Dengan demikian, pendekar itu pun tubuhnya terpental beberapa tombak ke belakang. Seakan-akan, terkena oleh pengaruh jurus yang sangat dahsyat dari orang tua tersebut.
Pria senja yang tiba-tiba datang itu adalah Resi Naraya—gurunya Pandu yang hendak ditemui oleh Pandu. Entah kenapa? Mendadak ia datang dan memberikan pertolongan kepada muridnya yang tengah dihadapkan dalam sebuah kesulitan.
Sehingga Pandu pun hanya diam termangu sambil menatap sosok sang guru yang tengah berhadap-hadapan dengan satu orang lagi pendekar yang masih hidup itu.
"Kenapa guruku bisa tahu jika aku tengah dalam kesulitan?" berkata Pandu dalam hati.
Jiwa dan pikiran Pandu kala itu diselimuti rasa penasaran yang begitu tinggi terhadap gurunya yang sudah datang dan memberikan pertolongan untuknya.
"Hentikan perbuatanmu, jika tidak ingin bernasib sama seperti dua kawanmu!" seru pria berusia senja yang mengenakan jubah putih, berdiri gagah di hadapan pendekar itu.
Tampangnya memang tidak terlihat menakutkan, namun kesaktian yang dimilikinya sungguh memukau dan membuat Pandu berdecak kagum melihat pergerakan cepat Resi Naraya.
Kemudian pendekar itu menyahut, "Kami diutus oleh Raden Andaresta untuk membunuh Pandu. Setelah itu, kami pun diperintah untuk membunuh keluarganya. Lantas, kau ini siapa? Kenapa kau turut campur dalam urusan ini?"
Orang tua itu maju beberapa langkah. Lantas, ia menjawab pertanyaan dari pendekar tersebut sambil tersenyum-senyum, "Pandu adalah muridku. Aku harap kau jangan mengganggunya! Jika kau memilih selamat, maka pergilah dari tempat ini!" ancam Resi Naraya. "Andaresta pun dulu adalah muridku. Akan tetapi, untuk saat ini aku tidak mau menganggap dia sebagai muridku lagi," sambungnya dengan sikap tenang.
Orang tua itu berkata dengan begitu pelan dan lirih, sehingga tidak ada getaran yang membuat pendekar itu takut. Bahkan, pendekar itu mentertawakan orang tua yang sudah berhasil membinasakan kawannya.
Di saat pendekar itu mentertawakan dirinya, maka orang tua itu dengan cepat langsung melakukan pergerakan secara mendadak. Dari tangannya melesat sebuah sinar berwarna kuning keemasan, meluncur deras hampir mengenai tubuh pendekar yang sedang menertawakannya.
Beruntung pendekar tersebut bertindak cepat dalam melakukan pergerakan menghindari serangan dari pria berusia senja itu. Sehingga dirinya berhasil selamat dari sentuhan jurus yang sudah barang tentu akan membinasakannya, jika ia tidak memiliki kecepatan dalam melakukan pergerakan.
"Bedebah kau orang tua!" bentak pendekar itu merasa kaget dan sangat terkejut dengan serangan mendadak yang dilancarkan oleh Resi Naraya.
"Jangan terlalu banyak sesumbar! Kau ini pendekar muda yang memiliki masa depan cerah. Tidak baik jika ilmu yang kau miliki dipergunakan untuk kejahatan!" seru Resi Naraya kembali bersikap tenang, dan berdiri seperti semula.
Pandu hanya tersenyum dan diam saja, ia tidak turut campur dalam persoalan itu. Karena dirinya yakin akan kemampuan gurunya, sudah dapat dipastikan bahwa gurunya bisa mengalahkan pendekar itu dengan mudah.
Tanpa terduga, ada dua orang pendekar lagi yang muncul dari balik semak belukar yang ada di pinggiran bukit tersebut. Entah siapa mereka? Tiba-tiba saja, melakukan serangan terhadap Resi Naraya.
Melihat pemandangan seperti itu, dengan serta-merta Pandu pun mulai ambil bagian untuk membantu gurunya dalam menghadapi para pendekar tersebut. Karena merasa khawatir terhadap keselamatan sang guru yang tengah bertarung dengan tiga orang pendekar dalam waktu bersamaan.
