'Oh … Apakah aku sedang berada di surga?' tanya Berlian membatin. 'Aku baru tahu, Ternyata di surga juga ada lampu seterang ini,' Sambung Berlian ketika matanya terasa silau terkena lampu ruangan."Kamu sudah sadar, Lian?" Tanya Luke sambil mengelus kepala Berlian dengan lembut.Berlian tersenyum ketika ia menatap wajah pria yang ada di atas wajahnya. Pria yang selama ini Berlian kagumi, Berlian inginkan, dan Berlian cintai setulus hati. Hanya karena salah paham dan dendam, ia memilih untuk membenci. Berlian berharap, ini hanya mimpi. Atau mungkin, sekarang dia sudah tenang. Agar dirinya bisa melupakan semua dendam, rasa sakit hatinya, dan apa yang sudah terjadi di dalam hidupnya. ‘Tuhan, biarkan aku mengagumi wajah suamiku sendiri. Aku harap, dengan kematianku, suamiku terus dihantui oleh rasa bersalah,’ pikir Berlian. Luke mengerutkan dahi melihat Berlian yang sejak sadar, hanya mengatakan jika dia surga. Dan akhirnya, wanita yang masih terbaring itu hanya tersenyum menatapny
Setelah satu Minggu, Berlian pun diizinkan pulang. Dengan kondisi pergelangan tangan yang masih menggunakan gips dan leher yang masih menggunakan penyangga. Saat ini, Berlian dan Luke sedang berada di dalam mobil menuju ke arah kediaman orang tua Berlian. Luke tidak membawa Berlian ke paviliun. Sebab, di sana ada Eliona. Takutnya, Berlian berpikir macam-macam. Luke ingin menjelaskannya secara pelan-pelan seiring penyembuhan sang istri. "Hei, aku ingin bertanya," ucap Lian membuka pembicaraan ketika Luke sedang menyetir.Terdengar hembusan napas kasar yang keluar dari hidung Luke. Sudah berulang kali Luke mengatakan jika panggil dia dengan sebutan "Sayang, Hubby, My Husband atau lainnya". Tapi, lidah istrinya itu seperti jijik untuk memanggil "Luke" atau paling tidak dengan sebutan "Suamiku". "Lian, aku Suamimu. Tolong lebih sopan memanggil pasanganmu," ucap Luke. Berlian tersenyum kecut. Bisa-bisanya Luke menyuruhnya memanggil dengan panggilan sopan. Tidak pantas! "Um ... Ya ...
"Duh, susah sekali," gerutu Berlian.Berlian yang duduk di bibir ranjang itu terlihat kesusahan saat ia membuka kancing bajunya. Ia ingin mandi, selama di rumah sakit, ia hanya menyeka badan dan kain basah. Dan saat ini, tubuhnya terasa begitu lengket. "Huff... Kenapa tanganku harus di perban seperti ini?" Berlian tampak frustasi. Kreik!Pintu geser kamar mandi terbuka, disusul dengan suara derap langkah kaki yang berjalan ke arah Berlian."Airnya sudah siap. Sesuai kemauan tuan putri, aroma jasmine sudah memenuhi seluruh kamar mandi," ucap Luke dengan nada setengah bercanda.Berlian tak menanggapi, ia sibuk dengan kancingnya. Luke menghampiri Berlian, melangkah mendekat tanpa berkata apa-apa. Ia berdiri di hadapan istrinya, menatap mata Berlian yang berusaha menyembunyikan rasa frustrasi di balik sikap tegasnya. Tanpa banyak bicara, Luke meraih kancing pertama dengan lembut, lalu satu per satu mulai melepaskannya."Tinggalkan aku sendiri!" "Diam. Aku akan melepaskan kancing-kanc
Setelah mandi, Berlian keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang masih terasa sedikit lemas. Luke sudah menyiapkan pakaian untuknya, tapi saat Berlian mencoba mengenakannya, ia merasa kesulitan karena tangan kanannya masih diperban."Kenapa Nyonya tidak bilang dari tadi kalau bajunya susah dipakai? Saya bisa bantu," kata Fiona yang tiba-tiba masuk ke kamar. Ia membawa handuk dan pakaian tambahan."Aku bisa sendiri," jawab Berlian dengan nada datar, meskipun jelas terlihat ia sedang kesulitan."Ah ... Nyonya memang keras kepala seperti biasa," Fiona menghela napas. "Kalau terus seperti ini, Nyonya hanya akan membuat diri Nyonya semakin susah."Berlian menatap Fiona dengan dingin. "Aku tidak suka dikasihani.""Siapa yang mengasihani?" balas Fiona dengan nada setengah tertawa. "Saya hanya menawarkan bantuan. Kalau Nyonya tetap bersikeras seperti ini, makan malam Nyonya bisa jadi lebih lama dari yang seharusnya."Berlian akhirnya menyerah. "Baiklah, bantu aku. Tapi jangan terlalu cerewet
