Sesuai dengan yang Ralin pikirkan kalau bertemu dengan keluarga Juan adalah ujian mental untuknya. Bukannya Ralin tak suka kalau berkumpul dengan sanak saudara, yang jadi masalah adalah ketika Ralin menjadi topik utama perbincangan.Pertanyaan yang paling utama adalah, mengapa Ralin belum hamil?Ralin sampai harus memasang senyum palsu terus-terusan di depan semua keluarga Juan, beruntung saja sudah ada mama Juan yang kali ini menjadi juru bicara, jadi Ralin mempersilahkan waktu dan tempatnya untuk ibu mertuanya itu."Kamu kenapa, Honey?" tanya Juan saat menyadari kalau istrinya mulai resah dan gelisah tak karuan."Umm .. anu, apa kita boleh pulang duluan aja?" tanya Ralin."Mau pulang sekarang?""Ya kalau boleh, sih!" kata Ralin sedikit ragu."Boleh, ayo kita pulang. Sebentar, kita harus pamitan dulu sama yang lainnya." Juan akhirnya mengajak Ralin untuk berpamitan dari tempat itu. Beruntungnya Ralin karena sanak saudara Juan semua tak ada yang menghalangi mereka untuk pulang, termasu
Juan melirik sekilas ke arah istrinya yang sudah kembali tertidur, oke aman! Ia pun akhirnya membuka pesan dari Kania lewat aplikasi chat yang jarang ia pakai agar Ralin tak curiga. Nama Kania juga sudah disamarkan menjadi Johan, sebenarnya lucu, nama Johan tetapi yang dibahas dengan Juan kebanyakan omongan mesum seputar ranjang.[Ralin tidur, dia lagi nggak enak badan.] Juan.[Kamu gempur dia semalam di villa? Sampai nggak enak badan gitu.] Kania/Johan.[Enggak juga, mungkin kondisi dia aja yang memang lagi nggak bagus. Kenapa? Kamu mau gantiin posisi dia sebentar?] Juan.[Besok, ok?] Kania/Johan.[Pulang kerja mampir sebentar di apartemen khusus kita.] Juan.[Ok ....] Kania/Johan.[Vc bentar, dong!] Juan.[Terus Ralin? Nanti lihat kita, nggak?] Kania/Johan.[Bentar, aku pindah dulu ke tempat aman!] Juan.Juan pun hendak mencari tempat aman, pikirannya tertuju pada kamar satunya lagi yang ada di apartemennya. Ia pun membiarkan Ralin untuk beristirahat sendiri di dalam kamarnya.Denga
Juan terbangun di pagi hari dan langsung meraba-raba bagian samping ranjangnya. Kosong, tak ada sosok Ralin di sebelahnya. Ia pun akhirnya bangkit dari ranjang, lalu mencari sosok istrinya itu."Ke mana Ralin, ya? Bukannya semalam badannya masih panas?" Bingung Juan mencari sekitar kamar tetapi tidak ada. Ia pun memutuskan untuk keluar dari kamarnya, begitu ia keluar dari kamar suatu pemandangan langka langsung tersaji di hadapannya. Ralin terlihat sedang sibuk di dapur, ia ditemani oleh para asisten rumah tangga. Terlihat istrinya itu sedang sibuk memasak sambil sesekali bertanya kepada asisten rumah tangganya.Juan jadi terenyuh melihat kejadian di depan mata tersebut, rasanya sayang sekali kalau tak disaksikan. Senakal apa pun Juan di luar sana, tetapi dalam hatinya ia tetap menyayangi Ralin, baik dan buruknya selalu ia terima biarpun kadang memang bikin kesal."Sayang, kamu udah bangun?" sapa Ralin begitu menyadari kalau ada Juan yang memperhatikannya. "Udah!" jawab Juan, ia pun