Pandu kembali melancarkan sebuah serangan terhadap salah seorang dari ketiga pendekar itu. Sambil membentak keras, ia mengerahkan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga dalam yang sulit dideteksi oleh lawannya.
"Rasakan ini!" teriak Pandu sambil melancarkan serangan.
Kekuatan tenaga dalamnya langsung melesat tanpa terdeteksi menghantam dada salah seorang lawannya. Pendekar itu pun tidak mengetahui jika jurus tersebut sudah meluncur deras ke arahnya, sehingga ia tidak dapat mengelak dan hanya pasrah terkena sentuhan jurus tenaga dalam yang dikerahkan oleh Pandu.
Dua pendekar yang baru tiba itu terdiam sejenak, mereka tampak bingung dan saling berpandangan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Demikian pula dengan Resi Naraya, ia teramat kagum ketika melihat pergerakan yang dilakukan oleh muridnya. Sejatinya, jurus tersebut belum sepenuhnya ia ajarkan kepada Pandu. Akan tetapi, Pandu sudah dapat menguasai jurus tersebut dengan begitu sempurna.
"Aku bangga memiliki seorang murid seperti Pandu," desis Resi Naraya terus mengamati pergerakan muridnya yang sudah kembali bertarung dengan dua orang pendekar yang baru tiba itu.
Sesaat kemudian, terdengar suara jeritan pilu dari dua pendekar tersebut. Seiring dengan demikian, tubuh kedua pendekar itu terlempar ke bawah bukit hingga suara jeritan itu perlahan-lahan menghilang ditelan kesunyian malam.
Setelah itu, Pandu langsung melangkah menghampiri gurunya dan menjura hormat kepada sang guru.
"Mohon maaf, Guru. Kenapa Guru bisa tahu tentang keberadaanku di bukit ini?" tanya Pandu lirih, pandangannya terus terarah ke wajah pria senja yang berdiri di hadapannya.
Resi Naraya terkekeh-kekeh mendengar pertanyaan dari muridnya itu. Sikapnya sungguh beda dari biasanya, selama ini Pandu mengenal gurunya sebagai pribadi yang bersikap pendiam dan tidak pernah tertawa lepas seperti itu.
"Apa yang terjadi dengan Guru?" tanya Pandu sambil mengerutkan kening, menatap tajam wajah gurunya.
"Hei, kau ini bertanya apa, Pandu? Apakah tidak boleh aku mentertawakanmu?" Resi Naraya balas bertanya sambil meletakkan tangannya di atas pundak Pandu.
Pandu menarik napas dalam-dalam, ia merasa bingung menanggapi sikap gurunya yang beda dari biasanya. Meskipun demikian, Pandu tetap berpikir positif terhadap gurunya itu.
"Tidak apa-apa, Guru. Aku hanya merasa heran saja dengan sikap Guru yang beda dari biasanya," jawab Pandu penuh rasa hormat. "Aku bermaksud hendak berkunjung ke padepokan untuk bertemu dengan Guru, dan menyampaikan kabar baik," sambung pendekar muda itu tersenyum lebar menatap wajah sang guru.
"Urungkan niatmu! Kembalilah ke rumahmu!" kata pria senja itu dengan entengnya meminta Pandu untuk kembali. "Aku sudah tahu semuanya. Yakinlah, bahwa kau ini akan menjadi seorang punggawa yang hebat, dan akan menjadi orang kepercayaan raja!" tandasnya menambahkan.
"Jadi, Guru sudah mengetahui maksudku?" tanya Pandu mengerutkan kening menatap wajah Resi Naraya.
* * *
Resi Naraya tersenyum lebar, lantas menjawab pertanyaan Pandu, "Ya, aku sudah tahu semua seluk-beluk kehidupanmu. Berhati-hatilah! Karena akan ada banyak aral melintang yang harus kau hadapi selama mengemban tugas dari raja." Mendengar perkataan dari gurunya, Pandu tersenyum. Sejatinya, ia merasa bahagia karena mendapatkan dukungan dan sentuhan nasihat baik dari orang yang sangat berjasa terhadap dirinya. "Terima kasih, Guru." Pandu meraih tangan sang resi seraya mencium tangan gurunya itu penuh rasa hormat. Pandu tidak menyadari bahwa yang tengah berhadap-hadapan dengan dirinya adalah roh halus dari Resi Naraya yang sudah meninggal dunia satu bulan yang lalu. Kemudian, Pandu kembali mengangkat kepalanya. Dipandanginya wajah Resi Naraya yang tampak pucat seperti orang yang tengah dalam keadaan sakit. Tangannya pun mulai terasa dingin bagaikan es. Sehingga, Pandu pun merasa kaget dengan semua itu.
