Resi Naraya tersenyum lebar, lantas menjawab pertanyaan Pandu, "Ya, aku sudah tahu semua seluk-beluk kehidupanmu. Berhati-hatilah! Karena akan ada banyak aral melintang yang harus kau hadapi selama mengemban tugas dari raja."
Mendengar perkataan dari gurunya, Pandu tersenyum. Sejatinya, ia merasa bahagia karena mendapatkan dukungan dan sentuhan nasihat baik dari orang yang sangat berjasa terhadap dirinya.
"Terima kasih, Guru." Pandu meraih tangan sang resi seraya mencium tangan gurunya itu penuh rasa hormat.
Pandu tidak menyadari bahwa yang tengah berhadap-hadapan dengan dirinya adalah roh halus dari Resi Naraya yang sudah meninggal dunia satu bulan yang lalu.
Kemudian, Pandu kembali mengangkat kepalanya. Dipandanginya wajah Resi Naraya yang tampak pucat seperti orang yang tengah dalam keadaan sakit. Tangannya pun mulai terasa dingin bagaikan es. Sehingga, Pandu pun merasa kaget dengan semua itu.
"Maaf, Guru. Apakah Guru sedang sakit?" tanya Pandu penasaran.
"Tidak Pandu. Aku baik-baik saja," Resi Naraya tersenyum lebar menatap wajah Pandu.
"Lantas, kenapa wajah Guru pucat, dan tangan Guru pun terasa dingin sekali?" tanya Pandu penuh rasa penasaran.
Pandu terus memandangi wajah gurunya, dalam batinnya terus bertanya-tanya, "Apa yang terjadi dengan guru?"
"Sudahlah, jangan kau pikirkan itu!" desis Resi Naraya sambil tersenyum-senyum.
Sesaat kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, pria berusia senja itu langsung menghilang dari hadapan Pandu hanya dalam sekejap mata saja. Sehingga Pandu pun tampak kaget.
"Guru!" teriak Pandu sambil mengamati sekitaran tempat tersebut
Pandu semakin bingung dengan sikap gurunya tadi, sehingga dalam benaknya pun muncul berbagai pertanyaan. "Kenapa guruku bersikap seperti itu? Dan kenapa juga ia menyuruhku untuk kembali ke rumah?"
Setelah merenung sejenak, akhirnya ia pun segera memanggil kuda kesayangannya, "Rabuta!" teriak Pandu sambil bertepuk tangan pelan.
Dengan cepat, kuda besar berwarna putih mulus itu menganggukkan kepalanya sambil bersuara, menyahuti panggilan sang majikannya. Kemudian, Rabuta langsung berlari kecil menghampiri Pandu.
"Kita kembali ke rumah!" ucap Pandu tersenyum sambil mengelus lembut kepala Rabuta.
Kuda putih itu mengangguk-anggukkan kepalanya, ia sangat paham dengan apa yang diucapkan oleh Pandu.
Demikianlah, Pandu langsung naik dan duduk di atas pelana kudanya. Ia langsung memacu derap langkah kudanya kembali menelusuri jalanan setapak hutan tersebut, membelah kegelapan malam menuju ke arah barat untuk kembali ke kediamannya.
Dalam perjalanan menuju desa tempat tinggalnya, Pandu merasa bahwa ada hal yang canggung yang ia lihat dalam diri Resi Naraya. Sikap dan perilaku gurunya jauh dari sikap biasanya yang selama ini diketahui oleh Pandu.
Setibanya di rumah, tampak sang ayah tengah duduk santai di bebalean yang ada di beranda rumahnya bersama Damara yang kebetulan malam itu tengah berkunjung ke rumah Ki Wira Karma.
Pandu langsung turun dari kudanya. Kemudian berkata kepada kudanya itu, "Rabuta masuklah ke dalam kandangmu!" perintah Pandu sambil mengelus lembut kepala Rabuta.
Setelah itu, ia langsung melangkah menghampiri ayahnya dan juga Damara. "Sampurasun," ucap Pandu lirih.
"Rampes," jawab dua pria paruh baya itu, tersenyum lebar menyambut kedatangan Pandu.
Pandu langsung duduk di samping Damara, kemudian ia meraih kendi dan menuangkan air ke dalam gelas keramik, dan langsung meminumnya.
"Bagaimana, Pandu? Apakah kau sudah nyekar ke makam gurumu?" tanya Damara menatap wajah pendekar muda itu.
Mendengar pertanyaan tersebut, Pandu merasa bingung dan terheran-heran. Lantas, ia pun balas bertanya kepada Damara, "Maksud, Paman. Nyekar ke makam?"
"Iya, Pandu," jawab Damara terus menatap wajah Pandu.
