“Sudah, Ly. Jangan didengerin,” bisik bibinya dengan suara pelan.Lily menggeleng cepat. Telinganya bukan tidak mendengar apa yang disampaikan oleh ibu julid tadi, tetapi dia hanya ingin memastikan sekali lagi. “Bu, siapa maksudnya? Saya?”Ibu tersebut terkekeh. “Eh. Kamu ngaku sendiri ternyata. Padahal saya belum nanyain langsung loh.”“Udah nih. Belanjaannya jadi tiga puluh ribu.” Sang bibi memotong obrolan dengan lekas memberikan sekantong plastik berisi gula, minyak dan bubuk teh ke tangan pembelinya. Dengan begitu, orang yang memancing kemarahan Lily sudah pergi.“Bi, jadi ini alasannya kenapa tadi kalian ngelarang aku kemari? Iya?”Bibi menghela napa panjang lalu duduk menyandarkan punggungnya. “Biasalah, Ly. Namanya juga tetangga. Ada yang gosipin. Kamu kayak baru kenal warga di sini aja. Ada yang mulutnya baik, ada juga kayak Bu Tinah tadi.” Mendengar penuturan barusan Lily seketika merasa bersalah. Selama satu tahun menumpang hidup di sana keluarga pamannya banyak
Tak hanya Lily yang terkejut dengan kedatangan orang barusan. Para ibu yang tengah menghakiminya tadi pun sama kagetnya. Mereka saling berbisik sembari melirik pria tersebut.“Ada apa ini?” Keenan bertanya demikian sembari melingkarkan tangannya di pundak Lily. Lantas dia menatap satu demi satu orang-orang julid tadi.“Enggak kok. Kami cuma nanya sama Lily,” jawab seorang dari mereka. “Ya wajar sih kami curiga. Lily dan anaknya tiba-tiba aja pergi dari sini. Eh pas ditanya ke paman bibinya malah dibillang dia nikah. Kami ya merasa ada yang aneh.”“Iya. Seharusnya ‘kan ada kabar gitu sejak jauh hari,” tambah yang lain pula. Lily menunduk seraya meremas ujung bajunya. Takut kalau Keenan berbicara penuh dengan emosi atau malah jadi merendahkan keluarga pamannya. Hingga kemu
“Hai!” Wanita pengganggu tadi sudah tersenyum kecentilan. Mendekat ke arah Keenan yang sama sekali memandangnya dengan tatapan muak.“Mau apa? Ini sudah malam,” gumam Keenan dengan suara datarnya. Alih-alih menjawab pertanyaan barusan. Sang wanita malah bergelayut manja di lengannya. “Lisna, aku lelah.”“Benarkah? Kalau begitu ayo kita ke kamarmu. Aku akan pijat agar kau jadi lebih rileks. Bagaimana?” rengek wanita bernama Lisna itu.Keenan menggeleng lalu pergi meninggalkannya begitu saja. Namun, siapa sangka jika Lisna malah justru membuntutinya dari arah belakang.“Ayolah, Keenan. Aku hanya ingin memijatmu saja.” Dia masih berusaha dengan menampakkan senyuman paling manis menurutnya. “Kau lupa ya kalau kita bahkan pernah—““Itu hanya kesalahan. Berhentilah untuk mengungkitnya lagi,” potong Keenan yang lekas menyela pembicaraan tersebut. “Pulanglah.” Lisna berdecak sebal lalu menyentakkan kakinya dengan mode manja. Sengaja berbuat ulah agar Keenan mau mengiku
Farel lantas meninggalkan ruang makan begitu saja. Tak pedulikan Mbok Jum yang berusaha mengejarnya dari arah belakang.“Tuan Farel. Ini si Mbok. Tolong bukain pintunya dong.” Tak ada sahutan dari dalam sana. Hanya sesekali isakan tangis dari bocah tersebut. Membuat kepala asisten rumah tangga itu mendesah pelan sambal geleng-geleng kepala. Cukup lama dia berada di depan pintu. Namun, suaranya sama sekali tidak ditanggapi oleh Farel. Sementara Keenan yang baru saja menyudahi sarapannya bangkit dengan cepat. Pun begitu juga dengan Lisna masih tampak tak merasa bersalah dengan kekacauan yang dibuatnya beberapa saat lalu.[“Mundurkan jadwal meeting pagi ini hingga jam makan siang tiba. Aku sedang ada urusan.”] Keenan segera menyudahi titahnya pada seseorang di seberang sana. Menyimpan gawainya ke dalam saku dalam jas lalu melangkah menaiki gundukan anak tangga.“Berhenti mengikutiku!”Lisna mencebik lalu mengangguk seketika. “Oke. Aku akan tunggu
