Aku dapat merasakan tubuhku meluncur turun. Jauh. Sangat jauh. Ke bawah.
Bluk!
Akhirnya, tubuhku berhenti melayang.
"Pangeran, kau tidak apa-apa?"
Aku dengan perlahan mencoba untuk membuka mata. Kudapati kedua pengawalku yang melihatku dengan tatapan penuh rasa khawatir.
"Aku tidak apa-apa," jawabku akhirnya.
Aku pun bangun, melihat ke sekeliling. Mencoba untuk menerka-nerka di mana gerangan kami berada saat ini.
Tempat ini sangat asing bagiku. Hari sedang gelap namun banyak benda bergerak yang mengeluarkan cahaya.
TIN TIINN TIIINNN!!!
Suara berisik itu bersahut-sahutan, memekakkan telinga.
Suara apa gerangan itu? Apakah kami belum terbebas dari kejaran Raja Petir? Aku masih tidak mengerti.
"Hei, apa yang kalian lakukan di sana? Cepat minggir, kalian menghalangi jalanku," teriak seseorang yang sedang mendongakkan badannya dari dalam boks besar.
"Kalau tidak mau ditabrak, cepat minggir dari sana!" teriak yang lainnya.
"Kenapa malah diam saja, cepat bangun dan menyingkir dari sana!" satu lagi orang lainnya berteriak ke arah kami.
Aku masih sibuk mencerna hal yang sedang terjadi. Otakku masih belum dapat memahami kejadian ini. Mengapa orang-orang itu berteriak keras ke arah kami? Apa mereka tidak tahu siapa aku? Aku adalah Pangeran Langit! Berani-beraninya mereka bertindak tidak sopan seperti itu!
"Si.. siaapaa mereka? Kenapa mereka berteriak-teriak begitu?" tanyaku.
Orang-orang yang menaiki benda asing itu mengelilingi kami dari berbagai penjuru arah. Bukan hanya suara berisik dari benda yang dinaiki itu saja yang menggangguku, tapi cahaya dari benda itu juga membuatku berada di posisi sulit. Mataku sangat silau dibuatnya.
"Aku juga tidak mengerti, Pangeran."
"Mereka telah mengepung kita, Pangeran. Sebaiknya kita pergi dari sini."
Aku pun mengikuti kedua pengawal yang menuntunku untuk bergerak menjauh dari tempat itu. Saat kutolehkan pandangan ke belakang, kulihat benda-benda asing tersebut bergerak dengan cepat. Kerumunan tadi pun sudah tak ada lagi. Meninggalkanku yang masih bengong melihat pemandangan di hadapanku.
"Kalian lihat itu?"
"Aku melihatnya dengan jelas, Pangeran," sahut pengawalku.
"Aku pun melihatnya," sahut pengawalku yang satunya lagi.
"Benda apa itu? Kenapa benda itu bergerak dengan sangat cepat?"
"Aku tidak tahu, Pangeran. Aku baru pertama kali melihatnya."
"Aku pun demikian. Benda itu tidak ada di Kerajaan Langit."
Benar, benda itu tidak ada di Kerajaan Langit. Jelas saja kami tidak pernah melihat benda tersebut sebelumnya.
Aku mengedarkan pandangan ke berbagai penjuru. Tempat ini terasa asing.
"Di mana kita sekarang?" tanyaku lagi.
"Ini bukan Kerajaan Langit."
"Ini tempat asing, Pangeran."
Aku pandangi kedua pengawalku secara bergantian.
"Aku juga tahu ini bukan Kerajaan Langit," teriakku keras. Sejak kapan kedua pengawalku ini jadi tidak berguna seperti sekarang?
"Ma.. maaff.. kkan kami, Pangeran."
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat kedua pengawalku yang menunjukkan wajah penuh penyesalan itu. Mereka bersujud memohon pengampunan.
"Sudah, sudah. Cepat bangun!"
Keduanya pun seketika segera bangkit berdiri.
"Ke mana kita harus pergi sekarang?"
