Demikianlah, maka keempat prajurit itu pun langsung turun ke dalam arena pertempuran. Mereka sangat khawatir akan keselamatan panglima mereka.
Dumaya dan Wiriadinata sepertinya sudah siap menyambut keempat prajurit tersebut, untuk bertarung dengan mereka. Meskipun mereka sudah dalam kondisi terluka parah.
Beberapa saat kemudian, Pandu mencelat sambil menghunus pedangnya dan langsung menebas leher pendekar itu dengan disertai bentakkan keras."Rasakan ini, Ki Sanak...!"
Demikianlah, tubuh pendekar itu pun terjatuh ke tanah dengan berlumuran darah segar mengalir dari batang lehernya, bak seekor ayam yang baru saja disembelih tampak mengerikan tubuhnya menggigil bergelimpangan di atas tanah kemudian terperosok ke dalam jurang yang ada di pinggiran hutan tersebut.
Dengan tewasnya pendekar itu, bukan berarti Pandu mendapatkan waktu jeda dalam pertarungannya. Karena dua pendekar yang sedari awal memburu dirinya mas
Wiriadinata dan Dumaya saling berpandangan. Seakan-akan mereka ragu dalam menerima tantangan tersebut. "Hai, pengecut! Kenapa kalian diam saja? Ayo, maju!" bentak Damara. "Apakah kalian takut bertarung denganku yang sudah tua ini?!" sambung Damara kembali membentak. Rupa-rupanya, kedua pendekar tersebut memang benar-benar tidak berani untuk menghadapi pendekar paruh baya itu. Bahkan, mereka pun hanya diam saja, tidak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Wiriadinata dan Dumaya tidak berani menyahut perkataan Damara. "Kita lebih baik lari saja, daripada kita binasa di tangan Pendekar Tapak Dewa!" bisik Wiriadinata nyalinya mulai ciut tidak berani bertarung dengan Damara. "Terserah kau saja! Aku pun tidak mau mati konyol di tempat ini," jawab Dumaya balas berbisik. Demikianlah, maka Dumaya pun langsung melompat tinggi menerobos semak -belukar masuk ke dalam hutan, disusul oleh Wiriadinata se
Beberapa saat kemudian, Ki Kusumo yang merupakan sang pemilik padepokan tersebut sudah tiba bersama empat orang pengawalnya. Sontak semua yang ada di pendapa padepokan itu menjura hormat kepada guru besar mereka. "Terimalah salam hormat kami, Guru," ucap para pendekar itu secara bersamaan.Mereka tampak ajrih dan bersikap hormat terhadap guru besar padepokan tersebut. Ki Kusumo hanya mengangguk sambil tersenyum lebar, kemudian langsung duduk bersebelahan dengan Demang Ageng Piruka. Dua bola matanya bergulir mengamati satu-persatu orang-orang yang ada di hadapannya. "Apakah kalian masih bersemangat untuk melakukan pemberontakan terhadap pihak kerajaan?" tanya Ki Kusumo. "Siap, Guru...!!!" sahut para pendekar itu serentak. Ki Kusumo tampak semringah mendengar sahutan dari para pendekar tersebut. Itu mendadakan bahwa gagasan yang telah lama ia rancang sudah mendapatkan dukungan penuh dari para pend
Keesokan harinya, Andaresta sudah berangkat dari padepokan menuju kuta utama Dalam Genda. Andaresta berniat hendak melakukan aksi pada malam harinya, menyusup ke dalam istana kerajaan demi mendapatkan keris pusaka milik sang penguasa kerajaan tersebut.Andaresta berpacu kencang menunggangi seekor kuda membelah hutan menuju sebuah keramaian di kuta utama Dalam Genda yang menjadi pusat pemerintahan kerajaan Genda Yaksa."Hiya! Hiya!"Menjelang sore, Andaresta sudah tiba di batas wilayah kuta utama. Tepatnya di sebuah desa yang mengarah ke pusat keramaian kuta utama Dalam Genda, sejenak ia menghentikan langkah kudanya. Karena di depan jalan yang hendak dilaluinya terlihat ada banyak prajurit kerajaan tengah berjalan beriringan menuju ke arah timur hendak masuk ke kuta utama."Aku harus menunggu para prajurit itu menjauh dari tempat ini. Sangat bahaya sekali jika mereka mengetahui keberadanku di sini," desis Andaresta berhenti sejenak sambil terus mengamati p
