***
“HENTIKAN!”
Terdengar suara lengkingan seorang wanita dari luar penginapan. Tanpa pikir panjang, aku langsung berjalan menuruni tangga dan mendapati seorang wanita terbunuh di depan penginapan.
Luka di lehernya terlihat menganga, seperti bentuk dari sayatan benda tajam yang digunakan pembunuh. Aku langsung menyebar pasukanku yang masih terbangun untuk mencari pelaku, ia pasti belum jauh dari tempat pembunuhan tersebut.
Nathan datang menghampiriku, ia menanyakan tentang kejadian yang sedang terjadi. Kuhembus pelan napasku sambil kedua tangan ini berkacak pada pinggang.
“Detailnya aku kurang tahu, tapi sepertinya dia memang dibunuh karena suatu hal,” balasku, Nathan berjongkok di depan mayat wanita yang tertutup kain putih.
Ia buka kain tersebut perlahan dan kuperhatikan wajahnya begitu terkejut, ia langsung berdiri tanpa menutup kain itu kembali saking kagetnya.
“Ada apa?” tanyaku.
&
“Tuan, sendal yang bagus,” ucapku ketika melihat motif di bawah sendal yang mirip dengan jejak kaki lain yang ditemukan di tempat tersebut. Kubandingkan motif tersebut dan sama sekali tidak kutemukan ketidakmiripan, kuperhatikan lagi ia tampak gugup dan gelisah setiap kali pertanyaan terlontar dari mulutku. “Apa itu sendal yang kamu lihat, Nathan?” tanyaku, pria itu berjalan menghampiri dan membelalak kaget, ia berpaling menatapku sembari mengangguk. “A-Aku bukan pembunuhnya,” ucap pria tersebut. Wajahnya pucat, ia tak henti menggerakan tangannya untuk mengatasi kegelisahan yang tampak dari balik ekspresinya. “Tak kusangka kalian berbuat onar padahal sudah kami izinkan bermukim di sini,” jawab pria yang berdiri satu mimbar dengan kepala desa, ia tak lain adalah ajudan dari kepala desa tersebut. Aku berbalik dan menghadap ke arah kepala desa yang masih geram menatap pelaku pembunuhan di depannya, aku mungkin merasakan perasaannya
*** “Lihat, dia sudah menunggu di sana,” ucap Nathan, tangannya menunjuk kepada seorang wanita yang terlihat tengah melambaikan tangan ke arah kapal kami yang hendak berlabuh. Ia datang bersama beberapa orang, kupikir mereka adalah orang-orang terpilih yang begitu dipercayai oleh Violet. Jumlah mereka tak lebih dari lima orang, berdiri di belakang Violet dengan perawakan tubuh yang besar nan kekar. Kuberbalik dan menatap semua pasukanku yang berada satu kapal bersamaku. Di antara ke-20 orang itu, setengah pasukan kuperintahkan untuk menyebar di berbagai kota besar di Indonesia dan setengahnya lagi ikut denganku. “Kalian berlima akan berkoordinasi satu sama lain dengan Nathan, jika ada kesulitan, nyalakan signal darurat kalian.” Aku menjelaskan strategi yang kugunakan untuk mendeteksi keberadaan dari anak buah Stefano di berbagai daerah, dengan menangkap mata-mata Stefano, maka akan mudah untuk menekan pria itu hingga ke tepi “jurang”.
