Seorang pria berpakaian jembel duduk bersila di depan sebuah kuil. Di depannya ada mangkuk tanah liat yang sudah pecah sebagian berisi sejumlah uang koin. Pria itu duduk dengan terkantuk-kantuk.
Seorang pengunjung kuil yang mengenakan kimono biru berjalan dan berhenti di depan sang pengemis jembel. Dia merogoh kimononya dan melemparkan sejumlah uang koin yang dibungkus kertas putih.
Pengunjung kuil itu berlalu masuk ke kuil. Setelah kepergiannya, sang pengemis terbangun dan melirik ke sekitar. Dia ambil koin yang dibungkus kertas di mangkuk tuanya dan menyimpan di balik kimono kumalnya.
Pengemis jembel itu meraih tongkatnya dan berjalan terbungkuk-bunguk. Gerakannya sungguh kepayahan. Tak ada orang yang memperhatikan apalagi bersimpati. Dia hanya terus berjalan sampai tiba di depan sebuah gerbang yang menjadi markas shinsengumi.
Suasana di sana lengang. Panas terik membuat semua orang malas berkeliar
“Mereka sombong sekali yakin bisa mengalahkan kita? Cih, bahkan sekali pukul saja sudah mati,” seringai Minako.“Tutup mulutmu!” Sano dengan pedang kembarnya mengamuk dan berusaha menyerang Minako yang akan menjadi musuh bebuyutannya saat ini.Sekelompok pasukan dari klan Osu mengadangnya. Dia dikepung oleh para pria berpedang.“Sial, ini tak ada habisnya!” Rion membantu Sano menghadapi para samurai pemberontak dari klan Osu. “Kita harus mundur!”“Tidak bisa!” tolak Sano.“Kau harus gunakan akalmu, Sano! Kita tak mungkin menang melawan mereka hanya bertiga. Heisu harus segera diobati!”Diam-diam, Rion memanggil pasukan burungnya untuk mengelabui musuh. Minako menembaki burung-burung itu agar terbang pergi tapi mereka adalah burung ilusi. Pada kesempatan yang kecil sekali, Rion bersama San
“Kau masih berpura-pura tidak tahu, Wakil Komandan Shinsengumi?” desis Maitreya. “Awalnya, kami tak ingin terlibat. Tapi, kematian demi kematian warga kota sudah sangat mengganggu! Apakah ini bagian dari patroli yang kalian dengungkan itu? Apa kau tahu ini?”“Iblis buatan kalian telah kehilangan rasionalitas karena mereka bukan lagi manusia. Sedangkan kalian sudah disumpah untuk melindungi kota dan seluruh warganya. Bagaimana bisa pelindung kota malah memanfaatkan warganya sebagai sumber makanan mereka?” sindir Xavier.Rion terseret pada satu ingatan. Setiap malam ini dia memergoki Shana sering keluar malam diam-diam. Tak ada yang tahu ke mana dia pergi. Rion juga tak berpikir gadis itu akan melakukan sesuatu yang berbahaya. Tapi, informasi dari Maitreya dan Xavier perlu untuk dia pertimbangkan.“Satu hal lagi, Rion, apa kau ingin meninggalkan kota ini bersama kami? Bukankah tuju
Silver tumbang. Peluru itu menembus dadanya. Rion berlari menopang tubuh Silver yang berlumuran darah.Di atap salah satu rumah warga, Maitreya menyengih menyaksikan pemandangan itu. “Aku tahu pasti orang bodoh sepertimu akan melakukannya! Menderitalah lebih lama Rion. Itu hukuman karena kau menolak bergabung dengan kami.”Maitreya dan Xavier melompat meninggalkan lokasi yang mulai dikerumuni oleh pasukan shinsengumi."Silver, bangun!" teriak Rion.Karena tak ada tanggapan, Rion menggendong tubuh Silver di punggungnya dan berlari kembali ke markas shinsengumi untuk meminta bantuan.Di markas shinsengumi, Shana mengeluarkan peluru yang menembus dada Silver. Akan tetapi, pemuda itu masih tak juga sadarkan diri."Ini aneh," gumam Shana sambil menunjukkan peluru di wadah yang sudah dia keluarkan pada Rion. "Peluru ini tak terbuat dari timah."Rion meraih peluru itu dan gemetar menahan kemarahan. Dia bisa merasakan racun dengan
Rion berkuda meninggalkan lokasi penyergapan. Saito membantunya mengadang pasukan bersenjata. Akan tetapi, saat Rion membalikkan kuda, di depannya sudah berdiri Minako dengan pistol di tangan.“Yo, Penyihir Merah, kau mau kabur begitu saja? Ini tak menarik!” Minako menodongkan pistolnya ke arah Rion. Mereka saling berhadapan.Di belakang Rion, pasukan shinsengumi yang dipimpin oleh Saito juga sedang menghadapi pasukan pemberontak bersenjata api. Anehnya, para pasukan pemberontak itu semuanya mengenakan caping bambu. Sedikit berbeda dari biasanya.Dor! Dor! Tembakan dimuntahkan oleh Minako ke arah Rion. Penyihir Merah itu melompat dari kudanya dengan sangat cepat untuk menghindari tembakan Minako.“Seperti yang diharapkan dari seorang Penyihir Merah legendaris!” seringai Minako sambil mengisi ulang pelurunya. Perempuan itu menyibakkan rambut panjangnya yang menjuntai ke pundak.Di salah satu batang pohon di tengah hutan tak j
