Anggukan Adrian membuat mamanya menggeleng pelan. Sekaligus menganga tanpa suara. Bahkan dia hampir terhuyung ke lantai kalau saja tidak ditahan oleh putrinya.“Suami Lily?” tanya perempuan yang ada di sebelah sang mama.“Iya,” sahut Adrian cepat. “Kak Arinta tidak salah dengar. Lily … sudah menikah dengan Keenan.” Perempuan yang dipanggil kakak oleh Adrian itu menggeram. Dia hendak berbicara, tetapi urung ketika tangannya dicekal kuat oleh sang mama. Sementara papanya sendiri hanya mengangguk dan tak mau berkomentar apa-apa.“Rian, tolong antarkan mereka langsung ke kamar tamu ya,” akhirnya mama Adrian bicara setelah sepuluh menit mencerna apa yang terjadi. Banyak pertanyaan yang menyangkut di kepala yang hendak dia utarakan. Namun, dia memilih untuk diam saja.“Farel tidur di kamar papa ya, Sayang. Papa teman
“Uh.” “Aku pikir kau ingin membalas ciuman dariku,” kekeh Keenan sembari mengulum senyuman tipisnya. “Ternyata kau hanya mendekatkan wajah untuk mengambil penjepit rambutmu ini.” Lily menghela napas jengah melihat kelakuan sang suami yang tingkat kepercayaan dirinya naik berkali-kali lipat. “Kemarikan, Bang.” Tidak. Keenan bukannya menyerahkan jepitan bentuk cangkang emas tersebut, akan tetapi dirinya langsung yang memasangkan benda itu di pinggiran rambut bagian kiri sang istri. Tak lupa juga mengucapkan kata cantik lewat gerakan bibir meskipun tidak mengeluarkan suara. Namun, Lily tahu apa yang dilontarkan lewat bahasa isyarat tadi. Karena tidak mau terjebak dengan situasi yang semakin membuatnya serba salah, Lily pun memilih kabur denga berjalan ke arah balkon. Kebetulan pula memang pemandangan kolam renang tersaji begitu melihat ke bawah. Bibirnya sedikit melengkung begitu mengingat di mana dia dan Adrian pernah bersama-sama di sana.
“Apa memang seenak itu?” tanya Keenan sembari memicingkan matanya. “Aku mau coba.” Lily sempat terkejut karena tiba-tiba suami tampannya itu sudah menyentuh punggung tangan kirinya yang berdiam di atas meja. Namun, dia lekas tersenyum lalu mengangguk sebagai respon pertanyaan barusan. “Rasanya sedikit asam.” Tatapan Keenan membuatnya yakin agar mengambil sendok kecil untuk pria tersebut untuk mencicipi pudding manga itu. “Pakai punyamu saja.” Dengan cepat Keenan mengangakan mulutnya. Pertanda siap untuk menerima suapan dari sang istri. “Rasanya lumayan.” “Begitulah,” gumam Lily yang sebenarnya agak canggung dengan tindakannya barusan. Sungguh pemandangan tadi benar-benar membuat Adrian dilanda cemburu. Apalagi ketika dirinya tak sengaja beradu tatap dengan Keenan yang tersenyum penuh kemenangan. Mau marah pun percuma karena dia tidak punya hak lagi pada Lily meskipun masih menyimpan rasa cinta yang sama. Makan siang pun berakhir. Bagi para bocah tentun
Telapak tangan Arinta sudah menggantung di udara, dalam sekejap ia mengayunkannya, hendak menyentuh pipi Lily. Namun, Keenan sudah lebih dulu maju dan menghempaskannya dengan kasar. Membuat sang empu tersentak kaget dengan aksi barusan.“Kau tidak pa-pa?” tanya Keenan yang segera merengkuh pinggang istrinya. Wanita itu menggeleng pelan dengan wajah ketakutan.Arinta tersenyum mengejek ke arah Lily. “Kau pakai pelet apa sampai semua pria terpesona padamu, hah? Bahkan mama saja sampai membelamu. Dan semua yang terjadi hari ini karena kau!!”“Kau jangan asal bicara!!” Keenan mulai mengetatkan rahangnya. Kalau saja yang di hadapannya sekarang adalah seorang pria, maka dia tak segan untuk menghajar si wanita sampai babak belur. “Lily tidak ada hubungannya dengan semua yang kau tuduhkan.”“Bela saja istri sialmu. Kau juga akan terkena dampaknya nanti.” Arinta menggeram dan hendak maju untuk mendekati Lily, tetapi lengan kekar Keenan sudah menghadangnya. Alhasil m
