Setelah berpisah dengan Nari, aku melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Langit bersama dengan Kenji dan Masaki. Kami bertiga terus melangkah meski tak tahu betul arah mana yang harus dituju agar bisa kembali ke Kerajaan Langit.
Sepanjang perjalanan, aku memperhatikan tingkah laku manusia di sekeliling. Mereka semua tampak aneh di mataku. Bagaimana tidak? Kebanyakan dari mereka menggenggam benda kecil berbentuk persegi panjang. Pria dewasa berpakaian rapi mendekatkan benda tersebut di telinganya kemudian terus berbicara seorang diri, padahal tidak ada orang di hadapannya. Dua orang gadis duduk di taman sambil memegang benda serupa. Mereka tiba-tiba tertawa keras sambil menunjuk-nunjuk ke arah benda tersebut. Tak hanya sampai di situ, di bangku taman lainnya ada seorang anak kecil. Awalnya, sang anak menangis kencang, namun tiba-tiba tangisan tersebut berubah menjadi senyum begitu sang ayah menyodorkan benda kecil tersebut. Aku pun tergelitik untuk mengetahui kelebihan yang dimiliki oleh benda tersebut.
“Masaki, kamu tahu benda apa yang dipegang oleh anak kecil itu?”
“Tidak. Ini baru pertama kali aku melihatnya.”
“Coba cari tahu benda apa itu. Semua orang sepertinya memiliki benda tersebut. Siapa tahu benda itu bisa membantu kita untuk menuju jalan pulang.”
“Baiklah. Aku akan mencoba untuk menyelidikinya.”
Masaki langsung mendekati anak kecil yang kira-kira berusia empat tahun itu.
“Apa yang sedang kau lakukan, nak?” tanyanya pada si anak.
“Game,” jawab sang anak tanpa memalingkan pandangannya dari benda di hadapannya itu.
Sadar bahwa keberadaannya tidak terlalu dianggap oleh si anak tersebut, tanpa basa-basi Masaki pun mengambil benda yang dipegang oleh si anak. Setelah berhasil mendapatkan benda itu, Masaki menyerahkan benda itu padaku. Aku sibuk mengamat-amati benda tersebut. Di lain pihak, anak kecil itu menangis sekencang-kencangnya. Suara tangisan si anak memancing kemarahan sang ayah. Ayahnya langsung melihat ke arah kami.
“Berani-beraninya kalian membuat anakku menangis. Cepat kembalikan handphone itu.”
Aku masih sibuk mengusap-usap benda yang kemudian kuketahui bernama handphone itu saat sang ayah merampasnya dari genggamanku.
“Jangan sembarangan mengambil barang orang kalau tidak ingin kulaporkan ke polisi!”
Sang ayah itu pun pergi menjauh sambil mengajak anaknya. Mereka tampaknya menganggap kami orang aneh sehingga buru-buru menjauh dari kami.
“Benda bernama handphone itu sangat canggih. Benda itu mengeluarkan cahaya dan suara.”
Aku dibuat terkesan dengan kecanggihan benda itu. Sayangnya, aku tidak memilikinya.
“Sudahlah. Tidak ada waktu untuk bermain-main dengan handphone itu. Kita harus sesegera mungkin menemukan jalan pulang,” ucapku kemudian.
“Pangeran, coba lihat…”
“Eits, bukankah kita sudah berjanji pada Nari untuk memanggil satu sama lain dengan nama masing-masing?” ujarku cepat, memotong perkataan Masaki.
“Aku tidak ingat berjanji seperti itu,” ucap Masaki.
“Kita tidak berjanji untuk memanggil satu sama lain dengan nama masing-masing, tapi kita berjanji untuk tidak memakai pakaian Kerajaan Langit selama di bumi,” lanjut Kenji.
Iyakah? Aku tidak terlalu ingat detailnya. Satu hal yang melekat erat di pikiranku adalah Nari selalu mengomel setiap kami melakukan ini dan itu. Wanita satu itu benar-benar berisik. Untungnya kini kami bisa terbebas dari omelannya.
“Itu benar, Pangeran. Lagi pula, saat ini hanya ada kita bertiga. Aku rasa tidak masalah jika menyebutmu Pangeran. Aku merasa takut setiap menyebut namamu, takut diperhatikan oleh Raja dan Ratu Langit dari atas sana.”