“Udah, Ma. Aku kenyang.” Farel menggeleng sembari menjauhkan mulutnya dari sendok yang dipegang sang mama.“Oke. Kata papa tadi kamu sakit perut ya?” tanya Lily usai menyudahi sarapannya juga. “Mules atau bagaimana, hemm?”“Sekarang sudah tidak sakit. Aku mau ke kamar saja.”“Nanti mama datang ya, Nak. Mama mau mandi dulu,” gumam Lily sambal membelai lembut puncak kepala putranya.Farel mengangguk. Bocah itu lantas segera pergi meninggalkan ruang makan. Dia menunduk begitu melihat Keenan yang berpapasan dengannya. Kini Lily sudah tiba di kamar. Baru saja membersihkan diri dan duduk tenang di atas sofa. Tak berapa lama Keenan masuk lalu mengambil posisi bersidekap di hadapannya.“Apa dia sudah tidak marah padaku lagi?” tanya pria tampan berhati dingin itu.“Kami masih belum bicara. Tadi aku hanya bisa membujuknya untuk sarapan,” jawab Lily yang kemudian lekas menutup mulutnya yang tengah menguap lebar. “Abang pergi saja. Tidak pa-pa.” Setelahnya Lily lekas m
Bagaimana ini? Permintaan Farel barusan sangat memberatkan. Lily tidak mungkin membujuk sang suami untuk mengiyakannya bukan?“Maaf ya. Mama benar. Kau tak bisa ikut,” kata Keenan memberikan jawaban.“Kenapa? Aku janji tidak akan mengganggu papa,” rengek Farel manja. “Dulu papa bilang aku masih kecil makanya belum boleh ikut kerja. Sekarang aku sudah besar.” Ada rasa perih yang seketika menjalar di hati Lily usai mendengar kalimat putranya tadi. Terbayang bagaimana banyak caci maki yang dilontarkan pihak keluarga mantan suaminya kala itu. Ternyata Farel bisa mengingat luka tersebut sampai sekarang.“Waktunya tidak tepat. Lain kali saja ya.”“Aku mau sama papa.” Farel masih memohon.Keenan pun menghela napas berat. Lantas berbisik pada Lily. “Apa yang bisa kulakukan agar dia tidak menganggu?”Lily berpikir sejenak kemudian memberikan saran pada Keenan yang langsung disanggupi oleh pria dingin itu. “Kita makan siang di luar saja yuk. Papa masih punya waktu. N
Lily menggeleng pelan. “Ini bukan apa-apa. Hanya memar biasa.”“Baiklah,” jawab Keenan singkat. Tak mau memikirkan hal yang dianggapnya remeh seperti barusan. Dia pun memberikan perintah pada sang sopir untuk mengemudikan mobil ke hadapannya. “Kalian pulanglah.”“Papa gimana?” tanya Farel dengan polosnya.“Sebentar lagi ada mobil lain yang menjemput.” Farel pun lekas menurut dan segera masuk ke dalam mobil. Tak pelak bocah itu mengecup punggung tangan Keenan. Namun, saat Lily hendak melakukan hal yang sama suara nyaring dari arah belakang mengalihkan atensinya. Seorang pria dengan setelan jas formal seperti sang suami berjalan mendekat sambil tersenyum. Tatapannya tertuju pada Lily dengan pandangan yang sangat sulit diartikan. Tak berapa lama kemudian dia mengulum senyum.“Wah, siapa nih? Malah kelihatan bening. Kalau gebetan kayaknya enggak mungkin.”Keenan berdecak pelan. “Bukan urusanmu.” Dia melirik ke arah Lily yang tampak canggung. “Masuklah.”“I-iya.