*** “Kabur?” tanyaku, anggota pasukanku mengangguk. “Benar, Tuan. Tampaknya mereka berhasil kabur karena dibantu oleh sekelompok preman,” balas pria tersebut, ia terduduk lemas di atas tanah sambil memegangi kaki kanannya yang terluka akibat tusukan benda tajam. “Apa kamu tahu rupa orang-orang di kelompok tersebut?” tanyaku. Ia terdiam dalam beberapa menit, kepalanya tertunduk sembari memejamkan kedua matanya. Ia tampak seperti tengah mengingat kembali kejadian tersebut karena baginya itu berlangsung cukup cepat. “Untuk ciri khusus, aku tidak mengetahuinya tapi mereka memakai tato penuh di lengan kirinya. Aku tidak tahu bentuknya seperti apa tapi dari kelima orang itu, mereka semua memiliki tato penuh di lengannya masing-masing.” Ah, cukup sulit jika pencarian kelompok tersebut didasarkan pada tato sebelah kiri, jumlah orang di Gorontalo cukup banyak dan juga aku tidak memiliki waktu banyak untuk menyusuri jalan setapak mencari satu or
*** “Aku sudah meminta Cavid untuk terbang kemari, dia juga akan membawa beberapa orang membantu kita,” ucap Violet, aku sangat senang mendengar berita itu. Ia juga sudah memberitahu kepada seluruh pasukan tentang misi yang kuganti, awalnya mereka diperintahkan untuk menyelidiki kaki tangan Stefano. Kartel narkoba baik kelas teri atau kakap adalah bagian penting yang perlu kurangkul, dengan memenangkan semua aspek kejahatan, maka aku akan dengan mudah mendapatkan kekuasaanku kembali. “Di mana Nathan?” tanyaku. Mata Violet berkeliling ke setiap penjuru rumah, ia sama sekali tidak menemukan keberadaan Nathan di sini. Aku ragu jika ia masih saja marah dan tak setuju dengan rencanaku, mengingat Violet sendiri yang meyakinkan pria tersebut. “Mungkin dia pergi keluar untuk mencari udara segar,” balas Violet, singkat. Aku mengangguk dan segera kutinggalkan Violet untuk mencari keberadaan Nathan. Kususuri setiap sudut rumah tersebut da
*** “Pertama, kita akan menunggu kabar dari para anggota pasukan yang sudah disebar.” “Mereka sedang mencari informasi dan kita memberi mereka waktu selama satu minggu untuk pencarian tersebut.” Apa yang harus kulakukan? Jika dia sudah bahagia dengan pria lain, bukankah aku seharusnya senang? Melihatnya bahagia tanpa memikirkanku lagi, bukankah hal itu baik untuk kesehatan mentalnya? “Revan….” Tetap saja aku akan bertemu dengannya, meski ia sudah memiliki pria lain untuk dicintai. Aku harus melihatnya dengan kedua mataku sendiri bagaimana keadaan Tiara, apakah dia merasa sedih atau justru lebih bahagia, aku yang akan memutuskannya. “Revan!” Fokusku teralihkan tatkala Violet berteriak memanggilku, aku baru tersadar kalau pagi ini kita sedang melakukan rapat rencana hingga matang. Kuperhatikan Cavid dan kedua anak buahnya juga menatapku dengan kebingungan. “Apa kamu bisa kembali fokus?” tanya Violet, aku mengangguk dengan
*** “Tidak seharusnya kita membunuh mereka,” balas Nathan. Aku, Nathan, dan Cavid sedang berada di lapangan golf yang cukup luas, sebuah tempat yang mungkin bisa memberikan ketenangan pada diri ini setelah membunuh dua dari keenam utusan karena berkhianat. “Kenapa? Bukankah sudah jelas sebelumnya kalau mereka berkhianat, maka aku tidak segan untuk membunuhnya,” tanyaku. Sikap Nathan cukup membingungkan bagiku, beberapa hari lalu ia menentang keras rencanaku, tapi kini, ia menentang aku membunuh mereka dengan alasan pengkhianatan. “Tapi utusanlah yang berkhianat, pemimpin kedua kelompok itu masih ingin bekerja sama dengan kita.” Aku masih fokus di bola golf yang semakin jauh dari titik mulai, ketika aku berjalan, Nathan juga mengikuti seolah-olah dia adalah pelayan pribadiku yang begitu setia. “Mereka tidak akan melakukannya jika tidak ada perintah dari atasannya, kan?” tanyaku. Kutatap area golf tersebut dengan kepala t
Violet membentangkan tangan kirinya dan mencegahku untuk berjalan mendekati Larissa. Ia mungkin tidak mengenal siapa aku, tapi aku yakin sebagai seorang manusia, ia pasti mengenal bagaimana tata krama menanyakan identitas kepada pemilik rumah.