"Oh, mungkin Ralin belum cerita ke Om?" tanya Juan.
Carlos memandang ke arah sekretarisnya, kemudian bergilir menatap ke arah keponakannya. "Jadi kalian sedang pacaran? Sejak kapan? Ralin belum ada memberi kabar, hanya memang belakangan ini Om sadar dia seperti bertingkah sedikit aneh. Ternyata sedang jatuh cinta, ya?"
Wajah Ralin langsung merona merah akibat malu. Bagaimanapun ia memang sedang jatuh cinta kepada Juan, jadi wajar kalau belakangan ini Ralin jadi kurang fokus bekerja.
"Om yakin hubungan kalian pasti akan berlanjut ke tahap yang lebih serius, sebelum itu terjadi sepertinya Om harus memiliki cadangan sekretaris." Carlos tersenyum menatap Ralin, sekretaris kepercayaannya.
Ralin mengernyit. "Maaf, Pak, memangnya kenapa? Apa pekerjaan saya kurang maksimal?"
Carlos menggelengkan kepalanya. "Tidak, tapi saya yakin kalau Juan tidak akan membiarkan kamu untuk tetap bekerja di sini, tentu nanti kamu akan menjadi Nyonya Ralin Poernomo."
Tentu saja Ralin pun sepakat dengan apa yang bosnya ini katakan, ia lantas melirik ke arah Juan dan memberikan satu kedipan mata secara sembunyi-sembunyi. Juan pun meresponnya dengan senyuman sumringah.
"Harusnya dari sekarang Om sudah mencari pengganti Ralin, sepertinya ini tidak akan lama," jelas Juan.
"Wow, apanya yang tidak akan lama?" Suara berat seorang laki-laki langsung terdengar masuk di ruangan itu. Semua mata langsung tertuju ke sosok laki-laki jangkung yang baru saja muncul dari balik pintu, bahkan laki-laki itu muncul tanpa kata-kata permisi terlebih dahulu.
"Ethan, kamu bisa mengetuk pintu dulu, kan?" ucap Carlos kepada putranya yang baru saja bergabung di ruangannya itu. Ethan adalah putra pertama dari Carlos yang kini menjabat sebagai direktur, lebih tepatnya orang nomor dua di perusahaan tersebut.
"Maaf, Pa, begitu tahu kalau ada Juan yang datang kemari, aku langsung antusias dan lupa mengetuk pintu." Ethan duduk tepat di sebelah Juan, lalu menepuk-nepuk pundak sepupunya itu. "Jadi, apa Juan akan segera menikah?" tanya Ethan kemudian.
Juan menyeringai. "Ya, aku akan menikah dan kamu harus menjadi orang yang paling sibuk untuk acara pernikahanku nanti."
Ethan melirik sekilas ke arah Ralin yang masih berdiri di ruangan itu. "Jadi, perempuan yang beruntung menjadi calon istri Juan Harris Poernomo adalah sekretaris Ralin?"
"Betul sekali," jawab Juan dengan yakin.
Ralin pun tersenyum ke arah Ethan, sebagai tanda kebenaran.
"Ternyata jodohnya nggak jauh-jauh juga, ya! Tentu nanti aku akan menjadi orang paling sibuk saat acara penikahan sepupuku tersayang," ucap Ethan kemudian.
"Juan sudah punya calonnya, lantas kamu kapan? Ingat Ethan, kamu lebih tua dari Juan, dan bahkan kamu belum terlihat prestasi apa pun di perusahaan ini. Jangan terlalu santai, kelak nanti kamu yang akan menggantikan Papa di sini," ucap Carlos kepada putranya.
Ethan menaikkan satu sudut bibirnya, hal yang biasa ia dengar sedari kecil. Dirinya selalu dibanding-bandingkan dengan Juan, bahkan telinga Ethan bisa terasa panas kalau terlalu lama disandingkan dengan sepupunya ini.
"Juan adalah panutanku, jadi apa pun itu selalu Juan yang memulai lantas aku mengikutinya di belakang. Mungkin setelah Juan menikah, barulah aku bertemu jodoh," jawab Ethan dengan santai. "Bagaimana kalau rapatnya kita mulai? Satu jam lagi aku harus pergi bertemu klien." Ethan tak mau berlama-lama membahas urusan pernikahan, ia pun langsung mengalihkannya ke tujuan awal.