"Sebaiknya kita pergi dari sini, Pangeran."
"Benar. Kita harus mencari jalan menuju Kerajaan Langit, Pangeran."
Amarahku mulai meledak mendengar perkataan mereka.
"Aku tahu kita harus pergi dari sini dan kembali ke Kerajaan Langit. Tapi, bagaimana caranya?" teriakku keras.
Kriiukk… kriiiuuukkk…
Tiba-tiba muncul suara aneh.
"Suara apa itu?" tanyaku dengan sikap waspada. Takut ada benda asing lainnya yang bersiap untuk menyerang.
"Suaranya terdengar sangat dekat," salah satu pengawalku langsung bersiap untuk menghadang orang yang ingin menyerangku.
"Ii.. ttuu suara perutku, Pangeran."
Gedubrak! Rupanya, itu adalah suara perut salah satu pengawalku.
"Kurang ajar sekali perutmu itu. Kenapa berani-beraninya mengeluarkan suara keras di saat menegangkan seperti sekarang?"
"Maaf, Pangeran. Selama pesta tadi, aku masih bertugas sehingga belum makan sedikit pun."
Ck! Apa boleh buat, memang sudah tugasnya untuk menjaga keamanan selama pesta.
"Pertama-tama, mari kita cari makanan terlebih dahulu."
Kami bertiga pun beranjak dari tempat tersebut, melangkah tanpa arah, mencoba mencari apa pun itu yang dapat dimakan.
Tak lama berselang, aku mencium aroma yang sangat menggiurkan.
"Bau apa ini?"
"Sepertinya bau makanan."
"Bau daging bakar!" ucap pengawalku.
Kuendus-enduskan hidungku, mencoba menelusuri bau tersebut.
"Tampaknya asal bau ini dari sana, Pangeran."
Pengawal menunjuk ke arah salah satu bangunan. Satu per satu orang masuk dan keluar dari tempat tersebut. Kami pun mengintip ke dalam tempat itu. Ada banyak orang duduk di sana sambil melahap makanan lezat.
"Sepertinya kita bisa makan di sini," ujarku setelah melihat orang-orang yang tengah makan di dalam. Mereka tampak sangat menikmati hidangan yang disajikan. Satu hal yang terpenting yaitu tidak ada tanda-tanda orang keracunan.
Kami pun masuk ke dalam dan duduk di salah satu tempat kosong. Satu orang pelayan datang menghampiri kami.
"Selamat datang. Ini menunya," ucap pelayan itu sambil menyodorkan sebuah buku.
"Bawakan kami makanan," ucapku kemudian.
"Baik. Mau pesan apa?" tanya pelayan itu.
Aku secara bergantian memandang pengawalku.
"Bawakan saja kami makanan!" ucapku lagi.
"Iya, tapi makanan apa yang ingin kalian pesan?" tanya pelayan itu lagi dengan nada yang lebih tinggi.
"Berani-beraninya kau meminta Pangeran untuk mengulangi perkataannya," kata pengawalku langsung bangkit dari duduknya.
Pelayan di hadapan kami langsung mengernyitkan dahinya.
Aku memberi isyarat ke pengawalku untuk menghentikan tindakannya. Kami harus makan untuk bisa bertahan di tempat asing ini. Aku pun melihat ke sekeliling. Memperhatikan orang-orang yang sedang melahap makanannya.
"Bawakan makanan yang sama seperti di meja itu," kataku sambil menunjuk ke salah satu meja.
"Baiklah, tunggu sebentar," pelayan itu pun menghilang dari hadapan kami.
Tak lama setelahnya, ia datang membawa banyak makanan.
"Selamat menikmati," ujar pelayan itu sebelum pergi.
Aku terpesona melihat begitu banyaknya makanan yang terhidang di hadapan kami. Aroma lezatnya semakin menggoda cacing-cacing di perutku. Kami pun melahap makanan-makanan itu dengan lahap. Rasanya sangat lezat. Belum pernah aku mencicipi makanan selezat ini sebelumnya.