“Papa!!” Pekikan barusan membuat Lily dan Keenan menoleh ke arah pintu yang merupakan akses masuk ke kolam renang. Seorang pria berkaca mata hitam muncul sembari melambaikan tangannya. Tak lama kemudian tiga anak perempuan yang membersamai mereka tadi lekas menyambut orang tersebut.Pria itu lantas tersenyum lalu membuka kaca matanya. Tak pelak mengusap ketiga bocah perempuan yang menghampirinya. “Sepertinya ada yang senang karena sudah bertemu dengan tante kalian lagi, hemm?”“Tante Lily mengajari kami berenang,” sahut salah satu putrinya. Keenan yang lekas menyadari siapa pendatang barusan segera melipir ke tepi kolam renang. Pun mengajak Farel untuk naik bersamanya. Sementara Lily masih di sana seraya mengamati dari tempatnya berdiam sekarang.“Hai, Farel! Masih inget sama Om Bayu?” sapa pria itu sambil tersenyum. “Kamu tambah cakep aja.”Farel mengangguk ragu sembari mengulurkan tangannya atas perintah Keenan. Selang beberapa detik kemudian pria yang be
Lily menggeleng lemah. Tak percaya jika sang suami mengatakan demikian. Wanita itu semakin terisak dengan pikiran yang tidak menentu. Hingga selang beberapa detik kemudian dia menoleh saat satu telapak tangan besar menyentuh pelan pundak kirinya.“Jangan salah paham,” gumam Keenan yang kini sudah menatap lekat kedua manik mata istrinya yang digenangi air mata. “Kau memang penggoda bagiku, tetapi dalam artian yang lain.”“Aku enggak ngerti,” isak Lily sembari memalingkan wajahnya ke arah samping. Namun, dia kembali menatap Keenan saat pria itu menyentuh lembut dagunya.“Kau bukan wanita penggoda seperti yang pria gila tuduhkan. Kau adalah penggoda hatiku yang awalnya sekeras batu.” Keenan menjelaskan sembari menatap teduh wajah cantik tersebut. “Jadi bagiku kau memang penggoda, tetapi khusus untuk saja.” Ucapan tadi membuat Keenan selaku sang pembicara terlihat salah tingkah. Awalnya dia tidak ingin mengatakan seperti itu, tetapi entah kenapa lidahnya malah
Arinta berteriak histeris. Membuat semua orang yang berada di rumah mewah tersebut terkejut bukan main. Termasuk anak-anak yang tadi fokus di ruang bermain jadi berlarian hingga menatapnya dari lantai dasar. “Ada apa?” tanya Keenan kemudian. “Mama … meninggal.” Bayu yang menjawab sembari memeluk istrinya yang masih syok tersebut. Dalam sekejap hunian tersebut sudah dipenuhi dengan suara isak tangis. Lily menghela napas panjang bersamaan dengan air matanya yang kembali tumpah. Wanita itu memeluk Farel yang masih terdiam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sementara Keenan mendudukkan ketiga anak perempuan yang masih sesenggukan karena berita duka barusan. Kini para pelayan tengah sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut kepulangan jenazah almarhumah sang nyonya besar. Dikoordinir oleh Bayu yang juga sibuk bertukar informasi dengan para rekan bisnis perusahaan. Memberi kabar seputar meninggalnya mama mertua. “Oma sudah tidak di dunia