“Baiklah, selama hanya ada kita bertiga, kalian berdua seperti biasa bisa memanggilku dengan sebutan pangeran. Tapi, bila ada manusia bumi, agar kita tidak dianggap aneh kalian bisa sebut aku dengan namaku.”
“Baik, Pangeran,” ucap Kenji dan Masaki berbarengan.
“Oh, ya. Apa yang tadi ingin kau katakan?”
“Coba lihatlah ke sekitar. Ada banyak bangunan tinggi.”
Aku pun memperhatikan bangunan-bangunan di sekitar. Memang, bangunan-bangunan itu sangat tinggi menjulang ke atas.
“Ada apa dengan bangunan itu?”
“Pangeran lihat, bangunan itu sangatlah tinggi.”
“Lalu?”
“Sebaiknya kau langsung berbicara pada intinya. Jangan bertele-tele seperti itu,” kata Kenji tidak sabaran.
“Bukankah bangunan itu terlihat dekat dengan langit? Bila kita bisa menuju ke puncak bangunan itu, mungkin kita bisa melompat sampai ke langit,” ucap Masaki menggebu-gebu.
Aku berpikir sejenak. Kenapa hal itu tidak terpikirkan sebelumnya olehku? “Kau memang pantas dinobatkan sebagai pengawal paling cerdas di Kerajaan Langit.”
Masaki langsung nyengir. Tampaknya ia langsung besar kepala setelah kupuji seperti itu.
“Kalau begitu, pertama-tama kita harus mencari tahu bangunan tertinggi di sini,” ucapku kemudian.
Masaki dan Kenji secara kompak menggaruk-garuk kepala mereka yang aku yakin tidak terasa gatal sama sekali. Mereka berdua tampaknya bingung, tidak tahu bagaimana cara mengetahui bangunan yang paling tinggi itu.
Apa boleh buat, bumi memang masih sangat asing bagi kami. Masaki dan Kenji hendak bertanya ke manusia bumi yang berlalu-lalang, tapi tampaknya mereka sedang terburu-buru. Tidak ada yang berhasil dicegat untuk ditanyai. Sadar bahwa tidak ada gunanya mencoba untuk menghadang manusia bumi, kami pun kembali berjalan sembari menebak arah mana yang sebaiknya dituju.
Ketika mulai lelah berjalan, kami pun berhenti sejenak di pinggir jalan. Saat itulah, aku melihat seorang wanita berdiri di pinggir jalan dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Tak lama kemudian, sebuah benda berbentuk boks yang mirip dengan yang tempo hari kulihat, berdiri di depan wanita tersebut. Wanita itu lantas masuk ke dalamnya dan menghilang di kejauhan.
“Ayo kita juga naik benda itu!” ujarku pada Kenji dan Masaki.
Kami pun mengikuti hal yang dilakukan wanita tadi. Kami bertiga berdiri di tempat yang sama dengan wanita tadi. Kami juga mengangkat tangan tinggi-tinggi. Aku sangat bersemangat saat ada benda boks yang datang mendekat.
Wuss
Benda itu melaju kencang tanpa menghiraukan keberadaan kami.
Aku mencoba mengabaikan hal itu. Tidak masalah. Kami masih bisa mencari benda lainnya.
Benda lainnya datang mendekat.
Wusss
Lagi-lagi, dia tidak mau berhenti. Ada apa ini? Apa benda itu hanya mau berhenti jika wanita yang mengangkat tangan? Aku mulai putus asa dan menurunkan tanganku. Aku mundur perlahan. Menjauh dari Kenji dan Masaki yang masih berusaha untuk menyetop benda itu.
Anehnya, tak lama kemudian, ada yang tiba-tiba berhenti di depan kami. Pintu bagian belakangnya pun terbuka.
“Silakan naik,” ujar pria yang ada di bangku depan.
Tanpa ragu, kami pun naik ke dalam benda itu.
“Mau diantar ke mana?” tanya pria yang mengendalikan kemudi.
“Antar kami ke bangunan paling tinggi di tempat ini,” jawabku mantap.
“Bangunan paling tinggi?”
“Ya, kami ingin pergi ke langit.”
“Apa mungkin bangunan yang Anda maksud adalah Tokyo Skytree?” tanyanya lagi.
“Apa kau bilang? Tokyo Skytree?”
“Ya, Tokyo Skytree. Sky berarti langit dan tree artinya pohon. Secara gampangnya bisa disebut pohon yang menghadap ke langit. Tingginya mencapai 634 meter.”
“Segera antar kami ke tempat itu.”
