Benda yang kami naiki melaju menyusuri jalan. Terkadang, benda itu berhenti sebentar namun kembali melaju saat lampu di pinggir jalan berubah warna menjadi hijau. Benda yang kami tumpangi ini sangat menarik perhatianku. Menaiki benda ini lebih praktis daripada menaiki kuda kerajaan.
Tak lama kemudian, benda itu berhenti lagi. Pria di depan mengatakan bahwa kami sudah sampai di tujuan. Aku melihat keluar dari jendela. Terlihat bangunan menjulang tinggi. Kami pun tak sabar untuk keluar dari benda ini dan memanjat bangunan tinggi tersebut.
“Biayanya 2.435 yen,” ujar pria di kursi depan.
Aku memandang Kenji dan Masaki secara bergantian. Kami tidak paham dengan maksud pria tersebut.
Pria dewasa yang awalnya berbicara dengan lembut itu mendadak berubah sikap. Raut wajahnya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Nada bicaranya langsung naik. Kejadian ini seperti deja vu. Reaksi pria di depan mirip dengan si pemilik tempat makan di mana kami sempat makan tempo hari. Aku pun tersadar bahwa situasi saat ini tidaklah baik. Kami terjebak di dalam benda ini bersama pria yang tampak seperti hendak memakan kami hidup-hidup.
Aku menyuruh Kenji dan Masaki untuk membuka pintu. Mereka sekuat tenaga membukanya namun sia-sia. Tampaknya pintu itu terkunci. Di saat seperti ini, tidak ada cara lain. Mereka pun berulang kali membantingkan tubuh ke pintu tersebut. Mencoba membukanya dengan paksa. Akhirnya, pintu pun terbuka. Tak perlu menunggu lama, kami pun langsung menghambur ke luar. Tanpa perlu diberi aba-aba, kaki kami langsung melangkah dengan cepat. Berlari sekuat tenaga, menerobos orang-orang yang menghalangi jalan kami.
“Hei, berhenti kalian!” teriak pria itu dengan keras.
Kami tidak menghiraukannya. Suara pria tersebut justru memacu kami untuk berlari semakin kencang. Akan tetapi, sekuat apa pun kami berlari, masih tetap saja kalah dengan pria yang mengendarai benda berjalan itu. Alhasil, kami pun menyiasatinya dengan masuk ke jalan sempit, jalan yang tidak bisa dilalui oleh benda bergerak tersebut.
Setelah merasa berlari cukup jauh, kusempatkan diri untuk menoleh ke belakang. Pria itu sudah tak terlihat lagi. Sepertinya, kami sudah berhasil kabur dari kejaran pria tersebut.
Hosh hosh hosh…
Napasku memburu. Aku sudah tidak kuat lagi berlari.
“Ber.. henn.. ti… hosh hosh hosh. Berhenti du.. lu… hosh hosh.”
Kami pun berhenti sejenak. Berusaha untuk mengatur napas.
Kriuk… kriiiuuuk… kriiiuuukkk…
Suara itu mengejutkanku. Kami bertiga saling berpandangan.
“Lagi-lagi perutmu itu menimbulkan suara berisik,” omel Masaki ke Kenji.
“Kali ini bukan aku. Aku berani bersumpah demi kehormatanku sebagai prajurit,” ujar Kenji cepat.
“Hmm!” aku berdeham keras. “Kita sudah berjuang sangat keras untuk lari dari kejaran pria bumi tadi. Sudah saatnya kita beristirahat sejenak sambil mengisi tenaga.”
Kenji dan Masaki manggut-manggut mendengar ucapanku.
Kami pun bergerak menuju taman yang letaknya tak jauh dari tempat kami dan duduk di sebuah bangku. Kenji membuka bungkusan yang diberikan Nari. Mengeluarkan onigiri yang dibuat wanita tersebut.
Aku segera melahap nasi kepal tersebut. Terus mengunyah hingga mulutku kosong.
“Tidak kusangka bekal buatannya seenak ini,” ujar Masaki.
“Iya, aku juga tak menyangkanya. Kenapa dia sedikit sekali membuatnya? Dasar pelit,” lanjut Kenji.
Cacing di perutku juga masih menginginkan tambahan asupan.
“Yosh! Kalau begitu, mari kita cari makanan lagi agar dapat segera melanjutkan perjalanan,” ujarku akhirnya.