“Ba-Bali??” Anggukan Keenan membuat Lily bungkam sejenak. Lalu setelahnya mengerjapkan mata berulang kali. Masih terkejut dengan kalimat yang tiba-tiba barusan.“Aku juga tidak mengerti kenapa mereka memajukan jadwal pertemuan tahunan itu,” jelas Keenan kemudian. Dia pun mendudukkan diri di samping Lily yang juga mengurungkan niat untuk berbaring. “Jadi kita tidak usah ke Medan, tetapi langsung saja ke Bali. Kita harus berada di sana lebih dulu dari yang lain.”“I-iya,” gumam Lily sembari mengangguk samar.“Daddy memang suka sekali berbuat semaunya.” Keenan pun berdecak kesal. Keadaan hening sejenak. Keenan mulai sibuk dengan gawainya untuk melakukan reservasi di Bali. Mengatur pertemuan yang waktunya maju satu minggu itu. Termasuk mengabari Bagas selaku asisten yang memang bisa diandalkan. Hingga beberapa menit ke depan barulah ia menyudahi teleponnya.“Apa yang harus aku lakukan di sana nanti?” tanya Lily yang ternyata masih belum bisa tertidur.Keenan la
“Maafkan aku karena telah membuatmu hamil.” Pernyataan barusan membuat Lily yang tengah kesakitan sontak tertawa. Tak pelak sopir yang juga ikut mendengarnya terbahak tanpa sadar. “Abang?” rengek Lily di sela-sela kontraksi yang memelan sekejap. “Enggak pa-pa. Aku bisa. Jangan cengeng dong. Anak kita mau lahir. Masa’ papanya nangis.” “Iya, Tuan. Harus semangat supaya Nyonya kuat lahirannya.” Sang sopir juga tak mau kalah memberikan dukungan. “Kalian benar.” Keenan menyeka cepat air matanya yang sudah membasahi pipi. “Aku harus mendampingimu di ruang bersalin nanti. Kalau dokter melihatku lemah, mereka tidak akan mengijinkanku masuk.” Lily tersenyum mendengar ucapan suaminya. Tak berapa lama mobil pun tiba di tempat tujuan. Keenan pun memekik dari arah luar agar para petugas menyiapkan kursi roda untuk istri tercintanya. Seorang bidan yang kebetulan bertugas shift sore memeriksa jalan lahir Lily. Lantas mengatakan, “Ini masih pembukaan sembilan lebih. Sebentar lagi waktunya ber
“Hai, Tante!” sapa Farel sembari melambaikan tangannyan ke arah Lisna. Bocah polos itu bahkan sudah bergerak untuk salim pada wanita yang ada di depan mereka. Lisna pun mengangguk sambil tersenyum. “Kau sudah semakin besar ya.” “Iya dong,” sahut Farel cepat. “Aku juga mau punya adik.” “Ya.” Lagi-lagi Lisna hanya bisa mengangguk saja. Dia pun menoleh pada Lily lalu berkata, “Selamat ya atas kehamilannya.” “Terimakasih.” Kali ini Keenan yang menjawab dengan sorot mata tidak bersahabat. Dia masih menyimpan amarah atas perbuatan Lisna kala itu. “Maafkan aku.” “Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi,” kata Lily yang kini sudah tersenyum manis. “Kamu apa kabar?” “Aku … baik.” Tak lama setelah itu mereka mendengar nama Lisna yang dielukan oleh seseorang. Semuanya sontak menoleh. “Sayang, kamu di sini?” Dimas. Pria tersebut terlonjak kaget begitu melihat tiga orang yang sekarang bersama Lisna. Dia pun jadi salah tingkah. “A-aku dan Dimas —” “Bulan depan kami akan tunangan,” potong Dima
