Pagi hari Ralin masih bermalas-malasan sambil merebahkan tubuhnya di atas ranjang, gempuran semalam bersama Juan membuat badannya sedikit remuk. Memang urusan yang satu itu belakangan ini hampir tak pernah absen, apalagi semenjak tinggal pisah dengan orang tua Juan.Juan baru saja selesai mandi, kalau dulu saat awal-awal pernikahan Ralin selalu rajin menyiapkan semua barang-barang keperluan untuk Juan pakai, mulai dari setelan jas, sepatu, dan lain-lain, tetapi kini Ralin jadi sedikit lebih malas. Semenjak pindah ke apartemen ini Ralin terlihat lebih cuek, alasannya karena kelelahan melayani Juan di ranjang. "Apa nggak bisa bangun sebentar? Dulu waktu tinggal bareng orang tuaku kamu selalu rajin bangun pagi dan nyiapin semua keperluanku. Sekarang kenapa nggak pernah lagi, Honey?" Juan mencoba membangunkan Ralin, berharap istrinya itu mau bangun sebentar saja untuk membantunya bersiap-siap.Respon dari Ralin hanya menggerakkan tangannya sebentar, kemudian terlelap lagi dalam tidur.
"Pa-pagi, Ma!" balas Ralin kepada mama mertuanya tersebut. Kenapa di saat Ralin sedang bersantai-santai seperti ini malah sosok mama mertuanya ini datang ke sini.Bisa dipastikan kalau suasana pagi Ralin kali ini akan menjadi amat sangat berwarna seperti pelangi-pelangi alangkah indahmu. Oh, tidak ... mungkin bisa lebih banyak warna lagi.Ralin menarik napasnya dalam-dalam kemudian ia embuskan secara perlahan, terlihat mama mertuanya mengedarkan pandangan di dalam apartemen tersebut, siap melakukan investigasi. Tiga asisten rumah tangga yang dikirim oleh mama mertua Ralin untuk membantu di apartemen ini terlihat mendekat ke arah ibu bosnya. "Sarapan sudah yang sehat?" tanya Indah kepada asisten rumah tangga di apartemen itu."Sudah, Nyonya!" jawab salah satu asisten rumah tangga. "Bagus!" Kaki Indah lantas melangkah menuju ke ruang tengah. "Saya nggak suka kalau ruangan ini ada debunya, sudah dibersihkan?" tanya Indah lagi sambil menyentuh sudut meja di ruang tengah apartemen itu.
"Staycation?" Ralin mengernyit saat ditawari staycation oleh Juan."Iya, weekend nanti mungkin kita bisa coba untuk staycation, mumpung aku punya waktu luang. Gimana?" tawar Juan lagi."Kamu tahu kan kalau mulai hari Jumat ini aku sudah janji untuk pulang ke rumah orang tuaku, mama dan papaku udah kangen banget dengan anaknya ini," terang Ralin. "Mungkin bisa kita coba minggu depannya lagi."Juan menghela napasnya. "Iya udah kalau begitu." "Lantas Jumat ini kamu bisa ikut pulang ke rumahku, kan?" tanya Ralin untuk memastikan."Umm ... mungkin aku bakalan nyusul belakangan, hari Jumat aku masih ada pertemuan penting dengan beberapa klien, dan aku nggak bisa memastikan pulang jam berapa." Ralin memutar kedua bola matanya. "Kalau begitu mau nyusul hari Sabtu?" Juan mengangguk. "Aku usahakan, ya! Pokoknya hari Sabtu aku pasti sudah ada di rumah orang tua kamu," jelasnya.Juan lantas mendekat ke arah istrinya dan memeluk Ralin dari belakang. Rasanya kalau sudah berduaan begini, pikiran