Kania langsung kaget begitu merasakan ada yang menyentuh dadanya, ia pun spontan menoleh ke arah belakang dan mendapati sosok Juan yang sedang tersenyum kepadanya.“Lama nungguinnya sampai kamu ketiduran di dalam air begini?” tanya Juan.“Enggak kok, aku merasa nyaman aja rendaman begini. Ayo sini!” Kania langsung menarik tangan Juan.Tak pikir panjang lagi, Juan pun akhirnya ikut bergabung bersama dengan Kania, ia membuka kancing bajunya kemudian baju tersebut ia lempar sembarang di lantai kamar mandi. “Hei, memangnya kamu nggak mau pakai baju itu untuk nanti pulang? Kenapa dilempar sembarangan?” tanya Kania. “Aku sudah siapkan baju ganti di apartemen ini, jadi tenang aja!” Juan kini telah polosan, semua kain yang menempel pada tubuhnya telah ia tanggalkan. Ia kemudian ikut masuk ke dalam bathub dan menarik tubuh Kania untuk menempel pada tubuhnya. Punggung Kania pun bersandar pada dada bidang Juan sambil menikmati air hangat yang memenuhi bathub ini. Tangan Juan kembali melanjut
"Kamu nggak apa-apa, Honey?" Juan menyusul Ralin ke toilet, khawatir karena tiba-tiba saja Ralin mengatakan mual. Suara muntahan Ralin terdengar sangat keras, sementara Juan membantu Ralin dengan memijat-mijat punggungnya. Tak ada yang keluar dari mulut Ralin, hanya cairan liurnya saja yang terbuang. "Mungkin aku masuk angin, ya?" ucap Ralin.Juan sedikit terkekeh. "Gimana ceritanya kamu bisa masuk angin, sih?""Ya habisnya perut berasa nggak enak begini, rasanya begah tapi ada mualnya." "Aku minta Bibi untuk buatin kamu minuman hangat, ya?" tawar Juan.Ralin mengangguk setuju, mereka pun keluar dari kamar mandi. Juan kemudian mengarahkan istrinya itu untuk duduk di sofa. "Tunggu sebentar di sini, ya! Aku mau panggil Bibi dulu," kata Juan kepada Ralin.Ralin mengangguk dan membiarkan Juan untuk pergi sejenak. Setelah Juan memanggil asisten rumah tangganya untuk membuatkan Ralin minuman, ia kemudian menghampiri istrinya itu lagi dengan membawa segelas teh hangat. "Makasih, Sayang!
Ralin sampai di rumahnya sambil melirik ke arah jam yang ada di dinding. Juan biasanya memang belum pulang jam segini, ia pun lantas menuju ke dapur dan terlihat asisten rumah tangganya sedang menyiapkan makan malam."Aku mau bantu ya, Bi!" kata Ralin sambil membantu asisten rumah tangganya untuk memotong sayuran."Duduk aja, Nyonya! Biar Bibi yang kerja."Ralin menggelengkan kepalanya. "Aku pengen masak, Bi! Biarpun belum jago, tapi setidaknya aku mau terus belajar supaya terbiasa." Tak berselang lama, terdengar suara bel di apartemen Ralin. Salah satu asisten rumah tangganya pun langsung bergerak untuk membukakan pintu."Ralin dan Juan ada?" Terdengar suara perempuan yang tidak asing di telinga Ralin. Seketika ia menoleh ke arah pintu dan mendapati mertuanya yang datang bertamu. Sudah lumayan lama mama mertuanya ini tak mampir ke sini, baru saja Ralin merasa bisa bernapas dengan lega karena mama mertuanya tak mampir ke sini lagi. Namun kali ini ternyata kembali bertamu tanpa terduga
Juan pulang ke apartemennya dan mendapati Ralin telah tertidur di sofa. Melihat Ralin yang ketiduran itu seketika membuat Juan merasa bersalah, padahal tadi Juan mengatakan akan pulang dengan segera. Ternyata Juan terlalu keenakan sendiri menikmati momen berduaan dengan Kania sehingga tak sadar waktu dan kini sudah jam sebelas malam.Perlahan Juan mengusap lembut puncak kepala istrinya, ada seulas senyum pada bibir Juan begitu melihat istrinya yang tertidur. Kalau boleh jujur biarpun Ralin sering semaunya tetapi Juan tetap menyayanginya. Juan suka dengan Ralin dari saat mereka masih SMA, Ralin ini cinta pertamanya, biarpun Juan nakal di luar sana tetapi hatinya tetap untuk perempuan ini. Mata Juan tiba-tiba saja teralihkan dengan benda pipih yang dipegang di tangan kanan Ralin. Juan tahu itu benda apa, dengan perlahan ia pun mencoba meraih benda itu dari tangan Ralin.Mata Juan membulat melihat dua garis merah yang ada di benda pipih itu. Spontan saja ia membangunkan istrinya."Honey