Farel sangat bersemangat bercerita dengan Adrian tentang kabar janin yang dikandung oleh sang mama. Dia bahkan sama sekali tak menggubris kue dan camilan yang disediakan di atas meja. Seperti biasa. Suaranya selalu mendominasi di antara para orang dewasa.“Wah. Papa turut senang karena sebentar lagi kamu mau jadi seorang kakak.” Adrian merespon dengan kuluman senyumnya. Lantas dia menoleh ke arah Lily yang tengah mengusapi perut buncitnya. Jujur kalau memang sampai sekarang rasa cinta itu masih belum memudar.“Ya sudah. Papa antar kau ke atas untuk bersiap-siap ya.” Keenan bangkit dari duduknya lalu menggamit tangan Farel. Meninggalkan Lily bersama Adrian yang masih berada di ruang tengah. Suasana berubah menjadi hening. Hingga kemudian Adrian memilih untuk berbicara terlebih dahulu. Dia tersenyum getir menyaksikan sang mantan istri yang kini sedang berbadan dua.“Selamat ya untuk kehamilan kamu.”“Makasih, Mas.” Lily mengangguk sambil tersenyum. “Jangan lu
“…, ya. Dia laki-laki seperti dirimu.”“Laki-laki?” ucap Farel mengulang pernyataan sang dokter. Pria berjas putih itu mengangguk singkat sambil tersenyum.“Kau senang?” tanya Keenan yang dilangsung diiyakan oleh Farel tanpa jeda.“Aku punya teman. Yeay!!” soraknya lagi. Setelahnya dokter pun menginformasikan pendidikan kesehatan tentang kehamilan pada Lily dan Keenan. Kini pasangan suami istri tersebut saling menggenggam sembari tersenyum penuh.“Usia kehamilan Anda sudah masuk 22 minggu. Semoga prediksi jenis kelamin tetap tidak berubah ya.”“Kalaupun adikku perempuan tidak masalah,” celetuk Farel masih dengan keceriaan yang sama. “Nanti aku bisa minta papa untuk—”“Sayang?” potong Keenan cepat. “Tali sepatumu terlepas.” Atensi bocah usia empat tahunan itu pun teralihkan. Beruntung percakapan tadi tidak berlanjut. Kalau tidak bisa dipastikan bahwa Keenan dan Lily akan merasa malu. Tahu bahwa anak mereka tersebut mengutarakan hal yang menggelikan.“Makanya
“Aku mau adik laki-laki,” ucap Farel ketika keluarga kecil mereka baru saja beristirahat usai berjibaku di dalam kolam renang. Matanya berbinar ketika ikut meletakkan tangan di perut buncit sang mama. “Sepertinya kau yakin sekali,” goda Keenan yang kini sudah menempelkan telinga di bagian sisi perut yang lain. Pria itu mengerjap ketika merasakan sesuatu menendang dari dalam sana. Membuat dia dan Farel terkekeh serempak lalu sibuk berdebat tentang jenis kelamin calon anggota keluarga baru mereka tersebut. “Tuh ‘kan? Dia bilang kalau akan menjadi temanku bermain badminton nanti.” Kali ini Farel justru merasa sangat percaya diri dengan tebakannya. Sementara Lily hanya tersenyum sembari mendengar dua pria beda usia yang dicintainya itu berdebat terus-terusan. Pemandangan indah yang sudah lama ia dambakan sejak jauh hari. Tak lama kemudian dirinya menyingkirkan tangan mereka dan bersiap hendak bangkit dari kursi. “Ma, katakan kalau adikku laki-laki,” rengek Farel yang ham
