"Duh ... Sudah malam begini belum dapat pelanggan lagi." Aku melihat arloji, sudah jam sembilan malam tapi satu pun aku belum dapat hidung belang.
"Sepertinya sekarang laki-laki hidungnya sudah putih semua, ngga ada yang belang!" Gerutuku.
Aku segera beranjak dari duduk. Di cafe kecil pinggir jalan, aku memang menjajakan diri disana. Biasanya kalau malam banyak anak muda atau juga bandot tua yang datang. Kadang sekedar untuk minum kopi tapi lebih banyak yang mencari wanita seperti aku. Si Kupu-kupu malam.
"Kiara!" Panggil Cinta yang baru selesai melayani pelanggan. Memang di cafe itu juga ada hotel kecil, mungkin lebih tepatnya kos-kosan khusus untuk memadu kasih secara singkat. Tentunya murah meriah, menjadi alternatif bagi yang ingin menggunakan jasa kami tanpa banyak menguras kantong untuk tempatnya.
"Iya, Cin?" Aku menengok pada Cinta yang sebenarnya bernama Rohmini, wanita berusia tiga puluh lima tahun dengan status single parents.
Nama kita memang sengaja diubah, selain untuk terlihat lebih cantik juga untuk menyembunyikan identitas.
"Kamu masih disitu? Emang belum dapat pelanggan?" tanya Cinta yang sekarang sudah berada di dekatku.
Bau wangi sabun khas hotel mengeruak Indra penciumanku, tentu pastinya dia sudah mandi setelah melayani pelanggan tadi.
"Iya nih, sepi banget. Mana perut aku lapar lagi belum ku isi sejak siang," ujarku mengeluh.
"Nih, aku kasih buat beli lontong!" Ia menyodorkan padaku uang pecahan berwarna ungu. Cinta pasti hafal benar keadaan aku. Kalau sampai aku belum makan, itu artinya memang aku tak punya pegangan.
"Makasih ya," jawabku sambil menerima uang pemberian dari Cinta. Kita memang mencari rejeki dengan cara salah, tapi untuk saling membantu disaat yang lain kesusahan, itu adalah prioritas bagi kami. Bahu membahu dan saling dukung. Itulah yang aku rasakan saat menjalani pekerjaan yang dianggap sebagian orang menjijikan.
Tapi ... Tentu, jika boleh memilih, kami pun enggan untuk melakukan pekerjaan seperti ini, jika bukan keadaan yang memaksa.
Segera aku menuju kedepan, ke warung kecil tepat di pinggir jalan. Sedangkan cafe yang aku tempati untuk mangkal, tepatnya sedikit masuk ke gang walau masih bisa untuk mobil masuk.
"Mba, beli lontong dua gorengannya dua, sama air mineral yang gelas satu!" Aku langsung menyerahkan uang sepuluh ribu itu, karena aku sudah hafal betul harga makanan disini, hingga tak perlu tanya totalannya.
Aku memilih menyebrang jalan, duduk dekat taman dan memakan lontong itu dengan enak.
"Aduh, ini nyamuk bandel banget sih, kaya doyan banget sama darahku!" Aku mencoba memukul nyamuk yang hinggap pada kaki, paha juga tanganku. Tentu karena aku memakai baju blous diatas lutut.
Sedikit kesal, aku makan dengan tergesa. Segera menghabiskan makannya dan langsung berkaca. Melihat apakah penampilan aku berantakan atau tidak?
Aku celingukan, memang sepertinya malam ini begitu sunyi, bahkan mobil pun dapat dihitung yang lalu lalang.
"Pusing aku kalau kaya gini? Mana belum bayar kontrakan lagi. Itu nenek lampir sudah nagih terus! Takut banget aku kabur!" Kembali aku mengeluh dan itu untuk sekian kalinya. Malam ini aku benar-benar lagi pailit.
Aku kembali melihat arloji, sudah setengah jam setelah aku melihat arloji tadi.
"Hufhh ... Apa sebaiknya aku mangkal di pinggir jalan saja ya! Siapa tahu dapat daging empuk. Biasanya kalau yang pakai mobil itu suka lumayan kasih tipsnya. Ah ... Aku coba!" Gegas aku berdiri didepan jalan raya, melambai pada mobil yang lewat.
Tentu para lelaki hidung belang akan tahu jika kami melambaikan tangan untuk mencari pelanggan.
Ah, masih belum dapat juga! Aku mulai putus asa. Saat ada mobil Pajero berwarna putih lewat, aku gegas kembali melambaikan tangan, tapi ternyata dia melewati aku begitu saja. Aku duduk di besi pipa air.
Aku kaget saat mobil Pajero tadi ternyata mundur dan berhenti tepat didepanku. Tentu aku yakin jika dia pasti lelaki hidung belang!
Gegas aku merapikan rambutku dan bajuku, kemudian mendekat pada pintu dan mengetuk kaca dengan berlahan.