“Baik, saya akan mengantar kalian menuju Tokyo Skytree.”
Benda yang kami naiki melaju menyusuri jalan. Terkadang, benda itu berhenti sebentar namun kembali melaju saat lampu di pinggir jalan berubah warna menjadi hijau. Benda yang kami tumpangi ini sangat menarik perhatianku. Menaiki benda ini lebih praktis daripada menaiki kuda kerajaan.Tak lama kemudian, benda itu berhenti lagi. Pria di depan mengatakan bahwa kami sudah sampai di tujuan. Aku melihat keluar dari jendela. Terlihat bangunan menjulang tinggi. Kami pun tak sabar untuk keluar dari benda ini dan memanjat bangunan tinggi tersebut.“Biayanya 2.435 yen,” ujar pria di kursi depan.Aku memandang Kenji dan Masaki secara bergantian. Kami tidak paham dengan maksud pria tersebut.Pria dewasa yang awalnya berbicara dengan lembut itu mendadak berubah sikap. Raut
Nari berdiri di hadapan kami bertiga dengan kedua tangan terlipat di dada. Ia berulang kali menarik napas lalu mengembuskannya kembali.“Kalian sadar apa yang telah kalian lakukan tadi itu salah?” ujar Nari.Aku sadar kalau pertanyaannya tadi adalah kalimat pembuka dari omelannya.“Apanya yang salah? Kami cuma makan onigiri,” jawabku dengan nada tidak bersalah.“Aku kan sudah membekali kalian dengan onigiri!”“Iya, tapi kau hanya memberikan kami 3 onigiri sehingga masing-masing dari kami hanya bisa makan satu saja sedangkan kami tadi sudah berlari jauh, menghindar dari kejaran pria sangar,” kataku membela diri.“Hah? Aku tidak
Aku menatap lekat wanita di hadapanku. Ia menatap balik ke arahku dengan raut wajah penuh tanda tanya.Siapa sangka aku bisa bertemu dengan Putri Matahari di bumi? Cara berpakaiannya sudah benar-benar menyerupai manusia bumi lainnya. Apa hanya aku saja yang belum terbiasa dengan pakaian manusia bumi yang sekarang aku kenakan ini?Perasaan kaget dan senang berkecamuk di dadaku. Aku kaget lantaran Putri Matahari ternyata juga terjatuh ke bumi. Aku pun senang karena bisa menemukan makhluk kerajaan atas lainnya yang juga jatuh di bumi.Terlepas dari bagaimana perasaanku saat ini, aku sangat ingin mengetahui apa yang ada di pikiran wanita yang ada di hadapanku ini.“Apa maksudmu?” tanyanya bingung.“Putri Matahar
Aku berdiri mematung di pinggir lapangan olahraga. Pandangan mataku lurus menatap Kenji dan Masaki yang sedang memberikan arahan ke anak-anak kelas 1 E.Setelah melewati wawancara singkat dengan wanita yang biasa dipanggil Inoue Sensei, Kenji diterima menjadi guru olahraga sementara di sekolah ini. Masaki yang tak mau kalah, langsung melobi agar bisa diterima juga untuk mengajar. Akhirnya, Masaki juga diterima. Ia menjadi asisten Kenji. Dengan begini, mereka pun bisa lebih lama berada di sekolah ini. Yah, meskipun hanya sementara juga sih. Sampai guru olahraga yang sebenarnya kembali dari kampungnya di Fukuoka. Sebelum saat itu tiba, aku harus mencari tahu lebih banyak hal lagi tentang Hikari. Aku masih dibuat penasaran lantaran dirinya dan Putri Matahari sudah seperti pinang dibelah dua. Tidak ada bedanya dari segi fisik.Sementara Kenji dan Masaki
Hari berganti hari. Sudah saatnya kembali bekerja.Pagi-pagi sekali aku sudah dibangunkan oleh Masaki dan Kenji. Dengan buru-buru aku melahap makanan yang disiapkan oleh Nari. Setelahnya, dengan langkah lebar aku, Masaki, dan Kenji bergegas menuju SMA Himawari. Kami berpisah di halaman sekolah. Masaki dan Kenji menuju lapangan olahraga, sedangkan aku naik ke lantai tiga. Menuju perpustakaan.Di sinilah aku sekarang. Berdiri di belakang meja petugas perpustakaan. Melayani para murid atau pun guru yang ingin meminjam maupun mengembalikan buku. Bukan hanya itu, aku juga bertugas merapikan buku-buku yang telah selesai mereka baca, meletakkannya kembali ke rak, sesuai dengan label nomor yang terpasang di buku tersebut.Ada sedikit rasa penyesalan di lubuk hatiku. Pasalnya, pekerjaanku bisa dibilang membosankan. Sepanjang