Berada di sebelah suaminya ternyata membuat Ralin semakin tidak nyaman. Ditambah lagi saat Juan menyemprotkan parfum yang biasa dipakai olehnya, sebelum hamil rasanya parfum itu terasa wangi, entah mengapa kali ini rasanya sangat menyengat di hidung dan malah membuatnya pusing."Jauhan dikit, Sayang!" Ralin menutupi hidungnya dengan jari."Ini kan aku posisinya udah jauh dari kamu!" Juan memperhatikan jarak di antara mereka yang bisa dibilang cukup jauh. Entah Juan harus berdiri di mana untuk menyemprotkan sedikit parfum pada tubuhnya, rasanya dari tadi serba salah."Ck ... aku nggak suka baunya!" Juan menyerah, ia pun memutuskan untuk tak memakai apa-apa lagi dan tak mendekat dulu kepada Ralin."Kalau aku tinggal ke kantor, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Juan memastikan."Nggak apa-apa, kok!" "Yakin?" "Yakin, Sayang!" jawab Ralin."Kalau nanti kamu butuh sesuatu tinggal hubungi aku, ya!" pesan Juan kepada istrinya.Ralin mengangguk. Ingin rasanya Juan memberi pelukan ke istrinya
"Ya ampun, Anya, saya nggak bisa lama-lama di sini. Istri saya mau lahiran, saya harus segera pulang." Juan berusaha melepas pelukan dari sekretarisnya tersebut. "Pusing, pu-pusing, Pak!" "Makanya kan tadi saya bilang, kalau nggak bisa minum ngapain dicobain sih? Kamu kan bisa tolak dengan baik-baik, mereka bakalan paham kok kalau kamu nggak biasa. Kalau begini saya harus gimana? Harus titipin kamu sama siapa?" Anya sudah lemas tak karuan, mana peduli dengan omelan atasannya tersebut. Akhirnya mau tidak mau Juan harus mengantar sekretarisnya untuk balik ke kamarnya. Membiarkan Anya beristirahat di sana, mungkin pilihan terakhir Juan akan menitipkan Anya pada staf hotel. "Kunci kamar kamu mana, Nya?" tanya Juan. Anya hanya menunjuk saku di celana bahan yang ia gunakan tanpa bicara apa-apa, sudah terlanjur sakit kepala. Mau tidak mau Juan pun harus meraba saku celana itu cuma untuk mengambil kunci kamar Anya. Dapat! Untung saja kuncinya berbentuk kartu yang mudah diambil. L
“Ah, aku sih selalu senang kalau temanku ada yang mampir ke sini apalagi kalau sama keluarganya atau suaminya,” jawab Kania. Ekspresinya masih terlihat santai dan ramah. Sesekali Kania melirik ke arah Juan, semakin hari suami orang semakin tampan.“Bagus kalau gitu.” Ralin tersenyum manis. “Kebetulan aku lagi ngidam, kepengen minum kopi yag dibuatin sama kamu. Kebetulan banget kamu ada di sini, Kania, jadi aku bisa dibikinin kopi langsung sama kamu, kan?”“Ngidam kopi yang dibuatin langsung sama aku? Wah, anak kamu tahu banget ya mana Tante yang pinter bikin kopi.” Lagi-lagi Kania melirik ke arah Juan. Kali ini sambil memberi kerlingan mata.Sudah tentu Juan langsung mengalihkan pandangannya, tak mau fokus ke Kania. Lagipula Juan memang sedang menghindari perempuan ini, malah bisa-bisanya Ralin ngidam kopi buatan Kania. Apa benar anaknya ini paham kalau bapaknya ada sesuatu dengan Kania?Ralin fokus mengelus perutnya yang belum begitu buncit. “Sekaligus tahu juga kalau Tante Kania itu
