Arinta berteriak histeris. Membuat semua orang yang berada di rumah mewah tersebut terkejut bukan main. Termasuk anak-anak yang tadi fokus di ruang bermain jadi berlarian hingga menatapnya dari lantai dasar. “Ada apa?” tanya Keenan kemudian. “Mama … meninggal.” Bayu yang menjawab sembari memeluk istrinya yang masih syok tersebut. Dalam sekejap hunian tersebut sudah dipenuhi dengan suara isak tangis. Lily menghela napas panjang bersamaan dengan air matanya yang kembali tumpah. Wanita itu memeluk Farel yang masih terdiam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sementara Keenan mendudukkan ketiga anak perempuan yang masih sesenggukan karena berita duka barusan. Kini para pelayan tengah sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut kepulangan jenazah almarhumah sang nyonya besar. Dikoordinir oleh Bayu yang juga sibuk bertukar informasi dengan para rekan bisnis perusahaan. Memberi kabar seputar meninggalnya mama mertua. “Oma sudah tidak di dunia
“Ba-Bali??” Anggukan Keenan membuat Lily bungkam sejenak. Lalu setelahnya mengerjapkan mata berulang kali. Masih terkejut dengan kalimat yang tiba-tiba barusan.“Aku juga tidak mengerti kenapa mereka memajukan jadwal pertemuan tahunan itu,” jelas Keenan kemudian. Dia pun mendudukkan diri di samping Lily yang juga mengurungkan niat untuk berbaring. “Jadi kita tidak usah ke Medan, tetapi langsung saja ke Bali. Kita harus berada di sana lebih dulu dari yang lain.”“I-iya,” gumam Lily sembari mengangguk samar.“Daddy memang suka sekali berbuat semaunya.” Keenan pun berdecak kesal. Keadaan hening sejenak. Keenan mulai sibuk dengan gawainya untuk melakukan reservasi di Bali. Mengatur pertemuan yang waktunya maju satu minggu itu. Termasuk mengabari Bagas selaku asisten yang memang bisa diandalkan. Hingga beberapa menit ke depan barulah ia menyudahi teleponnya.“Apa yang harus aku lakukan di sana nanti?” tanya Lily yang ternyata masih belum bisa tertidur.Keenan la
Keenan tak melepaskan tangan Lily dari genggamannya. Pria itu bahkan juga tidak segan mengantarkan sang istri yang tiba-tiba saja hendak ke toilet.“Abang?” Lily yang baru saja menuntaskan panggilan alamnya langsung terkejut. “Kenapa di sini?”“Aku mengantarkanmu. Salahnya di mana?” ucap Keenan balik bertanya.“I-iya aku tahu. Aku pikir tadi Abang menunggu di sana,” gumam Lily yang akhirnya pasrah saja.Dia tersenyum keki pada dua orang suruhan sang suami yang berjarak lima meter dari mereka. Di mana satu di antaranya menarik koper dan yang lain tampak siaga dengan interkom yang selalu berada di tangan.“Kau sudah pernah ke Bali sebelumnya?” tanya Keenan yang kembali menarik lengan istrinya dengan lembut.Lily mengangguk. “Dulu. Sewaktu liburan perpisahan SMA. Di Pantai Kuta.”Keenan bergumam pelan. “Kau mau ke sana sekarang?” Gelengan sang istri membuatnya mengulum senyum. “Baiklah. Kita langsung saja ke villa.”“Ke mana?”“Kawasan Seminyak,” jawab Keenan tepat di depan
