Pandu tampak kaget sekali mendengar keterangan dari Damara. "Guru sudah meninggal dunia?" desis Pandu mengangkat alis tinggi.
"Benar, Pandu. Tadi siang ada seorang anak muda yang berasal dari desa Baliung datang ke sini. Dia adalah murid Resi Naraya, pemuda itu mengabarkan bahwa Resi Naraya sudah meninggal satu bulan yang lalu. Atas nama pengurus padepokan, ia pun meminta maaf karena tidak memberi kabar kepadamu tentang kematian Resi Naraya," terang Damara menuturkan.
"Aku tidak sampai ke desa Baliung, karena dalam perjalanan aku dihadang oleh beberapa orang pendekar yang hendak mencelaki aku," kata Pandu menuturkan. "Mana mungkin guru sudah meninggal? Sedangkan dirinya baru saja menolongku dari serangan para pendekar itu," sambung Pandu tampak semakin kebingungan.
Damara menarik napas dalam-dalam, lantas berpaling ke arah Ki Wira Karma. "Kakang saja yang menjelaskan kepada putramu ini!" pinta Damara merasa bingung harus berkata
Pandu dan kedua pria paruh baya itu terperanjat mendengar teriakan tersebut. Ia bergegas bangkit hendak menghampiri suara teriakan itu. Akan tetapi, orang yang tadi berteriak memanggilnya itu sudah berlari ke arahnya. "Reksa Pati, kau ini kenapa? Seperti ketakutan sekali?" tanya Pandu mengerutkan keningnya sambil menatap wajah Reksa Pati yang sudah berada di hadapannya. "Aku baru saja bertarung dengan seorang pria yang mengenakan topeng tengkorak. Tapi, orang itu menghilang setelah menghajarku," jawab Reksa Pati dengan napas terengah-engah. "Kemudian muncul suara-suara aneh yang menakutkan. Sehingga, aku pun langsung lari," sambungnya menceritakan tentang apa yang dialaminya. "Sebaiknya kau duduk dulu, Reksa!" perintah Damara kepada pemuda itu. "Iya, Paman." Reksa Pati langsung melangkah dan duduk di hadapan Wira Karma. Ia tampak kaget ketika melihat tangan Wira Karma sudah dibalut kain. "Tangan Paman kenapa?" tanya Reksa Pati tampak penasaran
Pandu menghentikan langkahnya sejenak, lalu berpaling ke arah munculnya suara tersebut. Tampak seorang pria sudah berdiri tegak di belakangnya sambil memegang sebilah golok. "Siapa orang ini? Kenapa dia mengenaliku?" Pandu bertanya-tanya dalam hati. Orang tersebut melangkah menghampiri Pandu. "Kebetulan sekali aku menemukanmu di sini," kata pria berwajah sangar itu, tersenyum lebar memandangi wajah Pandu. "Siapa kau ini, Ki Sanak?" tanya Pandu mengerutkan kening. Pandu sama sekali tidak mengenali orang tersebut. Namun, orang itu tampaknya sangat mengenal dirinya. "Aku sengaja menghentikan langkahmu di sini, karena aku mendapatkan tugas penting dari Ki Kusumo untuk membawamu ke padepokannya," jawab pria itu. Pandu menarik napas dalam-dalam, dua bola matanya menatap wajah pria itu penuh selidik."Maaf, Ki Sanak. Seandainya itu tugas penting, kenapa Ki Sanak tidak datang saja ke rumahku?" tanya Pandu. "Aku tidak tahu di mana te
Pandu tidak mengindahkan seruan dari para petani tersebut. Ia hanya tersenyum saja sambil mengamati lawannya yang sudah tidak berdaya. Beberapa saat kemudian, pria itu bangkit. Meskipun sudah dalam kondisi terluka parah, namun dirinya masih tersenyum ketika tubuhnya goyang hendak jatuh terbanting. Dari mulut dan hidungnya kembali mengeluarkan darah hitam kental. Melihat kondisi lawannya seperti itu, Pandu cepat tanggap langsung menangkap tubuh pria itu, Pandu tetap memiliki jiwa bijaksana dan belas kasihan. Ia tidak membiarkan lawannya itu jatuh lagi, karena kondisinya sudah parah mengalami luka dalam terkena pukulan keras darinya. "Tolong bantu aku mengangkat orang ini!" seru Pandu kepada para petani yang ada di tempat itu. Namun, para petani itu tampak ragu. Seakan-akan, mereka enggan membantu Pandu menolong orang tersebut. Seperti yang mereka ketahui bahwa orang itu bukanlah orang baik, sehingga para petani i