“Permisi,” ucap Lily dengan suara yang sangat pelan.“Hei, saya belum selesai bicara,” kata pria itu. “Kamu yang tadi bersama dengan Keenan ‘kan?”Lily menggeleng cepat. “Bu-bukan. Anda pasti … salah orang.”“Benarkah?” Kedua alis lawan bicaranya itu saling bertaut. “Kayaknya memang kamu. Tunggu dulu biar saya—”“Maaf, Pak. Saya masih banyak kerjaan. Permisi,” potong Lily yang bergegas pergi dari sana. Wanita itu berjalan setengah berlari dengan sekuat tenaga. Napasnya pun sudah terengah-engah.“Eh, kenapa?” tanya Nina begitu melihatnya kembali ke ruangan.“Enggak. Aku tadi salah masuk toilet pas kebelet,” bohong Lily yang tampak begitu natural.Nina pun tergelak. “Ada ya gitu. Jadi kamu udah lihat apa aja?”
“Maafkan aku karena telah membuatmu hamil.” Pernyataan barusan membuat Lily yang tengah kesakitan sontak tertawa. Tak pelak sopir yang juga ikut mendengarnya terbahak tanpa sadar. “Abang?” rengek Lily di sela-sela kontraksi yang memelan sekejap. “Enggak pa-pa. Aku bisa. Jangan cengeng dong. Anak kita mau lahir. Masa’ papanya nangis.” “Iya, Tuan. Harus semangat supaya Nyonya kuat lahirannya.” Sang sopir juga tak mau kalah memberikan dukungan. “Kalian benar.” Keenan menyeka cepat air matanya yang sudah membasahi pipi. “Aku harus mendampingimu di ruang bersalin nanti. Kalau dokter melihatku lemah, mereka tidak akan mengijinkanku masuk.” Lily tersenyum mendengar ucapan suaminya. Tak berapa lama mobil pun tiba di tempat tujuan. Keenan pun memekik dari arah luar agar para petugas menyiapkan kursi roda untuk istri tercintanya. Seorang bidan yang kebetulan bertugas shift sore memeriksa jalan lahir Lily. Lantas mengatakan, “Ini masih pembukaan sembilan lebih. Sebentar lagi waktunya ber
“Hai, Tante!” sapa Farel sembari melambaikan tangannyan ke arah Lisna. Bocah polos itu bahkan sudah bergerak untuk salim pada wanita yang ada di depan mereka. Lisna pun mengangguk sambil tersenyum. “Kau sudah semakin besar ya.” “Iya dong,” sahut Farel cepat. “Aku juga mau punya adik.” “Ya.” Lagi-lagi Lisna hanya bisa mengangguk saja. Dia pun menoleh pada Lily lalu berkata, “Selamat ya atas kehamilannya.” “Terimakasih.” Kali ini Keenan yang menjawab dengan sorot mata tidak bersahabat. Dia masih menyimpan amarah atas perbuatan Lisna kala itu. “Maafkan aku.” “Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi,” kata Lily yang kini sudah tersenyum manis. “Kamu apa kabar?” “Aku … baik.” Tak lama setelah itu mereka mendengar nama Lisna yang dielukan oleh seseorang. Semuanya sontak menoleh. “Sayang, kamu di sini?” Dimas. Pria tersebut terlonjak kaget begitu melihat tiga orang yang sekarang bersama Lisna. Dia pun jadi salah tingkah. “A-aku dan Dimas —” “Bulan depan kami akan tunangan,” potong Dima