"I-ini, bukan kotak apa-apa, Bu. Kebetulan aja ini kotak bekas, saya diminta tolong sama Pak Juan untuk membuangnya." Anya terpaksa mengarang cerita. Sesuai perjanjian kalau ia akan tutup mulut masalah perselingkuhan Juan. Terlihat Ralin seperti kurang percaya dengan perkataan sekretaris suaminya itu. Matanya terus memperhatikan kotak yang dipegang oleh Anya. "Kotak bekas? Tapi Kenapa kelihatannya masih bagus, ya?" tanya Ralin. "Sa-saya kurang tahu, Bu, saya cuma mengikuti perintah Pak Juan." Anya menunduk hormat. "Mohon maaf, saya permisi sebentar, Bu, kebetulan setelah buang kotak ini saya mau mengerjakan pekerjaan yang lain." Ralin menghela napasnya. "Ya udah!" "Permisi, Bu!" Anya pun kemudian pamitan pergi. "Honey, kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?" Juan langsung menghampiri istrinya, sebenarnya agak panik juga karena Ralin datang tiba-tiba. Beruntung saja foto-foto Juan yang dikirim oleh Kania itu sudah dibawa pergi oleh Anya. Terlihat Ralin menatap suaminya dari atas
"Nggak perlu dijelasin, kamu nggak perlu tahu aku lihat buktinya di mana!" Ralin bangun dari posisinya, ia pun langsung pergi meninggalkan Juan dan masuk ke kamar. Juan makin tak paham dengan situasi ini, kenapa malah jadi makin runyam. Belum saja urusannya dengan Kania benar-benar selesai, tetapi kini Ralin sudah salah paham dengan sekretaris Juan. Langsung saja Juan menyusul ke kamar, hendak menjelaskan kembali kalau dirinya tidak ada apa-apa dengan Anya. "Honey ... buka pintunya, dong!" Juan menggedor pintu, meminta istrinya untuk membukakan pintu kamar. "Aku sama Anya beneran nggak ada apa-apa, Honey!" Tak ada jawaban dari dalam kamar, sudah pasti Ralin ngambek tak karuan karena kesalahpahaman ini. Juan lemas di tempat, kalau begini bagaimana caranya untuk meyakinkan istrinya? Juan kembali ke sofa, ia menghempaskan tubuhnya dengan lemas di sofa tersebut. Lama ia terdiam, menyadari kalau dirinya memang kurang ajar karena sudah menduakan istrinya, bahkan dengan sahabat istrinya
Juan menganggukkan kepalanya. "Iya, mereka sahabatan dari SMA. Bisa dibilang benar-benar dekat dan saling mengenal satu sama lain!"Anya masih kaget, tak menyangka kalau bos-nya bisa sejahat itu. "Bapak keterlaluan, malah sangat keterlaluan! Kalau saya jadi Bu Ralin dan tahu masalah ini udah pasti saya nggak mau pertahanin rumah tangga saya, Pak! Bapak selingkuh aja udah salah, malah selingkuh sama orang terdekat dari Bu Ralin, itu makin salah lagi!" Anya geleng-geleng kepala keheranan."Ck ... kamu jangan ngomong gitu, dong!""Saya serius, Pak! Nggak ada perempuan yang rela-rela aja suaminya selingkuh apalagi selingkuhannya itu sahabatnya sendiri. Saya nggak bakalan pikir dua kali buat pertahanin pernikahan, mending pisah aja! Malah di awal saya kira karena Bu Ralin itu tipenya Bapak jadi Bapak nggak mungkin berpaling ke cewek lain, ternyata ... ah, memang omongan cowok nggak ada yang bisa dipercaya!"Juan memijat keningnya sejenak. Ia jadi kepikiran dengan kata-kata sekretarisnya in
Juan melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa yang membuat aku nggak bisa pamitan sama kamu?"Kania lagi-lagi bergerak sesuai kemauan hatinya, kali ini dengan impulsif ia memeluk Juan. Sudah pasti Juan kaget dengan tindakan Kania ini, ia khawatir dengan kamera CCTV yang menyoroti gerak-gerik mereka. "Please, Kania ... jangan begini!" Juan langsung menolak tangan Kania yang memeluknya itu. "Kita harus sama-sama menghargai situasinya. Oke, aku akui kalau aku yang salah, aku yang sudah membuka gerbang perselingkuhan ini. Aku cuma ... cuma awalnya iseng, tapi malah keterusan.""Iseng kamu bilang?" tanya Kania.Juan hanya mengangguk pelan. "Bukannya iseng itu malah membuat kamu jadi ketagihan sama aku? Kamu lebih suka caraku memuaskan kamu daripada istri kamu itu, kan?" "Apa sih mau kamu? Kamu mau menuntut lebih ke aku masalah hubungan ini? Aku nggak bisa, Kania, aku sudah ada istri dan aku nggak akan menceraikan dia!" Juan bersikap tegas, tak mau lagi terpengaruh dengan pesona janda
