Kania langsung kaget begitu merasakan ada yang menyentuh dadanya, ia pun spontan menoleh ke arah belakang dan mendapati sosok Juan yang sedang tersenyum kepadanya.“Lama nungguinnya sampai kamu ketiduran di dalam air begini?” tanya Juan.“Enggak kok, aku merasa nyaman aja rendaman begini. Ayo sini!” Kania langsung menarik tangan Juan.Tak pikir panjang lagi, Juan pun akhirnya ikut bergabung bersama dengan Kania, ia membuka kancing bajunya kemudian baju tersebut ia lempar sembarang di lantai kamar mandi. “Hei, memangnya kamu nggak mau pakai baju itu untuk nanti pulang? Kenapa dilempar sembarangan?” tanya Kania. “Aku sudah siapkan baju ganti di apartemen ini, jadi tenang aja!” Juan kini telah polosan, semua kain yang menempel pada tubuhnya telah ia tanggalkan. Ia kemudian ikut masuk ke dalam bathub dan menarik tubuh Kania untuk menempel pada tubuhnya. Punggung Kania pun bersandar pada dada bidang Juan sambil menikmati air hangat yang memenuhi bathub ini. Tangan Juan kembali melanjut
"Kamu nggak apa-apa, Honey?" Juan menyusul Ralin ke toilet, khawatir karena tiba-tiba saja Ralin mengatakan mual. Suara muntahan Ralin terdengar sangat keras, sementara Juan membantu Ralin dengan memijat-mijat punggungnya. Tak ada yang keluar dari mulut Ralin, hanya cairan liurnya saja yang terbuang. "Mungkin aku masuk angin, ya?" ucap Ralin.Juan sedikit terkekeh. "Gimana ceritanya kamu bisa masuk angin, sih?""Ya habisnya perut berasa nggak enak begini, rasanya begah tapi ada mualnya." "Aku minta Bibi untuk buatin kamu minuman hangat, ya?" tawar Juan.Ralin mengangguk setuju, mereka pun keluar dari kamar mandi. Juan kemudian mengarahkan istrinya itu untuk duduk di sofa. "Tunggu sebentar di sini, ya! Aku mau panggil Bibi dulu," kata Juan kepada Ralin.Ralin mengangguk dan membiarkan Juan untuk pergi sejenak. Setelah Juan memanggil asisten rumah tangganya untuk membuatkan Ralin minuman, ia kemudian menghampiri istrinya itu lagi dengan membawa segelas teh hangat. "Makasih, Sayang!
Ralin sampai di rumahnya sambil melirik ke arah jam yang ada di dinding. Juan biasanya memang belum pulang jam segini, ia pun lantas menuju ke dapur dan terlihat asisten rumah tangganya sedang menyiapkan makan malam."Aku mau bantu ya, Bi!" kata Ralin sambil membantu asisten rumah tangganya untuk memotong sayuran."Duduk aja, Nyonya! Biar Bibi yang kerja."Ralin menggelengkan kepalanya. "Aku pengen masak, Bi! Biarpun belum jago, tapi setidaknya aku mau terus belajar supaya terbiasa." Tak berselang lama, terdengar suara bel di apartemen Ralin. Salah satu asisten rumah tangganya pun langsung bergerak untuk membukakan pintu."Ralin dan Juan ada?" Terdengar suara perempuan yang tidak asing di telinga Ralin. Seketika ia menoleh ke arah pintu dan mendapati mertuanya yang datang bertamu. Sudah lumayan lama mama mertuanya ini tak mampir ke sini, baru saja Ralin merasa bisa bernapas dengan lega karena mama mertuanya tak mampir ke sini lagi. Namun kali ini ternyata kembali bertamu tanpa terduga
Juan pulang ke apartemennya dan mendapati Ralin telah tertidur di sofa. Melihat Ralin yang ketiduran itu seketika membuat Juan merasa bersalah, padahal tadi Juan mengatakan akan pulang dengan segera. Ternyata Juan terlalu keenakan sendiri menikmati momen berduaan dengan Kania sehingga tak sadar waktu dan kini sudah jam sebelas malam.Perlahan Juan mengusap lembut puncak kepala istrinya, ada seulas senyum pada bibir Juan begitu melihat istrinya yang tertidur. Kalau boleh jujur biarpun Ralin sering semaunya tetapi Juan tetap menyayanginya. Juan suka dengan Ralin dari saat mereka masih SMA, Ralin ini cinta pertamanya, biarpun Juan nakal di luar sana tetapi hatinya tetap untuk perempuan ini. Mata Juan tiba-tiba saja teralihkan dengan benda pipih yang dipegang di tangan kanan Ralin. Juan tahu itu benda apa, dengan perlahan ia pun mencoba meraih benda itu dari tangan Ralin.Mata Juan membulat melihat dua garis merah yang ada di benda pipih itu. Spontan saja ia membangunkan istrinya."Honey