Farel sangat bersemangat bercerita dengan Adrian tentang kabar janin yang dikandung oleh sang mama. Dia bahkan sama sekali tak menggubris kue dan camilan yang disediakan di atas meja. Seperti biasa. Suaranya selalu mendominasi di antara para orang dewasa.“Wah. Papa turut senang karena sebentar lagi kamu mau jadi seorang kakak.” Adrian merespon dengan kuluman senyumnya. Lantas dia menoleh ke arah Lily yang tengah mengusapi perut buncitnya. Jujur kalau memang sampai sekarang rasa cinta itu masih belum memudar.“Ya sudah. Papa antar kau ke atas untuk bersiap-siap ya.” Keenan bangkit dari duduknya lalu menggamit tangan Farel. Meninggalkan Lily bersama Adrian yang masih berada di ruang tengah. Suasana berubah menjadi hening. Hingga kemudian Adrian memilih untuk berbicara terlebih dahulu. Dia tersenyum getir menyaksikan sang mantan istri yang kini sedang berbadan dua.“Selamat ya untuk kehamilan kamu.”“Makasih, Mas.” Lily mengangguk sambil tersenyum. “Jangan lu
“…, ya. Dia laki-laki seperti dirimu.”“Laki-laki?” ucap Farel mengulang pernyataan sang dokter. Pria berjas putih itu mengangguk singkat sambil tersenyum.“Kau senang?” tanya Keenan yang dilangsung diiyakan oleh Farel tanpa jeda.“Aku punya teman. Yeay!!” soraknya lagi. Setelahnya dokter pun menginformasikan pendidikan kesehatan tentang kehamilan pada Lily dan Keenan. Kini pasangan suami istri tersebut saling menggenggam sembari tersenyum penuh.“Usia kehamilan Anda sudah masuk 22 minggu. Semoga prediksi jenis kelamin tetap tidak berubah ya.”“Kalaupun adikku perempuan tidak masalah,” celetuk Farel masih dengan keceriaan yang sama. “Nanti aku bisa minta papa untuk—”“Sayang?” potong Keenan cepat. “Tali sepatumu terlepas.” Atensi bocah usia empat tahunan itu pun teralihkan. Beruntung percakapan tadi tidak berlanjut. Kalau tidak bisa dipastikan bahwa Keenan dan Lily akan merasa malu. Tahu bahwa anak mereka tersebut mengutarakan hal yang menggelikan.“Makanya
“Aku mau adik laki-laki,” ucap Farel ketika keluarga kecil mereka baru saja beristirahat usai berjibaku di dalam kolam renang. Matanya berbinar ketika ikut meletakkan tangan di perut buncit sang mama. “Sepertinya kau yakin sekali,” goda Keenan yang kini sudah menempelkan telinga di bagian sisi perut yang lain. Pria itu mengerjap ketika merasakan sesuatu menendang dari dalam sana. Membuat dia dan Farel terkekeh serempak lalu sibuk berdebat tentang jenis kelamin calon anggota keluarga baru mereka tersebut. “Tuh ‘kan? Dia bilang kalau akan menjadi temanku bermain badminton nanti.” Kali ini Farel justru merasa sangat percaya diri dengan tebakannya. Sementara Lily hanya tersenyum sembari mendengar dua pria beda usia yang dicintainya itu berdebat terus-terusan. Pemandangan indah yang sudah lama ia dambakan sejak jauh hari. Tak lama kemudian dirinya menyingkirkan tangan mereka dan bersiap hendak bangkit dari kursi. “Ma, katakan kalau adikku laki-laki,” rengek Farel yang ham
“Om minta maaf ya.” Namun, Keenan masih membungkam mulutnya. Sama sekali tak menggubris permintaan maaf dari pria paruh baya tersebut. Sementara Lily yang memang gampang sekali kasiha menatap wajahnya dengan iba.“Bang, kasihan sama Dokter Faisal.” Lily meremas lembut telapak tangan suaminya agar respon. Barulah Keenan berdecak pelan lalu menoleh ke arah tamu yang tak diharapkannya itu.“Om tidak salah apa-apa.”“Iya, Nak, tapi Lisna—”“Itu tidak ada sangkut pautnya dengan Om,” tegas Keenan dengan rahang yang sudah mengetat. “Dari dulu Om selalu menutupi kesalahannya. Memanjakannya dan selalu jadi tameng. Lihatlah sekarang! Dia bahkan hampir menjadi seorang pembunuh. Untungnya janin di kandungan istriku bisa selamat.”“Lily hamil?” Dokter Faisal semakin merasa bersalah.“Ya.” Keenan lantas menatap kesal dokter kepercayaan keluarganya itu. “Sebenarnya aku ingin melaporkannya pada polisi, tetapi gagal karena istriku yang mencegah. Jadi sebagai gantinya aku mohon dengan san