"Rasanya sangat luar biasa, Pangeran."
"Koki Kerajaan Langit harus belajar lagi untuk bisa memasak makanan seperti ini."
Aku hanya mengangguk kecil, menyetujui ucapan para pengawalku. Mulutku masih penuh dengan makanan sehingga tidak bisa menjawab perkataan mereka.
Tak lama kemudian, hidangan di atas meja pun telah habis. Semua hidangan itu telah masuk ke dalam perut kami. Saking kenyangnya, aku merasa kesulitan untuk bergerak.
"Sudah saatnya kita melanjutkan perjalanan," ucapku kemudian.
Kami pun bergegas bangun dan bersiap untuk meninggalkan tempat tersebut. Pelayan yang tadi kembali menghampiri kami.
"Bagaimana makanannya?" tanyanya.
Aku mengacungkan kedua ibu jariku. "Sangat lezat."
"Berkat makanan tadi, kami bisa melanjutkan perjalanan."
"Terima kasih atas pujiannya. Ini tagihannya," kata pelayan tersebut sembari menyodorkan selembar kertas.
Aku tak mengerti dengan maksud pelayan tersebut.
"Terima kasih atas masakannya," ucapku kemudian. "Ayo kita lanjutkan perjalanan," kataku ke pengawal.
Kami pun melangkah untuk meninggalkan tempat tersebut.
"Tunggu dulu! Kalian harus bayar makanannya tadi," ujar pelayan itu menghalangi jalan kami.
"Berani-beraninya kau menghalangi jalan kami," ucap pengawalku.
"Kalau kau tidak ingin jalanmu dihalangi, bayar dulu makanannya!"
Aku tidak mengerti dengan maksud dari ucapan pelayan tersebut.
"Jangan bilang kalian tidak punya uang untuk membayar makanan yang sudah kalian makan tadi."
"Uang?" ulangku. "Apa itu?"
"Alat pembayaran! U-ang!"
"Kami akan membayarmu dengan penghargaan dari Kerajaan Langit."
Pelayan itu mendekat ke arahku. Wajahnya kini sangat dekat dengan wajahku.
"Apa maksudmu? Jangan bercanda. Ini bukan Kerajaan Langit, ini bumi!"
Aku memejamkan mataku. Cukup lama. Aku mencoba untuk mencerna perkataan pelayan tersebut."Ini bukan Kerajaan Langit, ini bumi!"Kata-katanya itu terus berputar di kepalaku. Bumi. Akhirnya teka-teki ini terjawab. Rupanya, aku terjatuh ke bumi! Mengapa tidak terpikirkan sebelumnya olehku?Aku pun membuka mataku lebar-lebar. Berharap tubuhku dapat kembali ke Kerajaan Langit. Sayangnya, aku masih berada di tempat yang sama. Di hadapanku, pelayan itu menatap lekat diriku. Kulihat kilatan kemarahan di kedua bola matanya. Aku pun terkejut melihat hal tersebut. Kilatan mata itu membuat diriku teringat kembali dengan Raja Petir. Bulu kudukku pun langsung merinding dibuatnya."Ada apa ini ribut-ribut?" tanya seorang pria bertubuh jangkung.