Namun, Damara mencegahnya, "Berbaring saja, jangan bangkit dulu! Lukamu belum sembuh." "Iya, Ki," jawab orang itu mengurungkan niatnya untuk bangkit. Ia berpaling ke arah Pandu, lalu berkata, "Maafkan aku, Pandu. Kau jangan marah kepadaku, karena aku sudah menuruti perintah Ki Kusumo untuk memaksamu ikut ke padepokannya," ucapnya penuh sesalan. "Aku tidak marah kepadamu, kalau aku marah tidak mungkin aku membawamu ke tempat ini," sahut Pandu sambil tersenyum lebar. "Sungguh mulia hatimu, Pandu," desis pria tersebut. "Namamu siapa? Dan kau tinggal di mana?" timpal Damara bertanya kepada pria yang baru saja ia obati. "Namaku Jalamangkara, aku berasal dari kerajaan Kahuripan. Selama tiga tahun aku ikut bersama Ki Kusumo di padepokannya," jawab orang itu bersikap ramah dan tidak sombong seperti sebelumnya. "Lantas, kenapa kau bisa mengenal namaku?" tanya Pandu meluruskan pandangannya ke wajah Jalamangkara. "Aku mengenalimu
Prajurit itu langsung pamit kepada sang raja dan juga kepada sang maha patih. Ia berangkat dengan menunggangi kudanya menempuh perjalanan menelusuri jalan utama yang mengarah langsung ke desa tempat tinggal Pandu.Setibanya di kediaman Pandu, prajurit itu disambut hangat oleh Wira Karma yang kebetulan tengah berada di beranda rumah bersama Reksa Pati. Ia pun segera mempersilahkan prajurit itu untuk duduk."Silahkan duduk, Prajurit!" ucap Wira Karma bersikap ramah terhadap tamunya itu."Iya, Ki. Terima kasih," sahut prajurit itu menjura penuh hormat kepada Wira Karma dan juga kepada Reksa Pati.Demikianlah, Wira Karma langsung memerintahkan Reksa Pati untuk membuatkan minuman bagi tamunya itu."Tidak biasanya aku kedatangan tamu dari istana, ada persoalan apa yang hendak kau sampaikan, Prajurit?" tanya Wira Karma meluruskan pandangannya ke wajah prajurit tersebut.Prajurit itu balas tersenyum. Lantas menjawab pertanyaan Wira Karma, "Maaf, Ki.
Setibanya di istana, Pandu di sambut hangat oleh sang raja dan para petinggi kerajaan Genda Yaksa. Mereka sangat senang dengan kedatangan Pandu."Senang bisa berjumpa lagi denganmu, Pandu," ucap sang raja tersenyum lebar menyambut kedatangan sang kesatria berwajah tampan itu.Pandu balas tersenyum, dan menjura kepada sang raja. "Terimalah salam hormat hamba, Gusti Prabu," kata Pandu sambil merangkapkan kedua telapak tangannya.Setelah itu, Prabu Surya Darma Wihesa langsung mempersilahkan duduk kepada Pandu, "Silahkan duduk, Pandu!""Terima kasih, Gusti Prabu," jawab Pandu langsung duduk bersebelahan dengan seorang prajurit senior.Ada banyak hal yang dibicarakan oleh sang raja kepada Pandu, salah satunya terkait tugas yang hendak dijalankan oleh Pandu. Karena saat itu, sang raja akan langsung mengangkat Pandu sebagai punggawa istana yang akan bertugas khusus menjaga keamanan istana bersama 39 orang prajurit khusus lainnya."Mulai hari ini ka