“Umm … lepas dari, dari … perempuan itu, Nya!” Juan terlihat kesulitan untuk menjelaskannya.Anya makin dibuat tak paham. “Perempuan siapa maksud Bapak?”Juan kembali ragu untuk menceritakan hal ini di dalam mobil, tentu karena ada sopir perusahaan yang bersama dengan mereka. Takutnya sopir itu menguping kemudian malah menjadi makin runyam lagi urusannya.“Mungkin nanti aja saya ceritakan kalau kita udah berdua,” ucap Juan akhirnya.Anya mengerti maksud Juan, apalagi saat mata Juan memberi kode yang mengarah ke sopir. Pasti agar sopir tersebut tidak mendengar percakapan mereka."Oh ... baik, Pak!" Anya mengangguk paham.Anya pun menyimpan rasa penasarannya hingga nanti si bos sendiri yang menceritakannya.Sampai di tempat tujuan, Juan lantas disambut oleh pemimpin kantor cabang. Terlihat wajah si pemimpin kantor cabang tersebut sedikit kusut begitu Juan datang."Maaf, Pak, kami sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikan ini semua. Masalahnya itu, beliau tetap komplain dan mengan
"Eng-enggak ... bukan siapa-siapa, Honey!" Juan langsung menyembunyikan gawai miliknya, takut kalau Ralin kepo kemudian melihat isi pesan yang baru saja Juan dapatkan dari Kania. "Sudah selesai dengan urusan di toilet?" tanyanya kemudian untuk mengalihkan perhatian.Ralin mengangguk kemudian duduk di samping Juan. "Sudah ....""Untung bukan karena sakit perut yang lain, ya!" Juan pun langsung mengelus perut Ralin, perlahan ia menunduk kemudian berbisik di perut istrinya itu. "Sayang, sehat-sehat di dalam, ya! Jangan bikin mami kamu repot, jangan juga minta yang aneh-aneh supaya Daddy nggak ikutan repot.""Oh ... jadi maksudnya aku ini ngerepotin kamu?" tanya Ralin.Buru-buru Juan menggelengkan kepalanya. "Aku kan nggak ada bilang begitu, Honey!""Itu tadi kamu bilang jangan minta yang aneh-aneh supaya Daddy nggak ikutan repot, kan?" Mata Ralin langsung membulat."Ma-maksudnya, jangan minta makanan yang aneh-aneh apalagi susah didapat!" jelas Juan agar Ralin tak salah paham. "Tapi mungk
Sampai di tempat tujuan rapat, beruntung Juan datang tepat waktu dan tak sampai terlambat, ia pun langsung disambut dengan sangat ramah oleh pemimpin perusahaan yang bekerjasama dengan perusahaannya itu. "Terima kasih sudah mengundang saya ke sini, Pak Dareen!" ucap Juan kepada Dareen, pemimpin perusahaan Harsons Corporation. "Suatu kehormatan bisa bekerjasama dengan Poernomo Group, senang bisa bertemu kembali dengan Pak Juan!" ucap Dareen yang langsung mengarahkan Juan untuk berkenalan dengan beberapa petinggi dari perusahaan miliknya. Setelah Juan diperkenalkan, rapat pun dimulai. Beberapa kali Juan sempat melirik ke arah seorang perempuan muda yang sibuk mencatat selama rapat berlangsung, ia tebak kalau perempuan muda itu kemungkinan sekretaris dari salah satu petinggi di perusahaan Harsons Corporation ini. Dari wajahnya, bentuk badan, caranya tersenyum, sungguh membuat Juan tertarik untuk terus meliriknya. Ternyata sempat sesekali secara tak sengaja mereka bertukar pandang wala