Rapat perihal kerjasama antara dua perusahaan pun dimulai, Ralin yang bertugas mencatat hasil rapat itu sesekali melirik ke arah kekasihnya. Ternyata Juan terlihat jauh lebih tampan saat sedang serius bekerja, tidak salah Ralin menjatuhkan pilihannya walaupun ia tahu kalau ada yang kepanasan juga di ruangan itu.
Setelah rapat selesai, Juan tak lupa menghampiri kekasihnya sebelum ia kembali ke perusahaannya.
"Nanti aku pulang lebih awal, jadi aku bisa ke sini untuk menjemput kamu, Honey!" bisik Juan di dekat Ralin.
Raling menganggukkan kepalanya. "Kebetulan mama juga ingin bertemu dengan kamu, apa nanti malam bisa?"
Juan tampak tertegun sejenak. "Jadi nanti malam kita mau berkunjung ke rumah orang tua kamu?"
"Tentu, mama penasaran sama kamu. Bisa, kan?" tanya Ralin kembali.
Juan langsung mengangguk setuju, sejurus kemudian ia meraba halus puncak kepala Ralin. "Kalau begitu sampai jumpa nanti," ucapnya sambil mengerlingkan mata.
Seulas senyum sumringah langsung terpasang di wajah Ralin, Juan akhirnya berpamitan untuk pergi. Kepergian Juan membuat banyak tanda tanya di pikiran para rekan kerja Ralin di kantor tersebut.
"Ral, kamu ada hubungan apa sama bos Poernomo Group itu? Kenapa kalian mesra banget?" tanya Nina, rekan kerja Ralin yang menjadi sekretaris untuk Ethan. Nina lantas membuka mulutnya lebar-lebar, tiba-tiba teringat dengan foto yang Ralin posting di I*******m semalam. "Jangan-jangan itu cowok yang kamu ajak foto itu? Ini juga cincin berlian pemberian dia?" Nina meraih jemari Ralin yang terselip cincin berlian, cincin itu juga sempat Nina lihat di halaman I*******m Ralin.
"Betul sekali!" jawab Ralin dengan bangga.
Nina langsung lebih mendekat lagi. "Bagi tips, dong! Cara menggaet bos besar kaya raya yang ganteng begitu. Aku udah coba beberapa kali modusin bos Ethan, tapi dia seperti batu," keluh Nina.
Suara seseorang yang sedang terbatuk-batuk kecil tiba-tiba mengalihkan perhatian Nina dan Ralin. Mereka menoleh bersamaan ke sumber suara dan mendapati Ethan tengah berdiri di belakang mereka.
"Nina, saya tugaskan kamu untuk ambil berkas di lantai tiga, apa sudah dilaksanakan?" tanya Ethan langsung kepada sekretarisnya.
"I-iya, Pak! Sekarang saya jalan ke sana." Nina pun buru-buru pergi mengikuti mandat dari atasannya itu tanpa berani protes.
Ethan yang masih berdiri di sana lantas beralih kepada Ralin. "Jadi menurut kamu Juan lebih baik dari aku?" Ethan memandang lekat ke arah sekretaris papanya itu.
"Mungkin bisa dibilang seperti itu, Pak!" jawab Ralin dengan yakin.
"Ini alasan kamu menolakku, kan? Kenapa? Karena Juan lebih kaya? Karena Juan telah memiliki jabatan pemimpin utama perusahaan Poernomo?" cecar Ethan.
"Maaf, Pak, ini hal pribadi sebaiknya tidak dibicarakan saat bekerja."
Ethan mendengus pelan. "Ralin, aku serius. Sudah bertahun-tahun aku menunggu kamu tapi alasanmu mau fokus bekerja. Sekarang malah berujung berpacaran dengan sepupuku yang paling aku benci? Apa maksud kamu, hah? Apa kurangnya aku?"
Ralin memberi seringai tipis ke arah Ethan. "Anda kurang dewasa, sebaiknya hal seperti ini bisa kita bicarakan nanti secara personal. Bisa Bapak lihat semua mata sekarang tertuju kepada kita, kan?"