Lily mundur perlahan begitu Keenan bergerak mendekatinya. Sungguh dia tak bisa menghindar saat langkahnya terpaksa berhenti lantaran menabrak ranjang. Dengan begitu otomatis tubuh wanita cantik itu terhempas di sana. Membuat dirinya terlentang tanpa sengaja. Terlambat. Dia hendak menolak awalnya. Namun, bibir manis tersebut jadi terkunci rapat saat Keenan sudah lebih dulu mengurung dirinya dengan kedua lengan yang memagari sisi kanan dan kiri.“Bang.”“Hemm?” Keenan mengulum senyum saat hendak menautkan bibir keduanya. Sayang sekali. Telepon di kamar tersebut malah berdering. Terdengar sangat menyebalkan karena waktunya yang tidak tepat.“Te-teleponnya berbunyi,” cicit Lily yang lekas menggigit bibir bagian bawahnya demi menghilangkan rasa gugup.“Ck.” Keenan berdecak kesal seraya mengumpat di dalam hati saat berjalan menuju sumber suara.[“Halo!”] sapanya dengan suara yang tidak bersahabat. Hingga beberapa detik kemudian dia memajukan bibir l
“Ya. Kami ingin dengar langsung darimu,” sahut sang daddy yang kini menatapnya tajam. Keenan menoleh pada sang istri ketika merasakan tangan wanita yang digenggamnya itu mulai mendingin. Dia lalu tersenyum dan mengecup punggung telapak tangannya dengan lembut. Meyakinkan bahwa tidak ada yang perlu ditakuti perihal pertemuan saat ini.“Seperti yang kalian dengar tadi. Kami berdua sudah menikah. Nama wanita di sisiku ini adalah Safira Lilyana Dewi. Panggil dia Lily, istriku. Kami telah menjadi pasangan suami istri hampir tiga bulan lamanya.” Jelas semua anggota keluarga yang ada di sana terpelongo mendengar penjelasan barusan. Terlebih lagi kedua orangtua Keenan yang masih diam di tempat. Sementara sang kakek mendesah pelan sembari menatap Lily yang tampak tak nyaman.“Hei? Kenapa semuanya masih terkejut?” gumam seorang pria yang tak kalah tampannya dari Keenan. Dia bahkan berdiri sambil tersenyum. “Apa kalian tidak mau mengucapkan selamat untuk mereka? Masih
Lily sudah pasrah dengan apapun yang terjadi ke depan nanti. Tahu bahwa apa yang dikatakannya tadi akan berdampak buruk, mungkin saja. Bukankah juga di pernikahan sebelumnya mendapatkan penolakan? Jadi sekarang dia tak usah berharap lebih. Begitu yang ada di pikiran wanita berambut sebahu lebih tersebut. Namun, kenyataan malah sebaliknya. Alih-alih mendengarkan cemoohan dari keluarga sang suami. Lily dikejutkan dengan sebuah pelukan hangat dari mertua perempuannya.“Kamu pasti sangat spesial, Sayang,” ucap mommy Keenan yang kini tersenyum ramah. Tak pelak dia mengusap punggung menantunya itu. Lantas melanjutkan kalimatnya lagi, “Apa yang ada dirimu pasti telah membuatnya tergila-gila.”“Mommy Keenan benar,” sahut mertua laki-lakinya. “Tidak ada yang salah dari statusmu.”Suara deheman kemudian berasal dari sang kakek. Kini semua pandangan tertuju pada pria yang ditakuti oleh semua anggota keluarga tersebut.“Aku juga seorang duda. Jadi siapa yang berani mer
Air mata yang lolos dari sang istri membuat Keenan mengurungkan niatnya. Pria itu buru-buru bangkit lalu menjatuhkan diri di samping wanita itu. “Maaf,” ucap Keenan dengan suara lirih. Dia pun memeluk Lily yang hanya mengenakan pakaian dalam saja. Lantas mengecup keningnya berulang kali. “Apa aku membuatmu takut?” Lily menggeleng lemah. Dia kembali menangis sesenggukan. Ada perasaan bimbang saat tahu sang suami hendak meminta haknya. Dia pun tak tahu kenapa. Butuh waktu hampir setengah jam hingga tangisnya mereda. Barulah Lily tahu bahwa Keenan ternyata sudah terlelap. Pria itu hanya mengenakan celana pendek dan masih tidak melepaskan dekapannya sama sekali. Tanpa Keenan tahu kini Lily perlahan menggeser lengannya. Dia menatap wajah tampan dan rahang kokoh milik sang suami. Merasa dicintai dan diperlakukan manis membuatnya merasa bagaikan mimpi. Lily tak tahu hendak mengatakan apalagi. Yang dia inginkan hanya berada di pelukan Keenan lebih