Pandu terdiam sejenak, ia tampak bingung sekali dengan kalimat yang diucapkan oleh pria paruh baya itu.
"Gurumu sudah meninggal dunia satu bulan yang lalu?"
* * *
Pandu tampak kaget sekali mendengar keterangan dari Damara. "Guru sudah meninggal dunia?" desis Pandu mengangkat alis tinggi. "Benar, Pandu. Tadi siang ada seorang anak muda yang berasal dari desa Baliung datang ke sini. Dia adalah murid Resi Naraya, pemuda itu mengabarkan bahwa Resi Naraya sudah meninggal satu bulan yang lalu. Atas nama pengurus padepokan, ia pun meminta maaf karena tidak memberi kabar kepadamu tentang kematian Resi Naraya," terang Damara menuturkan. "Aku tidak sampai ke desa Baliung, karena dalam perjalanan aku dihadang oleh beberapa orang pendekar yang hendak mencelaki aku," kata Pandu menuturkan. "Mana mungkin guru sudah meninggal? Sedangkan dirinya baru saja menolongku dari serangan para pendekar itu," sambung Pandu tampak semakin kebingungan. Damara menarik napas dalam-dalam, lantas berpaling ke arah Ki Wira Karma. "Kakang saja yang menjelaskan kepada putramu ini!" pinta Damara merasa bingung harus berkata
Pandu dan kedua pria paruh baya itu terperanjat mendengar teriakan tersebut. Ia bergegas bangkit hendak menghampiri suara teriakan itu. Akan tetapi, orang yang tadi berteriak memanggilnya itu sudah berlari ke arahnya. "Reksa Pati, kau ini kenapa? Seperti ketakutan sekali?" tanya Pandu mengerutkan keningnya sambil menatap wajah Reksa Pati yang sudah berada di hadapannya. "Aku baru saja bertarung dengan seorang pria yang mengenakan topeng tengkorak. Tapi, orang itu menghilang setelah menghajarku," jawab Reksa Pati dengan napas terengah-engah. "Kemudian muncul suara-suara aneh yang menakutkan. Sehingga, aku pun langsung lari," sambungnya menceritakan tentang apa yang dialaminya. "Sebaiknya kau duduk dulu, Reksa!" perintah Damara kepada pemuda itu. "Iya, Paman." Reksa Pati langsung melangkah dan duduk di hadapan Wira Karma. Ia tampak kaget ketika melihat tangan Wira Karma sudah dibalut kain. "Tangan Paman kenapa?" tanya Reksa Pati tampak penasaran
Pandu menghentikan langkahnya sejenak, lalu berpaling ke arah munculnya suara tersebut. Tampak seorang pria sudah berdiri tegak di belakangnya sambil memegang sebilah golok. "Siapa orang ini? Kenapa dia mengenaliku?" Pandu bertanya-tanya dalam hati. Orang tersebut melangkah menghampiri Pandu. "Kebetulan sekali aku menemukanmu di sini," kata pria berwajah sangar itu, tersenyum lebar memandangi wajah Pandu. "Siapa kau ini, Ki Sanak?" tanya Pandu mengerutkan kening. Pandu sama sekali tidak mengenali orang tersebut. Namun, orang itu tampaknya sangat mengenal dirinya. "Aku sengaja menghentikan langkahmu di sini, karena aku mendapatkan tugas penting dari Ki Kusumo untuk membawamu ke padepokannya," jawab pria itu. Pandu menarik napas dalam-dalam, dua bola matanya menatap wajah pria itu penuh selidik."Maaf, Ki Sanak. Seandainya itu tugas penting, kenapa Ki Sanak tidak datang saja ke rumahku?" tanya Pandu. "Aku tidak tahu di mana te
Pandu tidak mengindahkan seruan dari para petani tersebut. Ia hanya tersenyum saja sambil mengamati lawannya yang sudah tidak berdaya. Beberapa saat kemudian, pria itu bangkit. Meskipun sudah dalam kondisi terluka parah, namun dirinya masih tersenyum ketika tubuhnya goyang hendak jatuh terbanting. Dari mulut dan hidungnya kembali mengeluarkan darah hitam kental. Melihat kondisi lawannya seperti itu, Pandu cepat tanggap langsung menangkap tubuh pria itu, Pandu tetap memiliki jiwa bijaksana dan belas kasihan. Ia tidak membiarkan lawannya itu jatuh lagi, karena kondisinya sudah parah mengalami luka dalam terkena pukulan keras darinya. "Tolong bantu aku mengangkat orang ini!" seru Pandu kepada para petani yang ada di tempat itu. Namun, para petani itu tampak ragu. Seakan-akan, mereka enggan membantu Pandu menolong orang tersebut. Seperti yang mereka ketahui bahwa orang itu bukanlah orang baik, sehingga para petani i
