***
Pria itu datang, pria bernama Galiardo mulai melangkah masuk dari pintu depan. Aku berdiri di depan pintu kamar seraya menatap tajam padanya.
Wajahnya terlihat cukup beringas dengan otot lengan yang kekar bertato membuatnya begitu ditakuti tak hanya oleh orang lain, tapi anggotanya sendiri.
“Di mana Misa?” tanya Galiardo.
Suaranya begitu lantang bertanya padaku, ia berteriak dari bawah dan membalas pandanganku dengan senyum seringai. Dari semua yang terjadi, aku sudah terbiasa dengan suasana tegang seperti ini.
“Dia sedang beristirahat,” jawabku, singkat.
“Apa dia sudah melemah? Apa Misa yang kukenal saat ini tidak berani untuk menemuiku?” tanya Galiardo dengan suara tegas.
Terdengar dari arah belakangku, derit pintu kamar terbuka dan suara Misa terdengar lirih kepadaku.
“Biarkan aku bertemu dengannya, agar dia bisa yakin dengan permintaannya,” ungkap Misa.
Aku yang masih memandang Galiardo harus membalikan
Sepertiapa sebenarnya perasaan yang dimiliki oleh Revan? Apakah dia mencintai Misa sama seperti ia mencintai Tiara? Jangan lupa simak terus kisahnya, yah. Tak lupa untuk vote, comment, dan share ke temen-temen kalian, yah. Selamat membaca:)
"Revan," sapa Misa, ia memegang tanganku dengan erat seraya kedua matanya menelisik jauh ke arahku. Aku tidak bisa mengelak, tatapannya sungguh kuat seolah-olah mengintimidasiku untuk tidak beranjak dari tempatku berdiri. Aku membiarkan mereka pergi dengan meninggalkan kesan kecewa dari masing-masing raut wajah mereka. Violet-lah yang begitu terkejut ketika mendengar Misa hamil anakku. Misa masih menggenggam tanganku, kutatap matanya dan perlahan ia mulai melepaskan pegangannya. Ia beranjak pergi masuk meninggalkanku sendiri. Tiba-tiba Bianca datang dengan membawa sepucuk surat di tangannya. Ia memberikan surat itu padaku dan terkejutnya aku melihat isi surat tersebut. Surat itu berasal dari Michelle. "Apa yang kamu duga tidak selamanya benar, aku tidak pernah berniat melakukannya dan mereka tetap memaksaku." Begitulah apa yang dijelaskan Michelle di dalam surat singkat tersebut. Kuhela napas panjang memikirkan bagaimana
*** Pagi hari di keadaan yang baru. Dinding, jendela, hingga pintu berlumuran darah dari pertempuran singkat semalam. Aku masih terjaga sampai pagi ini, menemani Michelle yang terpaksa kusekap di salah satu ruangan kosong. Semalam, ia banyak bercerita padaku, tentang dirinya yang dijebak atau playing victim. Tentu saja itu tidak menjadikan dirinya terbebas begitu saja ketika ia ikut bersama pemberontak tersebut. Di hadapanku, Michelle terlihat masih tidur di atas kursi dengan kaki dan tangannya yang terikat. Secercah cahaya masuk dari belakangku dan melihat beberapa orang masuk setelah membuka pintu. “Nyonya menanyakanmu, Tuan,” balas seorang pria berpakaian jas menghampiriku. Kuangkat tubuh ini dari atas sofa dan sesekali meregangkan tubuh mengingat rasanya pegal sekali harus duduk menemani wanita itu semalaman, sialnya lagi dia sama sekali tidak ingin mengakui perbuatannya. “Baiklah. Kalian berdua awasi dia dan kabari aku ji
*** Kami duduk melingkar di ruang kamar Misa. Nathan duduk berdampingan dengan Violet, sedangkan Aku duduk bersama di samping Misa. Kurasakan Misa merangkul tanganku dengan erat di hadapan mereka, Nathan menyadari dan matanya semakin menatapku dengan tajam. “Kukira hubungan kalian hanya sebatas pemuas nafsu, apa aku benar?” tanya Nathan, ia bicara dengan spontan membuat Violet yang berada di sampingnya kaget bukan main. “Hush! Apa kamu tidak bisa menyaring perkataanmu itu?” tanya Violet. “Kita tidak perlu bersikap ramah dengan dua orang ini. Mereka bersenang-senang di tengah kita sedang berjuang untuk hidup dan mati kita. Sungguh orang yang menjijikan!” erang Nathan. Kutarik kerah Nathan dengan kasar sambil membalas tatapannya dengan penuh kedengkian, aku tidak menyangka dia akan berkata sedemikian kasar padaku. “Kenapa?! Apa kamu keberatan?!” bentak Nathan. “Kita belum pernah bertengkar sebelumnya, aku sama sekali tida
Kujabat tangan pria tersebut dengan gemetar, tak kusangka ia akan berada di hadapanku saat ini. Terlihat Stefano datang bersama dua orang berpakaian sama setelan jas. “Saya sungguh terkesima melihat perkembangan perusahaan Anda, sungguh melewati ekspektasi kami,” puji Stefano. Aku menunduk sambil tersenyum simpul, mencoba memeragakan adegan di mana aku tidak mengenal pria tersebut. “Anda terlalu berlebihan, saya hanya menjalankan tugas seperti bagaimana CEO pada umumnya.” “Aku sangat senang berada di sini, bagaimana jika kita langsung mulai pertemuannya?” tanya Stefano, wajahnya cukup tua jika kugambarkan, terdapat garis keriput di pipi dekat hidung dan alisnya begitu tebal dan lurus. Ia duduk di kursi sembari mengeluarkan berkas-berkas yang ada di dokumennya, beberapa rekannya juga ikut memberikan berkas tersebut sehingga ada tiga berkas yang menumpuk di atas meja pertemuan. Nancy mengambil ketiga berkas tersebut dan memberikannya pad