Berada di sebelah suaminya ternyata membuat Ralin semakin tidak nyaman. Ditambah lagi saat Juan menyemprotkan parfum yang biasa dipakai olehnya, sebelum hamil rasanya parfum itu terasa wangi, entah mengapa kali ini rasanya sangat menyengat di hidung dan malah membuatnya pusing."Jauhan dikit, Sayang!" Ralin menutupi hidungnya dengan jari."Ini kan aku posisinya udah jauh dari kamu!" Juan memperhatikan jarak di antara mereka yang bisa dibilang cukup jauh. Entah Juan harus berdiri di mana untuk menyemprotkan sedikit parfum pada tubuhnya, rasanya dari tadi serba salah."Ck ... aku nggak suka baunya!" Juan menyerah, ia pun memutuskan untuk tak memakai apa-apa lagi dan tak mendekat dulu kepada Ralin."Kalau aku tinggal ke kantor, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Juan memastikan."Nggak apa-apa, kok!" "Yakin?" "Yakin, Sayang!" jawab Ralin."Kalau nanti kamu butuh sesuatu tinggal hubungi aku, ya!" pesan Juan kepada istrinya.Ralin mengangguk. Ingin rasanya Juan memberi pelukan ke istrinya
Ralin diantar oleh sopir keluarga Juan menuju ke kantor Poernomo Group. Sampai di sana tentu saja semua mata tertuju kepada istri petinggi dari perusahaan itu. Senyum ramah pun terpasang di wajah Ralin, tentunya para staf di perusahaan itu juga memberikan senyum yang tak kalah ramah dan tak lupa menyapa si Nyonya Besar.Langsung saja Ralin berdiri di depan meja sekretaris suaminya, memberi senyuman tipis kepada perempuan muda itu. "Selamat siang, Bu Ralin! Wah ... tumben Ibu mampir ke kantor," sapa Anya kepada Ralin."Iya, tumben banget saya pengen ketemu suami, mau lihat bagaimana sibuknya dia di kantor," jelas Ralin. Matanya naik turun memperhatikan sekretaris Juan ini. Muda, cantik, kulitnya kuning langsat, bibirnya seksi ditambah dengan polesan warna lipstik merah yang cocok untuk bibirnya, saat tersenyum ada dua lesung pipi yang menghiasi wajahnya. Paling meresahkan lagi begitu melihat body-nya yang 'wow' itu."Bapak Juan kebetulan ada di ruangan, baru saja selesai rapat, Bu!" t
Juan mencoba menarik napasnya dalam-dalam lalu ia embuskan perlahan, mencoba untuk menahan diri agar tak emosi menghadapi istrinya yang sedang berbadan dua ini.“Bukan begitu maksudnya, Hon, tapi menurutku kamu bisa kasih tahu Anya dengan lebih baik lagi, ya nggak bikin dia tersinggung juga,” jelas Juan.“Memangnya kata-kataku yang tadi bikin dia tersinggung? Dari mana kamu tahu kalau dia tersinggung? Sepertinya kamu paham dia banget, ya?” cecar Ralin.Hal ini memang akan berbuntut panjang kalau diteruskan, Juan memilih untuk mengalah dan tak mau membahas ini lebih lanjut lagi. Biar nanti Juan yang akan langsung minta maaf ke Anya masalah ucapan Ralin tadi.“Ya udah aku minta maaf, mungkin memang aku juga yang salah!” kata Juan kemudian. Terlihat Ralin langsung tersenyum tipis begitu suaminya mau mengalah kepadanya.“Kamu duduk tenang aja di sini ya, sambil nunggu Anya bawa teh yang baru untuk kamu. Aku harus selesaikan beberapa kerjaan,” lanjut Juan.Ralin pun menganggukkan kepalanya
Juan sedikit ragu untuk membaca pesan dari Kania, tetapi kalau tidak direspon nanti takutnya malah Kania terus menghubunginya. Ia tidak mau ketahuan istrinya, jadi lebih baik bicarakan baik-baik ke Kania agar sekarang mereka bisa lebih menjaga jarak.[Lagi apa? Kenapa dari tadi pesanku nggak dibalas?] Kania/Johan.[Aku sibuk seharian di kantor, nggak sempat balas pesan dari kamu!] Juan.[Sibuk atau takut ketahuan istri kamu karena ditungguin seharian di kantor?] Kania/Johan.Juan langsung menepuk dahinya begitu membaca pesan terakhir yang dikirim Kania. "Pasti lihat postingan Ralin di medsos, deh!" gumam Juan. Ya seperti biasanya, Ralin selalu tak ketinggalan untuk mengabadikan setiap momen kegiatan yang ia lalui di media sosial miliknya. Termasuk saat menemani Dareen di kantor tadi, pastinya Kania mengetahui dari sana. Ah, media sosial kadang memang bisa menjadi pisau bermata dua.[Dua-duanya! Aku nggak mungkin balas pesan dari kamu kalau ada istriku!] Juan.[Terus sekarang Ralin di