Namun, Damara mencegahnya, "Berbaring saja, jangan bangkit dulu! Lukamu belum sembuh." "Iya, Ki," jawab orang itu mengurungkan niatnya untuk bangkit. Ia berpaling ke arah Pandu, lalu berkata, "Maafkan aku, Pandu. Kau jangan marah kepadaku, karena aku sudah menuruti perintah Ki Kusumo untuk memaksamu ikut ke padepokannya," ucapnya penuh sesalan. "Aku tidak marah kepadamu, kalau aku marah tidak mungkin aku membawamu ke tempat ini," sahut Pandu sambil tersenyum lebar. "Sungguh mulia hatimu, Pandu," desis pria tersebut. "Namamu siapa? Dan kau tinggal di mana?" timpal Damara bertanya kepada pria yang baru saja ia obati. "Namaku Jalamangkara, aku berasal dari kerajaan Kahuripan. Selama tiga tahun aku ikut bersama Ki Kusumo di padepokannya," jawab orang itu bersikap ramah dan tidak sombong seperti sebelumnya. "Lantas, kenapa kau bisa mengenal namaku?" tanya Pandu meluruskan pandangannya ke wajah Jalamangkara. "Aku mengenalimu
Prajurit itu langsung pamit kepada sang raja dan juga kepada sang maha patih. Ia berangkat dengan menunggangi kudanya menempuh perjalanan menelusuri jalan utama yang mengarah langsung ke desa tempat tinggal Pandu.Setibanya di kediaman Pandu, prajurit itu disambut hangat oleh Wira Karma yang kebetulan tengah berada di beranda rumah bersama Reksa Pati. Ia pun segera mempersilahkan prajurit itu untuk duduk."Silahkan duduk, Prajurit!" ucap Wira Karma bersikap ramah terhadap tamunya itu."Iya, Ki. Terima kasih," sahut prajurit itu menjura penuh hormat kepada Wira Karma dan juga kepada Reksa Pati.Demikianlah, Wira Karma langsung memerintahkan Reksa Pati untuk membuatkan minuman bagi tamunya itu."Tidak biasanya aku kedatangan tamu dari istana, ada persoalan apa yang hendak kau sampaikan, Prajurit?" tanya Wira Karma meluruskan pandangannya ke wajah prajurit tersebut.Prajurit itu balas tersenyum. Lantas menjawab pertanyaan Wira Karma, "Maaf, Ki.
Setibanya di istana, Pandu di sambut hangat oleh sang raja dan para petinggi kerajaan Genda Yaksa. Mereka sangat senang dengan kedatangan Pandu."Senang bisa berjumpa lagi denganmu, Pandu," ucap sang raja tersenyum lebar menyambut kedatangan sang kesatria berwajah tampan itu.Pandu balas tersenyum, dan menjura kepada sang raja. "Terimalah salam hormat hamba, Gusti Prabu," kata Pandu sambil merangkapkan kedua telapak tangannya.Setelah itu, Prabu Surya Darma Wihesa langsung mempersilahkan duduk kepada Pandu, "Silahkan duduk, Pandu!""Terima kasih, Gusti Prabu," jawab Pandu langsung duduk bersebelahan dengan seorang prajurit senior.Ada banyak hal yang dibicarakan oleh sang raja kepada Pandu, salah satunya terkait tugas yang hendak dijalankan oleh Pandu. Karena saat itu, sang raja akan langsung mengangkat Pandu sebagai punggawa istana yang akan bertugas khusus menjaga keamanan istana bersama 39 orang prajurit khusus lainnya."Mulai hari ini ka
Diam-diam, Senapati Gukurajma menaruh rasa iri terhadap Pandu. Ia sangat khawatir jika Pandu akan menyaingi dirinya, sehingga tumbuh niat jahat dalam diri pria paruh baya itu. "Aku harus memancing Pandu agar keluar dari istana ini, dan aku akan memerintahkan kepada Barunda agar mencelakai Pandu," kata Senapati Gukurajma sambil mengamati Pandu yang tengah berjalan bersama Panglima Durga menuju ke arahnya. Panglima Durga tersenyum lebar memandang wajah sang senapati. Setelah dekat, ia pun langsung menyapa Senapati Gukurajma, "Selamat malam, Senapati. Sedang apa kau di sini?" Panglima Durga membungkukkan badan ke arah Senapati Gukurajma yang tengah duduk di pendapa istana. "Aku sengaja menunggumu di sini, aku ingin berbincang santai menikmati malam," jawab Senapati Gukurajma tersenyum lebar. "Duduklah!" sambungnya mempersilahkan Panglima Durga untuk duduk. "Terima kasih, Senapati," sahut Pa