“Tahan, Revan. Jangan bertindak gegabah kepada aset kita,” jelas Violet, kedua mata wanita itu melirik tajam kepada Larissa yang masih menatapku angkuh.Aku bisa saja mendorong tubuh Violet dan menyingkirkannya dari pandanganku, tetapi itu hanya akan menambah permasalahan yang kudapatkan.Larissa mencoba menarik amarahku keluar, mengungkapkan identitas dan mengancamku jika sewaktu aku emosi, aku tidak bisa mengontrolnya dengan baik.Hanya ia yang tersenyum memandang naik turunnya emosi yang ada diriku, berbeda dengan pria di sampingnya yang terlihat gemetaran takut, mungkin dia lebih sayang nyawa dibandingkan ego seperti wanita tersebut.“Aku baik, Violet. Jadi, singkirkan tanganmu dari hada
***Satu minggu kemudian.Semua orang kembali berkumpul, aku menginstruksikan demikian kepada mereka. Pagi itu, kelima orang dari para bandar narkoba sudah datang menemuiku ditemani dengan pengawal mereka masing-masing.Salah satunya adalah Larissa, wanita itu justru datang paling pagi dan menemuiku lebih awal. Ia datang bersama dua anak buahnya yang berpakaian sederhana tapi tetap modis.“Mereka berdua menatapku sama bencinya seperti tatapanmu padaku,” ujarku ketika kedua pria yang berdiri di samping kanan dan kiri Larissa membalas pandanganku dengan sorot mata penuh kebencian.“Orang yang kamu bunuh adalah sahabat dekat keduanya, jadi bukan hanya permasalahanku saja, tapi permasalahan dengan mereka,” balas Larissa, ia tersenyum sinis sembari melipat kedua tangannya.“Oh sahabat kalian? Ah, kupikir kalian tidak perlu memikirkan pengkhianat sepertinya, dia hanyalah pria busuk yang tak tahu terima kasih,” e
Kamis, 21 Oktober 2021 Setelah menghabiskan kurang lebih lima bulan menulis –terkendala tugas perkuliahan dan sebagainya. Serial PARTNER IN CRIME resmi tamat kemarin malam, rasanya begitu lega dan menyenangkan bisa memberikan hasil akhir yang sesuai dengan keinginanku. Namun, cerita ini masih menyimpan beberapa kekurangan dan plothole di berbagai sisi. Oleh karena itu, penulis meminta maaf sebesar-besarnya jika ada cerita atau scene yang tidak dijelaskan secara detail. Tentu hal ini berkaitan dengan alur cerita agar tidak melenceng dan tetap di jalur utama kisah Revan dan Tiara. Dasar dari ide saya membuat cerita perselisihan ditambah dengan romansa antara Mafia dan Polisi tak lain adalah nuansa yang baru, menciptakan kisah baru yang segar dan anti mainstream di kalangan pembaca yang banyak didominasi oleh cerita-cerita CEO, silat, dan sebagainya. Saya memang tipikal orang yang menyukai perbedaan dalam suatu perkumpulan, platform membaca online adalah perkum