Kami pun beranjak dari duduk. Kali ini, aku memercayakan arah pada endusan hidung Kenji. Setelah cukup lama mengendus-endus, Kenji tiba-tiba berhenti. Ia menajamkan pandangannya menembus ke dalam jendela kaca. Tangannya menunjuk-nunjuk ke dalam.
“Itu… itu dia,” ujar Kenji.
Aku dan Masaki memandang ke arah yang ditunjuk Kenji. Mataku langsung berbinar saat mengetahui maksud Kenji.
“Itu onigiri!”
Tanpa menunggu lama, kami pun bergegas masuk ke dalam tempat itu dan berjalan menuju rak yang dipenuhi deretan onigiri.
Aku mengambil salah satu onigiri itu dan membuka bungkusnya. Aku pun langsung mendaratkan gigitan ke onigiri itu. Saat onigiri yang sudah aku kunyah tersebut masuk ke dalam perutku, dapat kurasakan cacing-cacing di perutku berjoget ria.
Tak tinggal diam melihatku makan, Kenji dan Masaki juga masing-masing mengambil onigiri tersebut dan melahapnya. Tak cukup satu, setelah menghabiskan bungkusan pertama, kami pun mengambil lagi dan lagi.
“Hei, apa yang kalian bertiga lakukan di sana?” tanya seseorang dengan nada suara tinggi.
Kami bertiga terkesiap mendengar suara tersebut. Saat membalikkan badan, seorang wanita paruh baya berdiri dengan kedua tangan berkacak di pinggang.
“Lihatlah, kalian sudah memakan habis onigiri itu dan membiarkan sampahnya berserakan di lantai!” ujar wanita itu lagi sembari menunjuk ke arah lantai.
Lagi-lagi aku memiliki firasat buruk. Tampaknya wanita di hadapan kami sangat marah karena onigirinya telah dimakan habis. Setelah memperlihatkan senyuman yang dipaksakan, aku pun memberikan kode ke Masaki dan Kenji untuk segera pergi dari tempat itu. Kami pun bergegas melangkah menuju pintu.
Bruk!
Tubuhku menubruk sesuatu. Tabrakan yang tiba-tiba itu membuat aku, Masaki, dan Kenji terjatuh ke lantai.
“Aduh!” aku seperti mengenal suara itu.
Betapa kagetnya aku saat melihat sosok di depanku yang juga terjatuh di lantai. Nari. Wanita itu bangun dan berusaha mengumpulkan barang bawaannya yang kini berhampuran di lantai. Aku sangat terkejut melihatnya sampai-sampai tak sadar bahwa mulutku terbuka lebar. Belum sempat kukembalikan kesadaranku, aku sudah lebih dulu tertangkap oleh tatapan wanita itu. Nari juga tak kalah terkejut melihat kami.
“Kalian lagi, apa yang kalian bertiga lakukan di sini?”
“Bukan apa-apa, kami baru akan keluar dari sini,” jawabku asal.
“Nari, kamu mengenal mereka bertiga?”
Nari terdiam sejenak mendengar pertanyaan dari wanita di belakangku. Tampaknya, ia sedang membaca situasi, memikirkan dampak positif dan negatif bila mengaku mengenal kami.
Nari mengenakan pakaian yang sama dengan yang dipakai oleh wanita di belakang kami. Otakku sedang mencerna hal yang dilakukan Nari di tempat ini.
“Tidak, aku tidak mengenal mereka,” jawab Nari akhirnya.
“Apa yang kau katakan? Bukankah kemarin kami bertiga menginap di tempatmu?” ujar Kenji merasa tak terima.
Masaki langsung menyikut keras Kenji setelah mendengar celetukannya.
“Jadi, kalian saling mengenal?”
Wanita itu memperhatikan kami berempat dari atas ke bawah. Berjalan mengitari kami. Di tangannya, ada sebuah tongkat panjang.
“Kalian berempat sengaja berkomplot untuk mencuri di toko ini, hah?” tanya wanita itu lagi dengan nada tinggi.
Nari menggelengkan kepalanya keras. “Tidak. Aku sama sekali tidak berniat buruk. Aku murni ingin bekerja di sini,” jawab Nari dengan memelas. “Aku secara tidak sengaja beberapa kali bertemu dengan mereka tapi aku tidak tahu dengan jelas asal-usul mereka bertiga.”
“Jangan bohong! Aku tidak mau mendengar banyak alasan. Kalian harus membayar apa yang telah kalian lakukan!”