Aku berlari dan terus berlari. Seorang diri. Dua pengawalku berada entah di mana. Sekelilingku gelap. Aku tak mampu melihat dengan jelas jalan di depanku. Meski begitu, aku tetap terus berlari.Rasanya seperti berada di dalam api. Aku merasa sekujur tubuhku sangat panas."Pangeran… Pangeran…"Aku mendengar suara pengawal yang berulang kali memanggil namaku. Terus kulangkahkan kaki, berlari mencari sumber suara."Pangeran, kau mendengarku?"Berulang kali aku tolehkan kepala ke kanan dan ke kiri. Aneh, aku tak dapat menemukan sumber suara itu. Di mana sebenarnya mereka?"Hei, cepat bangun!"Suara melengking itu
Keesokan harinya, aku terbangun dengan keadaan yang jauh lebih baik. Badanku tidak terasa panas lagi. Aku tidur dengan sangat nyenyak kemarin. Aku bersyukur karena meskipun ranjang yang kutiduri saat ini tidak seempuk ranjangku di Kerajaan Langit, setidaknya aku tidak bermimpi buruk. Aku malah tidak terbangun sampai akhirnya suara berisik Nari menyadarkanku dari tidur.“Suhu tubuhmu sudah normal. Bangunlah dan makan sarapanmu,” ujar Nari.Aku langsung beranjak dari ranjang. Perutku sudah sangat keroncongan. Kami berempat duduk melingkar mengelilingi meja bundar di ruangan tersebut. Langsung kusantap dengan lahap makanan yang disodorkan oleh Nari. Makanan di mangkukku sedikit demi sedikit langsung berpindah ke dalam perutku.“Bagaimana, makanan buatanku enak, kan?” tanya Nari.
Setelah berpisah dengan Nari, aku melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Langit bersama dengan Kenji dan Masaki. Kami bertiga terus melangkah meski tak tahu betul arah mana yang harus dituju agar bisa kembali ke Kerajaan Langit.Sepanjang perjalanan, aku memperhatikan tingkah laku manusia di sekeliling. Mereka semua tampak aneh di mataku. Bagaimana tidak? Kebanyakan dari mereka menggenggam benda kecil berbentuk persegi panjang. Pria dewasa berpakaian rapi mendekatkan benda tersebut di telinganya kemudian terus berbicara seorang diri, padahal tidak ada orang di hadapannya. Dua orang gadis duduk di taman sambil memegang benda serupa. Mereka tiba-tiba tertawa keras sambil menunjuk-nunjuk ke arah benda tersebut. Tak hanya sampai di situ, di bangku taman lainnya ada seorang anak kecil. Awalnya, sang anak menangis kencang, namun tiba-tiba tangisan tersebut berubah menjadi senyum begitu sang ayah menyodorkan bend
Benda yang kami naiki melaju menyusuri jalan. Terkadang, benda itu berhenti sebentar namun kembali melaju saat lampu di pinggir jalan berubah warna menjadi hijau. Benda yang kami tumpangi ini sangat menarik perhatianku. Menaiki benda ini lebih praktis daripada menaiki kuda kerajaan.Tak lama kemudian, benda itu berhenti lagi. Pria di depan mengatakan bahwa kami sudah sampai di tujuan. Aku melihat keluar dari jendela. Terlihat bangunan menjulang tinggi. Kami pun tak sabar untuk keluar dari benda ini dan memanjat bangunan tinggi tersebut.“Biayanya 2.435 yen,” ujar pria di kursi depan.Aku memandang Kenji dan Masaki secara bergantian. Kami tidak paham dengan maksud pria tersebut.Pria dewasa yang awalnya berbicara dengan lembut itu mendadak berubah sikap. Raut
Nari berdiri di hadapan kami bertiga dengan kedua tangan terlipat di dada. Ia berulang kali menarik napas lalu mengembuskannya kembali.“Kalian sadar apa yang telah kalian lakukan tadi itu salah?” ujar Nari.Aku sadar kalau pertanyaannya tadi adalah kalimat pembuka dari omelannya.“Apanya yang salah? Kami cuma makan onigiri,” jawabku dengan nada tidak bersalah.“Aku kan sudah membekali kalian dengan onigiri!”“Iya, tapi kau hanya memberikan kami 3 onigiri sehingga masing-masing dari kami hanya bisa makan satu saja sedangkan kami tadi sudah berlari jauh, menghindar dari kejaran pria sangar,” kataku membela diri.“Hah? Aku tidak