“Kak Charles suka sekali membuat ulah,” keluh Clara yang ada di sebelah Lily. “Gawat. Sebentar lagi mungkin perang nih.” Lily yang mendengar celetukan tersebut menghela napas berat. Dirinya memperhatikan semua orang yang ada di sana. Namun, tak ada satu pun yang mendekat. Sementara kakek yang sudah berdiri di atas podium untuk mengambil ancang-ancang bersama dengan instruktur senam pria di sebelahnya. Mau tak mau akhirnya Lily ke luar dari barisan. Tentu saja untuk menghampiri suaminya. Dengan langkah tergesa dia menarik lembut lengan Keenan.“Ada apa?” bisiknya yang hanya didengar oleh Keenan.Sepupu sang suami yang bernama Charles itu menyeringai kecil. “Kak Keenan memang pemarah. Aku heran kenapa Kakak malah mau menikah dengannya.”“Diamlah! Atau kau mau kupatahkan lehermu, hah??” sentak Keenan yang hendak mendekat dan mencengkram leher Charles. Kedua matanya sudah berkilat marah. Dan karena keributan itu sang kakek terpaksa menjeda kegiata
“Maafkan aku karena telah membuatmu hamil.” Pernyataan barusan membuat Lily yang tengah kesakitan sontak tertawa. Tak pelak sopir yang juga ikut mendengarnya terbahak tanpa sadar. “Abang?” rengek Lily di sela-sela kontraksi yang memelan sekejap. “Enggak pa-pa. Aku bisa. Jangan cengeng dong. Anak kita mau lahir. Masa’ papanya nangis.” “Iya, Tuan. Harus semangat supaya Nyonya kuat lahirannya.” Sang sopir juga tak mau kalah memberikan dukungan. “Kalian benar.” Keenan menyeka cepat air matanya yang sudah membasahi pipi. “Aku harus mendampingimu di ruang bersalin nanti. Kalau dokter melihatku lemah, mereka tidak akan mengijinkanku masuk.” Lily tersenyum mendengar ucapan suaminya. Tak berapa lama mobil pun tiba di tempat tujuan. Keenan pun memekik dari arah luar agar para petugas menyiapkan kursi roda untuk istri tercintanya. Seorang bidan yang kebetulan bertugas shift sore memeriksa jalan lahir Lily. Lantas mengatakan, “Ini masih pembukaan sembilan lebih. Sebentar lagi waktunya ber
“Hai, Tante!” sapa Farel sembari melambaikan tangannyan ke arah Lisna. Bocah polos itu bahkan sudah bergerak untuk salim pada wanita yang ada di depan mereka. Lisna pun mengangguk sambil tersenyum. “Kau sudah semakin besar ya.” “Iya dong,” sahut Farel cepat. “Aku juga mau punya adik.” “Ya.” Lagi-lagi Lisna hanya bisa mengangguk saja. Dia pun menoleh pada Lily lalu berkata, “Selamat ya atas kehamilannya.” “Terimakasih.” Kali ini Keenan yang menjawab dengan sorot mata tidak bersahabat. Dia masih menyimpan amarah atas perbuatan Lisna kala itu. “Maafkan aku.” “Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi,” kata Lily yang kini sudah tersenyum manis. “Kamu apa kabar?” “Aku … baik.” Tak lama setelah itu mereka mendengar nama Lisna yang dielukan oleh seseorang. Semuanya sontak menoleh. “Sayang, kamu di sini?” Dimas. Pria tersebut terlonjak kaget begitu melihat tiga orang yang sekarang bersama Lisna. Dia pun jadi salah tingkah. “A-aku dan Dimas —” “Bulan depan kami akan tunangan,” potong Dima