Pandu tampak kaget sekali mendengar keterangan dari Damara. "Guru sudah meninggal dunia?" desis Pandu mengangkat alis tinggi. "Benar, Pandu. Tadi siang ada seorang anak muda yang berasal dari desa Baliung datang ke sini. Dia adalah murid Resi Naraya, pemuda itu mengabarkan bahwa Resi Naraya sudah meninggal satu bulan yang lalu. Atas nama pengurus padepokan, ia pun meminta maaf karena tidak memberi kabar kepadamu tentang kematian Resi Naraya," terang Damara menuturkan. "Aku tidak sampai ke desa Baliung, karena dalam perjalanan aku dihadang oleh beberapa orang pendekar yang hendak mencelaki aku," kata Pandu menuturkan. "Mana mungkin guru sudah meninggal? Sedangkan dirinya baru saja menolongku dari serangan para pendekar itu," sambung Pandu tampak semakin kebingungan. Damara menarik napas dalam-dalam, lantas berpaling ke arah Ki Wira Karma. "Kakang saja yang menjelaskan kepada putramu ini!" pinta Damara merasa bingung harus berkata
Pandu dan kedua pria paruh baya itu terperanjat mendengar teriakan tersebut. Ia bergegas bangkit hendak menghampiri suara teriakan itu. Akan tetapi, orang yang tadi berteriak memanggilnya itu sudah berlari ke arahnya. "Reksa Pati, kau ini kenapa? Seperti ketakutan sekali?" tanya Pandu mengerutkan keningnya sambil menatap wajah Reksa Pati yang sudah berada di hadapannya. "Aku baru saja bertarung dengan seorang pria yang mengenakan topeng tengkorak. Tapi, orang itu menghilang setelah menghajarku," jawab Reksa Pati dengan napas terengah-engah. "Kemudian muncul suara-suara aneh yang menakutkan. Sehingga, aku pun langsung lari," sambungnya menceritakan tentang apa yang dialaminya. "Sebaiknya kau duduk dulu, Reksa!" perintah Damara kepada pemuda itu. "Iya, Paman." Reksa Pati langsung melangkah dan duduk di hadapan Wira Karma. Ia tampak kaget ketika melihat tangan Wira Karma sudah dibalut kain. "Tangan Paman kenapa?" tanya Reksa Pati tampak penasaran
Pandu menghentikan langkahnya sejenak, lalu berpaling ke arah munculnya suara tersebut. Tampak seorang pria sudah berdiri tegak di belakangnya sambil memegang sebilah golok. "Siapa orang ini? Kenapa dia mengenaliku?" Pandu bertanya-tanya dalam hati. Orang tersebut melangkah menghampiri Pandu. "Kebetulan sekali aku menemukanmu di sini," kata pria berwajah sangar itu, tersenyum lebar memandangi wajah Pandu. "Siapa kau ini, Ki Sanak?" tanya Pandu mengerutkan kening. Pandu sama sekali tidak mengenali orang tersebut. Namun, orang itu tampaknya sangat mengenal dirinya. "Aku sengaja menghentikan langkahmu di sini, karena aku mendapatkan tugas penting dari Ki Kusumo untuk membawamu ke padepokannya," jawab pria itu. Pandu menarik napas dalam-dalam, dua bola matanya menatap wajah pria itu penuh selidik."Maaf, Ki Sanak. Seandainya itu tugas penting, kenapa Ki Sanak tidak datang saja ke rumahku?" tanya Pandu. "Aku tidak tahu di mana te
