***
“Aku sudah meminta Cavid untuk terbang kemari, dia juga akan membawa beberapa orang membantu kita,” ucap Violet, aku sangat senang mendengar berita itu.
Ia juga sudah memberitahu kepada seluruh pasukan tentang misi yang kuganti, awalnya mereka diperintahkan untuk menyelidiki kaki tangan Stefano.
Kartel narkoba baik kelas teri atau kakap adalah bagian penting yang perlu kurangkul, dengan memenangkan semua aspek kejahatan, maka aku akan dengan mudah mendapatkan kekuasaanku kembali.
“Di mana Nathan?” tanyaku.
Mata Violet berkeliling ke setiap penjuru rumah, ia sama sekali tidak menemukan keberadaan Nathan di sini. Aku ragu jika ia masih saja marah dan tak setuju dengan rencanaku, mengingat Violet sendiri yang meyakinkan pria tersebut.
“Mungkin dia pergi keluar untuk mencari udara segar,” balas Violet, singkat.
Aku mengangguk dan segera kutinggalkan Violet untuk mencari keberadaan Nathan. Kususuri setiap sudut rumah tersebut da
Entah kenapa rasanya sakit mendengar kalau Tiara sudah memilih pria lain untuk mengisi hatinya. Apakah Revan akan terus memaksa untuk bertemu Tiara atau dia akan merelakan dan melindungi wanita itu dari balik layar? Simak terus kelanjutannya, yah. Selamat membaca
*** “Pertama, kita akan menunggu kabar dari para anggota pasukan yang sudah disebar.” “Mereka sedang mencari informasi dan kita memberi mereka waktu selama satu minggu untuk pencarian tersebut.” Apa yang harus kulakukan? Jika dia sudah bahagia dengan pria lain, bukankah aku seharusnya senang? Melihatnya bahagia tanpa memikirkanku lagi, bukankah hal itu baik untuk kesehatan mentalnya? “Revan….” Tetap saja aku akan bertemu dengannya, meski ia sudah memiliki pria lain untuk dicintai. Aku harus melihatnya dengan kedua mataku sendiri bagaimana keadaan Tiara, apakah dia merasa sedih atau justru lebih bahagia, aku yang akan memutuskannya. “Revan!” Fokusku teralihkan tatkala Violet berteriak memanggilku, aku baru tersadar kalau pagi ini kita sedang melakukan rapat rencana hingga matang. Kuperhatikan Cavid dan kedua anak buahnya juga menatapku dengan kebingungan. “Apa kamu bisa kembali fokus?” tanya Violet, aku mengangguk dengan
*** “Tidak seharusnya kita membunuh mereka,” balas Nathan. Aku, Nathan, dan Cavid sedang berada di lapangan golf yang cukup luas, sebuah tempat yang mungkin bisa memberikan ketenangan pada diri ini setelah membunuh dua dari keenam utusan karena berkhianat. “Kenapa? Bukankah sudah jelas sebelumnya kalau mereka berkhianat, maka aku tidak segan untuk membunuhnya,” tanyaku. Sikap Nathan cukup membingungkan bagiku, beberapa hari lalu ia menentang keras rencanaku, tapi kini, ia menentang aku membunuh mereka dengan alasan pengkhianatan. “Tapi utusanlah yang berkhianat, pemimpin kedua kelompok itu masih ingin bekerja sama dengan kita.” Aku masih fokus di bola golf yang semakin jauh dari titik mulai, ketika aku berjalan, Nathan juga mengikuti seolah-olah dia adalah pelayan pribadiku yang begitu setia. “Mereka tidak akan melakukannya jika tidak ada perintah dari atasannya, kan?” tanyaku. Kutatap area golf tersebut dengan kepala t
Violet membentangkan tangan kirinya dan mencegahku untuk berjalan mendekati Larissa. Ia mungkin tidak mengenal siapa aku, tapi aku yakin sebagai seorang manusia, ia pasti mengenal bagaimana tata krama menanyakan identitas kepada pemilik rumah.“Tahan, Revan. Jangan bertindak gegabah kepada aset kita,” jelas Violet, kedua mata wanita itu melirik tajam kepada Larissa yang masih menatapku angkuh.Aku bisa saja mendorong tubuh Violet dan menyingkirkannya dari pandanganku, tetapi itu hanya akan menambah permasalahan yang kudapatkan.Larissa mencoba menarik amarahku keluar, mengungkapkan identitas dan mengancamku jika sewaktu aku emosi, aku tidak bisa mengontrolnya dengan baik.Hanya ia yang tersenyum memandang naik turunnya emosi yang ada diriku, berbeda dengan pria di sampingnya yang terlihat gemetaran takut, mungkin dia lebih sayang nyawa dibandingkan ego seperti wanita tersebut.“Aku baik, Violet. Jadi, singkirkan tanganmu dari hada