"Masalah rumah tangga? Apa kamu dan Ralin sedang ada masalah lagi?" tanya Kania.Juan menghela napasnya perlahan. "Sedikit!" "Kenapa lagi?" "Jadi biarpun kita sudah tinggal pisah dari orang tuaku, kadang mamaku masih sering ke sini. Sayangnya Ralin masih aja suka mengeluh masalah mamaku." Juan mengusap pelan wajahnya, rasanya ia mulai jenuh dengan keadaan ini. "Wajar sih kalau dia nggak nyaman, tapi masalahnya aku sudah pernah bilang kalau dia bebas mengatakan ke mamaku seandainya dia nggak nyaman, tapi dia nggak mau melakukan itu. Ralin memilih untuk menuruti kemauan mama tapi setelah itu pasti mengeluh denganku." "Nggak semudah itu, Juan! Dia ada di posisi sulit untuk menolak, kalau menolak kemauan mama kamu yang ada pasti dia jadi nggak enak," jelas Kania.Juan menatap ke arah Kania sejenak. "Apa benar begitu?" "Ya itu cuma pengalamanku aja, tapi masalahnya aku pun nggak bisa menjaga rumah tanggaku sendiri. Kalau kamu mau tanya solusinya, aku juga bingung harus bagaimana." "So
Kania menganggukkan kepalanya. "Iya, nggak ada yang ganggu, aku suka sendirian kalau malam."Juan menaikkan satu sudut bibirnya. "Kamu nggak takut kalau sendirian?""Mau bagaimana lagi, aku udah biasa hidup mandiri jadi kalau sendirian malah lebih nyaman." Kania terperangah saat menyadari kalau posisinya saat ini sangat berdekatan dengan Juan. Dari jarak dekat ini ternyata suami sahabatnya terlihat jauh lebih tampan dan menarik. "Mau minum apa?" tanya Kania kemudian."Apa aja, air putih juga nggak masalah!" ucap Juan."Oke, tunggu sebentar di sini, ya!" Kania lantas beranjak menuju ke dapurnya untuk mengambilkan Juan minuman. Sementara Juan ternyata mengekor di belakangnya, langkah kakinya lantas terhenti di kitchen bar, diam-diam Juan sedang memperhatikan Kania."Kamu nggak bosen sendirian?" tanya Juan.Kania kaget begitu mendengar suara Juan yang ternyata membuntutinya ke dapur. Ia melihat Juan telah berdiri sambil menjadikan kitchen bar sebagai sandaran tangannya."Aku merasa baik
"Apa kamu yakin? Bukannya selama ini kamu sibuk banget di kantor? Bahkan waktu dengan Ralin juga kurang banyak, sementara sekarang kamu menawarkan hal ini ke aku. Kamu lupa kalau aku ini teman Ralin sekaligus aku seorang janda," ucap Kania."Aku nggak lupa kalau kamu ini teman baiknya Ralin, aku juga nggak lupa kalau kamu adalah seorang janda. Aku nggak peduli dengan segala urusan itu, yang penting aku nyaman dengan kamu, Kania." Kania memberi senyuman tipis kepada Juan. "Lantas keuntungannya apa buat aku?"Juan meraba pelan paha Kania dengan tangannya. "Kamu bisa mendapatkan kenikmatan yang nggak pernah kamu dapat dari orang lain, aku bisa beri itu ke kamu!" bisik Juan.Kania terlihat tertegun sejenak sambil menatap ke arah Juan, sejujurnya belakangan ini Kania mendekati Juan ada maksud dan tujuannya. Ketertarikan Kania pada Juan makin menjadi-jadi setiap mendengar Ralin menceritakan serta membanggakan suaminya, bahkan Ralin pernah bercerita kalau Juan jago di ranjang, belum lagi Ju
Kania langsung menurut, ia pun turun dari pangkuan Juan dan memposisikan diri untuk bersimpuh di antara kedua kaki dan paha Juan yang terbuka. Dengan perlahan Kania mengarahkan milik Juan yang telah mengacung sempurna itu ke dalam mulutnya. Juan lantas merasakan sensasi hangat dan geli ketika miliknya masuk memenuhi mulut Kania. Ia lantas menggenggam rambut Kania mengikuti pergerakan kepalanya yang perlahan maju mundur itu. "Lebih dalam lagi, iya ... lebih dalam lagi, Kania!" perintah Juan agar Kania makin memasukkan miliknya lebih dalam lagi ke dalam mulutnya.Kania terlihat sangat menikmati milik Juan di bawah sana, Juan pun mulai menyukai cara janda ini bermain dengan miliknya, sudah jago dan lebih berpengalaman. Juan mendongakkan kepalanya sambil memejamkan mata, menikmati mulut Kania yang bermain di bawah sana.Kania pun tak mau selesai menikmati milik Juan itu, ia masih betah bermain-main dengan mulut dan lidahnya, memberi rangsangan kepada Juan hingga membuat laki-laki itu m