“Begitu rupanya. Jadi kau bekerja sama dengan pembuat mutan-mutan ini untuk melawan kami?” Gyou menarik lepas pedang dari sarungnya. “Kau sangat gigih, ya?” seringai Gyou.Maitreya tersenyum. “Kau juga pasti berjuang keras demi memenuhi ambisi Tuanmu! Kau hanya... Iblis buatan sama seperti mereka, bukan?”Gyou mendesis rahasianya dibongkar.“Aku melihatmu di hutan, Gyou Amagiri! Kau hanya seorang ronin (samurai pengembara) biasa yang dijebak oleh Minako. Dia yang membawamu pada kultivator itu dan mengubahmu menjadi iblis, kan? Nah, Gyou, kenapa kau tidak bekerja sama saja denganku? Tak ada untungnya kau terus menurut pada Tuanmu! Bukankah kau seharusnya sudah mati? Serahkan kembali orang-orang yang sudah kalian culik pada kami! Penyihir Merah dan rekannya bukan tandingan kalian!”Gyou Amagiri menyipitkan mata menatap Maitreya. Dengan pedang tergenggam, dia menerjang gadis buta itu dengan kecepatan iblis. &ld
“Kalian harus melarikan diri!” ujar Isami pada anak buahnya. “Biar aku yang menyerahkan diri pada mereka.”Hiji terkejut bukan main. “Kau mau menyerahkan diri pada musuh? Kau hanya akan dibunuh oleh mereka.”“Tentu saja aku tak akan mengaku sebagai Komandan Shinsengumi. Aku hanya akan mengulur waktu agar kalian bisa melarikan diri.”Anggota inti yang lain merasa berat hati. Tapi, mereka juga tak punya pilihan. Markas sudah dikepung dari segala arah oleh sekitar 400 prajurit pasukan pemberontak.Rion bergegas pergi ke kamar Silver.“Ada apa?” kejut Silver sambil berusaha duduk dengan dada sesak.“Kita harus pergi! Markas dikepung oleh musuh. Aku harus membawamu pergi dari sini!”“Kau bisa tinggalkan aku,” pinta Silver.“Kau gila? Kau mau ditawan musuh dan dijadikan bahan percobaan di lab rahasia mereka?”Silver mengembuskan nap
Hiji berdiri dengan sempoyongan. Dia pegangi dada yang tertembak dan melihat telapaknya dilumuri darah sendiri.“Apakah ini rasanya ditembak?” seringai gadis itu. “Ini tidak terlalu mengesankan seperti yang aku bayangkan jika dibandingkan dengan penderitaan Isami!” Hiji menoleh ke jajaran pasukan pemberontak yang sudah menembaknya.Burung-burung di langit mendekat dan mengepung pasukan pemberontak. Sebanyak apa pun mereka menembakkan peluru, burung-burung itu bukannya kabur tapi malah semakin banyak mendekat dan mengerubungi mereka. Hiji terheran. Dia tak pernah melihat yang seperti itu.Gadis itu menoleh ke arah Rion. Pada wujud mutan, Hiji memiliki penglihatan mata yang jauh lebih bagus daripada manusia normal. Matanya bisa melihat aura kegelapan yang menyelubungi Rion. Rion menggerakkan tangan untuk mengendalikan pasukan burung dari kejauhan.“Ini tidak mungkin!” gumam Hiiji sambil memegangi dada yang terus mengucurk
Hiji terlihat tengah berdiskusi dengan Saito di kamp militer bentukan pemerintahan lama. Pasukan militer pemerintahan lama terdesak sampai ke pelosok ibu kota karena serangan dari pemerintahan baru.“Jika ini adalah perintah Wakil Komandan, aku akan patuh!” ujar Saito. “Tapi, izinkan aku mengklarifikasi satu hal. Itu tidak berarti shinsengumi akan dibubarkan, kan?”Hiji diam saja melipat tangan ke dada sambil bersandar ke sebatang pohon.“Aku ingin mengambil bagian dalam kampanye ini sebagai Saito dari shinsengumi dan menanggung bendera ketulusan shinsengumi!”“Lakukan sesukamu,” ujar Hiji pendek.Setelah Saito pergi untuk bergabung dengan barisan pasukan utama, tertingal Hiji seorang diri di sana. Dia duduk merenung di kamp dan memisahkan diri dari anggota pasukan baru yang lain. Dia merasa empas dan tak berdaya. Dia menjadi satu-satunya perempuan di antara pasukan pemerintahan lama yang semuanya ter
“Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan
Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.
“Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka
Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem
Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam
Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me
“Aku menerimanya!” teriak Eknath setuju dengan penawaran sosok misterius dalam bayangan gelap itu. “Bebaskan aku sekarang! Aku setuju dengan kesepakatan yang kau berikan!”Sosok yang tersembunyi dalam gelap itu menyeringai.“Hei! Lepaskan aku!”“Berikan padaku sumpah jiwa dengan tombak acala ini sebagai jaminannya!” tuntut sang sosok misterius.“Keparat!” umpat Eknath.Dia tak punya pilihan lain. Eknath pun merapal mantra pelepasan jiwa atau merogoh sukma. Kini, separuh jiwanya berada dalam genggaman sosok misterius itu. Jiwa tombak acala adalah separuh kehidupan Eknath. Dia serahkan jiwa tombak itu sebagai jaminan dan akan kembali padanya jika Eknath sudah menyelesaikan kesepakatannya.Jerat-jerat sihir di tubuh Eknath memudar. Dia bisa bangkit dan memijit pergelangan tangannya yang sebelumnya terikat jerat.“ACALA!
Di sebuah taman pribadi yang mewah dan megah dengan banyak tanaman menghiasai, seorang perempuan dalam gaun sutra tipis berjalan dengan talam di tangan. Dia membawa seperangkat alat untuk jamuan teh.Di gazebo ada seorang remaja yang tengah membersihkan pedangnya. Perempuan pembawa baki teh itu mendekat. Dari arah yang berbeda, seorang pria berlari-lari dengan tergesa.“Tuan Muda... Tuan Muda....”Remaja yang duduk di gazebo itu menengok pada sang pria. “Kenapa panik sekali?”“Hosh... Hosh... Anu... Itu... Di depan ada perwakilan dari klan Wan!”Prang!Baki teh yang dibawa perempuan bergaun sutra terjatuh. Remaja yang duduk di gazebo semakin gusar.“Apa lagi sekarang, Kak?” tanyanya pada sang perempuan.“Ini pertanda buruk, Chyou! Apa kau lupa bagaimana klan Zang dibumihanguskan oleh mereka?”“L
“Ke mana kalian akan membawaku?” tutur Lilian lirih saat tubuhnya diseret oleh lima pria anak buah si perempuan bergaun ungu.Perempuan bergaun ungu itu terhenti. Dia tiba-tiba menyeringai karena mempunyai sebuah ide.“Bawa dia ke kawah iblis!”“Tapi, Nona... tempat itu....”“Ini perintah! Apa yang aku ucapkan juga mewakili perintah Tuan Muda Wan!”Kelima pria yang menyeret tubuh Lilian ragu-ragu.“Ka-kami tidak berani!”“Kalian akan mati di sini jika menolak! Bawa dia ke kawah iblis, sekarang!”Kelima pria itu mulai membawa Lilian menuju ke jalan kawah iblis tak jauh dari hutan bambu hitam. Mata Lilian yang bengkak tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, hidungnya bisa mencium aroma daun bambu yang basah dan terbakar.Seluruh tanaman di Gunung Iblis didominasi warna hitam dan kelabu. Semuany