Farel sangat bersemangat bercerita dengan Adrian tentang kabar janin yang dikandung oleh sang mama. Dia bahkan sama sekali tak menggubris kue dan camilan yang disediakan di atas meja. Seperti biasa. Suaranya selalu mendominasi di antara para orang dewasa.“Wah. Papa turut senang karena sebentar lagi kamu mau jadi seorang kakak.” Adrian merespon dengan kuluman senyumnya. Lantas dia menoleh ke arah Lily yang tengah mengusapi perut buncitnya. Jujur kalau memang sampai sekarang rasa cinta itu masih belum memudar.“Ya sudah. Papa antar kau ke atas untuk bersiap-siap ya.” Keenan bangkit dari duduknya lalu menggamit tangan Farel. Meninggalkan Lily bersama Adrian yang masih berada di ruang tengah. Suasana berubah menjadi hening. Hingga kemudian Adrian memilih untuk berbicara terlebih dahulu. Dia tersenyum getir menyaksikan sang mantan istri yang kini sedang berbadan dua.“Selamat ya untuk kehamilan kamu.”“Makasih, Mas.” Lily mengangguk sambil tersenyum. “Jangan lu
“…, ya. Dia laki-laki seperti dirimu.”“Laki-laki?” ucap Farel mengulang pernyataan sang dokter. Pria berjas putih itu mengangguk singkat sambil tersenyum.“Kau senang?” tanya Keenan yang dilangsung diiyakan oleh Farel tanpa jeda.“Aku punya teman. Yeay!!” soraknya lagi. Setelahnya dokter pun menginformasikan pendidikan kesehatan tentang kehamilan pada Lily dan Keenan. Kini pasangan suami istri tersebut saling menggenggam sembari tersenyum penuh.“Usia kehamilan Anda sudah masuk 22 minggu. Semoga prediksi jenis kelamin tetap tidak berubah ya.”“Kalaupun adikku perempuan tidak masalah,” celetuk Farel masih dengan keceriaan yang sama. “Nanti aku bisa minta papa untuk—”“Sayang?” potong Keenan cepat. “Tali sepatumu terlepas.” Atensi bocah usia empat tahunan itu pun teralihkan. Beruntung percakapan tadi tidak berlanjut. Kalau tidak bisa dipastikan bahwa Keenan dan Lily akan merasa malu. Tahu bahwa anak mereka tersebut mengutarakan hal yang menggelikan.“Makanya
“Aku mau adik laki-laki,” ucap Farel ketika keluarga kecil mereka baru saja beristirahat usai berjibaku di dalam kolam renang. Matanya berbinar ketika ikut meletakkan tangan di perut buncit sang mama. “Sepertinya kau yakin sekali,” goda Keenan yang kini sudah menempelkan telinga di bagian sisi perut yang lain. Pria itu mengerjap ketika merasakan sesuatu menendang dari dalam sana. Membuat dia dan Farel terkekeh serempak lalu sibuk berdebat tentang jenis kelamin calon anggota keluarga baru mereka tersebut. “Tuh ‘kan? Dia bilang kalau akan menjadi temanku bermain badminton nanti.” Kali ini Farel justru merasa sangat percaya diri dengan tebakannya. Sementara Lily hanya tersenyum sembari mendengar dua pria beda usia yang dicintainya itu berdebat terus-terusan. Pemandangan indah yang sudah lama ia dambakan sejak jauh hari. Tak lama kemudian dirinya menyingkirkan tangan mereka dan bersiap hendak bangkit dari kursi. “Ma, katakan kalau adikku laki-laki,” rengek Farel yang ham