*** Satu minggu kemudian Pergantian kepemimpinan di Cincin Hitam terjadi. Tanpa hadirnya aku, dewan komite yang sudah kubentuk mengesahkan Violet sebagai penerus organisasi Cincin Hitam yang terselubung sebagai organisasi masyarakat pembela rakyat kecil. Mereka katanya menyambut dengan baik pergantian kepemimpinan tersebut, bersuka cita dan membuat pesta meriah untuk merayakannya. Itulah yang kudengar dari Nathan yang belakangan sering mengunjungiku, lebih sering ketimbang Violet. “Baguslah. Keadaan pemerintah juga semakin membaik, meski Yudha tidak naik menjadi Plt Presiden, tetapi ia tetap memegang kendali parlemen menggantikan Stefano,” balasku. Perkembangan tubuhku semakin membaik dari hari ke hari, Dokter sudah memperbolehkanku makan-makanan keras dengan syarat harus dikunyah secara halus. Bahkan dengan kondisiku yang seperti ini, dalam beberapa hari ke depan aku mungkin diperbolehkan untuk pulang. Pagi itu, udara hangat m
***Sudah dua hari aku terbaring di kasur rumah sakit. Dokter yang memeriksaku sudah melakukan CT-scan dan mendapatkan hasil yang sesuai dengan perkiraan dokter pribadi yang kupanggil tempo hari.Tukak lambung, penyakit yang terjadi karena adanya infeksi di dinding lambung akibat bakteri. Ia menjelaskan penyebab terjadinya penyakit tersebut, salah satunya adalah konsumsi minuman beralkohol.Aku sadar. Belakangan ini, aku banyak minum-minuman beralkohol, aku kira aku baik-baik saja hingga kejadian ini terjadi.Untuk menjaga kesehatanku agar semakin membaik, Violet terus menemaniku di ruang perawatan ini, terkadang Nathan yang berjaga menggantikannya.“Parlemen sedang sibuk-sibuknya saat ini,” ucapku tatkala melihat pemberitaan di tv yang banyak mengulas seputar penunjukan Presiden pengganti David.Hingga saat ini, mereka masih belum menemukan keberadaan pria tua itu. Jika pun mereka berhasil, mereka hanya akan menemukan jasadnya y
“Mengorbankan hidup kalian untuk orang lain? Apa semudah itu kalian menyerahkan nyawa pemberian dari tuhan?!” bentakku.Aku benar-benar marah saat ini, tak hanya keluarga David tetapi Tiara juga ikut memohon ampun untuk nyawa pria tua penjahat tersebut.Aku berpikir, apa bagusnya dia dibandingkan dengan nyawanya? Dia juga tidak akan mengingat Tiara yang sudah menyelamatkan nyawanya.Sungguh sia-sia.Tiba-tiba kepalaku begitu pusing, telingaku berdengung dan pandanganku mulai berat. Tanganku bertumpu pada sudut meja untuk menahan agar badanku tidak ikut terjatuh.Sontak aku melepaskan senapan dari genggamanku dan langsung diraih oleh Tiara, wanita yang tadi memohon ampun kepadaku, kini berbalik mengacungkan senapannya padaku, mengancamku atas kejahatan yang jauh lebih banyak dibandingkan David.“Semua kejahatan di negeri ini berawal darimu. Aku tidak akan keberatan membunuhmu saat ini juga,” ancam Tiara.Wanita
“Kenapa aku harus pergi dari sini?” tanya David, bingung.“Aku tidak ingin orang-orang mengira kamu masih hidup. Aku akan memalsukan kematianmu dan kamu bebas hidup dengan identitas yang baru,” balasku. David terdiam mendengar penjelasanku, hanya itu satu-satunya pilihan yang kuberikan padanya jika dia ingin tetap hidup.Aku ajak dirinya keluar dari ruang tersebut dan berjalan menuju meja makan yang berada di lantai dasar. Namun, ketika hendak menuruni tangga, ia menolak ajakanku dan meminta waktu untuk memikirkan itu sendiri.Itu yang ia pinta dan aku menghargai keputusannya, lagi pula aku juga banyak berterima kasih atas pengakuannya di siaran tadi, tidak banyak orang berani yang mampu melakukan dan mengakui kesalahannya sendiri.Ia berjalan ditemani seorang pengawal yang sudah kutugaskan untuk tetap bersama David. Ketika aku tengah fokus memandang pria tua itu dari bawah, Nathan tiba-tiba mengejutkanku dengan ditemani beberapa o