Aku menatap lekat wanita di hadapanku. Ia menatap balik ke arahku dengan raut wajah penuh tanda tanya.Siapa sangka aku bisa bertemu dengan Putri Matahari di bumi? Cara berpakaiannya sudah benar-benar menyerupai manusia bumi lainnya. Apa hanya aku saja yang belum terbiasa dengan pakaian manusia bumi yang sekarang aku kenakan ini?Perasaan kaget dan senang berkecamuk di dadaku. Aku kaget lantaran Putri Matahari ternyata juga terjatuh ke bumi. Aku pun senang karena bisa menemukan makhluk kerajaan atas lainnya yang juga jatuh di bumi.Terlepas dari bagaimana perasaanku saat ini, aku sangat ingin mengetahui apa yang ada di pikiran wanita yang ada di hadapanku ini.“Apa maksudmu?” tanyanya bingung.“Putri Matahar
Aku berdiri mematung di pinggir lapangan olahraga. Pandangan mataku lurus menatap Kenji dan Masaki yang sedang memberikan arahan ke anak-anak kelas 1 E.Setelah melewati wawancara singkat dengan wanita yang biasa dipanggil Inoue Sensei, Kenji diterima menjadi guru olahraga sementara di sekolah ini. Masaki yang tak mau kalah, langsung melobi agar bisa diterima juga untuk mengajar. Akhirnya, Masaki juga diterima. Ia menjadi asisten Kenji. Dengan begini, mereka pun bisa lebih lama berada di sekolah ini. Yah, meskipun hanya sementara juga sih. Sampai guru olahraga yang sebenarnya kembali dari kampungnya di Fukuoka. Sebelum saat itu tiba, aku harus mencari tahu lebih banyak hal lagi tentang Hikari. Aku masih dibuat penasaran lantaran dirinya dan Putri Matahari sudah seperti pinang dibelah dua. Tidak ada bedanya dari segi fisik.Sementara Kenji dan Masaki
Aku tidak bisa menolak permintaan ayah. Akhirnya, aku pun kini berdiri di hadapan para wartawan yang sudah sejak tadi bergerombol di depan gedung kantor. Di sampingku, ada Hoshie. Tak jauh dari kami, ada manajer Hoshie, Kenji, dan Masaki. Kini sudah waktunya untuk berpura-pura.Hoshie sejak tadi sudah menggandeng tanganku. Wajahnya sangat ceria hari ini. Aku pun berusaha untuk mengimbanginya dengan memasang raut wajah bahagia. Namun, yang terlukis di wajahku justru senyum kecut yang dipaksakan. “Apakah kalian sudah resmi berpacaran?” tanya salah satu wartawan. Tampaknya para wartawan tersebut menyoroti tangan Hoshie yang menggandengku.Aku lagi-lagi hanya bisa memasang senyum yang dipaksakan. Tidak sanggup berkata-kata untuk menjawab pertanyaan tersebut. Di lain pihak, Hoshie justru sangat bersemangat menghadapi para wartawan.“Apakah menurut kalian kami sudah tampak serasi?” tanya Hoshie sembari semakin menempelkan badannya
Aku terkesiap saat menyaksikan Niji menceburkan dirinya ke laut. Aku lebih terkejut lagi saat Niji kemudian muncul seraya membawa tubuh Nari. Wajahnya terlihat sangat pucat.Niji berulang kali mendekatkan mulutnya ke mulut Nari. Ia juga menekan bagian dada Nari, mencoba mengeluarkan air laut yang ditelan oleh Nari. Menit demi menit berlalu, namun Nari tak kunjung memberikan reaksi. Para undangan yang melihat kejadian ini pun mulai berisik, beranggapan bahwa Nari sudah tak dapat diselamatkan.Aku hendak melihatnya dari jarak yang lebih dekat, namun Hoshie menghentikan langkahku dengan menarik lenganku.“Percuma saja kamu mendekat, tidak ada yang akan berubah,” ucap Hoshie.Ucapan Hoshie tersebut memang ada benarnya. Kakiku langsung lemas. Aku lunglai di tempat.Niji tampak hampir putus asa lantaran Nari tak kunjung sadar. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Nari yang tampak kaku itu.“Nari, bukalah matamu!” ujar Niji.