"Kania, aku nggak ganggu kamu, kan?" tanya Ralin langsung begitu pintu apartemen Kania terbuka dan terlihat Kania kaget dengan kehadiran sahabatnya itu. "Habisnya aku bingung mau ke mana lagi, semua teman-teman udah pada sibuk dengan keluarganya, aku nggak enak ganggu mereka. Sepertinya cuma kamu yang free, jadi aku langsung ke sini." Walaupun masih kaget dengan kehadiran Ralin, Kania sebisa mungkin menyembunyikan perasaan itu di hadapan sahabatnya ini. Ia berusaha tersenyum menyambut kedatangan Ralin di apartemennya walaupun senyuman itu sedikit kaku."Aku boleh masuk, kan?" tanya Ralin lagi."Bo-boleh!" jawab Kania sedikit gagap.Tanpa ragu Ralin langsung masuk ke dalam apartemen Kania, langsung saja ia duduk nyaman di sofa, tempat di mana tadi Kania dan suami Ralin melakukan kegiatan panas tetapi tertunda.Ralin terlihat mengedarkan pandangannya di apartemen Kania. "Aku baru sadar kalau apartemen kamu ini nggak seluas yang aku bayangin. Lebih luas dan lebih bagus apartemenku sih,
"Ya ampun, Anya, saya nggak bisa lama-lama di sini. Istri saya mau lahiran, saya harus segera pulang." Juan berusaha melepas pelukan dari sekretarisnya tersebut. "Pusing, pu-pusing, Pak!" "Makanya kan tadi saya bilang, kalau nggak bisa minum ngapain dicobain sih? Kamu kan bisa tolak dengan baik-baik, mereka bakalan paham kok kalau kamu nggak biasa. Kalau begini saya harus gimana? Harus titipin kamu sama siapa?" Anya sudah lemas tak karuan, mana peduli dengan omelan atasannya tersebut. Akhirnya mau tidak mau Juan harus mengantar sekretarisnya untuk balik ke kamarnya. Membiarkan Anya beristirahat di sana, mungkin pilihan terakhir Juan akan menitipkan Anya pada staf hotel. "Kunci kamar kamu mana, Nya?" tanya Juan. Anya hanya menunjuk saku di celana bahan yang ia gunakan tanpa bicara apa-apa, sudah terlanjur sakit kepala. Mau tidak mau Juan pun harus meraba saku celana itu cuma untuk mengambil kunci kamar Anya. Dapat! Untung saja kuncinya berbentuk kartu yang mudah diambil. L
“Ah, aku sih selalu senang kalau temanku ada yang mampir ke sini apalagi kalau sama keluarganya atau suaminya,” jawab Kania. Ekspresinya masih terlihat santai dan ramah. Sesekali Kania melirik ke arah Juan, semakin hari suami orang semakin tampan.“Bagus kalau gitu.” Ralin tersenyum manis. “Kebetulan aku lagi ngidam, kepengen minum kopi yag dibuatin sama kamu. Kebetulan banget kamu ada di sini, Kania, jadi aku bisa dibikinin kopi langsung sama kamu, kan?”“Ngidam kopi yang dibuatin langsung sama aku? Wah, anak kamu tahu banget ya mana Tante yang pinter bikin kopi.” Lagi-lagi Kania melirik ke arah Juan. Kali ini sambil memberi kerlingan mata.Sudah tentu Juan langsung mengalihkan pandangannya, tak mau fokus ke Kania. Lagipula Juan memang sedang menghindari perempuan ini, malah bisa-bisanya Ralin ngidam kopi buatan Kania. Apa benar anaknya ini paham kalau bapaknya ada sesuatu dengan Kania?Ralin fokus mengelus perutnya yang belum begitu buncit. “Sekaligus tahu juga kalau Tante Kania itu