“Om minta maaf ya.” Namun, Keenan masih membungkam mulutnya. Sama sekali tak menggubris permintaan maaf dari pria paruh baya tersebut. Sementara Lily yang memang gampang sekali kasiha menatap wajahnya dengan iba.“Bang, kasihan sama Dokter Faisal.” Lily meremas lembut telapak tangan suaminya agar respon. Barulah Keenan berdecak pelan lalu menoleh ke arah tamu yang tak diharapkannya itu.“Om tidak salah apa-apa.”“Iya, Nak, tapi Lisna—”“Itu tidak ada sangkut pautnya dengan Om,” tegas Keenan dengan rahang yang sudah mengetat. “Dari dulu Om selalu menutupi kesalahannya. Memanjakannya dan selalu jadi tameng. Lihatlah sekarang! Dia bahkan hampir menjadi seorang pembunuh. Untungnya janin di kandungan istriku bisa selamat.”“Lily hamil?” Dokter Faisal semakin merasa bersalah.“Ya.” Keenan lantas menatap kesal dokter kepercayaan keluarganya itu. “Sebenarnya aku ingin melaporkannya pada polisi, tetapi gagal karena istriku yang mencegah. Jadi sebagai gantinya aku mohon dengan san
Keenan kehilangan suaranya begitu menyadari apa yang terjadi. Pria itu terus memeluk Lily sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Tak pelak melabuhkan kecupan kecil di area wajah wanitanya tersebut. Sementara Bagas sesekali menoleh ke belakang. Berusaha memacu kendaraan yang saat ini ia kemudikan sendiri agar bisa berjalan lebih cepat lagi. Jika dia ada di posisi sang tuan sekarang, mungkin juga akan berlaku sama. “Tuan Keenan??” “Lakukan yang terbaik untuk istriku!!” Semua petugas yang ada di ruangan IGD rumah sakit itu bergerak cepat menangani Lily, sedangkan Keenan sibuk mondar-mandir tak karuan. Dia merasa sesak sekaligus menyesali apa yang telah terjadi. Menyalahkan diri sendiri karena keadaan istrinya sekarang. Dua jam kemudian … &n
“Dua kali dia menemuiku. Mengajakku bekerja sama untuk menghancurkan pernikahan kalian.”“Aku tidak percaya.”“Ck. Itu urusanmu. Aku hanya berharap semoga Lily baik-baik saja karena kalau benar wanita itu yang menculiknya, maka habislah sudah.” Percakapan tadi masih terngiang di telinga Keenan. Sekarang dia sudah tidak sabar untuk kembali ke Medan. Beruntung Bagas bisa menyediakan jet pribadi sehingga memudahkan pergerakan mereka tiba di sana dengan cepat.“Saya sudah menghubungi orang suruhan kita untuk mengawasi Nona Lisna,” kata Bagas yang baru saja memutus panggilan lewat ponselnya sebelum kendaraan pribadi itu terbang. “Kita akan langsung dapat kabar begitu sampai di Medan.”“Good,” gumam Keenan yang segera memasang kaca mata hitamnya. “Bagaimana dengan Dimas? Kau juga suruh orang untuk mengawasinya ‘kan?”“Iya, Tuan.” Keenan mengembuskan napasnya dengan keras. Benar-benar tak sabar ingin membuktikan tudingan Adrian tadi. Kalau memang apa yang dikataka
“Tidak!” tolak Keenan cepat. “Aku yakin dia yang menculik Lily.”“Kau gila ya?” Lisna pun geleng-geleng kepala.Keenan menatap tajam Lisna. “Atau kaulah orangnya! Oh ya. Aku pernah melihatmu berbicara dengan Adrian. Kalian mungkin sudah bekerja sama. Jawab, Lisna!!” Pria yang sudah frustrasi itu hendak melayangkan satu pukulan lagi ke wajah Dimas, tetapi sang daddy dan Bagas lebih dulu menahan tubuh kekarnya. Membuat dia jadi terhalang oleh keduanya.“Hentikan!” sentak daddy-nya lagi. “Bukan begini caranya bertindak. Kamu harus berpikir dengan kepala dingin. Kenapa jadi malah brutal??”“Lily itu istriku, Dad!” tukas Keenan dengan perasaan yang campur aduk. “Aku bisa gila karena kehilangan dia. Apalagi saat ini dia sedang … agh!! Dia lagi sakit. Bagaimana dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Tidak ada yang tahu ‘kan?”“Kami mengerti perasaanmu. Tenanglah sebentar,” bujuk daddy-nya. Waktu makan malam sudah lewat sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Keenan ma