Diam-diam, Senapati Gukurajma menaruh rasa iri terhadap Pandu. Ia sangat khawatir jika Pandu akan menyaingi dirinya, sehingga tumbuh niat jahat dalam diri pria paruh baya itu. "Aku harus memancing Pandu agar keluar dari istana ini, dan aku akan memerintahkan kepada Barunda agar mencelakai Pandu," kata Senapati Gukurajma sambil mengamati Pandu yang tengah berjalan bersama Panglima Durga menuju ke arahnya. Panglima Durga tersenyum lebar memandang wajah sang senapati. Setelah dekat, ia pun langsung menyapa Senapati Gukurajma, "Selamat malam, Senapati. Sedang apa kau di sini?" Panglima Durga membungkukkan badan ke arah Senapati Gukurajma yang tengah duduk di pendapa istana. "Aku sengaja menunggumu di sini, aku ingin berbincang santai menikmati malam," jawab Senapati Gukurajma tersenyum lebar. "Duduklah!" sambungnya mempersilahkan Panglima Durga untuk duduk. "Terima kasih, Senapati," sahut Pa
Senapati Gukurajma meletakkan tangannya di atas pundak Barunda, lalu berkata, "Maukah kau mengajak Pandu keluar dari istana?" tanya sang senapati. "Untuk apa, Senapati?" tanya Barunda masih belum mengerti dengan ucapan sang senapati. "Untuk mencelakai dia! Jika perlu kau bunuh saja anak muda itu!" jawab Senapati Gukurajma. Dalam pikiran dan jiwa prajurit senior itu, seketika tumbuh rasa ragu, takut, dan khawatir untuk mengiyakan titah Senapati Gukurajma. Seperti yang ia ketahui, bahwa Pandu merupakan seorang prajurit yang diangkat langsung oleh sang raja, tidak mudah bagi siapa pun untuk berusaha menyingkirkan Pandu. "Aku diberi tugas yang tidak masuk akal ... bisa celaka aku jika Prabu Surya Darma Wihesa mengetahui perbuatanku," batin Barunda. "Hei! Kenapa kau diam? Apa kau tidak mau menjalankan tugas ini?" bentak Senapati Gukurajma menatap tajam wajah Barunda. "Buka
Demikianlah, maka para prajurit itu langsung mundur dan menjauh dari posisi Senapati Pandu. Namun, meskipun demikian, beberapa orang di antara mereka tetap mengawal Senapati Pandu dari jarak sekitar lima tombak. Sementara para prajurit lainnya masih tetap melakukan serangan terhadap orang-orang dari kelompok pemberontak.Senapati Pandu langsung melompat ke arah Rangga Wihesa yang sedang bertarung sengit melawan Andaresta dan Ki Kusumo.Sebagian dari pasukan pemberontak saat itu sudah berhamburan ke ujung hutan untuk menyelamatkan diri dari serbuan para prajurit kerajaan Genda Yaksa.Pertempuran hari itu, benar-benar berjalan dengan begitu sengit. Pasukan Genda Yaksa tidak mau memberikan luang sedikit pun untuk para pemberontak beristirahat. Mereka terus digempur habis-habisan.Dalam pertarungan tersebut, Rangga Wihesa benar-benar merasakan tubuhnya bagaikan menjadi semakin terhimpit oleh kekuatan Andaresta dan Ki Kusumo. Itulah sebabnya, maka ia tidak mempunyai pilihan lain daripada m
Dengan demikian, pasukan yang dipimpin oleh Rangga Wihesa langsung berjalan bersama-sama dengan pasukan yang dipimpin oleh Senapati Pandu.Ketika para prajurit itu sudah tiba di tengah lembah. Tiba-tiba saja, terdengar suara seruan dari semak-semak yang ada di hutan tersebut, kemudian keluar sekelompok orang dengan mengenakan pakaian serba hitam.Secara serentak, mereka langsung melakukan serangan terhadap para prajurit kerajaan."Lawan mereka! Jangan biarkan mereka lolos!" seru Senapati Pandu menghunus pedangnya dan langsung membantu para prajuritnya melakukan perlawanan terhadap orang-orang tersebut Dengan demikian, para prajurit kerajaan Genda Yaksa langsung menggempur kelompok tersebut.Hanya beberapa menit saja, pertempuran itu telah berubah bentuk menjadi sebuah pertempuran yang begitu sengit."Apa yang Senapati katakan memang benar, para pelaku teror itu ternyata ada hubungannya dengan kelompok Andaresta," desis Rangga Wihesa yang baru saja berhasil menjatuhkan beberapa orang