Nari berdiri di hadapan kami bertiga dengan kedua tangan terlipat di dada. Ia berulang kali menarik napas lalu mengembuskannya kembali.“Kalian sadar apa yang telah kalian lakukan tadi itu salah?” ujar Nari.Aku sadar kalau pertanyaannya tadi adalah kalimat pembuka dari omelannya.“Apanya yang salah? Kami cuma makan onigiri,” jawabku dengan nada tidak bersalah.“Aku kan sudah membekali kalian dengan onigiri!”“Iya, tapi kau hanya memberikan kami 3 onigiri sehingga masing-masing dari kami hanya bisa makan satu saja sedangkan kami tadi sudah berlari jauh, menghindar dari kejaran pria sangar,” kataku membela diri.“Hah? Aku tidak
Aku menatap lekat wanita di hadapanku. Ia menatap balik ke arahku dengan raut wajah penuh tanda tanya.Siapa sangka aku bisa bertemu dengan Putri Matahari di bumi? Cara berpakaiannya sudah benar-benar menyerupai manusia bumi lainnya. Apa hanya aku saja yang belum terbiasa dengan pakaian manusia bumi yang sekarang aku kenakan ini?Perasaan kaget dan senang berkecamuk di dadaku. Aku kaget lantaran Putri Matahari ternyata juga terjatuh ke bumi. Aku pun senang karena bisa menemukan makhluk kerajaan atas lainnya yang juga jatuh di bumi.Terlepas dari bagaimana perasaanku saat ini, aku sangat ingin mengetahui apa yang ada di pikiran wanita yang ada di hadapanku ini.“Apa maksudmu?” tanyanya bingung.“Putri Matahar
Aku berdiri mematung di pinggir lapangan olahraga. Pandangan mataku lurus menatap Kenji dan Masaki yang sedang memberikan arahan ke anak-anak kelas 1 E.Setelah melewati wawancara singkat dengan wanita yang biasa dipanggil Inoue Sensei, Kenji diterima menjadi guru olahraga sementara di sekolah ini. Masaki yang tak mau kalah, langsung melobi agar bisa diterima juga untuk mengajar. Akhirnya, Masaki juga diterima. Ia menjadi asisten Kenji. Dengan begini, mereka pun bisa lebih lama berada di sekolah ini. Yah, meskipun hanya sementara juga sih. Sampai guru olahraga yang sebenarnya kembali dari kampungnya di Fukuoka. Sebelum saat itu tiba, aku harus mencari tahu lebih banyak hal lagi tentang Hikari. Aku masih dibuat penasaran lantaran dirinya dan Putri Matahari sudah seperti pinang dibelah dua. Tidak ada bedanya dari segi fisik.Sementara Kenji dan Masaki
Hari berganti hari. Sudah saatnya kembali bekerja.Pagi-pagi sekali aku sudah dibangunkan oleh Masaki dan Kenji. Dengan buru-buru aku melahap makanan yang disiapkan oleh Nari. Setelahnya, dengan langkah lebar aku, Masaki, dan Kenji bergegas menuju SMA Himawari. Kami berpisah di halaman sekolah. Masaki dan Kenji menuju lapangan olahraga, sedangkan aku naik ke lantai tiga. Menuju perpustakaan.Di sinilah aku sekarang. Berdiri di belakang meja petugas perpustakaan. Melayani para murid atau pun guru yang ingin meminjam maupun mengembalikan buku. Bukan hanya itu, aku juga bertugas merapikan buku-buku yang telah selesai mereka baca, meletakkannya kembali ke rak, sesuai dengan label nomor yang terpasang di buku tersebut.Ada sedikit rasa penyesalan di lubuk hatiku. Pasalnya, pekerjaanku bisa dibilang membosankan. Sepanjang
Kini, wajah kami berjarak kurang dari tiga senti meter. Detak jantungnya terdengar semakin tak menentu. Aku pun terus memperkecil jarak di antara kami.DARR DAAARRRR DAAARRRRRRRRRPetir tiba-tiba menyambar dengan keras. Hikari yang terkejut, secara kontan menjatuhkan kepalanya ke dalam pelukanku. Aku memperkencang dekapanku, berusaha agar suara sambaran petir itu tidak terlalu terdengar olehnya.Situasi tersebut tidak bertahan lama. Kurang dari dua menit kemudian, ia mendorong tubuhku menjauh darinya. Atmosfer di antara kami pun berubah menjadi kikuk.“Kau tidak apa-apa?” tanyaku memecah keheningan.“Aku baik-baik saja,” jawabnya cepat. “Kamu tidak perlu repot-repot mengantarku sampai ke rumah. C