“Om minta maaf ya.” Namun, Keenan masih membungkam mulutnya. Sama sekali tak menggubris permintaan maaf dari pria paruh baya tersebut. Sementara Lily yang memang gampang sekali kasiha menatap wajahnya dengan iba.“Bang, kasihan sama Dokter Faisal.” Lily meremas lembut telapak tangan suaminya agar respon. Barulah Keenan berdecak pelan lalu menoleh ke arah tamu yang tak diharapkannya itu.“Om tidak salah apa-apa.”“Iya, Nak, tapi Lisna—”“Itu tidak ada sangkut pautnya dengan Om,” tegas Keenan dengan rahang yang sudah mengetat. “Dari dulu Om selalu menutupi kesalahannya. Memanjakannya dan selalu jadi tameng. Lihatlah sekarang! Dia bahkan hampir menjadi seorang pembunuh. Untungnya janin di kandungan istriku bisa selamat.”“Lily hamil?” Dokter Faisal semakin merasa bersalah.“Ya.” Keenan lantas menatap kesal dokter kepercayaan keluarganya itu. “Sebenarnya aku ingin melaporkannya pada polisi, tetapi gagal karena istriku yang mencegah. Jadi sebagai gantinya aku mohon dengan san
Keenan kehilangan suaranya begitu menyadari apa yang terjadi. Pria itu terus memeluk Lily sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Tak pelak melabuhkan kecupan kecil di area wajah wanitanya tersebut. Sementara Bagas sesekali menoleh ke belakang. Berusaha memacu kendaraan yang saat ini ia kemudikan sendiri agar bisa berjalan lebih cepat lagi. Jika dia ada di posisi sang tuan sekarang, mungkin juga akan berlaku sama. “Tuan Keenan??” “Lakukan yang terbaik untuk istriku!!” Semua petugas yang ada di ruangan IGD rumah sakit itu bergerak cepat menangani Lily, sedangkan Keenan sibuk mondar-mandir tak karuan. Dia merasa sesak sekaligus menyesali apa yang telah terjadi. Menyalahkan diri sendiri karena keadaan istrinya sekarang. Dua jam kemudian … &n
“Dua kali dia menemuiku. Mengajakku bekerja sama untuk menghancurkan pernikahan kalian.”“Aku tidak percaya.”“Ck. Itu urusanmu. Aku hanya berharap semoga Lily baik-baik saja karena kalau benar wanita itu yang menculiknya, maka habislah sudah.” Percakapan tadi masih terngiang di telinga Keenan. Sekarang dia sudah tidak sabar untuk kembali ke Medan. Beruntung Bagas bisa menyediakan jet pribadi sehingga memudahkan pergerakan mereka tiba di sana dengan cepat.“Saya sudah menghubungi orang suruhan kita untuk mengawasi Nona Lisna,” kata Bagas yang baru saja memutus panggilan lewat ponselnya sebelum kendaraan pribadi itu terbang. “Kita akan langsung dapat kabar begitu sampai di Medan.”“Good,” gumam Keenan yang segera memasang kaca mata hitamnya. “Bagaimana dengan Dimas? Kau juga suruh orang untuk mengawasinya ‘kan?”“Iya, Tuan.” Keenan mengembuskan napasnya dengan keras. Benar-benar tak sabar ingin membuktikan tudingan Adrian tadi. Kalau memang apa yang dikataka
“Tidak!” tolak Keenan cepat. “Aku yakin dia yang menculik Lily.”“Kau gila ya?” Lisna pun geleng-geleng kepala.Keenan menatap tajam Lisna. “Atau kaulah orangnya! Oh ya. Aku pernah melihatmu berbicara dengan Adrian. Kalian mungkin sudah bekerja sama. Jawab, Lisna!!” Pria yang sudah frustrasi itu hendak melayangkan satu pukulan lagi ke wajah Dimas, tetapi sang daddy dan Bagas lebih dulu menahan tubuh kekarnya. Membuat dia jadi terhalang oleh keduanya.“Hentikan!” sentak daddy-nya lagi. “Bukan begini caranya bertindak. Kamu harus berpikir dengan kepala dingin. Kenapa jadi malah brutal??”“Lily itu istriku, Dad!” tukas Keenan dengan perasaan yang campur aduk. “Aku bisa gila karena kehilangan dia. Apalagi saat ini dia sedang … agh!! Dia lagi sakit. Bagaimana dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Tidak ada yang tahu ‘kan?”“Kami mengerti perasaanmu. Tenanglah sebentar,” bujuk daddy-nya. Waktu makan malam sudah lewat sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Keenan ma