Ethan mengedarkan pandangannya, beberapa karyawan memang tampak sedang memperhatikan mereka. Namun begitu ketahuan oleh Ethan, mereka langsung berpura-pura untuk tak melihatnya.
"Maaf, Pak, kerjaan saya banyak. Apa ada yang bisa saya bantu lagi?" tanya Ralin dengan sopan kepada Ethan.
"Ada!" jawab Ethan.
"Ya, Pak?"
"Jangan menikah dengan Juan!"
Ralin tertegun sejenak. "Mohon maaf, Pak, untuk urusan itu sayangnya tidak bisa saya bantu," tolak Ralin langsung, ia pun kembali mengerjakan pekerjaannya dan tak mempedulikan Ethan.
Juan telah menunggu Ralin di depan kantor Carlos Company. Sebuah mobil sport mahal yang dikendarai oleh Juan cukup mengundang perhatian beberapa pegawai di perusahaan tempat Ralin bekerja itu, mereka terkesima dan memberikan atensi khusus kepada sosok laki-laki tampan dan rupawan yang sedang berdiri sambil menyenderkan bagian belakang tubuhnya di mobil tersebut.Ralin pun langsung menghampiri kekasihnya, yang langsung disambut oleh Juan dengan dekapan hangat."Kamu sudah lama nunggunya?" tanya Ralin.Juan menggelengkan kepalanya. "Enggak, paling baru sepuluh menit, kok!""Kenapa nggak telpon aku kalau kamu sudah sampai? Kalau bukan anak-anak lain yang beri tahu aku kalau ada bos Poernoma Group di depan kantor, mungkin aku nggak bakalan tahu." Ralin mengurai dekapan dari Juan, rasanya canggung juga dilihat oleh banyak mata yang lewat. Akan tetapi di sisi lain Ralin sangat bangga bisa
Juan disambut dengan hangat dan ramah oleh kedua orang tua Ralin. Siapa juga yang mau menolak calon menantu seperti Juan, tampan, rupawan, menawan dan yang paling penting dompet tebal."Jadi, apa ada rencana untuk ke depannya tentang hubungan Nak Juan bersama Ralin?" tanya Hendra, papa Ralin, kepada Juan.Juan mengangguk. "Tentu, Om! Saya punya rencana masa depan bersama Ralin, biarpun kami baru berpacaran tapi saya dan Ralin sudah yakin untuk menjalin hubungan ke tahap yang lebih serius.""Bahkan Juan siap untuk secepatnya menikahi Ralin, Pa!" ucap Ralin dengan antusias. Ia menoleh ke arah Juan untuk memastikan kembali. "Iya kan, Sayang?"Juan mengangguk. "Betul, Om!"Kedua orang tua Ralin tersenyum senang mendengar kabar gembira ini. Tentunya sudah tidak ada alasan untuk menolak Juan, bisa dipastikan Ralin nanti akan hidup makmur sejahtera bersama dengan laki-laki ini."Nanti saya akan memberi kabar ini juga kepada
Ralin digendong ala bridal style oleh Juan menuju ke kamar pengantin di hotel tempat mereka melakukan acara resepsi. Kedua tangan Ralin dikalungkan di leher Juan, biarpun rasanya deg-degan tak karuan, tetapi Ralin berusaha menutupinya agar terlihat tetap tenang di depan suaminya itu.Begitu sampai di kamar, tubuh Ralin di turunkan tepat di tepi ranjang oleh Juan. Pakaian pengantin masih melekat di tubuh masing-masing, pelan-pelan Juan pun meraba lembut pinggang Ralin sambil berbisik, "Aku bantu buka gaun pengantin kamu, ya?"Seketika jantung Ralin jadi terpompa makin cepat, pikirannya sudah menerawang jauh dan memikirkan apa yang akan terjadi kalau Juan sudah membantunya untuk membuka gaun pengantin itu? Tentunya dinas mulia suami istri akan dimulai setelahnya.Perlahan Ralin menganggukkan kepalanya, memberi izin kepada Juan untuk membantunya membuka gaun pengantin yang masih menempel di tubuhnya itu. Gerakan Juan sangat lembut, bahkan membuat aliran darah