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, aku hari ini tidak terlalu bersemangat datang ke sekolah. Setelah mengetahui bahwa Hikari sudah memiliki pasangan, apalagi sering tinggal bersama kekasihnya itu, aku mulai kehilangan semangat.Aku menengadahkan kepala ke atas. Memandang ke arah langit. Di sana, jauh di atas sana, ada Kerajaan Langit, tempat tinggalku. Kenapa aku harus terjatuh jauh sampai ke bumi? Apakah ada maksud tertentu dari semua ini? Aku masih tidak mengerti. Satu hal yang pasti, mau tidak mau aku masih harus bertahan di bumi sampai menemukan jalan untuk bisa kembali ke Kerajaan Langit.Bruk!Sakit. Ku elus keningku. Gara-gara galau meratapi nasib, aku menjadi tidak fokus melihat ke depan hingga akhirnya menabrak seseorang.“Maaf, aku tidak sengaja,”
Malam harinya, kami berempat duduk mengelilingi meja bundar. Aku, Masaki, Kenji, dan Nari. Layaknya polisi, Nari menginterogasi kami bertiga.“Jadi, Kenji dan Masaki sudah selesai bekerja di SMA Himawari karena guru olahraga yang sebenarnya sudah kembali bekerja?”“Iya. Dan ini adalah gaji yang kami dapatkan setelah bekerja di sana selama sekitar dua minggu.”Masaki dan Kenji menyodorkan amplop ke Nari. Nari pun mengecek isi dari kedua amplop di tangannya. Setelah menghitung isinya, Nari tersenyum puas.“Jumlahnya lumayan. Memang SMA Himawari tidak perlu diragukan lagi. Mereka memberikan bayaran yang memuaskan,” ucap Nari.Kini, Nari menjulurkan tangannya ke arahku. Aku berpura-pura tidak m
Aku baru saja hendak melaporkan tentang adanya handphone yang tertinggal ini pada manajer. Di saat yang sama, seseorang masuk ke restoran dengan langkah terburu-buru dan langsung menuju ke meja 46. Ia tampak mengacak-acak rambutnya saat mengetahui benda yang ia cari tidak ada di sana. Terlihat jelas bahwa wanita itu sangat frustasi karenanya.Perlahan, kulangkahkan kaki mendekati wanita yang kini berjongkok di samping meja 46 itu.“Apakah ini yang sedang kau cari?” tanyaku sambil menyodorkan handphone yang tadi kudapatkan.Wanita itu mendongakkan kepalanya. Matanya tampak berbinar-binar saat melihat handphone di tanganku. Secepat kilat diambilnya handphone itu dan memastikan bahwa benda itu benar-benar miliknya.“Terima kasih. Aku kira aku sudah menghil
Aku tidak bisa menolak permintaan ayah. Akhirnya, aku pun kini berdiri di hadapan para wartawan yang sudah sejak tadi bergerombol di depan gedung kantor. Di sampingku, ada Hoshie. Tak jauh dari kami, ada manajer Hoshie, Kenji, dan Masaki. Kini sudah waktunya untuk berpura-pura.Hoshie sejak tadi sudah menggandeng tanganku. Wajahnya sangat ceria hari ini. Aku pun berusaha untuk mengimbanginya dengan memasang raut wajah bahagia. Namun, yang terlukis di wajahku justru senyum kecut yang dipaksakan. “Apakah kalian sudah resmi berpacaran?” tanya salah satu wartawan. Tampaknya para wartawan tersebut menyoroti tangan Hoshie yang menggandengku.Aku lagi-lagi hanya bisa memasang senyum yang dipaksakan. Tidak sanggup berkata-kata untuk menjawab pertanyaan tersebut. Di lain pihak, Hoshie justru sangat bersemangat menghadapi para wartawan.“Apakah menurut kalian kami sudah tampak serasi?” tanya Hoshie sembari semakin menempelkan badannya
Aku terkesiap saat menyaksikan Niji menceburkan dirinya ke laut. Aku lebih terkejut lagi saat Niji kemudian muncul seraya membawa tubuh Nari. Wajahnya terlihat sangat pucat.Niji berulang kali mendekatkan mulutnya ke mulut Nari. Ia juga menekan bagian dada Nari, mencoba mengeluarkan air laut yang ditelan oleh Nari. Menit demi menit berlalu, namun Nari tak kunjung memberikan reaksi. Para undangan yang melihat kejadian ini pun mulai berisik, beranggapan bahwa Nari sudah tak dapat diselamatkan.Aku hendak melihatnya dari jarak yang lebih dekat, namun Hoshie menghentikan langkahku dengan menarik lenganku.“Percuma saja kamu mendekat, tidak ada yang akan berubah,” ucap Hoshie.Ucapan Hoshie tersebut memang ada benarnya. Kakiku langsung lemas. Aku lunglai di tempat.Niji tampak hampir putus asa lantaran Nari tak kunjung sadar. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Nari yang tampak kaku itu.“Nari, bukalah matamu!” ujar Niji.