Kini, wajah kami berjarak kurang dari tiga senti meter. Detak jantungnya terdengar semakin tak menentu. Aku pun terus memperkecil jarak di antara kami.DARR DAAARRRR DAAARRRRRRRRRPetir tiba-tiba menyambar dengan keras. Hikari yang terkejut, secara kontan menjatuhkan kepalanya ke dalam pelukanku. Aku memperkencang dekapanku, berusaha agar suara sambaran petir itu tidak terlalu terdengar olehnya.Situasi tersebut tidak bertahan lama. Kurang dari dua menit kemudian, ia mendorong tubuhku menjauh darinya. Atmosfer di antara kami pun berubah menjadi kikuk.“Kau tidak apa-apa?” tanyaku memecah keheningan.“Aku baik-baik saja,” jawabnya cepat. “Kamu tidak perlu repot-repot mengantarku sampai ke rumah. C
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, aku hari ini tidak terlalu bersemangat datang ke sekolah. Setelah mengetahui bahwa Hikari sudah memiliki pasangan, apalagi sering tinggal bersama kekasihnya itu, aku mulai kehilangan semangat.Aku menengadahkan kepala ke atas. Memandang ke arah langit. Di sana, jauh di atas sana, ada Kerajaan Langit, tempat tinggalku. Kenapa aku harus terjatuh jauh sampai ke bumi? Apakah ada maksud tertentu dari semua ini? Aku masih tidak mengerti. Satu hal yang pasti, mau tidak mau aku masih harus bertahan di bumi sampai menemukan jalan untuk bisa kembali ke Kerajaan Langit.Bruk!Sakit. Ku elus keningku. Gara-gara galau meratapi nasib, aku menjadi tidak fokus melihat ke depan hingga akhirnya menabrak seseorang.“Maaf, aku tidak sengaja,”
Malam harinya, kami berempat duduk mengelilingi meja bundar. Aku, Masaki, Kenji, dan Nari. Layaknya polisi, Nari menginterogasi kami bertiga.“Jadi, Kenji dan Masaki sudah selesai bekerja di SMA Himawari karena guru olahraga yang sebenarnya sudah kembali bekerja?”“Iya. Dan ini adalah gaji yang kami dapatkan setelah bekerja di sana selama sekitar dua minggu.”Masaki dan Kenji menyodorkan amplop ke Nari. Nari pun mengecek isi dari kedua amplop di tangannya. Setelah menghitung isinya, Nari tersenyum puas.“Jumlahnya lumayan. Memang SMA Himawari tidak perlu diragukan lagi. Mereka memberikan bayaran yang memuaskan,” ucap Nari.Kini, Nari menjulurkan tangannya ke arahku. Aku berpura-pura tidak m
Aku tidak bisa menolak permintaan ayah. Akhirnya, aku pun kini berdiri di hadapan para wartawan yang sudah sejak tadi bergerombol di depan gedung kantor. Di sampingku, ada Hoshie. Tak jauh dari kami, ada manajer Hoshie, Kenji, dan Masaki. Kini sudah waktunya untuk berpura-pura.Hoshie sejak tadi sudah menggandeng tanganku. Wajahnya sangat ceria hari ini. Aku pun berusaha untuk mengimbanginya dengan memasang raut wajah bahagia. Namun, yang terlukis di wajahku justru senyum kecut yang dipaksakan. “Apakah kalian sudah resmi berpacaran?” tanya salah satu wartawan. Tampaknya para wartawan tersebut menyoroti tangan Hoshie yang menggandengku.Aku lagi-lagi hanya bisa memasang senyum yang dipaksakan. Tidak sanggup berkata-kata untuk menjawab pertanyaan tersebut. Di lain pihak, Hoshie justru sangat bersemangat menghadapi para wartawan.“Apakah menurut kalian kami sudah tampak serasi?” tanya Hoshie sembari semakin menempelkan badannya
Aku terkesiap saat menyaksikan Niji menceburkan dirinya ke laut. Aku lebih terkejut lagi saat Niji kemudian muncul seraya membawa tubuh Nari. Wajahnya terlihat sangat pucat.Niji berulang kali mendekatkan mulutnya ke mulut Nari. Ia juga menekan bagian dada Nari, mencoba mengeluarkan air laut yang ditelan oleh Nari. Menit demi menit berlalu, namun Nari tak kunjung memberikan reaksi. Para undangan yang melihat kejadian ini pun mulai berisik, beranggapan bahwa Nari sudah tak dapat diselamatkan.Aku hendak melihatnya dari jarak yang lebih dekat, namun Hoshie menghentikan langkahku dengan menarik lenganku.“Percuma saja kamu mendekat, tidak ada yang akan berubah,” ucap Hoshie.Ucapan Hoshie tersebut memang ada benarnya. Kakiku langsung lemas. Aku lunglai di tempat.Niji tampak hampir putus asa lantaran Nari tak kunjung sadar. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Nari yang tampak kaku itu.“Nari, bukalah matamu!” ujar Niji.
