“Awwh!!” Wanita itu meringis saat tangannya dicengkeram kuat lalu disentakkan dengan kasar. Dia menggeram lalu menoleh ke arah si pelaku. “Kee-nan?”“Ini rumahku!” Keenan menatap tajam sang wanita lalu menariknya cepat ke luar dari kamar.“Keenan, ayolah. Sandiwara apa yang kau lakukan, heh? Aku tahu bahwa kau ditekan untuk segera menikah, tetapi mengapa harus dengan janda beranak satu pula? Lihat aku!” Dengan penuh rasa percaya diri wanita berambut perak itu mendekatkan. “Aku bisa jadi istrimu.”Sayangnya Keenan malah tertawa sumbang. “Lisna, berhentilah mengada-ngada. Lebih baik kau pulang sekarang.”“Aku serius. Aku kurang apa coba? Oh astaga. Jangan-jangan kau ini dipelet oleh perempuan itu.”Keenan mendengkus pelan lalu berucap. “Aku sedang tidak mau berdebat denganmu. Pergilah.” Sementara di dalam kamarnya Farel tengah mendengarkan penjelasan dari Lily terkait dengan insiden barusan.“Enggak pa-pa, Sayang. Tante yang tadi mungkin sedang kesal. Jadi ya berbicara asal
Farel terkesiap lalu mematung dalam sekejap. Sementara Lily lekas menahan tangan Keenan yang sudah mengepal erat.“Apa yang kau lakukan??” tanya Keenan dengan suara yang menahan geram. Tadinya dia hendak kembali ke ruang kerja. Namun, suara bising dari kamar Farel mengacaukan rencananya.Bocah usia empat tahun itu menunduk seraya meremas jari-jarinya sendiri. “A-aku hanya main rumah-rumahan.”“Dia hanya bermain. Tolong jangan memarahinya,” bisik Lily. Wanita itu menggeleng pelan dengan bola mata yang nyaris berhenti berkedip ketika Keenan mulai mengayunkan langkahnya. Tepat saat hampir mendekati Farel, suami dinginnya tersebut berhenti lalu mengambil posisi bersidekap.“Apa ranjangmu tidak nyaman?” tanyanya kemudian. “Kau tidak suka gambarnya?” Farel menggeleng. “Atau warnanya?” Lagi-lagi sang bocah menggeleng pelan. Keenan lantas mengernyit heran. Kepalan tangannya pun mulai mengendur.“Enggak ada yang salah kok. Semua yang ada di sini Farel suka,” gumam Lily
“Mbok Jum??” Lily yang barusan ke luar dari kamar dikejutkan oleh kehadiran ketua pelayan yang sudah berdiri di belakangnya. “Mbok nyariin siapa?”“Eh he.” Wanita paruh baya itu mengusap pelan tengkuknya sambil tersenyum keki. “A-anu. Tuan Keenan. Apa Tuan sudah bangun ya?”“Mungkin. Ranjangnya sudah rapi begitu.” Lily menjawab sekenanya. Jelas penuturan barusan membuat Mbok Jum mengernyit seraya membolakan mulutnya. Memangnya tadi malam sepasang pengantin baru tersebut tidak menghabiskan malam bersama? Itulah yang ada di dalam benaknya. Baru saja hendak bertanya lebih lanjut, suara derap langkah kaki membuat mereka lekas menoleh.“Tuan?”“Sudah jam berapa ini, Mbok? Kenapa telat membawakan teh untukku??” Tatapan Keenan begitu mengintimidasi. Membuat Mbok Jum menunduk karena merasa bersalah.“Maaf, Tuan. Saya pikir tadi malam Tuan dan Nyonya—““Apa??” potong Keenan cepat. “Jangan banyak bicara. Lakukan saja tugas Mbok di sini dengan benar.” Setelahn