"Kamu tahu, kan. Perkumpulan organisasi tahun ini dibatalkan. Itu karena Berlian belum siap. Juju, akan terus mencari celah untuk menghancurkan Berlian," kata Ethan. Di dalam ruangan pertemuan dihadiri para keluarga. Termasuk Vania, Maximilian, Julius, David, dan Luke. Mereka sedang membahas bagaimana cara mereka untuk menjebak Juju sebelum Juju kembali bertindak. Sejak Berlian masuk rumah sakit, aktivitas hanya difokuskan pada keamanan Berlian. Luke menghela napas panjang, menganggukkan kepalanya pelan. "Aku tahu, Kek. Tapi kita tidak bisa terus berada dalam posisi bertahan. Juju sudah terlalu jauh, dan jika kita tidak segera bergerak, dia akan mengambil keuntungan dari kelemahan kita. Aku harus membuat perhitungan dengan si rubah licik itu!"Vania, yang duduk di sebelah Luke, menatapnya dengan tajam. "Apa rencanamu, Luke? Kita tidak bisa membuat kesalahan kali ini. Berlian sudah cukup menderita. Dan jika Berlian terus menerus kehilangan ingatannya, hal ini akan dimanfaatkan oleh
"Hmm ... Jika tempat ini tidak lagi nyaman untukmu, aku akan membawamu ke vila. Di sana, kamu bisa lebih tenang." Setelah bergelut dengan pikirannya. Akhirnya Luke memutuskan. Tetapi itu bukan jawaban yang Berlian inginkan. Berlian ingin ke paviliun. Di sana ada kemungkinan semua rahasia Luke tersimpan. "Apakah di vila itu ada kuda?" Berlian berupaya agar kebohongannya tidak terbongkar. Berlian harus mencari cara agar Luke dapat membawanya ke paviliun.Sejak Juju memberikan informasi mengenai masa lalu Luke, Berlian tidak dapat mengontrol rasa penasarannya. Aneh saja, gelagat Luke malam ini berbeda. Luke yaang biasanya gampang mengambil keputusan, ini malah ragu-ragu."Kuda?" Luke mengernyitkan alisnya. "Apa kamu ingin berkuda?" Berlian mengangguk, matannya memberikan sorot mata yang polos dan lugu. "Iya aku ingin berkuda. Dan ... Umm ... Aku sepertinya mengingat sesuatu," ujar Berlian. Pupil mata Luke membola, di paras pria bermanik coklat itu berbinar. Kedua tangannya mencengk
"Kak Luke, kamu akhirnya datang. Bagaimana keadaan Berlian? Apakah Berlian sudah lebih baik?" Eliona yang tengah menonton televisi itu langsung berdiri melihat kedatangan Luke, ia menyambut. Wajah datar itu berhenti tepat di depan Eliona yang tengah menonton televisi. "Eli, apakah kamu sudah mendapatkan pekerjaan? Aku ingin kamu segera keluar dari kediaman ini."Eliona terperangah, pupil matanya sedikit melebar. Dia bukannya ingin berlama-lama menumpang tinggal di paviliun milik Luke. Masalahnya, dia sudah mengirim beberapa lamaran tapi ia belum juga mendapatkan balasan Email. "Kak, apa Berlian marah jika aku tinggal di sini? Tolong, Kak, aku belum mendapatkan pekerjaan. Aku sudah mengirim beberapa lamaran, tapi belum ada balasan," ucap Eliona, suaranya bergetar menahan kesedihan.Luke menatap Eliona dengan tatapan dingin, "Dia tidak tahu kamu tinggal di sini. Dia ingin tempat yang nyaman semasa pemulihannya. Jadi, dia ingin tinggal di sini. Aku tidak ingin pemulihan Berlian tergan
"Haah ... Rasanya nyaman sekali!" Seru Berlian saat tiba di paviliun, ia menjatuhkan dirinya di atas dipan yang ada di rotunda menghadap ke danau buatan dengan hati-hati. Luke yang berdiri di belakang tubuh Berlian merasa puas melihat ekspresi Berlian. Meskipun hubungan mereka belum sepenuhnya membaik, setidaknya, melihat Berlian yang kalem dan ceria seperti ini. "Lian," panggil Luke, pria itu melangkah, duduk di samping Berlian, merangkul pundak istrinya itu. "Ya...," jawab Berlian. "Besok, kalau ada waktu, kita temui Tante Lucy, ya."Dua alis Berlian menyatu. "Tante Lucy?" tanyanya pura-pura. Ya, meskipun obat pengendali emosi masih Berlian konsumsi diam-diam setelah tiba di kediaman orangnya. Masih ada cadangan obat untuk mengontrol kambuhnya Bipolar. Tetap saja, Berlian harus pandai-pandai untuk menyembunyikan kebohongannya. "Umm ... Kamu lupa, ya? Tante Lucy yang memeriksa kondisi psikolomu. Kamu tidak merasa sedih atau merasakan hal aneh lagi, kan?" Berlian terdiam. Dia