Nari mematung di tempat saat melihat Hoshie memberikan potongan kue ulang tahunnya ke Sora. Para undangan yang lainnya tentu juga sama terkejutnya dengan Nari.“Wow, potongan kue ketiga rupanya diberikan kepada seorang pria tampan yang sedang berdiri di sana. Agar para undangan yang hadir bisa melihat wajah pria yang beruntung ini, aku mohon padamu untuk maju ke depan,” ujar sang pembawa acara.Orang-orang langsung bersorak, ikut menyerukan agar Sora maju ke depan. Mata Nari tak bisa lepas dari lengan Hoshie yang menggaet lengan Sora. Tidak bisa dipungkiri, Sora dan Hoshie tampak serasi.Sang pembawa acara terus mengorek hubungan antara Sora dan Hoshie. Para undangan nampak sangat antusias, ingin mengetahui hubugan di antara mereka.“Hubungan kami memang berawal dari mitra kerja, tapi siapa yang tahu jika nantinya kami menjalin hubungan yang lebih serius.” Jawaban Hoshie itu semakin membuat hawa memanas. Tampak beberapa undangan me
Hari ini adalah hari ulang tahun Hoshie. Aku datang bersama dengan Kenji dan Masaki. Sebelumnya, aku sudah mendapat persetujuan dari Hoshie untuk mengajak Kenji dan Masaki ke pestanya. Aku tentu tidak ingin bengong sendirian jika saat di pesta Niji dan Nari asyik ngobrol berdua tanpa mempedulikan keberadaanku.Sesampainya di lokasi berkumpul, aku melihat Niji dan Nari sudah lebih dulu datang. Nari tampak sedikit berbeda dari biasanya. Ia yang dalam kesehariannya tidak terlalu memaki riasan, kini terlihat memakai lipstik berwarna merah menyala. Pipinya juga sedikit kemerahan.“Kenapa kamu bengong begitu melihat penampilanku? Apa aku terlihat aneh?” tanya Nari.“Bukannya begitu. Hanya saja hari ini kamu tidak terlihat seperti biasanya,” jawabku.“Aku menghormati Hoshie yang mengundangku untuk datang ke pesta ini. Jadi, aku pun harus berpenampilan selayaknya orang yang datang ke pesta.”Setelah selesai berbasa-basi,
Pagi ini, kepalaku terasa pening. Ucapan Niji kemarin terus terngiang-ngiang di telingaku. Aku masih merasa tidak percaya lantaran ucapannya itu sama dengan ucapan Pangeran Pelangi saat mengakui perasaannya terhadap Putri Petir. Apakah mereka selalu mengatakan hal itu jika ada orang yang disukai? Atau jangan-jangan… Entahlah. Aku tidak ingin terlalu memikirkan hal tersebut. Tapi, tetap saja hal itu belum bisa lepas dari benakku.“Selamat pagi. Bagaimana keadaanmu hari ini? Apakah sudah lebih baik daripada kemarin?” tanya Niji yang baru tiba.“Ya. Seperti yang kau lihat. Keadaanku sudah lebih baik.”“Maaf karena perkataanku kemarin sepertinya membuatmu sangat terkejut.”“Justru aku yang harus minta maaf karena kemarin aku sudah merepotkanmu.”Kemarin, Niji yang membantu membersihkan muntahanku. Ia juga memanggilkan taksi untukku.“Hal itu sama sekali tidak merepotkanku. Kemarin, set