Lily memejamkan mata sembari meremas kain yang ada di hadapannya. Belum lagi napas yang mulai terengah-engah. Sayang. Ketakutan wanita cantik itu tampaknya tak beralasan. Terlebih lagi karena dia sekarang baik-baik saja. Bahkan pinggangnya direngkuh erat oleh sebuah lengan kekar yang masih menempel di sana.“B-bang Keenan?” ringisnya dengan bola mata refleks melebar seketika.“Lain kali jangan ceroboh.” Keenan buru-buru berdiri tegak lalu melepas kaitan tangannya dari tubuh Lily.“Makasih ya.” Suaminya itu tak berniat membalas meskipun hanya dengan anggukan kepala. Lily pun bergegas menutup pintu kamarnya.“Huffh!”” Napasnya terembus kasar ketika mengingat kejadian barusan. Kalau saja Keenan tak cepat menahannya, maka sekarang entah tangan, kaki atau bokongnya yang sakit akibat terjatuh ke lantai marmer tadi. Saat ini putranya tengah bersiap-siap di kamar. Sementara Lily sedang was-was menunggui Keenan yang tengah mandi sejak lima menit
“Eh?” Lily menyipitkan matanya.“Iya,” sahut Farel cepat. “Tadi mama bilang di sana kalau aku sekolahnya cuma tiga bulan, hemm?” Sorot mata polos tersebut tampak menyudutkan Lily. Tahu bahwa putranya sedang menanti jawaban.“Enggak gitu, Sayang. Mama cuma mau mastiin kamu betah atau enggak di sekolah ini. Jadi dicoba dulu selama tiga bulan. Kalau dirasa kamu happy ya ... lanjut.” Farel mengangguk sembari memasukkan segala perlengkapan sekolahnya ke tempat semula. Lantas menyerahkan tangannya untuk digamit sang mama meninggalkan pelataran sekolah. Kini keduanya sudah kembali ke rumah. Perjalanan yang ditempuh tidak terlalu jauh memang. Hanya lima belas menit jika menggunakan kendaraan roda dua.“Minggu depan kamu ‘kan sekolah. Besok mama juga udah balik kerja. Nanti kalau ada waktu kita jengukin kakek dan nenek ya.”“Iya, Ma. Kenapa kita tinggal terpisah? Di sini banyak kamar kosong. Mirip hotel seperti yang pernah kita datangi,” cengir Farel menampa
Lily mendesis pelan usai menegakkan tubuhnya kembali. Langkahnya jadi terseok-seok karena terjatuh barusan. Sayang. Mobil tadi justru semakin mendekat. Bahkan sudah menghadang jalannya.“Kenapa kau malah lari??”Suara dingin dan datar tersebut membuatnya lekas mendongak. “Bang Keenan?”“Kenapa? Kau kira aku siapa, hah? Penculik?” ujar Keenan yang sudah bersidekap sembari menatapnya dengan sinis.“Maaf, aku pikir tadi—““Masuklah. Jangan membuang waktuku lebih banyak lagi,” potong Keenan cepat. Pria itu lantas segera melangkah ke dalam mobil. Sementara sang sopir membukakan pintu yang satunya lagi untuk Lily. Hah. Wanita itu merutuk di dalam hati. Dia lupa bahwa sang suami punya banyak kendaraan mewah. Makanya dia tak mengenali warna dan plat mobil yan baginya belum familiar.“Hari ini aku masuk shift sore. Jadinya pulang tengah malam,” cicit Lily menjelaskan kenapa dia bisa berada di jalanan sekarang. Namun, Keenan hanya diam tanpa merespon perkataannya tadi. Jadilah ia ke
Beruntung Lily mengatakannya dengan suara pelan. Jadi tidak ada yang mendengar. Perempuan itu kini menyipitkan mata untuk melihat sosok sang pemegan saham terbesar di perusahaan roti tempatnya bekerja sekarang. “Gimana? Ganteng ‘kan?” bisik Nina dari belakang. “Namanya Pak Keenan, bukan atasan kita yang kamu bilang kemarin-kemarin. Kalau itu sih aku juga enggak mau. Dih amit-amit ya.” “Oh hiya,” gumam Lily sambil manggut-manggut. Tak pelak menundukkan kepala begitu manajer mereka kembali berbicara pada Keenan. “Sebenarnya yang bekerja di bagian ruangan baking yang ini ada empat orang, Pak. Sama seperti yang di depan tadi, tetapi kebetulan dua orang sedang cuti,” ucap sang manajer. “Lily, Nina. Ini Pak Keenan. Mungkin kalian baru melihat. Beliau adalah orang yang paling berkuasa di sini.” “Malam, Pak!” sapa mereka kompak. Keenan hanya mengangguk sebagai respon. Dia menatap Lily sekilas dengan mata mendelik lalu segera memalingkan wajah. Hah. Sungguh dia tak menyangka jika sang