Melihat pemandangan seperti itu, Rangga Wihesa dan para perwira senior saling berpandangan. Mereka tampak senang sekali, karena Mustika Sari sudah mulai membuka diri tentang perasaannya terhadap Senapati Pandu. Meskipun belum sepenuhnya terbuka.Namun hal itu, sudah dapat diartikan oleh Rangga Wihesa dan para perwira senior, bahwa sesungguhnya rasa suka dan rasa cinta dalam diri kesatria wanita itu sudah tumbuh semakin subur saja."Ya, sudah. Kalau memang demikian, kau dan pasukanmu tetap berada di lapis kedua, sementara aku dan Mustika Sari memimpin pasukan di barisan terdepan!""Nah, ini baru formasi yang bagus," sahut Rangga Wihesa sedikit bergurau kepada Senapati Pandu.Setelah selesai berbicara panjang lebar dengan sang senapati, Rangga Wihesa dan para perwira senior langsung pamit dan undur dari hadapan Senapati Pandu dan juga Mustika Sari."Kenapa kau masih ada di sini? Apakah kau tidak kembali ke tendamu?" tanya Senapati Pandu memandangi wajah Mustika Sari."Izinkan malam ini
Dengan demikian, Senapati Pandu memutuskan untuk menghentikan penyisiran tersebut. Ia meminta agar para prajuritnya beristirahat sejenak dengan mendirikan tenda-tenda perkemahan di tengah hutan itu. Karena penelusuran tersebut tidak mungkin dapat dilanjutkan lagi, mengingat waktu yang sudah semakin sore, dan sebentar lagi hutan tersebut akan gelap gulita."Sebentar lagi hari akan mulai gelap, sebaiknya kalian dirikan tenda di sini. Untuk sementara kita hentikan dulu penyisiran hari ini, esok pagi baru kita akan kembali melanjutkannya!" perintah sang senapati kepada para prajuritnya."Baik, Gusti Senapati," jawab mereka serentak.Kemudian, para prajurit itu langsung mendirikan puluhan tenda di sebuah padang rumput yang ada di tengah-tengah hutan belantara itu. Mustika Sari pun langsung mengatur anak buahnya untuk menyiapkan makanan dan minuman bagi para prajurit yang ikut dalam rombongan tersebut.Para prajurit wanita dengan dibantu puluhan orang prajurit pria langsung menyiapkan dapur
Setibanya di barak, Senapati Pandu dan Ki Bastari tercengang ketika mendengar keterangan dari Panglima Durga dan Rangga Wihesa yang menyatakan bahwa salah seorang prajurit yang ikut dengan mereka hampir saja binasa karena pengaruh sihir dari para penjahat itu."Sudah jelas sekali, mereka tidak dapat dipandang rendah. Terbukti bahwa mereka memiliki kesaktian yang sangat luar biasa," desis Senapati Pandu sambil menerawang jauh ke depan. Sorot matanya yang tajam menembus kegelapan malam di sekitaran barak tersebut."Selain itu jumlah mereka tidak sedikit, mereka sangat banyak dan berjumlah ratusan," ujar Panglima Durga."Besok siapkan 300 prajurit panah api, kita akan menyisir lokasi hutan yang ada di selatan sana!" tegas Senapati Pandu memberikan perintah."Apakah hamba ikut juga, Gusti Senapati?" tanya Ki Bastari dengan sikap hormatnya."Ki Bastari dan Panglima Durga tetap di sini! Ki Bastari mulai saat ini menjadi panglima prajurit mendampingi Panglima Durga, biarkan Rangga Wishesa da
Namun, setelah sekian lamanya mereka melakukan pencarian. Tak ada seorang pun yang mereka temui di hutan itu."Sudah menjelang pagi, sebaiknya kita kembali ke barak!" ajak Mustika Sari kepada para prajurit yang ikut dengannya."Baik, Nyai," jawab para prajurit itu secara bersamaan.Dengan demikian, maka Mustika Sari dan para prajurit tersebut langsung melangkah untuk keluar dari hutan tersebut, mereka hendak kembali ke barak.Sementara itu, rombongan Panglima Durga dan Rangga Wihesa masih tetap melanjutkan pencarian, bahkan mereka sudah berada di kedalaman hutan belantara itu hampir mendekati wilayah kerajaan Purba Yaksa."Kalian sudah pasti kelelahan, sebaiknya kita istirahat saja dulu!" kata Rangga Wihesa memberikan saran kepada lima orang prajurit yang ikut serta dalam pencarian tersebut.Salah seorang prajurit menyahut, "Baik, Raden."Demikianlah, maka mereka pun langsung beristirahat sejenak. Karena perjalanan dari barak menuju ke ujung hutan itu, bukanlah jarak yang dekat. Selai