"I-ini, bukan kotak apa-apa, Bu. Kebetulan aja ini kotak bekas, saya diminta tolong sama Pak Juan untuk membuangnya." Anya terpaksa mengarang cerita. Sesuai perjanjian kalau ia akan tutup mulut masalah perselingkuhan Juan. Terlihat Ralin seperti kurang percaya dengan perkataan sekretaris suaminya itu. Matanya terus memperhatikan kotak yang dipegang oleh Anya. "Kotak bekas? Tapi Kenapa kelihatannya masih bagus, ya?" tanya Ralin. "Sa-saya kurang tahu, Bu, saya cuma mengikuti perintah Pak Juan." Anya menunduk hormat. "Mohon maaf, saya permisi sebentar, Bu, kebetulan setelah buang kotak ini saya mau mengerjakan pekerjaan yang lain." Ralin menghela napasnya. "Ya udah!" "Permisi, Bu!" Anya pun kemudian pamitan pergi. "Honey, kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?" Juan langsung menghampiri istrinya, sebenarnya agak panik juga karena Ralin datang tiba-tiba. Beruntung saja foto-foto Juan yang dikirim oleh Kania itu sudah dibawa pergi oleh Anya. Terlihat Ralin menatap suaminya dari atas
"Nggak perlu dijelasin, kamu nggak perlu tahu aku lihat buktinya di mana!" Ralin bangun dari posisinya, ia pun langsung pergi meninggalkan Juan dan masuk ke kamar. Juan makin tak paham dengan situasi ini, kenapa malah jadi makin runyam. Belum saja urusannya dengan Kania benar-benar selesai, tetapi kini Ralin sudah salah paham dengan sekretaris Juan. Langsung saja Juan menyusul ke kamar, hendak menjelaskan kembali kalau dirinya tidak ada apa-apa dengan Anya. "Honey ... buka pintunya, dong!" Juan menggedor pintu, meminta istrinya untuk membukakan pintu kamar. "Aku sama Anya beneran nggak ada apa-apa, Honey!" Tak ada jawaban dari dalam kamar, sudah pasti Ralin ngambek tak karuan karena kesalahpahaman ini. Juan lemas di tempat, kalau begini bagaimana caranya untuk meyakinkan istrinya? Juan kembali ke sofa, ia menghempaskan tubuhnya dengan lemas di sofa tersebut. Lama ia terdiam, menyadari kalau dirinya memang kurang ajar karena sudah menduakan istrinya, bahkan dengan sahabat istrinya
Juan menganggukkan kepalanya. "Iya, mereka sahabatan dari SMA. Bisa dibilang benar-benar dekat dan saling mengenal satu sama lain!"Anya masih kaget, tak menyangka kalau bos-nya bisa sejahat itu. "Bapak keterlaluan, malah sangat keterlaluan! Kalau saya jadi Bu Ralin dan tahu masalah ini udah pasti saya nggak mau pertahanin rumah tangga saya, Pak! Bapak selingkuh aja udah salah, malah selingkuh sama orang terdekat dari Bu Ralin, itu makin salah lagi!" Anya geleng-geleng kepala keheranan."Ck ... kamu jangan ngomong gitu, dong!""Saya serius, Pak! Nggak ada perempuan yang rela-rela aja suaminya selingkuh apalagi selingkuhannya itu sahabatnya sendiri. Saya nggak bakalan pikir dua kali buat pertahanin pernikahan, mending pisah aja! Malah di awal saya kira karena Bu Ralin itu tipenya Bapak jadi Bapak nggak mungkin berpaling ke cewek lain, ternyata ... ah, memang omongan cowok nggak ada yang bisa dipercaya!"Juan memijat keningnya sejenak. Ia jadi kepikiran dengan kata-kata sekretarisnya in
Juan melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa yang membuat aku nggak bisa pamitan sama kamu?"Kania lagi-lagi bergerak sesuai kemauan hatinya, kali ini dengan impulsif ia memeluk Juan. Sudah pasti Juan kaget dengan tindakan Kania ini, ia khawatir dengan kamera CCTV yang menyoroti gerak-gerik mereka. "Please, Kania ... jangan begini!" Juan langsung menolak tangan Kania yang memeluknya itu. "Kita harus sama-sama menghargai situasinya. Oke, aku akui kalau aku yang salah, aku yang sudah membuka gerbang perselingkuhan ini. Aku cuma ... cuma awalnya iseng, tapi malah keterusan.""Iseng kamu bilang?" tanya Kania.Juan hanya mengangguk pelan. "Bukannya iseng itu malah membuat kamu jadi ketagihan sama aku? Kamu lebih suka caraku memuaskan kamu daripada istri kamu itu, kan?" "Apa sih mau kamu? Kamu mau menuntut lebih ke aku masalah hubungan ini? Aku nggak bisa, Kania, aku sudah ada istri dan aku nggak akan menceraikan dia!" Juan bersikap tegas, tak mau lagi terpengaruh dengan pesona janda