Pada malam harinya, Andaresta sudah bergerak cepat menuju ke istana kerajaan Genda Yaksa. Sementara itu, kudanya ia tinggal di sebuah gubuk kosong yang ada di ladang milik petani tidak jauh dari lokasi istana."Aku harus berhasil masuk ke dalam istana," desis Andaresta sambil melangkah cepat menuju istana kerajaan.Hanya dalam waktu singkat, ia sudah berdiri di samping gedung tempat penyimpanan pusaka milik kerajaan yang ada di sebelah timur istana utama, Andresta menghentikan langkah dan mulai berjalan mengendap-endap. Kemudian, ia meraih sehelai kain yang ia selipkan diikat pinggangnya."Aku harus menutup wajahku. Jika ada prajurit yang melihat aksiku ini, mereka tidak akan mengenaliku." Andaresta bergegas menutup wajahnya agar tidak dikenali oleh para prajurit pengawal yang ada di gedung tersebut.'Semoga aku berhasil mencuri keris pusaka milik sang raja,' kata Andaresta dalam hati.Andaresta menarik napas dalam-dalam, kemudian mulutnya
Siang itu, para petinggi istana sudah berkumpul di ruang utama istana. Sang raja saat itu hendak membahas tentang hilangnya keris pusaka yang diduga kuat sudah dicuri oleh seseorang yang memiliki kemampuan ilmu tingkat tinggi, sehingga berhasil mengelabui para prajurit penjaga gedung tempat disimpannya keris pusaka tersebut."Aku yakin, orang yang sudah mencuri keris pusaka ini bukanlah orang sembarangan. Karena tidaklah mungkin orang yang memiliki kemampuan biasa dapat dengan mudah memasuki area istana ini," ujar sang raja."Benar, Gusti Prabu. Hal ini sepertinya sudah dirancang dari jauh-jauh hari," sahut Maha Patih Semilang Kencana menanggapi perkataan dari sang raja.Prabu Surya Darma Wihesa dan Panglima Pandu mengangguk-anguk sambil memandangi wajah sang maha patih."Hamba pikir memang demikian, ini siasat dari orang yang benar-benar memiliki kemampuan tinggi," timpal Pandu mulai angkat bicara, ia membenarkan dugaan dari sang maha patih.
Seorang prajurit senior tengah mengamati gerak-gerik Senapati Gukurajma dan Barunda, ia sangat mencurigai gerak-gerik Barunda dan juga Senapati Gukurajma yang saat itu tengah berbincang di depan barak prajurit."Aku curiga terhadap sikap mereka berdua, mereka tapak dekat sekali," desis Tamaraka terus mengamati gerak-gerik Senapati Gukurajma dan Barunda. "Aku yakin sekali bahwa Senapati Gukurajma adalah orang yang sudah menyuruh para pendekar itu untuk mencelaki Panglima Pandu," sambungnya.Kecurigaan Tamaraka terhadap Senapati Gukurajma dan Barunda berdasarkan informasi dari salah seorang penduduk yang memergoki mereka tengah berkunjung ke sebuah desa yang ada di pinggiran kuta utama Dalam Genda. Sehingga diam-diam, Tamaraka dan para prajurit lainnya langsung menyelidiki keberadaan orang-orang yang pernah berusaha mencelakai Panglima Pandu ketika berkunjung ke pinggiran kuta utama bersama dirinya.Beberapa saat kemudian, tibalah Panglima Pandu. Ia langsung mangg