"Ke mulut?" Ralin terbelalak saat mendengar instruksi dari suaminya. "Iya, Honey! Masukin pelan-pelan ke mulut kamu," ucap Juan dengan suara beratnya yang kali ini terdengar sangat menggairahkan. Terlihat wajah Ralin sedikit ragu. "A-aku belum pernah." "Apa kamu mau coba? Pelan-pelan aja, mungkin awalnya kurang nyaman, lama-lama pasti terbiasa," kata Juan lagi. Ralin agak ragu, tetapi sebelum hari pernikahan ia sudah dibekali dengan berbagai video dewasa oleh kakaknya. Memang Ralin sempat menontonnya dan cukup membuat dirinya merem melek sekaligus geli dan ngeri. Ternyata saat praktek langsung untuk pertama kalinya seperti sekarang, benar-benar membuat Ralin gelagapan. Pelan tetapi pasti, Ralin akhirnya mau untuk mencoba sesuai arahan dari Juan. Jangan tanya soal rasa, tentu rasanya tidak enak untuk Ralin. Bagaimanapun ini adalah bagian dari dinas mulianya, jadi Ralin harus bisa. Terdengar desahan halus yang keluar dari bibir Juan saat Ralin mulai terbiasa dengan benda itu di m
"Ka-kamu ngapain, Sayang?" tanya Ralin dengan wajah bingung dan setengahnya lagi kegelian. Juan mendongak sejenak. "Lanjutkan tugas kita yang semalam," jawabnya sambil kembali melanjutkan aktivitasnya di bawah sana. "A-aku geli, ah ...." Suara desahan dari bibir Ralin langsung lolos, rasa ngantuknya seketika menghilang. Ada sensasi geli bercampur nikmat di bagian inti miliknya. Lama Juan bermain di sana, sampai akhirnya Ralin merasakan suatu rasa aneh yang membuat tubuhnya bergetar hebat. "Ma-mau pipis," ucap Ralin dengan terbata. Juan malah makin menjadi-jadi di bawah sana, ia tahu kalau istrinya sedang menuju ke puncak kenikmatannya. Ralin melengkungkan tubuhnya, kedua tangannya meremas seprai di tempat tidur. Juan menyudahi aksinya di bawah sana, ia lantas tersenyum puas saat melihat istrinya menggeliat merasakan nikmat. Juan kemudian berpindah dan memposisikan tubuhnya di atas Ralin, ia mulai mencium leher istrinya secara intens, perlahan turun dan berhenti di dua benda ke
Tubuh Ralin terasa lemas begitu digempur habis-habisan oleh suaminya. Pangkal pahanya terasa nyeri, pinggangnya ngilu, dan dari leher hingga dadanya dipenuhi oleh tanda merah peninggalan dari Juan.Sejak semalam memang benar-benar melelahkan, tetapi Ralin senang karena akhirnya ia merasakan sendiri bagaimana rasanya memiliki suami."Honey, mandinya masih lama? Apa aku harus ikutan juga masuk ke dalam?" Suara Juan terdengar dari luar kamar mandi, Ralin yang sedang bercermin di kamar mandi langsung meraih bathrobe dan menutupi tubuhnya. Kalau sampai Juan masuk ke kamar mandi sudah bisa dipastikan akan berakhir seperti apa. Ralin kelelahan, sisa yang tadi saja masih nyeri.Buru-buru Ralin keluar dari kamar mandi, suaminya langsung memberi senyuman lebar."Mandinya udah kelar? Padahal aku baru mau join," kata Juan sambil mengerlingkan matanya."OMG, Juan, aku capek! Istirahat sebentar, ya!" keluh Ralin.Juan mengern
"Sampah?" Ralin mengernyit."Maksudku, aku nggak suka terlalu banyak orang berkomentar begini. Lagian aku nggak kenal mereka," terang Juan."Memang begitu dunia media sosial, Sayang!""Iya, aku tahu, tapi aku nggak suka lihat orang-orang yang nggak aku kenal malah kasih komentar di fotoku." Juan lantas meletakkan gawainya, ia tak kuat berlama-lama hanyut dengan media sosial, mungkin karena Juan terbiasa sibuk bekerja. Hal ini baginya hanya membuang-buang waktunya. Juan lantas merengkuh tubuh istrinya, lebih enak bermain-main dengan istrinya daripada dengan media sosial.Juan terus menghunjam Ralin dengan ciuman, dari wajah hingga ke leher dan dadanya."Sebentar, Sayang, aku masih balas komentar dari teman-temanku," tolak Ralin saat Juan sudah mau memulai aksinya lagi."Kamu kalau sudah pegang hp nggak akan sebentar. Apa di di kantor Om Carlos kamu begini juga?" tanya Juan dengan tatapan curiga.Ralin mengge