Demikianlah, maka Panglima Durga langsung memilih enam orang prajurit yang ia percaya memiliki kemampuan tinggi dibandingkan para prajurit lainnya untuk ikut dengannya bersama Rangga Wihesa dalam melakukan penyisiran ke dalam hutan tempat pelarian para pelaku serangan itu. "Kalian harus membawa obor!" pinta sang panglima. "Baik, Panglima," sahut salah seorang dari keenam prajurit itu. Setelah menyalakan lima obor, keenam orang prajurit itu langsung melangkah mengikuti Panglima Durga dan Rangga Wihesa. Senapati Pandu dan para perwira senior lainnya hanya berdiri memandangi langkah Rangga Wihesa dan Panglima Durga serta enam orang prajurit yang sudah berjalan menuju ke arah hutan yang berada di depan barak pasukan kerajaan Genda Yaksa. Setelah itu, Senapati Pandu menghimbau kepada para prajurit yang bertugas menjaga keamanan di pintu gerbang area barak tersebut, agar mereka waspada dan jangan lengah. "Kalian harus waspada dan tidak boleh lengah! Karena ada kemungkinan para pelaku l
Setelah melakukan perjalanan selama tujuh hari tujuh malam, akhirnya Rangga Wihesa bersama Ki Bastari tiba di barak prajurit kerajaan Genda Yaksa. Mereka tiba pada malam hari, kedatangannya langsung disambut hangat oleh Senapati Pandu dan Panglima Durga beserta para perwira senior yang kebetulan tengah berkumpul di beranda barak. Senapati Pandu dan para perwira senior yang bertugas di barak tersebut langsung memberi hormat kepada kepada Rangga Wihesa dan Ki Bastari dengan membungkukkan badan dan merangkapkan kedua telapak tangan mereka secara bersamaan. Begitu juga yang dilakukan oleh para perwira senior, secara serentak mereka menjura kepada Rangga Wihesa dan Ki Bastari. Setelah itu, Senapati Pandu langsung mempersilakan Rangga Wihesa dan Ki Bastari untuk duduk. Dengan demikian, Rangga Wihesa dan Ki Bastari langsung duduk di atas tikar pandan yang digelar di beranda barak tersebut. Setelah duduk, Rangga Wihesa langsung memperkenalkan Ki Bastari kepada Senapati Pandu dan para perw
Pagi harinya .... Sebelum matahari terbit, Rangga Wihesa langsung pamit kepada Widiarti Puja dan juga kepada Patih Wira Karma serta para petinggi istana kepatihan kuta Dalam Genda. Setelah pamit, ia langsung melangkah menuju pintu gerbang istana kepatihan, kuda yang hendak ditungganginya dituntun oleh seorang prajurit yang mengikutinya dari belakang. Ketika sudah berada di hadapan para prajurit penjaga keamanan istana, Rangga Wihesa berpesan, "Selama aku pergi ke wilayah perbatasan, kalian harus hati-hati dalam menjaga keamanan istana kepatihan!" "Baik, Gusti Pangeran. Hamba akan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan titah ini!" tegas salah seorang pimpinan prajurit keamanan itu sambil menjura. Rangga Wihesa tersenyum lebar, kemudian langsung naik ke atas kuda, dan memacu derap langkah kudanya meninggalkan istana kepatihan menuju perbatasan tempat ribuan prajurit sedang bertugas mengamankan wilayah tersebut dari gangguan kelompok-kelompok pemberontak. Untuk menuju ke tempat yang