Pandu tidak mengindahkan seruan dari para petani tersebut. Ia hanya tersenyum saja sambil mengamati lawannya yang sudah tidak berdaya. Beberapa saat kemudian, pria itu bangkit. Meskipun sudah dalam kondisi terluka parah, namun dirinya masih tersenyum ketika tubuhnya goyang hendak jatuh terbanting. Dari mulut dan hidungnya kembali mengeluarkan darah hitam kental. Melihat kondisi lawannya seperti itu, Pandu cepat tanggap langsung menangkap tubuh pria itu, Pandu tetap memiliki jiwa bijaksana dan belas kasihan. Ia tidak membiarkan lawannya itu jatuh lagi, karena kondisinya sudah parah mengalami luka dalam terkena pukulan keras darinya. "Tolong bantu aku mengangkat orang ini!" seru Pandu kepada para petani yang ada di tempat itu. Namun, para petani itu tampak ragu. Seakan-akan, mereka enggan membantu Pandu menolong orang tersebut. Seperti yang mereka ketahui bahwa orang itu bukanlah orang baik, sehingga para petani i
Namun, Damara mencegahnya, "Berbaring saja, jangan bangkit dulu! Lukamu belum sembuh." "Iya, Ki," jawab orang itu mengurungkan niatnya untuk bangkit. Ia berpaling ke arah Pandu, lalu berkata, "Maafkan aku, Pandu. Kau jangan marah kepadaku, karena aku sudah menuruti perintah Ki Kusumo untuk memaksamu ikut ke padepokannya," ucapnya penuh sesalan. "Aku tidak marah kepadamu, kalau aku marah tidak mungkin aku membawamu ke tempat ini," sahut Pandu sambil tersenyum lebar. "Sungguh mulia hatimu, Pandu," desis pria tersebut. "Namamu siapa? Dan kau tinggal di mana?" timpal Damara bertanya kepada pria yang baru saja ia obati. "Namaku Jalamangkara, aku berasal dari kerajaan Kahuripan. Selama tiga tahun aku ikut bersama Ki Kusumo di padepokannya," jawab orang itu bersikap ramah dan tidak sombong seperti sebelumnya. "Lantas, kenapa kau bisa mengenal namaku?" tanya Pandu meluruskan pandangannya ke wajah Jalamangkara. "Aku mengenalimu
Prajurit itu langsung pamit kepada sang raja dan juga kepada sang maha patih. Ia berangkat dengan menunggangi kudanya menempuh perjalanan menelusuri jalan utama yang mengarah langsung ke desa tempat tinggal Pandu.Setibanya di kediaman Pandu, prajurit itu disambut hangat oleh Wira Karma yang kebetulan tengah berada di beranda rumah bersama Reksa Pati. Ia pun segera mempersilahkan prajurit itu untuk duduk."Silahkan duduk, Prajurit!" ucap Wira Karma bersikap ramah terhadap tamunya itu."Iya, Ki. Terima kasih," sahut prajurit itu menjura penuh hormat kepada Wira Karma dan juga kepada Reksa Pati.Demikianlah, Wira Karma langsung memerintahkan Reksa Pati untuk membuatkan minuman bagi tamunya itu."Tidak biasanya aku kedatangan tamu dari istana, ada persoalan apa yang hendak kau sampaikan, Prajurit?" tanya Wira Karma meluruskan pandangannya ke wajah prajurit tersebut.Prajurit itu balas tersenyum. Lantas menjawab pertanyaan Wira Karma, "Maaf, Ki.
Setibanya di istana, Pandu di sambut hangat oleh sang raja dan para petinggi kerajaan Genda Yaksa. Mereka sangat senang dengan kedatangan Pandu."Senang bisa berjumpa lagi denganmu, Pandu," ucap sang raja tersenyum lebar menyambut kedatangan sang kesatria berwajah tampan itu.Pandu balas tersenyum, dan menjura kepada sang raja. "Terimalah salam hormat hamba, Gusti Prabu," kata Pandu sambil merangkapkan kedua telapak tangannya.Setelah itu, Prabu Surya Darma Wihesa langsung mempersilahkan duduk kepada Pandu, "Silahkan duduk, Pandu!""Terima kasih, Gusti Prabu," jawab Pandu langsung duduk bersebelahan dengan seorang prajurit senior.Ada banyak hal yang dibicarakan oleh sang raja kepada Pandu, salah satunya terkait tugas yang hendak dijalankan oleh Pandu. Karena saat itu, sang raja akan langsung mengangkat Pandu sebagai punggawa istana yang akan bertugas khusus menjaga keamanan istana bersama 39 orang prajurit khusus lainnya."Mulai hari ini ka