Ralin baru teringat kalau sekretaris Juan juga datang saat acara pernikahan mereka. Masih teringat juga bagaimana sosoknya yang muda, cantik, rambutnya sebahu, kulitnya sawo matang tetapi yang Ralin tak ingat adalah namanya.“Siapa namanya, ya?” Ralin mencoba mengingat-ngingat tetapi akhirnya menyerah dan tak bisa mengingat namanya lagi. Daripada Ralin pusing mengingat namanya, akhirnya Ralin pun berencana untuk membuka isi pesan tersebut.Tangannya langsung mengusap layar gawai milik Juan, sialnya terkunci dan bodohnya lagi Ralin sampai saat ini tak tahu kodenya.“Astaga Ralin, ke mana aja kamu sampai nggak tahu password HP suami kamu sendiri?” rutuk Ralin pada dirinya sendiri, ia lantas menepuk dahinya dan ia pun meletakkan kembali gawai tersebut. Keinginannya untuk kepo harus terhalang dan Ralin tak mungkin membangunkan Juan hanya untuk menanyakan kode password.Tak berselang lama gawai milik Juan bersuara, tanda panggilan telepon masuk. Ralin cepat-cepat meraih kembali gawai terse
"Ya ampun, Anya, saya nggak bisa lama-lama di sini. Istri saya mau lahiran, saya harus segera pulang." Juan berusaha melepas pelukan dari sekretarisnya tersebut. "Pusing, pu-pusing, Pak!" "Makanya kan tadi saya bilang, kalau nggak bisa minum ngapain dicobain sih? Kamu kan bisa tolak dengan baik-baik, mereka bakalan paham kok kalau kamu nggak biasa. Kalau begini saya harus gimana? Harus titipin kamu sama siapa?" Anya sudah lemas tak karuan, mana peduli dengan omelan atasannya tersebut. Akhirnya mau tidak mau Juan harus mengantar sekretarisnya untuk balik ke kamarnya. Membiarkan Anya beristirahat di sana, mungkin pilihan terakhir Juan akan menitipkan Anya pada staf hotel. "Kunci kamar kamu mana, Nya?" tanya Juan. Anya hanya menunjuk saku di celana bahan yang ia gunakan tanpa bicara apa-apa, sudah terlanjur sakit kepala. Mau tidak mau Juan pun harus meraba saku celana itu cuma untuk mengambil kunci kamar Anya. Dapat! Untung saja kuncinya berbentuk kartu yang mudah diambil. L
“Ah, aku sih selalu senang kalau temanku ada yang mampir ke sini apalagi kalau sama keluarganya atau suaminya,” jawab Kania. Ekspresinya masih terlihat santai dan ramah. Sesekali Kania melirik ke arah Juan, semakin hari suami orang semakin tampan.“Bagus kalau gitu.” Ralin tersenyum manis. “Kebetulan aku lagi ngidam, kepengen minum kopi yag dibuatin sama kamu. Kebetulan banget kamu ada di sini, Kania, jadi aku bisa dibikinin kopi langsung sama kamu, kan?”“Ngidam kopi yang dibuatin langsung sama aku? Wah, anak kamu tahu banget ya mana Tante yang pinter bikin kopi.” Lagi-lagi Kania melirik ke arah Juan. Kali ini sambil memberi kerlingan mata.Sudah tentu Juan langsung mengalihkan pandangannya, tak mau fokus ke Kania. Lagipula Juan memang sedang menghindari perempuan ini, malah bisa-bisanya Ralin ngidam kopi buatan Kania. Apa benar anaknya ini paham kalau bapaknya ada sesuatu dengan Kania?Ralin fokus mengelus perutnya yang belum begitu buncit. “Sekaligus tahu juga kalau Tante Kania itu