Cukup lama aku menunggu, sampai akhirnya kaca mobil itu pun diturunkan. Aku sudah memasang wajah manis dengan senyum yang kubuat seimut mungkin. Tentu agar calon mangsa terpikat.
Aku kaget saat kaca itu sudah sepenuhnya turun. Senyumku memudar dan aku jadi ingin lari saja.
Didalam mobil itu tengah duduk seorang pemuda tampan dengan sorban di lehernya, kepalanya berpeci putih khas seorang ustadz.
"Mati aku! Kupikir pelanggan ternyata? Ah, bakal dapat tauziah ini bukan dapat uang!" Aku bermonolog dalam hati.
"Assalamualaikum, Mbak," dia memberi salam. Aku yang semula sedikit membungkuk agar bisa memamerkan milikku yang memang sedikit aku expose untuk menggoda mangsa, kini langsung berdiri tegap. Bahkan aku menutupi celah pada baju agar orang itu tak melihat dadaku.
"Waalaikumsalam," jawabku cuek. Kini aku tak lagi melihat padanya. Memilih mencari mangsa lain agar segera bebas dari jerat tauziahnya.
"Boleh minta waktunya sebentar?"
Tuh kan benar apa dugaanku, pasti dia akan ceramah panjang kali lebar dan merasa dirinya manusia paling suci.
Dia membuka pintu mobilnya, berjalan turun dan berdiri tak jauh dariku. Aku melirik sekilas, kulihat sarung putih juga baju Koko putih melekat pada tubuhnya yang tinggi dan berisi.
"Mbak sedang apa disini?" tanyanya.
"Mangkal!" Aku jawab apa adanya.
Dia sejenak berfikir. "Maksudnya menjajakan diri?"
"Iya, apalagi? Baiknya pergi gieh! Malam ini aku lagi sepi pelanggan, jangan buat aku makin kesal!" Aku sewot.
"Sudah dapat berapa pelanggan malam ini?" Tanyanya lagi tanpa mengubris perintahku yang menyuruh pergi.
"Belum sama sekali!" Ketusku.
"Alhamdulilah ...." Saat dia mengucapkan itu aku langsung melototnya. Tentu kesal, belum dapat pelanggan malah alhamdulilah.
"Walau belum dapat, harus tetap bersyukur, Mbak. Setidaknya sampai detik ini Mbak masih diberi nafas untuk hidup, bahkan mungkin Allah kasih kesempatan pada Mbak untuk bertobat dan mungkin juga malam ini Allah perintahkan saya untuk bertemu dengan Mbak malam ini."
Nah! Nah kan! Dia mulai ceramah. Ujung-ujungnya pasti ia akan bercerita, mendewakan dirinya, menjunjung tinggi namanya sebagai mahluk bersih tanpa dosa.
Aku bergegas ingin pergi meninggalkan dia. Muak sekali! Lagi sepi, kepala pusing ngga punya uang, malah dapat tausiyah!
"Tunggu, Mbak!" Dia menghentikan langkahku, namun setelah itu aku memilih untuk melanjutkan jalan.
"Mbak! Biarkan malam ini aku jadi pelangganmu!"
Seketika aku berhenti berjalan. Berusaha untuk mendengar baik-baik apa yang dia katakan.
"Tadi aku tak salah dengar kan?" Aku membalikkan tubuh dan menatap padanya.
Ia mengulas senyum dan mengangguk.
Gila, aku kira dia seorang ustadz, eh ternyata laki-laki hidung belang yang bercover seperti seorang kyai. Batinku tertawa. Memang didunia ini rupa manusia tak selalu sama dengan kelakuan. Ah ... Dunia penuh tipu-tipu.