Kedua alis Lily saling bertaut usai mendengar suara Keenan barusan. Bukankah tadi suaminya itu sudah melarang? Kenapa malah jadi begini? Sementara Farel memandang sepasang suami istri tersebut secara bergantian.“Kalian boleh pergi, tetapi jangan menginap,” gumam Keenan usai mengakhiri sarapannya.“Eh?” Lily mengangguk samar meskipun hatinya terasa dongkol. “Baiklah. Kalau gitu kita pergi sebentar lagi. Oke?”“Sekarang saja. Aku tunggu di mobil.” Farel pun bersorak girang. Namun, Lily mendesah panjang karena tak bisa protes lagi. Alhasil dia pun lekas kembali ke kamar untuk mengambil tasnya.“Papa tampan sekali. Iya ‘kan, Ma?” gumam Farel yang sekarang duduk di tengah-tengah mereka. Lily dan Keenan saling pandang lalu sama-sama lekas memutus kontak mata keduanya. “Ma?”“I-iya,” jawab Lily singkat.“Oh iya. Mama juga cantik ‘kan?” Kali ini bocah tersebut meminta pengakuan dari sang papa sambung.Keenan mengangguk tanpa menoleh ke arah Lily sama sekali. Setelahny
“Maafkan aku karena telah membuatmu hamil.” Pernyataan barusan membuat Lily yang tengah kesakitan sontak tertawa. Tak pelak sopir yang juga ikut mendengarnya terbahak tanpa sadar. “Abang?” rengek Lily di sela-sela kontraksi yang memelan sekejap. “Enggak pa-pa. Aku bisa. Jangan cengeng dong. Anak kita mau lahir. Masa’ papanya nangis.” “Iya, Tuan. Harus semangat supaya Nyonya kuat lahirannya.” Sang sopir juga tak mau kalah memberikan dukungan. “Kalian benar.” Keenan menyeka cepat air matanya yang sudah membasahi pipi. “Aku harus mendampingimu di ruang bersalin nanti. Kalau dokter melihatku lemah, mereka tidak akan mengijinkanku masuk.” Lily tersenyum mendengar ucapan suaminya. Tak berapa lama mobil pun tiba di tempat tujuan. Keenan pun memekik dari arah luar agar para petugas menyiapkan kursi roda untuk istri tercintanya. Seorang bidan yang kebetulan bertugas shift sore memeriksa jalan lahir Lily. Lantas mengatakan, “Ini masih pembukaan sembilan lebih. Sebentar lagi waktunya ber
“Hai, Tante!” sapa Farel sembari melambaikan tangannyan ke arah Lisna. Bocah polos itu bahkan sudah bergerak untuk salim pada wanita yang ada di depan mereka. Lisna pun mengangguk sambil tersenyum. “Kau sudah semakin besar ya.” “Iya dong,” sahut Farel cepat. “Aku juga mau punya adik.” “Ya.” Lagi-lagi Lisna hanya bisa mengangguk saja. Dia pun menoleh pada Lily lalu berkata, “Selamat ya atas kehamilannya.” “Terimakasih.” Kali ini Keenan yang menjawab dengan sorot mata tidak bersahabat. Dia masih menyimpan amarah atas perbuatan Lisna kala itu. “Maafkan aku.” “Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi,” kata Lily yang kini sudah tersenyum manis. “Kamu apa kabar?” “Aku … baik.” Tak lama setelah itu mereka mendengar nama Lisna yang dielukan oleh seseorang. Semuanya sontak menoleh. “Sayang, kamu di sini?” Dimas. Pria tersebut terlonjak kaget begitu melihat tiga orang yang sekarang bersama Lisna. Dia pun jadi salah tingkah. “A-aku dan Dimas —” “Bulan depan kami akan tunangan,” potong Dima
