Tanpa Silver duga, para gadis penghibur itu melepas kimononya masing-masing. Di balik kimono itu, mereka memakai pakaian serba hitam yang ketat. Sebagian mengenakan tanktop dengan bagian dada dan lengan yang terbuka, celana ketat hitam, dan sepatu bot selutut. Lengan mereka terdapat rajah ular yang melilit. Di pinggang mereka ada banyak kantung berisi senjata, mulai dari kantung belati, kunai, sampai sumpitan.
“Ninja?” desis Silver.
Para gadis itu menyeringai. Salah satu gadis yang duduk di pangkuan Silver bahkan mengeluarkan belati yang sudah dilumuri racun katak berbisa.
“Jantungmu sangat mahal dan berharga. Dengan memakan jantungmu, kami bisa terus awet muda dan hidup abadi. Haha....”
Silver tak bisa bergerak. Dua gadis lain menodongkan pisau ke lehernya di kanan dan kiri. Jakun Silver melonjak menelan ludah dengan susah payah. “Aku benci berurusan dengan perempuan.&r
“Kami tidak perlu persetujuan untuk membawamu. Penyihir Merah, ikutlah dengan kami!”Mata pria bercaping itu tampak oleh Rion. Sepasang mata yang selama ini tertutupi oleh caping bambu itu adalah mata iblis.Rion menyeringai dan memutar kedua bilah celuritnya di tangan. Dari arah gerbang distrik hiburan, ada sosok berlari dalam kegalapan.“Pengganggu!” kesal pria bercaping.Sosok yang baru datang itu adalah pria paruh baya yang disewa oleh pemilik hiburan tempat Silver ditawan.“Anu, Tuan Ryoma Osamu, pemuda berambut perak itu ada di tempat kami. Nyonya sudah berusaha menahannya di sana.”Ryoma, pria berbadan besar dengan bekas luka di wajah itu menyeringai. Dia lemparkan sekantung uang pada pria yang memberi informasi. Dalam sekedip mata, dia sudah menghilang dan berpindah tempat. Si pesuruh rumah hiburan segera berlari be
Rion dan Silver kali ini benar-benar menjadi tawanan shinsengumi. Mereka tidak dipercaya dan terus dikurung sampai mau mengatakan yang sebenarnya. Kamar mereka dipindahkan ke ruangan khusus di gedung lama yang sudah tak terpakai. Gedung itu juga terus dijaga ketat agar mereka tak keluar atau menjalin komunikasi dengan pihak mana pun. Shinsengumi masih mengira Rion dan Silver adalah bagian dari para pemberontak.Malam sudah larut. Kabut tebal menyelimuti hampir seluruh kota. Tak ada manusia yang keluar pada jam itu. Masyarakat setempat mempercayai pada jam-jam tertentu selepas tengah malam akan ada kemunculan iblis yang mencari mangsa. Sudah banyak dari mereka yang menjadi korban.Tak. Tak. Tak. Terdengar suara ketukan seperti kayu di sepanjang lantai menyerupai langkah kaki yang timpang.Rion yang tengah berbaring di balik selimut membuka mata kantuknya. Silver yang dikurung di kamar berbeda masih meringkuk dengan suara
Saat anggota shinsengumi berhasil meraih kamar yang menjadi tempat Rion ditawan dengan susah payah, seketika gempa mereda dan kabut menghilang perlahan. Mereka semua dibuat kebingungan. Di kamar yang pintu dan dindingnya sudah jebol itu, Rion tengah memeluk Shana yang sudah tak sadarkan diri. Pakaian mereka berlumuran darah.Silver lari memeriksa Rion. “Kau baik-baik saja?”Rion hanya mengerjap.Anggota sinsengumi yang lain mengambil tubuh Shana dari Rion yang menyembunyikannya lagi di ruangan isolasi. Hiji memeriksa Rion jika ada luka. Anehnya, di tubuh pria itu sama sekali tak ada bekas luka meski pakaiannya koyak oleh tebasan pedang.Hiji menatap Rion dengan pandangan jijik. “Aku tunggu penjelasanmu besok pagi!”Di kamar isolasi, Shana duduk di depan meja hanya dengan penerangan dari lilin yang muram. Dia tatap tangan kanannya yang pernah terluka, tapi
“Apa kalian punya alasan memilih untuk tetap tinggal di sini?” tanya Maitreya sebelum benar-benar pergi meninggalkan markas shinsengumi. “Apa ada sesuatu yang kau inginkan dari mereka, Rion?”Mereka berdiri di depan gerbang markas shinsengumi. Xavier menjaga jarak tapi tetap dalam posisi waspada melindungi Maitreya. Rion tak bisa menjawab pertanyaan itu. Dia tak bisa mengungkapkan rencana dan pikirannya pada sembarang orang meski itu Maitreya sekalipun.Pada malam berkabut selepas kepergian Maitreya dan Xavier dari markas shinsengumi, pasukan shinsengumi yang terdiri dari para gadis itu tengah berjaga di sekitar markas. Mereka segera meningkatkan penjagaan dan pengawasan pasca kedatangan Maitreya.Malam terlalu mencekam dan lengang. Suasana seperti itu lebih menggelisahkan daripada berhadapan dengan musuh secara langsung di meden perang. Anggota yang lain berpatroli malam dengan membawa lentera dan senjata di pinggang. Mereka berkeliling memeriksa kondisi di desa-desa terdekat.Tiga g