Wiriadinata tersenyum lebar menatap wajah Panglima Pandu. Kemudian berkata, "Aku meminta maaf kepadamu, Panglima. Kesalahan yang pernah aku perbuat, semata-mata karena aku dibutakan oleh bayaran yang besar dari seseorang yang sengaja ingin melenyapkan Panglima dari istana."Panglima Pandu tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kemudian menarik napas dalam-dalam, dua bola matanya terus bergulir memandangi wajah Wiridinata dan beberapa orang pendekar yang ada di ruangan tersebut."Kalian adalah bagian dari rakyat kerajaan Genda Yaksa. Tidak mungkin aku menaruh rasa dendam terhadap kalian, aku hanya minta kejujuran kalian saja!" pinta Pandu lirih. "Sebutkan siapa orangnya yang sudah membayar kalian untuk mencelakai aku?" tanya Panglima Pandu menambahkan.Mendengar pertanyaan dari Panglima Pandu, Wiriadinata, Dumaya, dan para pendekar lainnya saling berpandangan. Mereka tampak ragu untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Karena mereka merasa takut jika mengatakannya k
Senapati Gukurajma, seakan-akan tidak mau mendengar perkataan dari Tamaraka. Justru, ia balas memarahi prajurit senior itu, dan hampir memukulnya.Namun, Panglima Pandu bergerak cepat. Ia langsung menangkis tangan kekar sang senapati dan melipatnya hingga ke belakang, sehingga Senapati Gukurajma sudah tidak dapat bergerak lagi."Maaf, Senapati. Jangan bertindak bodoh! Ini adalah perintah dari sang raja," kata Panglima Pandu dengan posisi memegang erat tubuh sang senapati."Bedebah kalau! Aku tidak akan memaafkan kesalahan kalian!" bentak Senapati Gukurajma berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman kuat tangan sang panglima."Maafkan aku, Panglima." Panglima Pandu langsung mengayunkan tangan dan memukul keras kepala sang senapati, hingga membuat pria paruh baya itu jatuh tak sadarkan diri."Bawa dia ke dalam penjara!" perintah sang panglima kepada Tamaraka.
Demikianlah, maka para prajurit itu langsung mundur dan menjauh dari posisi Senapati Pandu. Namun, meskipun demikian, beberapa orang di antara mereka tetap mengawal Senapati Pandu dari jarak sekitar lima tombak. Sementara para prajurit lainnya masih tetap melakukan serangan terhadap orang-orang dari kelompok pemberontak.Senapati Pandu langsung melompat ke arah Rangga Wihesa yang sedang bertarung sengit melawan Andaresta dan Ki Kusumo.Sebagian dari pasukan pemberontak saat itu sudah berhamburan ke ujung hutan untuk menyelamatkan diri dari serbuan para prajurit kerajaan Genda Yaksa.Pertempuran hari itu, benar-benar berjalan dengan begitu sengit. Pasukan Genda Yaksa tidak mau memberikan luang sedikit pun untuk para pemberontak beristirahat. Mereka terus digempur habis-habisan.Dalam pertarungan tersebut, Rangga Wihesa benar-benar merasakan tubuhnya bagaikan menjadi semakin terhimpit oleh kekuatan Andaresta dan Ki Kusumo. Itulah sebabnya, maka ia tidak mempunyai pilihan lain daripada m
Dengan demikian, pasukan yang dipimpin oleh Rangga Wihesa langsung berjalan bersama-sama dengan pasukan yang dipimpin oleh Senapati Pandu.Ketika para prajurit itu sudah tiba di tengah lembah. Tiba-tiba saja, terdengar suara seruan dari semak-semak yang ada di hutan tersebut, kemudian keluar sekelompok orang dengan mengenakan pakaian serba hitam.Secara serentak, mereka langsung melakukan serangan terhadap para prajurit kerajaan."Lawan mereka! Jangan biarkan mereka lolos!" seru Senapati Pandu menghunus pedangnya dan langsung membantu para prajuritnya melakukan perlawanan terhadap orang-orang tersebut Dengan demikian, para prajurit kerajaan Genda Yaksa langsung menggempur kelompok tersebut.Hanya beberapa menit saja, pertempuran itu telah berubah bentuk menjadi sebuah pertempuran yang begitu sengit."Apa yang Senapati katakan memang benar, para pelaku teror itu ternyata ada hubungannya dengan kelompok Andaresta," desis Rangga Wihesa yang baru saja berhasil menjatuhkan beberapa orang