“Umm … lepas dari, dari … perempuan itu, Nya!” Juan terlihat kesulitan untuk menjelaskannya.Anya makin dibuat tak paham. “Perempuan siapa maksud Bapak?”Juan kembali ragu untuk menceritakan hal ini di dalam mobil, tentu karena ada sopir perusahaan yang bersama dengan mereka. Takutnya sopir itu menguping kemudian malah menjadi makin runyam lagi urusannya.“Mungkin nanti aja saya ceritakan kalau kita udah berdua,” ucap Juan akhirnya.Anya mengerti maksud Juan, apalagi saat mata Juan memberi kode yang mengarah ke sopir. Pasti agar sopir tersebut tidak mendengar percakapan mereka."Oh ... baik, Pak!" Anya mengangguk paham.Anya pun menyimpan rasa penasarannya hingga nanti si bos sendiri yang menceritakannya.Sampai di tempat tujuan, Juan lantas disambut oleh pemimpin kantor cabang. Terlihat wajah si pemimpin kantor cabang tersebut sedikit kusut begitu Juan datang."Maaf, Pak, kami sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikan ini semua. Masalahnya itu, beliau tetap komplain dan mengan
"Eng-enggak ... bukan siapa-siapa, Honey!" Juan langsung menyembunyikan gawai miliknya, takut kalau Ralin kepo kemudian melihat isi pesan yang baru saja Juan dapatkan dari Kania. "Sudah selesai dengan urusan di toilet?" tanyanya kemudian untuk mengalihkan perhatian.Ralin mengangguk kemudian duduk di samping Juan. "Sudah ....""Untung bukan karena sakit perut yang lain, ya!" Juan pun langsung mengelus perut Ralin, perlahan ia menunduk kemudian berbisik di perut istrinya itu. "Sayang, sehat-sehat di dalam, ya! Jangan bikin mami kamu repot, jangan juga minta yang aneh-aneh supaya Daddy nggak ikutan repot.""Oh ... jadi maksudnya aku ini ngerepotin kamu?" tanya Ralin.Buru-buru Juan menggelengkan kepalanya. "Aku kan nggak ada bilang begitu, Honey!""Itu tadi kamu bilang jangan minta yang aneh-aneh supaya Daddy nggak ikutan repot, kan?" Mata Ralin langsung membulat."Ma-maksudnya, jangan minta makanan yang aneh-aneh apalagi susah didapat!" jelas Juan agar Ralin tak salah paham. "Tapi mungk
Sampai di tempat tujuan rapat, beruntung Juan datang tepat waktu dan tak sampai terlambat, ia pun langsung disambut dengan sangat ramah oleh pemimpin perusahaan yang bekerjasama dengan perusahaannya itu. "Terima kasih sudah mengundang saya ke sini, Pak Dareen!" ucap Juan kepada Dareen, pemimpin perusahaan Harsons Corporation. "Suatu kehormatan bisa bekerjasama dengan Poernomo Group, senang bisa bertemu kembali dengan Pak Juan!" ucap Dareen yang langsung mengarahkan Juan untuk berkenalan dengan beberapa petinggi dari perusahaan miliknya. Setelah Juan diperkenalkan, rapat pun dimulai. Beberapa kali Juan sempat melirik ke arah seorang perempuan muda yang sibuk mencatat selama rapat berlangsung, ia tebak kalau perempuan muda itu kemungkinan sekretaris dari salah satu petinggi di perusahaan Harsons Corporation ini. Dari wajahnya, bentuk badan, caranya tersenyum, sungguh membuat Juan tertarik untuk terus meliriknya. Ternyata sempat sesekali secara tak sengaja mereka bertukar pandang wala