"I-ini, bukan kotak apa-apa, Bu. Kebetulan aja ini kotak bekas, saya diminta tolong sama Pak Juan untuk membuangnya." Anya terpaksa mengarang cerita. Sesuai perjanjian kalau ia akan tutup mulut masalah perselingkuhan Juan. Terlihat Ralin seperti kurang percaya dengan perkataan sekretaris suaminya itu. Matanya terus memperhatikan kotak yang dipegang oleh Anya. "Kotak bekas? Tapi Kenapa kelihatannya masih bagus, ya?" tanya Ralin. "Sa-saya kurang tahu, Bu, saya cuma mengikuti perintah Pak Juan." Anya menunduk hormat. "Mohon maaf, saya permisi sebentar, Bu, kebetulan setelah buang kotak ini saya mau mengerjakan pekerjaan yang lain." Ralin menghela napasnya. "Ya udah!" "Permisi, Bu!" Anya pun kemudian pamitan pergi. "Honey, kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?" Juan langsung menghampiri istrinya, sebenarnya agak panik juga karena Ralin datang tiba-tiba. Beruntung saja foto-foto Juan yang dikirim oleh Kania itu sudah dibawa pergi oleh Anya. Terlihat Ralin menatap suaminya dari atas
"Nggak perlu dijelasin, kamu nggak perlu tahu aku lihat buktinya di mana!" Ralin bangun dari posisinya, ia pun langsung pergi meninggalkan Juan dan masuk ke kamar. Juan makin tak paham dengan situasi ini, kenapa malah jadi makin runyam. Belum saja urusannya dengan Kania benar-benar selesai, tetapi kini Ralin sudah salah paham dengan sekretaris Juan. Langsung saja Juan menyusul ke kamar, hendak menjelaskan kembali kalau dirinya tidak ada apa-apa dengan Anya. "Honey ... buka pintunya, dong!" Juan menggedor pintu, meminta istrinya untuk membukakan pintu kamar. "Aku sama Anya beneran nggak ada apa-apa, Honey!" Tak ada jawaban dari dalam kamar, sudah pasti Ralin ngambek tak karuan karena kesalahpahaman ini. Juan lemas di tempat, kalau begini bagaimana caranya untuk meyakinkan istrinya? Juan kembali ke sofa, ia menghempaskan tubuhnya dengan lemas di sofa tersebut. Lama ia terdiam, menyadari kalau dirinya memang kurang ajar karena sudah menduakan istrinya, bahkan dengan sahabat istrinya
Juan menganggukkan kepalanya. "Iya, mereka sahabatan dari SMA. Bisa dibilang benar-benar dekat dan saling mengenal satu sama lain!"Anya masih kaget, tak menyangka kalau bos-nya bisa sejahat itu. "Bapak keterlaluan, malah sangat keterlaluan! Kalau saya jadi Bu Ralin dan tahu masalah ini udah pasti saya nggak mau pertahanin rumah tangga saya, Pak! Bapak selingkuh aja udah salah, malah selingkuh sama orang terdekat dari Bu Ralin, itu makin salah lagi!" Anya geleng-geleng kepala keheranan."Ck ... kamu jangan ngomong gitu, dong!""Saya serius, Pak! Nggak ada perempuan yang rela-rela aja suaminya selingkuh apalagi selingkuhannya itu sahabatnya sendiri. Saya nggak bakalan pikir dua kali buat pertahanin pernikahan, mending pisah aja! Malah di awal saya kira karena Bu Ralin itu tipenya Bapak jadi Bapak nggak mungkin berpaling ke cewek lain, ternyata ... ah, memang omongan cowok nggak ada yang bisa dipercaya!"Juan memijat keningnya sejenak. Ia jadi kepikiran dengan kata-kata sekretarisnya in
Juan melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa yang membuat aku nggak bisa pamitan sama kamu?"Kania lagi-lagi bergerak sesuai kemauan hatinya, kali ini dengan impulsif ia memeluk Juan. Sudah pasti Juan kaget dengan tindakan Kania ini, ia khawatir dengan kamera CCTV yang menyoroti gerak-gerik mereka. "Please, Kania ... jangan begini!" Juan langsung menolak tangan Kania yang memeluknya itu. "Kita harus sama-sama menghargai situasinya. Oke, aku akui kalau aku yang salah, aku yang sudah membuka gerbang perselingkuhan ini. Aku cuma ... cuma awalnya iseng, tapi malah keterusan.""Iseng kamu bilang?" tanya Kania.Juan hanya mengangguk pelan. "Bukannya iseng itu malah membuat kamu jadi ketagihan sama aku? Kamu lebih suka caraku memuaskan kamu daripada istri kamu itu, kan?" "Apa sih mau kamu? Kamu mau menuntut lebih ke aku masalah hubungan ini? Aku nggak bisa, Kania, aku sudah ada istri dan aku nggak akan menceraikan dia!" Juan bersikap tegas, tak mau lagi terpengaruh dengan pesona janda