*** Tiga tahun kemudian. “Sayang, bisakah kamu temani Rafael sebentar?” Teriakan dari luar kamar terdengar nyaring, aku masih bersantai di atas kasur empuk ditemani oleh Rafael yang asik bermain dengan mainan miliknya. “Iya,” balasku singkat. Pagi itu, Misa berencana memasak sarapan untukku dan juga untuk Rafael. Benar! Dia adalah anak pertama kami, ia tumbuh menjadi lelaki yang gagah dan tampan di usianya yang beranjak dua tahun. “Papa….” Aku melirik sambil menepikan tab yang tengah kupegang, terlihat Rafael mengangkat sebuah mainan dinosaurus dan perlahan menuntun benda itu berjalan di kakiku. “Itu T-Rex,” jawabku sambil tersenyum, mendengar T-Rex, Rafael malah mengaum dengan kencang hingga seisi kamar cukup bising karenanya. “T-Rex Papa memang hebat,” sambungku, kututup telinga kiriku yang sakit mendengar teriakan dari Rafael, tetapi itu bagus untuknya, itu berarti responnya begitu baik dan cepat belakangan i
*** Perjalanan panjang ini akhirnya berakhir tepat ketika aku masuk ke daerah tempat Carlos bermukim, jaraknya cukup jauh dari Ibukota Mindanao. Letaknya berada di pedalaman yang terasingkan, meski begitu alam dan keasrian desa tersebut masih terjaga dengan sangat baik. Kita datang kemari dengan menggunakan satu bus besar, kulihat reaksi warga desa ketika melihat kedatangan kami seperti tidak ramah. Tatapan mereka begitu sinis melirik ke kendaraan kami, bahkan anak kecil yang biasa tersenyum dan ceria bisa sebegitu ketus dan cueknya pada kami. “Ada yang aneh dengan warga desa ini, mereka seperti tidak pernah mendapatkan tamu sebelumnya,” ucapku. Kebetulan Nathan duduk di sampingku dan ia juga pasti menyadari keganjilan yang terjadi di desa ini. Sampai kami turun dari dalam bus, mereka masih melirik kami dengan tatapan ketus, itu membuatku merasa tidak nyaman. “Apa Carlos melakukan sesuatu pada mereka?” tanyaku, Nathan menggelen
“Apa mereka bergantian menjaga dermaga ini?” tanyaku, pria itu mengangguk sembari menunjuk ke tempat lain, sebuah rumah kecil berukuran 4x5 berada dekat dermaga. “Pergantian jaga dilakukan setiap enam jam sekali, jadi kita hanya memiliki waktu sekitar tiga jam lagi,” balas pria di sampingku. Ia juga menjelaskan kalau rumah tersebut sering digunakan untuk pertemuan para penjaga, terkadang warga di sini juga melihat adanya kerumunan di rumah itu setiap satu bulan sekali. Warga yang memisahkan diri dengan warga utara memilih untuk mengandalkan hidup dan makannya dari hutan, baik itu buruan hewan liar atau tanaman yang bisa dimakan. Mereka terlalu takut untuk keluar dan mencoba bersosialisasi dengan warga utara, mengingat mereka sudah dicap sebagai anak buah Carlos. “Padahal dermaga ini jauh dari pusat desa Vixi, tapi bagaimana bisa mereka menguasai tempat ini?” tanyaku. “Itu terjadi karena perebutan, beberapa hari setelah Carlos meninggal
***Perjalanan dari Filipina ke Indonesia membutuhkan waktu yang lama. Kami langsung berangkat dengan menggunakan ketiga kapal yang tersedia di dermaga. Aku sudah mengabari Nathan dan menyuruhnya menghubungi Violet, aku ingin wanita itu datang dan menjemputku dari Gorontalo.Malam berganti pagi, tetapi aku sama sekali belum melihat pulau terdekat dari sepanjang garis pandanganku, aku sungguh yakin kalau kapal ini melaju ke arah selatan.Aku terus melajukan kapal ini dengan kecepatan stabil hingga terlihatlah pulau kecil di arah tenggara, kuhubungi kedua kapal yang lainnya dan memerintahka mereka untuk segera mendarat di pulau tersebut.Pulau tersebut bernama Pulau Miangas, pulau terluar di ujung utara Indonesia. Kulihat penduduk di sana begitu ramah menyambut kami, mereka mengira kami adalah orang Filipina karena bahasa yang mereka gunakan Bahasa Inggris.“Kami baik-baik saja, Pak,” ucapku, sontak orang yang menjemput kami terperanjat k