Nari mematung di tempat saat melihat Hoshie memberikan potongan kue ulang tahunnya ke Sora. Para undangan yang lainnya tentu juga sama terkejutnya dengan Nari.“Wow, potongan kue ketiga rupanya diberikan kepada seorang pria tampan yang sedang berdiri di sana. Agar para undangan yang hadir bisa melihat wajah pria yang beruntung ini, aku mohon padamu untuk maju ke depan,” ujar sang pembawa acara.Orang-orang langsung bersorak, ikut menyerukan agar Sora maju ke depan. Mata Nari tak bisa lepas dari lengan Hoshie yang menggaet lengan Sora. Tidak bisa dipungkiri, Sora dan Hoshie tampak serasi.Sang pembawa acara terus mengorek hubungan antara Sora dan Hoshie. Para undangan nampak sangat antusias, ingin mengetahui hubugan di antara mereka.“Hubungan kami memang berawal dari mitra kerja, tapi siapa yang tahu jika nantinya kami menjalin hubungan yang lebih serius.” Jawaban Hoshie itu semakin membuat hawa memanas. Tampak beberapa undangan me
Hari ini adalah hari ulang tahun Hoshie. Aku datang bersama dengan Kenji dan Masaki. Sebelumnya, aku sudah mendapat persetujuan dari Hoshie untuk mengajak Kenji dan Masaki ke pestanya. Aku tentu tidak ingin bengong sendirian jika saat di pesta Niji dan Nari asyik ngobrol berdua tanpa mempedulikan keberadaanku.Sesampainya di lokasi berkumpul, aku melihat Niji dan Nari sudah lebih dulu datang. Nari tampak sedikit berbeda dari biasanya. Ia yang dalam kesehariannya tidak terlalu memaki riasan, kini terlihat memakai lipstik berwarna merah menyala. Pipinya juga sedikit kemerahan.“Kenapa kamu bengong begitu melihat penampilanku? Apa aku terlihat aneh?” tanya Nari.“Bukannya begitu. Hanya saja hari ini kamu tidak terlihat seperti biasanya,” jawabku.“Aku menghormati Hoshie yang mengundangku untuk datang ke pesta ini. Jadi, aku pun harus berpenampilan selayaknya orang yang datang ke pesta.”Setelah selesai berbasa-basi,
Pagi ini, kepalaku terasa pening. Ucapan Niji kemarin terus terngiang-ngiang di telingaku. Aku masih merasa tidak percaya lantaran ucapannya itu sama dengan ucapan Pangeran Pelangi saat mengakui perasaannya terhadap Putri Petir. Apakah mereka selalu mengatakan hal itu jika ada orang yang disukai? Atau jangan-jangan… Entahlah. Aku tidak ingin terlalu memikirkan hal tersebut. Tapi, tetap saja hal itu belum bisa lepas dari benakku.“Selamat pagi. Bagaimana keadaanmu hari ini? Apakah sudah lebih baik daripada kemarin?” tanya Niji yang baru tiba.“Ya. Seperti yang kau lihat. Keadaanku sudah lebih baik.”“Maaf karena perkataanku kemarin sepertinya membuatmu sangat terkejut.”“Justru aku yang harus minta maaf karena kemarin aku sudah merepotkanmu.”Kemarin, Niji yang membantu membersihkan muntahanku. Ia juga memanggilkan taksi untukku.“Hal itu sama sekali tidak merepotkanku. Kemarin, set