Nari mematung di tempat saat melihat Hoshie memberikan potongan kue ulang tahunnya ke Sora. Para undangan yang lainnya tentu juga sama terkejutnya dengan Nari.“Wow, potongan kue ketiga rupanya diberikan kepada seorang pria tampan yang sedang berdiri di sana. Agar para undangan yang hadir bisa melihat wajah pria yang beruntung ini, aku mohon padamu untuk maju ke depan,” ujar sang pembawa acara.Orang-orang langsung bersorak, ikut menyerukan agar Sora maju ke depan. Mata Nari tak bisa lepas dari lengan Hoshie yang menggaet lengan Sora. Tidak bisa dipungkiri, Sora dan Hoshie tampak serasi.Sang pembawa acara terus mengorek hubungan antara Sora dan Hoshie. Para undangan nampak sangat antusias, ingin mengetahui hubugan di antara mereka.“Hubungan kami memang berawal dari mitra kerja, tapi siapa yang tahu jika nantinya kami menjalin hubungan yang lebih serius.” Jawaban Hoshie itu semakin membuat hawa memanas. Tampak beberapa undangan me
Hari ini adalah hari ulang tahun Hoshie. Aku datang bersama dengan Kenji dan Masaki. Sebelumnya, aku sudah mendapat persetujuan dari Hoshie untuk mengajak Kenji dan Masaki ke pestanya. Aku tentu tidak ingin bengong sendirian jika saat di pesta Niji dan Nari asyik ngobrol berdua tanpa mempedulikan keberadaanku.Sesampainya di lokasi berkumpul, aku melihat Niji dan Nari sudah lebih dulu datang. Nari tampak sedikit berbeda dari biasanya. Ia yang dalam kesehariannya tidak terlalu memaki riasan, kini terlihat memakai lipstik berwarna merah menyala. Pipinya juga sedikit kemerahan.“Kenapa kamu bengong begitu melihat penampilanku? Apa aku terlihat aneh?” tanya Nari.“Bukannya begitu. Hanya saja hari ini kamu tidak terlihat seperti biasanya,” jawabku.“Aku menghormati Hoshie yang mengundangku untuk datang ke pesta ini. Jadi, aku pun harus berpenampilan selayaknya orang yang datang ke pesta.”Setelah selesai berbasa-basi,
Pagi ini, kepalaku terasa pening. Ucapan Niji kemarin terus terngiang-ngiang di telingaku. Aku masih merasa tidak percaya lantaran ucapannya itu sama dengan ucapan Pangeran Pelangi saat mengakui perasaannya terhadap Putri Petir. Apakah mereka selalu mengatakan hal itu jika ada orang yang disukai? Atau jangan-jangan… Entahlah. Aku tidak ingin terlalu memikirkan hal tersebut. Tapi, tetap saja hal itu belum bisa lepas dari benakku.“Selamat pagi. Bagaimana keadaanmu hari ini? Apakah sudah lebih baik daripada kemarin?” tanya Niji yang baru tiba.“Ya. Seperti yang kau lihat. Keadaanku sudah lebih baik.”“Maaf karena perkataanku kemarin sepertinya membuatmu sangat terkejut.”“Justru aku yang harus minta maaf karena kemarin aku sudah merepotkanmu.”Kemarin, Niji yang membantu membersihkan muntahanku. Ia juga memanggilkan taksi untukku.“Hal itu sama sekali tidak merepotkanku. Kemarin, set