“Umm … lepas dari, dari … perempuan itu, Nya!” Juan terlihat kesulitan untuk menjelaskannya.Anya makin dibuat tak paham. “Perempuan siapa maksud Bapak?”Juan kembali ragu untuk menceritakan hal ini di dalam mobil, tentu karena ada sopir perusahaan yang bersama dengan mereka. Takutnya sopir itu menguping kemudian malah menjadi makin runyam lagi urusannya.“Mungkin nanti aja saya ceritakan kalau kita udah berdua,” ucap Juan akhirnya.Anya mengerti maksud Juan, apalagi saat mata Juan memberi kode yang mengarah ke sopir. Pasti agar sopir tersebut tidak mendengar percakapan mereka."Oh ... baik, Pak!" Anya mengangguk paham.Anya pun menyimpan rasa penasarannya hingga nanti si bos sendiri yang menceritakannya.Sampai di tempat tujuan, Juan lantas disambut oleh pemimpin kantor cabang. Terlihat wajah si pemimpin kantor cabang tersebut sedikit kusut begitu Juan datang."Maaf, Pak, kami sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikan ini semua. Masalahnya itu, beliau tetap komplain dan mengan
"Eng-enggak ... bukan siapa-siapa, Honey!" Juan langsung menyembunyikan gawai miliknya, takut kalau Ralin kepo kemudian melihat isi pesan yang baru saja Juan dapatkan dari Kania. "Sudah selesai dengan urusan di toilet?" tanyanya kemudian untuk mengalihkan perhatian.Ralin mengangguk kemudian duduk di samping Juan. "Sudah ....""Untung bukan karena sakit perut yang lain, ya!" Juan pun langsung mengelus perut Ralin, perlahan ia menunduk kemudian berbisik di perut istrinya itu. "Sayang, sehat-sehat di dalam, ya! Jangan bikin mami kamu repot, jangan juga minta yang aneh-aneh supaya Daddy nggak ikutan repot.""Oh ... jadi maksudnya aku ini ngerepotin kamu?" tanya Ralin.Buru-buru Juan menggelengkan kepalanya. "Aku kan nggak ada bilang begitu, Honey!""Itu tadi kamu bilang jangan minta yang aneh-aneh supaya Daddy nggak ikutan repot, kan?" Mata Ralin langsung membulat."Ma-maksudnya, jangan minta makanan yang aneh-aneh apalagi susah didapat!" jelas Juan agar Ralin tak salah paham. "Tapi mungk
Sampai di tempat tujuan rapat, beruntung Juan datang tepat waktu dan tak sampai terlambat, ia pun langsung disambut dengan sangat ramah oleh pemimpin perusahaan yang bekerjasama dengan perusahaannya itu. "Terima kasih sudah mengundang saya ke sini, Pak Dareen!" ucap Juan kepada Dareen, pemimpin perusahaan Harsons Corporation. "Suatu kehormatan bisa bekerjasama dengan Poernomo Group, senang bisa bertemu kembali dengan Pak Juan!" ucap Dareen yang langsung mengarahkan Juan untuk berkenalan dengan beberapa petinggi dari perusahaan miliknya. Setelah Juan diperkenalkan, rapat pun dimulai. Beberapa kali Juan sempat melirik ke arah seorang perempuan muda yang sibuk mencatat selama rapat berlangsung, ia tebak kalau perempuan muda itu kemungkinan sekretaris dari salah satu petinggi di perusahaan Harsons Corporation ini. Dari wajahnya, bentuk badan, caranya tersenyum, sungguh membuat Juan tertarik untuk terus meliriknya. Ternyata sempat sesekali secara tak sengaja mereka bertukar pandang wala