Farel sangat bersemangat bercerita dengan Adrian tentang kabar janin yang dikandung oleh sang mama. Dia bahkan sama sekali tak menggubris kue dan camilan yang disediakan di atas meja. Seperti biasa. Suaranya selalu mendominasi di antara para orang dewasa.“Wah. Papa turut senang karena sebentar lagi kamu mau jadi seorang kakak.” Adrian merespon dengan kuluman senyumnya. Lantas dia menoleh ke arah Lily yang tengah mengusapi perut buncitnya. Jujur kalau memang sampai sekarang rasa cinta itu masih belum memudar.“Ya sudah. Papa antar kau ke atas untuk bersiap-siap ya.” Keenan bangkit dari duduknya lalu menggamit tangan Farel. Meninggalkan Lily bersama Adrian yang masih berada di ruang tengah. Suasana berubah menjadi hening. Hingga kemudian Adrian memilih untuk berbicara terlebih dahulu. Dia tersenyum getir menyaksikan sang mantan istri yang kini sedang berbadan dua.“Selamat ya untuk kehamilan kamu.”“Makasih, Mas.” Lily mengangguk sambil tersenyum. “Jangan lu
“…, ya. Dia laki-laki seperti dirimu.”“Laki-laki?” ucap Farel mengulang pernyataan sang dokter. Pria berjas putih itu mengangguk singkat sambil tersenyum.“Kau senang?” tanya Keenan yang dilangsung diiyakan oleh Farel tanpa jeda.“Aku punya teman. Yeay!!” soraknya lagi. Setelahnya dokter pun menginformasikan pendidikan kesehatan tentang kehamilan pada Lily dan Keenan. Kini pasangan suami istri tersebut saling menggenggam sembari tersenyum penuh.“Usia kehamilan Anda sudah masuk 22 minggu. Semoga prediksi jenis kelamin tetap tidak berubah ya.”“Kalaupun adikku perempuan tidak masalah,” celetuk Farel masih dengan keceriaan yang sama. “Nanti aku bisa minta papa untuk—”“Sayang?” potong Keenan cepat. “Tali sepatumu terlepas.” Atensi bocah usia empat tahunan itu pun teralihkan. Beruntung percakapan tadi tidak berlanjut. Kalau tidak bisa dipastikan bahwa Keenan dan Lily akan merasa malu. Tahu bahwa anak mereka tersebut mengutarakan hal yang menggelikan.“Makanya
“Aku mau adik laki-laki,” ucap Farel ketika keluarga kecil mereka baru saja beristirahat usai berjibaku di dalam kolam renang. Matanya berbinar ketika ikut meletakkan tangan di perut buncit sang mama. “Sepertinya kau yakin sekali,” goda Keenan yang kini sudah menempelkan telinga di bagian sisi perut yang lain. Pria itu mengerjap ketika merasakan sesuatu menendang dari dalam sana. Membuat dia dan Farel terkekeh serempak lalu sibuk berdebat tentang jenis kelamin calon anggota keluarga baru mereka tersebut. “Tuh ‘kan? Dia bilang kalau akan menjadi temanku bermain badminton nanti.” Kali ini Farel justru merasa sangat percaya diri dengan tebakannya. Sementara Lily hanya tersenyum sembari mendengar dua pria beda usia yang dicintainya itu berdebat terus-terusan. Pemandangan indah yang sudah lama ia dambakan sejak jauh hari. Tak lama kemudian dirinya menyingkirkan tangan mereka dan bersiap hendak bangkit dari kursi. “Ma, katakan kalau adikku laki-laki,” rengek Farel yang ham