Melihat pemandangan seperti itu, Rangga Wihesa dan para perwira senior saling berpandangan. Mereka tampak senang sekali, karena Mustika Sari sudah mulai membuka diri tentang perasaannya terhadap Senapati Pandu. Meskipun belum sepenuhnya terbuka.Namun hal itu, sudah dapat diartikan oleh Rangga Wihesa dan para perwira senior, bahwa sesungguhnya rasa suka dan rasa cinta dalam diri kesatria wanita itu sudah tumbuh semakin subur saja."Ya, sudah. Kalau memang demikian, kau dan pasukanmu tetap berada di lapis kedua, sementara aku dan Mustika Sari memimpin pasukan di barisan terdepan!""Nah, ini baru formasi yang bagus," sahut Rangga Wihesa sedikit bergurau kepada Senapati Pandu.Setelah selesai berbicara panjang lebar dengan sang senapati, Rangga Wihesa dan para perwira senior langsung pamit dan undur dari hadapan Senapati Pandu dan juga Mustika Sari."Kenapa kau masih ada di sini? Apakah kau tidak kembali ke tendamu?" tanya Senapati Pandu memandangi wajah Mustika Sari."Izinkan malam ini
Dengan demikian, Senapati Pandu memutuskan untuk menghentikan penyisiran tersebut. Ia meminta agar para prajuritnya beristirahat sejenak dengan mendirikan tenda-tenda perkemahan di tengah hutan itu. Karena penelusuran tersebut tidak mungkin dapat dilanjutkan lagi, mengingat waktu yang sudah semakin sore, dan sebentar lagi hutan tersebut akan gelap gulita."Sebentar lagi hari akan mulai gelap, sebaiknya kalian dirikan tenda di sini. Untuk sementara kita hentikan dulu penyisiran hari ini, esok pagi baru kita akan kembali melanjutkannya!" perintah sang senapati kepada para prajuritnya."Baik, Gusti Senapati," jawab mereka serentak.Kemudian, para prajurit itu langsung mendirikan puluhan tenda di sebuah padang rumput yang ada di tengah-tengah hutan belantara itu. Mustika Sari pun langsung mengatur anak buahnya untuk menyiapkan makanan dan minuman bagi para prajurit yang ikut dalam rombongan tersebut.Para prajurit wanita dengan dibantu puluhan orang prajurit pria langsung menyiapkan dapur
Setibanya di barak, Senapati Pandu dan Ki Bastari tercengang ketika mendengar keterangan dari Panglima Durga dan Rangga Wihesa yang menyatakan bahwa salah seorang prajurit yang ikut dengan mereka hampir saja binasa karena pengaruh sihir dari para penjahat itu."Sudah jelas sekali, mereka tidak dapat dipandang rendah. Terbukti bahwa mereka memiliki kesaktian yang sangat luar biasa," desis Senapati Pandu sambil menerawang jauh ke depan. Sorot matanya yang tajam menembus kegelapan malam di sekitaran barak tersebut."Selain itu jumlah mereka tidak sedikit, mereka sangat banyak dan berjumlah ratusan," ujar Panglima Durga."Besok siapkan 300 prajurit panah api, kita akan menyisir lokasi hutan yang ada di selatan sana!" tegas Senapati Pandu memberikan perintah."Apakah hamba ikut juga, Gusti Senapati?" tanya Ki Bastari dengan sikap hormatnya."Ki Bastari dan Panglima Durga tetap di sini! Ki Bastari mulai saat ini menjadi panglima prajurit mendampingi Panglima Durga, biarkan Rangga Wishesa da
Namun, setelah sekian lamanya mereka melakukan pencarian. Tak ada seorang pun yang mereka temui di hutan itu."Sudah menjelang pagi, sebaiknya kita kembali ke barak!" ajak Mustika Sari kepada para prajurit yang ikut dengannya."Baik, Nyai," jawab para prajurit itu secara bersamaan.Dengan demikian, maka Mustika Sari dan para prajurit tersebut langsung melangkah untuk keluar dari hutan tersebut, mereka hendak kembali ke barak.Sementara itu, rombongan Panglima Durga dan Rangga Wihesa masih tetap melanjutkan pencarian, bahkan mereka sudah berada di kedalaman hutan belantara itu hampir mendekati wilayah kerajaan Purba Yaksa."Kalian sudah pasti kelelahan, sebaiknya kita istirahat saja dulu!" kata Rangga Wihesa memberikan saran kepada lima orang prajurit yang ikut serta dalam pencarian tersebut.Salah seorang prajurit menyahut, "Baik, Raden."Demikianlah, maka mereka pun langsung beristirahat sejenak. Karena perjalanan dari barak menuju ke ujung hutan itu, bukanlah jarak yang dekat. Selai
