengang malam itu, kuperhatikan melalui kaca spion depan, Larissa dan anggota lain yang duduk di belakang sudah tertidur dengan pulas.Begitu juga dengan David, ia tak lagi termenung dalam pikirannya yang kalut. Matanya terpejam dan kepalanya bersa