Setelah selesai makan malam dengan Hoshie, aku menyempatkan diri untuk mampir ke kantor. Karena sudah hampir jam sembilan malam, tidak banyak orang yang masih ada di kantor. Aku sengaja kembali untuk mengambil tas yang aku letakkan di ruang departemen sales dan marketing.Aku merasa beruntung karena meletakkan tasku di ruang departemen sales dan marketing yang terletak di lantai delapan. Jika saja tadi aku meletakkan tas di ruanganku, tentu kini aku harus naik sampai ke lantai sepuluh. Malas rasanya naik sampai ke lantai sepuluh. Pasalnya, sejumlah lampu di kantor sudah dimatikan. Tentu akan merepotkan jadinya jika harus menyusuri ruangan yang gelap.Sesampainya di lantai delapan, aku melihat lampu masih menyala. Apakah masih ada orang di ruangan tersebut? Aku pun melangkah memasuki ruangan.“Hentikan itu, jangan mengatakannya lagi. Kamu membuatku sakit perut.”“Kalau begitu, bagaimana jika aku ganti topik saja. Mau mendengar kisah horor
Kami langsung bergegas menuju lantai 10. Aku sudah meminta Kenji dan Masaki untuk membelikan pakaian yang sekiranya pantas dikenakan oleh Nari. Aku dan Nari pun segera berganti pakaian.Hari ini adalah hari pertama Nari bekerja di perusahaan kami. Niji aku mintai bantuan untuk mengarahkan Nari selama bekerja. Sementara itu, hari ini aku mendapat tugas untuk berkomunikasi dengan editor MM dan Hoshie terkait dengan rencana pemasaran kami. Kebetulan, editor MM yang bertanggung jawab kali ini adalah Mizuki. Jadilah aku, Mizuki, dan Hoshie duduk bertiga di ruang rapat.“Aku tidak menyangka bahwa kamu adalah anak dari pemilik perusahaan besar sekelas SkyLight,” ucap Mizuki saat kami kembali bertemu setelah sekian lama.“Aku juga tidak menyangka bahwa aku akan dipekerjakan oleh orang sepertimu,” kata Hoshie.Bila menilik ke belakang, saat aku bekerja bersama Mizuki dan Hoshie, penampilanku sangat sederhana. Aku saat itu tidak memiliki uan
Kriiaat krrrieeeetBunyi berderit itu kerap timbul setiap aku melangkahkan kaki di dalam bangunan tua, tempat kami akan bermalam hari ini.“Apa kau yakin akan tidur di tempat ini?”Melangkahkan kaki saja aku sudah ragu-ragu, bagaimana mungkin aku bisa tidur di dalam ruangan tua dan berdebu seperti ini?“Kamu lihat sendiri, kan. Hanya di tempat ini kita bisa berteduh. Kalau kamu tidak mau tidur di sini, silakan tidur di atas pohon,” jawab Nari jutek.“Setidaknya kan kita bisa berjalan lebih jauh lagi untuk mencari tempat yang lebih layak untuk tidur.”“Sudahlah. Aku sudah sangat lelah dan mengantuk. Kalau kamu tidak mau tidur, itu terserahmu.”Nari sudah mengambil tempat dan bersiap untuk memejamkan matanya.Sepuluh menit berlalu, aku masih belum siap untuk membiarkan pakaianku menyentuh lantai. Tidak rela rasanya membiarkan pakaian ini menyapu debu-debu yang menempel di lantai.
“Pulangkan aku ke bumi!”Nari terus saja meminta padaku untuk membawanya kembali ke bumi. Aku pun mengantarnya ke salah satu tempat di Kerajaan Langit yang terdapat lubang cukup besar.Nari menutup mulut dengan sebelah tangannya ketika melihat ke bawah. “Sulit untuk dipercaya. Itu adalah bumi tempatku tinggal?” katanya sembari menunjuk ke arah bumi.“Ya. Seperti yang bisa kita lihat.”Dari tempat kami saat ini, kami dapat melihat aktivitas orang-orang di bumi. Karena hari sudah gelap, lampu-lampu jalanan terlihat menyilaukan.“Bagaimana caraku bisa sampai ke bawah?” tanyanya.“Mudah saja. Kau tinggal turun melalui lubang ini.”“Apa kau bercanda?”“Aku serius. Apa aku terlihat seperti orang yang sedang bercanda?”“Tapi, ini sangat tinggi. Aku tidak yakin masih bisa selamat jika terjun dari ketinggian seperti ini.” Nari menatap