***Pagi itu, terpaksa aku harus membawa Tiara ikut bersamaku. Ia tidak bisa memberikanku jaminan pasti kalau dia tidak akan memberikan pernyataan tersebut. Alhasil, semua rencana yang sudah kususun sejak awal tak berjalan lancar.“Kamu membawa lagi orang kemari?” tanya Nathan, pria itu datang menghampiri tatkala melihatku berjalan seraya menggendong seorang wanita, Tiara di dekapanku.“Kamu pasti mengenalnya,” ujarku.Pria itu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, wajahnya menegang dan kedua bola matanya membulat tajam. Ia melihat kehadiran Tiara yang tak sadarkan diri di hadapan wajahnya, ia mengingat betul kalau aku tidak ingin bertemu dengan Tiara secara langsung.“Apa dia mengetahui identitasmu?” tanya Nathan, kesal menatapku tajam.“Ya begitulah, aku perlu melakukannya untuk membungkan mulut Tiara,” jawabku, lirih.“Apa kamu gila?! Dia bisa saja membocorkan keberadaan Pres
***Kedua mata Tiara membelalak tajam, mulutnya tak henti menutup tatkala mendapati aku muncul hidup-hidup di depan matanya. Kucoba raih lengan Violet dan membantu wanita itu untuk kembali bangkit dan berdiri.“R-Revan … apakah itu kamu?” tanya Tiara, ia menjatuhkan selang air yang sedari tadi ia genggam dan menumpahkan aliran air itu terbuang sia-sia.“Aku senang bisa melihatmu lagi, Tiara,” ungkapku.Kudekati pagar rumah Tiara, wanita itu tersentak kaget dan segera mengambil sebuah sapu untuk membela diri. Melihat responnya yang demikian, membuat diriku kebingungan, apakah dia benar-benar merindukanku atau tidak?“Jangan sekali-kali mencoba membodohiku! Aku tidak akan tertipu dengan wajah palsunya,” erang Violet, ia bersikap aneh menganggap aku adalah orang lain yang memakai wajah palsu di mukanya.Tidak pernah terpikirkan aku akan melakukan hal seperti itu, bahkan aku sendiri tidak memiliki alat
“Bawa mereka menjauh dari sini.” Aku langsung memerintahkan beberapa anggotaku untuk membawa mereka berpisah, wajah David sudah dipenuhi oleh lebam, begitu juga sama dengan Jayakarta.Mereka, kedua orang yang sudah bekerja sama selama beberapa tahun, hancur seketika oleh sebuah kepercayaan yang terkhianati. Mereka bertengkar, bergaduh layaknya anak kecil yang memperebutkan layangan.Keluarga Jayakarta, istri dan anak-anaknya begitu ketakutan dan sedih melihat suami dan ayah bagi anak-anaknya babak belur dihajar secara brutal oleh David, yang notabene mereka kenal sebagai rekan kerja Jayakarta.“Apa yang akan kamu lakukan pada suami saya?” tanya istri Jayakarta, menangis tersedu-sedu dalam dekapanku.Kulepaskan wanita paruh baya tersebut dan menyuruhnya untuk tidak ikut campur. Nasib mereka bergantung pada sikap dan ucapan Jayakarta, jika Jayakarta mati, maka mereka juga demikian.“Jika begitu, kalian juga harus menangk
***David terus terdiam, terus menatap lurus ke arah jalanan dengan pandangan yang kosong. Sikapnya berubah tepat ketika aku sudah menjelaskan tentang ambisi tersembunyi dari Jayakarta, David mungkin masih syok mendengarnya.“Apa dia baik-baik saja?” tanya Nathan, ia kini memegang kendali kemudi dan aku duduk tepat di sebelahnya.“Sebelum dia mati, aku pikir dia baik-baik saja.”“Pasti mengejutkan baginya, orang yang bersama-sama sejak dulu malah mengkhianatinya,” jelas Nathan, aku hanya berdeham seraya terus memerhatikan jalanan di depanku.Setengah perjalanan menuju Ibukota sudah terlewati. Mobil kami melaju dengan kecepatan stabil di ruas jalan tol yang cukup lengang malam itu, kuperhatikan melalui kaca spion depan, Larissa dan anggota lain yang duduk di belakang sudah tertidur dengan pulas.Begitu juga dengan David, ia tak lagi termenung dalam pikirannya yang kalut. Matanya terpejam dan kepalanya bersa