Keenan kehilangan suaranya begitu menyadari apa yang terjadi. Pria itu terus memeluk Lily sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Tak pelak melabuhkan kecupan kecil di area wajah wanitanya tersebut. Sementara Bagas sesekali menoleh ke belakang. Berusaha memacu kendaraan yang saat ini ia kemudikan sendiri agar bisa berjalan lebih cepat lagi. Jika dia ada di posisi sang tuan sekarang, mungkin juga akan berlaku sama. “Tuan Keenan??” “Lakukan yang terbaik untuk istriku!!” Semua petugas yang ada di ruangan IGD rumah sakit itu bergerak cepat menangani Lily, sedangkan Keenan sibuk mondar-mandir tak karuan. Dia merasa sesak sekaligus menyesali apa yang telah terjadi. Menyalahkan diri sendiri karena keadaan istrinya sekarang. Dua jam kemudian … &n
“Dua kali dia menemuiku. Mengajakku bekerja sama untuk menghancurkan pernikahan kalian.”“Aku tidak percaya.”“Ck. Itu urusanmu. Aku hanya berharap semoga Lily baik-baik saja karena kalau benar wanita itu yang menculiknya, maka habislah sudah.” Percakapan tadi masih terngiang di telinga Keenan. Sekarang dia sudah tidak sabar untuk kembali ke Medan. Beruntung Bagas bisa menyediakan jet pribadi sehingga memudahkan pergerakan mereka tiba di sana dengan cepat.“Saya sudah menghubungi orang suruhan kita untuk mengawasi Nona Lisna,” kata Bagas yang baru saja memutus panggilan lewat ponselnya sebelum kendaraan pribadi itu terbang. “Kita akan langsung dapat kabar begitu sampai di Medan.”“Good,” gumam Keenan yang segera memasang kaca mata hitamnya. “Bagaimana dengan Dimas? Kau juga suruh orang untuk mengawasinya ‘kan?”“Iya, Tuan.” Keenan mengembuskan napasnya dengan keras. Benar-benar tak sabar ingin membuktikan tudingan Adrian tadi. Kalau memang apa yang dikataka
“Tidak!” tolak Keenan cepat. “Aku yakin dia yang menculik Lily.”“Kau gila ya?” Lisna pun geleng-geleng kepala.Keenan menatap tajam Lisna. “Atau kaulah orangnya! Oh ya. Aku pernah melihatmu berbicara dengan Adrian. Kalian mungkin sudah bekerja sama. Jawab, Lisna!!” Pria yang sudah frustrasi itu hendak melayangkan satu pukulan lagi ke wajah Dimas, tetapi sang daddy dan Bagas lebih dulu menahan tubuh kekarnya. Membuat dia jadi terhalang oleh keduanya.“Hentikan!” sentak daddy-nya lagi. “Bukan begini caranya bertindak. Kamu harus berpikir dengan kepala dingin. Kenapa jadi malah brutal??”“Lily itu istriku, Dad!” tukas Keenan dengan perasaan yang campur aduk. “Aku bisa gila karena kehilangan dia. Apalagi saat ini dia sedang … agh!! Dia lagi sakit. Bagaimana dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Tidak ada yang tahu ‘kan?”“Kami mengerti perasaanmu. Tenanglah sebentar,” bujuk daddy-nya. Waktu makan malam sudah lewat sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Keenan ma