“Om minta maaf ya.” Namun, Keenan masih membungkam mulutnya. Sama sekali tak menggubris permintaan maaf dari pria paruh baya tersebut. Sementara Lily yang memang gampang sekali kasiha menatap wajahnya dengan iba.“Bang, kasihan sama Dokter Faisal.” Lily meremas lembut telapak tangan suaminya agar respon. Barulah Keenan berdecak pelan lalu menoleh ke arah tamu yang tak diharapkannya itu.“Om tidak salah apa-apa.”“Iya, Nak, tapi Lisna—”“Itu tidak ada sangkut pautnya dengan Om,” tegas Keenan dengan rahang yang sudah mengetat. “Dari dulu Om selalu menutupi kesalahannya. Memanjakannya dan selalu jadi tameng. Lihatlah sekarang! Dia bahkan hampir menjadi seorang pembunuh. Untungnya janin di kandungan istriku bisa selamat.”“Lily hamil?” Dokter Faisal semakin merasa bersalah.“Ya.” Keenan lantas menatap kesal dokter kepercayaan keluarganya itu. “Sebenarnya aku ingin melaporkannya pada polisi, tetapi gagal karena istriku yang mencegah. Jadi sebagai gantinya aku mohon dengan san
Keenan kehilangan suaranya begitu menyadari apa yang terjadi. Pria itu terus memeluk Lily sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Tak pelak melabuhkan kecupan kecil di area wajah wanitanya tersebut. Sementara Bagas sesekali menoleh ke belakang. Berusaha memacu kendaraan yang saat ini ia kemudikan sendiri agar bisa berjalan lebih cepat lagi. Jika dia ada di posisi sang tuan sekarang, mungkin juga akan berlaku sama. “Tuan Keenan??” “Lakukan yang terbaik untuk istriku!!” Semua petugas yang ada di ruangan IGD rumah sakit itu bergerak cepat menangani Lily, sedangkan Keenan sibuk mondar-mandir tak karuan. Dia merasa sesak sekaligus menyesali apa yang telah terjadi. Menyalahkan diri sendiri karena keadaan istrinya sekarang. Dua jam kemudian … &n
“Dua kali dia menemuiku. Mengajakku bekerja sama untuk menghancurkan pernikahan kalian.”“Aku tidak percaya.”“Ck. Itu urusanmu. Aku hanya berharap semoga Lily baik-baik saja karena kalau benar wanita itu yang menculiknya, maka habislah sudah.” Percakapan tadi masih terngiang di telinga Keenan. Sekarang dia sudah tidak sabar untuk kembali ke Medan. Beruntung Bagas bisa menyediakan jet pribadi sehingga memudahkan pergerakan mereka tiba di sana dengan cepat.“Saya sudah menghubungi orang suruhan kita untuk mengawasi Nona Lisna,” kata Bagas yang baru saja memutus panggilan lewat ponselnya sebelum kendaraan pribadi itu terbang. “Kita akan langsung dapat kabar begitu sampai di Medan.”“Good,” gumam Keenan yang segera memasang kaca mata hitamnya. “Bagaimana dengan Dimas? Kau juga suruh orang untuk mengawasinya ‘kan?”“Iya, Tuan.” Keenan mengembuskan napasnya dengan keras. Benar-benar tak sabar ingin membuktikan tudingan Adrian tadi. Kalau memang apa yang dikataka
“Tidak!” tolak Keenan cepat. “Aku yakin dia yang menculik Lily.”“Kau gila ya?” Lisna pun geleng-geleng kepala.Keenan menatap tajam Lisna. “Atau kaulah orangnya! Oh ya. Aku pernah melihatmu berbicara dengan Adrian. Kalian mungkin sudah bekerja sama. Jawab, Lisna!!” Pria yang sudah frustrasi itu hendak melayangkan satu pukulan lagi ke wajah Dimas, tetapi sang daddy dan Bagas lebih dulu menahan tubuh kekarnya. Membuat dia jadi terhalang oleh keduanya.“Hentikan!” sentak daddy-nya lagi. “Bukan begini caranya bertindak. Kamu harus berpikir dengan kepala dingin. Kenapa jadi malah brutal??”“Lily itu istriku, Dad!” tukas Keenan dengan perasaan yang campur aduk. “Aku bisa gila karena kehilangan dia. Apalagi saat ini dia sedang … agh!! Dia lagi sakit. Bagaimana dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Tidak ada yang tahu ‘kan?”“Kami mengerti perasaanmu. Tenanglah sebentar,” bujuk daddy-nya. Waktu makan malam sudah lewat sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Keenan ma