Setelah selesai makan malam dengan Hoshie, aku menyempatkan diri untuk mampir ke kantor. Karena sudah hampir jam sembilan malam, tidak banyak orang yang masih ada di kantor. Aku sengaja kembali untuk mengambil tas yang aku letakkan di ruang departemen sales dan marketing.Aku merasa beruntung karena meletakkan tasku di ruang departemen sales dan marketing yang terletak di lantai delapan. Jika saja tadi aku meletakkan tas di ruanganku, tentu kini aku harus naik sampai ke lantai sepuluh. Malas rasanya naik sampai ke lantai sepuluh. Pasalnya, sejumlah lampu di kantor sudah dimatikan. Tentu akan merepotkan jadinya jika harus menyusuri ruangan yang gelap.Sesampainya di lantai delapan, aku melihat lampu masih menyala. Apakah masih ada orang di ruangan tersebut? Aku pun melangkah memasuki ruangan.“Hentikan itu, jangan mengatakannya lagi. Kamu membuatku sakit perut.”“Kalau begitu, bagaimana jika aku ganti topik saja. Mau mendengar kisah horor
Kami langsung bergegas menuju lantai 10. Aku sudah meminta Kenji dan Masaki untuk membelikan pakaian yang sekiranya pantas dikenakan oleh Nari. Aku dan Nari pun segera berganti pakaian.Hari ini adalah hari pertama Nari bekerja di perusahaan kami. Niji aku mintai bantuan untuk mengarahkan Nari selama bekerja. Sementara itu, hari ini aku mendapat tugas untuk berkomunikasi dengan editor MM dan Hoshie terkait dengan rencana pemasaran kami. Kebetulan, editor MM yang bertanggung jawab kali ini adalah Mizuki. Jadilah aku, Mizuki, dan Hoshie duduk bertiga di ruang rapat.“Aku tidak menyangka bahwa kamu adalah anak dari pemilik perusahaan besar sekelas SkyLight,” ucap Mizuki saat kami kembali bertemu setelah sekian lama.“Aku juga tidak menyangka bahwa aku akan dipekerjakan oleh orang sepertimu,” kata Hoshie.Bila menilik ke belakang, saat aku bekerja bersama Mizuki dan Hoshie, penampilanku sangat sederhana. Aku saat itu tidak memiliki uan
Kriiaat krrrieeeetBunyi berderit itu kerap timbul setiap aku melangkahkan kaki di dalam bangunan tua, tempat kami akan bermalam hari ini.“Apa kau yakin akan tidur di tempat ini?”Melangkahkan kaki saja aku sudah ragu-ragu, bagaimana mungkin aku bisa tidur di dalam ruangan tua dan berdebu seperti ini?“Kamu lihat sendiri, kan. Hanya di tempat ini kita bisa berteduh. Kalau kamu tidak mau tidur di sini, silakan tidur di atas pohon,” jawab Nari jutek.“Setidaknya kan kita bisa berjalan lebih jauh lagi untuk mencari tempat yang lebih layak untuk tidur.”“Sudahlah. Aku sudah sangat lelah dan mengantuk. Kalau kamu tidak mau tidur, itu terserahmu.”Nari sudah mengambil tempat dan bersiap untuk memejamkan matanya.Sepuluh menit berlalu, aku masih belum siap untuk membiarkan pakaianku menyentuh lantai. Tidak rela rasanya membiarkan pakaian ini menyapu debu-debu yang menempel di lantai.
“Pulangkan aku ke bumi!”Nari terus saja meminta padaku untuk membawanya kembali ke bumi. Aku pun mengantarnya ke salah satu tempat di Kerajaan Langit yang terdapat lubang cukup besar.Nari menutup mulut dengan sebelah tangannya ketika melihat ke bawah. “Sulit untuk dipercaya. Itu adalah bumi tempatku tinggal?” katanya sembari menunjuk ke arah bumi.“Ya. Seperti yang bisa kita lihat.”Dari tempat kami saat ini, kami dapat melihat aktivitas orang-orang di bumi. Karena hari sudah gelap, lampu-lampu jalanan terlihat menyilaukan.“Bagaimana caraku bisa sampai ke bawah?” tanyanya.“Mudah saja. Kau tinggal turun melalui lubang ini.”“Apa kau bercanda?”“Aku serius. Apa aku terlihat seperti orang yang sedang bercanda?”“Tapi, ini sangat tinggi. Aku tidak yakin masih bisa selamat jika terjun dari ketinggian seperti ini.” Nari menatap