Setelah selesai makan malam dengan Hoshie, aku menyempatkan diri untuk mampir ke kantor. Karena sudah hampir jam sembilan malam, tidak banyak orang yang masih ada di kantor. Aku sengaja kembali untuk mengambil tas yang aku letakkan di ruang departemen sales dan marketing.Aku merasa beruntung karena meletakkan tasku di ruang departemen sales dan marketing yang terletak di lantai delapan. Jika saja tadi aku meletakkan tas di ruanganku, tentu kini aku harus naik sampai ke lantai sepuluh. Malas rasanya naik sampai ke lantai sepuluh. Pasalnya, sejumlah lampu di kantor sudah dimatikan. Tentu akan merepotkan jadinya jika harus menyusuri ruangan yang gelap.Sesampainya di lantai delapan, aku melihat lampu masih menyala. Apakah masih ada orang di ruangan tersebut? Aku pun melangkah memasuki ruangan.“Hentikan itu, jangan mengatakannya lagi. Kamu membuatku sakit perut.”“Kalau begitu, bagaimana jika aku ganti topik saja. Mau mendengar kisah horor
Kami langsung bergegas menuju lantai 10. Aku sudah meminta Kenji dan Masaki untuk membelikan pakaian yang sekiranya pantas dikenakan oleh Nari. Aku dan Nari pun segera berganti pakaian.Hari ini adalah hari pertama Nari bekerja di perusahaan kami. Niji aku mintai bantuan untuk mengarahkan Nari selama bekerja. Sementara itu, hari ini aku mendapat tugas untuk berkomunikasi dengan editor MM dan Hoshie terkait dengan rencana pemasaran kami. Kebetulan, editor MM yang bertanggung jawab kali ini adalah Mizuki. Jadilah aku, Mizuki, dan Hoshie duduk bertiga di ruang rapat.“Aku tidak menyangka bahwa kamu adalah anak dari pemilik perusahaan besar sekelas SkyLight,” ucap Mizuki saat kami kembali bertemu setelah sekian lama.“Aku juga tidak menyangka bahwa aku akan dipekerjakan oleh orang sepertimu,” kata Hoshie.Bila menilik ke belakang, saat aku bekerja bersama Mizuki dan Hoshie, penampilanku sangat sederhana. Aku saat itu tidak memiliki uan
Kriiaat krrrieeeetBunyi berderit itu kerap timbul setiap aku melangkahkan kaki di dalam bangunan tua, tempat kami akan bermalam hari ini.“Apa kau yakin akan tidur di tempat ini?”Melangkahkan kaki saja aku sudah ragu-ragu, bagaimana mungkin aku bisa tidur di dalam ruangan tua dan berdebu seperti ini?“Kamu lihat sendiri, kan. Hanya di tempat ini kita bisa berteduh. Kalau kamu tidak mau tidur di sini, silakan tidur di atas pohon,” jawab Nari jutek.“Setidaknya kan kita bisa berjalan lebih jauh lagi untuk mencari tempat yang lebih layak untuk tidur.”“Sudahlah. Aku sudah sangat lelah dan mengantuk. Kalau kamu tidak mau tidur, itu terserahmu.”Nari sudah mengambil tempat dan bersiap untuk memejamkan matanya.Sepuluh menit berlalu, aku masih belum siap untuk membiarkan pakaianku menyentuh lantai. Tidak rela rasanya membiarkan pakaian ini menyapu debu-debu yang menempel di lantai.
“Pulangkan aku ke bumi!”Nari terus saja meminta padaku untuk membawanya kembali ke bumi. Aku pun mengantarnya ke salah satu tempat di Kerajaan Langit yang terdapat lubang cukup besar.Nari menutup mulut dengan sebelah tangannya ketika melihat ke bawah. “Sulit untuk dipercaya. Itu adalah bumi tempatku tinggal?” katanya sembari menunjuk ke arah bumi.“Ya. Seperti yang bisa kita lihat.”Dari tempat kami saat ini, kami dapat melihat aktivitas orang-orang di bumi. Karena hari sudah gelap, lampu-lampu jalanan terlihat menyilaukan.“Bagaimana caraku bisa sampai ke bawah?” tanyanya.“Mudah saja. Kau tinggal turun melalui lubang ini.”“Apa kau bercanda?”“Aku serius. Apa aku terlihat seperti orang yang sedang bercanda?”“Tapi, ini sangat tinggi. Aku tidak yakin masih bisa selamat jika terjun dari ketinggian seperti ini.” Nari menatap