Demikianlah, maka Panglima Durga langsung memilih enam orang prajurit yang ia percaya memiliki kemampuan tinggi dibandingkan para prajurit lainnya untuk ikut dengannya bersama Rangga Wihesa dalam melakukan penyisiran ke dalam hutan tempat pelarian para pelaku serangan itu. "Kalian harus membawa obor!" pinta sang panglima. "Baik, Panglima," sahut salah seorang dari keenam prajurit itu. Setelah menyalakan lima obor, keenam orang prajurit itu langsung melangkah mengikuti Panglima Durga dan Rangga Wihesa. Senapati Pandu dan para perwira senior lainnya hanya berdiri memandangi langkah Rangga Wihesa dan Panglima Durga serta enam orang prajurit yang sudah berjalan menuju ke arah hutan yang berada di depan barak pasukan kerajaan Genda Yaksa. Setelah itu, Senapati Pandu menghimbau kepada para prajurit yang bertugas menjaga keamanan di pintu gerbang area barak tersebut, agar mereka waspada dan jangan lengah. "Kalian harus waspada dan tidak boleh lengah! Karena ada kemungkinan para pelaku l
Setelah melakukan perjalanan selama tujuh hari tujuh malam, akhirnya Rangga Wihesa bersama Ki Bastari tiba di barak prajurit kerajaan Genda Yaksa. Mereka tiba pada malam hari, kedatangannya langsung disambut hangat oleh Senapati Pandu dan Panglima Durga beserta para perwira senior yang kebetulan tengah berkumpul di beranda barak. Senapati Pandu dan para perwira senior yang bertugas di barak tersebut langsung memberi hormat kepada kepada Rangga Wihesa dan Ki Bastari dengan membungkukkan badan dan merangkapkan kedua telapak tangan mereka secara bersamaan. Begitu juga yang dilakukan oleh para perwira senior, secara serentak mereka menjura kepada Rangga Wihesa dan Ki Bastari. Setelah itu, Senapati Pandu langsung mempersilakan Rangga Wihesa dan Ki Bastari untuk duduk. Dengan demikian, Rangga Wihesa dan Ki Bastari langsung duduk di atas tikar pandan yang digelar di beranda barak tersebut. Setelah duduk, Rangga Wihesa langsung memperkenalkan Ki Bastari kepada Senapati Pandu dan para perw
Pagi harinya .... Sebelum matahari terbit, Rangga Wihesa langsung pamit kepada Widiarti Puja dan juga kepada Patih Wira Karma serta para petinggi istana kepatihan kuta Dalam Genda. Setelah pamit, ia langsung melangkah menuju pintu gerbang istana kepatihan, kuda yang hendak ditungganginya dituntun oleh seorang prajurit yang mengikutinya dari belakang. Ketika sudah berada di hadapan para prajurit penjaga keamanan istana, Rangga Wihesa berpesan, "Selama aku pergi ke wilayah perbatasan, kalian harus hati-hati dalam menjaga keamanan istana kepatihan!" "Baik, Gusti Pangeran. Hamba akan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan titah ini!" tegas salah seorang pimpinan prajurit keamanan itu sambil menjura. Rangga Wihesa tersenyum lebar, kemudian langsung naik ke atas kuda, dan memacu derap langkah kudanya meninggalkan istana kepatihan menuju perbatasan tempat ribuan prajurit sedang bertugas mengamankan wilayah tersebut dari gangguan kelompok-kelompok pemberontak. Untuk menuju ke tempat yang