***Satu minggu kemudian.Semua orang kembali berkumpul, aku menginstruksikan demikian kepada mereka. Pagi itu, kelima orang dari para bandar narkoba sudah datang menemuiku ditemani dengan pengawal mereka masing-masing.Salah satunya adalah Larissa, wanita itu justru datang paling pagi dan menemuiku lebih awal. Ia datang bersama dua anak buahnya yang berpakaian sederhana tapi tetap modis.“Mereka berdua menatapku sama bencinya seperti tatapanmu padaku,” ujarku ketika kedua pria yang berdiri di samping kanan dan kiri Larissa membalas pandanganku dengan sorot mata penuh kebencian.“Orang yang kamu bunuh adalah sahabat dekat keduanya, jadi bukan hanya permasalahanku saja, tapi permasalahan dengan mereka,” balas Larissa, ia tersenyum sinis sembari melipat kedua tangannya.“Oh sahabat kalian? Ah, kupikir kalian tidak perlu memikirkan pengkhianat sepertinya, dia hanyalah pria busuk yang tak tahu terima kasih,” e
***Tak kusangka, rencanaku berjalan dengan sangat lancar dan mulus, seperti tengah berkendara seorang diri di jalan tol yang baru saja dibangun. Kulihat dari pemberitaan di televisi, mayoritas diisi dengan penangkapan gembong narkoba di berbagai tempat.“Apa mereka tidak curiga dengan kejadian ini? Mereka semua langsung tertangkap di kota-kota besar,” balas Nathan, ia masih berdiri di sampingku sembari memerhatikan layar besar yang kugunakan untuk memonitor rencana dan melihat pemberitaan di berbagai media pers.“Aku piker tidak akan, pasalnya isu narkoba sudah dihembuskan bahkan sebelum kita menjalankan rencana kita. Mereka akan menyadari kalau orang-orang yang tertangkap adalah bagian dari kartel pertama,” jawabku.Pintu ruangan terbuka, Violet datang dan memberitahukan kalau seseorang mencariku. Aku terdiam dan langsung berjalan mengikuti Violet yang melangkah lebih cepat dua langkah di depanku.Ketika pintu rumah terbuk
***Dua hari kemudian.“Keterlibatan kelompok Soo dalam perdagangan obat-obatan terlarang semakin terbukti….”“Kami melaporkan dari markas besar kelompok Soo yang mana diduga terlibat dalam jaringan narkoba internasional….”“Pemerintah menunggu kejelasan dan bukti konkrit dari kepolisian sebelum mengambil keputusan terkait kelompok Soo….”Tak kuduga rencana yang kususun untuk menjatuhkan wanita binal itu bisa terlihat dengan jelas, lancar tanpa adanya masalah. Aku terang-terangan memuji kepercayaan dan kesetiaan para kartel dalam menjalankan tugasnya, tidak semuanya.Kudatangi Larissa dan melihat wanita itu benar-benar terpuruk dalam keputusasaan. Ia meringkuk di atas lantai yang dingin, wajahnya pucat pasi dengan mata setengah sadar kembali menoleh ke sumber cahaya yang masuk, pintu keluar kamar.“Apa kamu datang untuk menertawakanku?” tanya Larissa.Ia memeg
***“Bagaimana keadaannya saat ini?” tanyaku, Violet memalingkan wajahnya dan melihat ke arah belakang punggungnya, Larissa tengah tertidur pulas di atas kasur berselimut panjang dan tebal.“Dia belum terbangun sampai saat ini, mungkin kondisinya masih belum benar-benar fit,” ucap Violet.Ia tarik kembali selimut yang ada di atas kasur dan mulai menutupi tubuh Larissa yang terlihat gemetar kedinginan. Benar-benar wanita yang hebat, ia memikul penderitaan dan dan kesendirian seorang diri.Kumelangkah mendekati Larissa dan duduk di samping kepala wanita tersebut, wajahnya benar-benar menarik ketika tengah tertidur. Namun, semakin kutatap erat wajah Larissa, semakin kumencintai Misa dan Rafael yang menunggu dengan cemas di Filipina.“Cavid sudah menunggu di Bandara,” jelas Violet, aku tersenyum tanpa mengalihkan pandanganku dari wanita yang tengah tertidur di depanku.“Apa kamu menyukainya, Revan?&rdquo
*** “Menjadi seseorang yang terus terlena dengan masa lalu, hanya akan mengundang kesedihan di masa depan.” Larissa berkata demikian, usianya yang lebih tua dariku tentu membuatnya memiliki segudang pengalaman tentang masa lalunya. Aku yakin, ia juga menempuh banyak jalan untuk bisa melewati penderitaan yang ia rasakan selama ini. “Aku sama sekali tidak terlena, kami sudah saling melupakan satu sama lain,” balasku, Larissa berdecak merespon perkataanku barusan. “Aku tidak percaya, tatapanmu barusan menyiratkan kalau ada sesuatu yang masih kamu rasakan dalam hatimu,” jelas Larissa, untuk hal ini, aku tidak ingin menimpal atau membalas perkataannya lagi. Ia tampak sudah menyadari kalau aku memang masih belum mampu melupakan Tiara, kenangan selama beberapa tahun menjalin kasih dengannya tidak mudah kuhapuskan begitu saja. Jauh dari lubuk hatiku yang terkecil dan dalam, aku memiliki sedikit perasaan untuk kembali ke dekapannya. “Tidak muda