“Gyou Amagiri?”Deg! Jantung Rion serasa ingin melonjak keluar begitu menyadari siapa yang berdiri di sana. Di dalam penglihatan matanya, Rion bisa melihat Gyou Amagiri tengah diselimuti oleh energi kegelapan yang sangat kuat. Tapi ada satu bagian titik di tubuh Gyou Amagiri yang menunjukkan warna berbeda.“Dia dikendalikan oleh seseorang!” Rion menyeringai dan mencoba berdiri. Pemuda itu berlari ke halaman belakang untuk mencegah kerusakan lebih parah di sana.Gyou memburu Rion. Dia mengangkat pedang dengan tangan kanan dan tangan kirinya memegangi pinggang. Dengan santai, dia mencoba menjatuhkan Rion.“Beruntung sekali kau. Aku sedang kehilangan celuritku!” ledek Rion.Plas! Tebasan Gyou terarah pada pinggang Rion. Rion menghindar dengan memutar kaki dan tubuhnya. Dia jegal langkah Gyou. Tapi, iblis itu melompat dan berputar 360 derajat di udara.Rion dalam posisi berlutut di permukaan tanah berlapis batu yang sedikit licin. Dia gerakkan tangan untuk mengndalikan sulur energi kegel
Seorang pria berpakaian jembel duduk bersila di depan sebuah kuil. Di depannya ada mangkuk tanah liat yang sudah pecah sebagian berisi sejumlah uang koin. Pria itu duduk dengan terkantuk-kantuk.Seorang pengunjung kuil yang mengenakan kimono biru berjalan dan berhenti di depan sang pengemis jembel. Dia merogoh kimononya dan melemparkan sejumlah uang koin yang dibungkus kertas putih.Pengunjung kuil itu berlalu masuk ke kuil. Setelah kepergiannya, sang pengemis terbangun dan melirik ke sekitar. Dia ambil koin yang dibungkus kertas di mangkuk tuanya dan menyimpan di balik kimono kumalnya.Pengemis jembel itu meraih tongkatnya dan berjalan terbungkuk-bunguk. Gerakannya sungguh kepayahan. Tak ada orang yang memperhatikan apalagi bersimpati. Dia hanya terus berjalan sampai tiba di depan sebuah gerbang yang menjadi markas shinsengumi.Suasana di sana lengang. Panas terik membuat semua orang malas berkeliar
“Mereka sombong sekali yakin bisa mengalahkan kita? Cih, bahkan sekali pukul saja sudah mati,” seringai Minako.“Tutup mulutmu!” Sano dengan pedang kembarnya mengamuk dan berusaha menyerang Minako yang akan menjadi musuh bebuyutannya saat ini.Sekelompok pasukan dari klan Osu mengadangnya. Dia dikepung oleh para pria berpedang.“Sial, ini tak ada habisnya!” Rion membantu Sano menghadapi para samurai pemberontak dari klan Osu. “Kita harus mundur!”“Tidak bisa!” tolak Sano.“Kau harus gunakan akalmu, Sano! Kita tak mungkin menang melawan mereka hanya bertiga. Heisu harus segera diobati!”Diam-diam, Rion memanggil pasukan burungnya untuk mengelabui musuh. Minako menembaki burung-burung itu agar terbang pergi tapi mereka adalah burung ilusi. Pada kesempatan yang kecil sekali, Rion bersama San
“Kau masih berpura-pura tidak tahu, Wakil Komandan Shinsengumi?” desis Maitreya. “Awalnya, kami tak ingin terlibat. Tapi, kematian demi kematian warga kota sudah sangat mengganggu! Apakah ini bagian dari patroli yang kalian dengungkan itu? Apa kau tahu ini?”“Iblis buatan kalian telah kehilangan rasionalitas karena mereka bukan lagi manusia. Sedangkan kalian sudah disumpah untuk melindungi kota dan seluruh warganya. Bagaimana bisa pelindung kota malah memanfaatkan warganya sebagai sumber makanan mereka?” sindir Xavier.Rion terseret pada satu ingatan. Setiap malam ini dia memergoki Shana sering keluar malam diam-diam. Tak ada yang tahu ke mana dia pergi. Rion juga tak berpikir gadis itu akan melakukan sesuatu yang berbahaya. Tapi, informasi dari Maitreya dan Xavier perlu untuk dia pertimbangkan.“Satu hal lagi, Rion, apa kau ingin meninggalkan kota ini bersama kami? Bukankah tuju
“Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan
Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.
“Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka
Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem
Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam
Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me
“Aku menerimanya!” teriak Eknath setuju dengan penawaran sosok misterius dalam bayangan gelap itu. “Bebaskan aku sekarang! Aku setuju dengan kesepakatan yang kau berikan!”Sosok yang tersembunyi dalam gelap itu menyeringai.“Hei! Lepaskan aku!”“Berikan padaku sumpah jiwa dengan tombak acala ini sebagai jaminannya!” tuntut sang sosok misterius.“Keparat!” umpat Eknath.Dia tak punya pilihan lain. Eknath pun merapal mantra pelepasan jiwa atau merogoh sukma. Kini, separuh jiwanya berada dalam genggaman sosok misterius itu. Jiwa tombak acala adalah separuh kehidupan Eknath. Dia serahkan jiwa tombak itu sebagai jaminan dan akan kembali padanya jika Eknath sudah menyelesaikan kesepakatannya.Jerat-jerat sihir di tubuh Eknath memudar. Dia bisa bangkit dan memijit pergelangan tangannya yang sebelumnya terikat jerat.“ACALA!
Di sebuah taman pribadi yang mewah dan megah dengan banyak tanaman menghiasai, seorang perempuan dalam gaun sutra tipis berjalan dengan talam di tangan. Dia membawa seperangkat alat untuk jamuan teh.Di gazebo ada seorang remaja yang tengah membersihkan pedangnya. Perempuan pembawa baki teh itu mendekat. Dari arah yang berbeda, seorang pria berlari-lari dengan tergesa.“Tuan Muda... Tuan Muda....”Remaja yang duduk di gazebo itu menengok pada sang pria. “Kenapa panik sekali?”“Hosh... Hosh... Anu... Itu... Di depan ada perwakilan dari klan Wan!”Prang!Baki teh yang dibawa perempuan bergaun sutra terjatuh. Remaja yang duduk di gazebo semakin gusar.“Apa lagi sekarang, Kak?” tanyanya pada sang perempuan.“Ini pertanda buruk, Chyou! Apa kau lupa bagaimana klan Zang dibumihanguskan oleh mereka?”“L
“Ke mana kalian akan membawaku?” tutur Lilian lirih saat tubuhnya diseret oleh lima pria anak buah si perempuan bergaun ungu.Perempuan bergaun ungu itu terhenti. Dia tiba-tiba menyeringai karena mempunyai sebuah ide.“Bawa dia ke kawah iblis!”“Tapi, Nona... tempat itu....”“Ini perintah! Apa yang aku ucapkan juga mewakili perintah Tuan Muda Wan!”Kelima pria yang menyeret tubuh Lilian ragu-ragu.“Ka-kami tidak berani!”“Kalian akan mati di sini jika menolak! Bawa dia ke kawah iblis, sekarang!”Kelima pria itu mulai membawa Lilian menuju ke jalan kawah iblis tak jauh dari hutan bambu hitam. Mata Lilian yang bengkak tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, hidungnya bisa mencium aroma daun bambu yang basah dan terbakar.Seluruh tanaman di Gunung Iblis didominasi warna hitam dan kelabu. Semuany