"Bagaimana, Mbak?" tanyanya lagi. Pembawaannya tenang tapi matanya memang terlihat tajam, namun cukup menawan."I-ini bukan prank kan? Mas ngga sedang bercanda mau booking aku?" Aku seperti orang bodoh, masih saja menanyakan tentang kebenaran. Pasalnya penampilan dia benar-benar seorang layaknya ahli ibadah, bahkan jidatnya saja tercetak jelas bekas seringnya sujud. Ngapal.Dia kembali tersenyum, aku justru makin dibuat heran. Jika pelanggan lain akan tergesa-gesa untuk main sikat, dia malah terlihat main-main. Itulah yang membuat aku yakin dia ngga serius. Dia itu sedang bikin konten atau apa? Aku celingukan takut dia memegang kamera dan aku kecolongan. Bisa berabe kalau pada tahu aku di kota jual diri.Pasalnya teman dan tetangga aku tahunya jika di kota aku bekerja di kantor dengan gaji besar. Namun, semua tak seperti yang mereka bayangkan. Kota itu keras gais!"Berapa yang harus aku bayar untuk booking kamu sampai malam nanti?" tanyanya jelas.Aku berfikir sejenak, untuk menentuka
"Sebentar kenapa? Ini masih belum beres!" Aku yang tengah berbenah jilbab menurun kaca mobil. Dia tersenyum kembali, tapi kali ini senyumnya seperti tulus. Apa dia tengah terpesona dengan aku yang pakai hijab?"Sudah!" Aku membuka pintu dan turun. Ia langsung menengok dan melihat aku dari atas sampai bawah. Gamis putih tulang yang aku pakai menjuntai sampai kebawah bahkan sampai menyentuh tanah."Nah kan lebih cantik!" Pujinya. Aku hanya tersenyum. Sekarang juga ditutup, nanti dikamar pasti suruh dibuka bahkan tak boleh ada sehelai benangpun yang menghalangi. Munafik!"Kamu harus yakin ya, aku boking kamu malam ini dan kamu harus menurut dan melayani aku sepenuh hati tanpa bosan ataupun mengeluh." Dia berceramah seolah aku akan mengecewakannya.Aku Kiara, sudah biasa membuat laki-laki hidung belang tak berdaya. Kenapa dia masih meragukan?"Baik, Ayuk!" Ajakku, tanganku akan melingkar di lengannya tapi seketika ia menjauh. Menghindar entah sengaja atau tidak, karena sikap dia halus
"Permisi, Ustadz! Semua telah siap dan ustadz sudah ditunggu." Dari luar terdengar suara seseorang memanggilnya."Ayo, Mbak, ikut aku!" Ajaknya. "Sebentar, Mas, aku mau benerin lipstik dulu sama bedakan, kayanya udah ilang ini kena keringat!" Aku merogoh tas yang tergeletak tak jauh dari aku duduk.Dapat kudengar dia menghela nafas berlahan. Kemudian keluar dan berbicara pada orang yang tadi mengundang, namun tak lama ia kembali."Sudah?" tanyanya lagi. "Belum, Mas, bentar ini! Masih belum selesai." Aku masih sibuk berkutat pada cermin. "Duluan saja ngga papa, nanti aku nyusul!" Aku yang gemas melihat ia tak sabar memilih jalan alternatif."Bukan aku tak mau pergi dulu, tapi disana nanti itu ramai sekali, aku ngga mungkin biarkan kamu sendiri. Mana ngga ada yang kenal lagi, bagaimana aku mencari kamu di ribuan manusia!" Cicitnya.Aku yang tengah memakai lipstik sampai mencoret kebawah karenan kaget jika katanya ada ribuan orang."Duh kan!" Aku ngedumel. Ia masih saja kelakuannya cum
Aku hampir dibuat terlena oleh suaranya. Seperti menghipnotis, adem, tenang dan juga nyaman. Bahkan yang mendengar seolah ikut larut dalam kekhusuannya.Aku tertunduk lesu, bagaimana pun aku merasa tak pantas disini, menjadi bagian dari orang-orang yang mengagungkan nama Allah, sedangkan diri ini?Ah, aku memang manusia hina, tapi bukan berarti aku tak punya do'a yang selalu aku panjatkan. Menjadi manusia lebih baik tentunya itu do'a utama tapi entah kapan itu terjadi. Jalan itu belum terlihat.Andai Ayah berhenti berjudi, bekerja layaknya suami yang tangung jawab pada istri dan anak-anaknya. Mungkin, aku lebih memilih untuk mencari pekerjaan yang halal.Sayangnya, ayahku yang sudah berumur lebih dari setengah abad itu, tak jua insaf. Justru makin menjadi-jadi. Ibu harus banting tulang untuk sehari-hari dan akulah yang harus memberikannya uang untuk judinya. Jika tidak begitu, uang Ibu akan diminta dan aku kasihan pada adik-adikku yang masih harus sekolah.Aku anak pertama dari tiga b
Aku memilih diam, setelah merasa malu karena minimnya ilmu. Tentu aku yang bukan siapa-siapa dan bukan dari kalangan ahli agama, tentu tak tahu menahu tentang panggilan khusus itu."Duh, malunya jika nanti aku ketemu Ning Sukma lagi," aku membatin, tapi kemudian sadar kalau Ning Sukma tak mengenali wajahku. Jadi buat apa aku malu?Aku memilih diam, bermain ponsel adalah jalan ninjaku agar tak terasa boring. "Mbak mau turun dimana?" tanyanya membuyarkan konsentrasiku."Ditempat tadi juga ngga papa, Mas Abu gosok!" ujarku."Ini ngga ke hotel dulu, Tadz. Mubasir loh udah di booking ngga dipakai. Aku juga mau," celoteh si supir."Hust, ngga boleh, Pak! Aku tak akan mengizinkan itu. Kalau bisa do'akan dia agar segera berhenti dari pekerjaannya. Mencari pekerjaan yang lebih halal." Kali ini Abu gosok menimpali.Aku cuek dan pura-pura tak mendengar. Takut lama-lama dia malah tauziah, kan males jadinya."Mbak, kapan mau taubat dan berhenti menjadi Kupu-Kupu malam?" tanyanya kemudian padaku.
Mataku membulat sempurna kala melihat uang merah yang jumlahnya tak sedikit."Astaga, ini?" Aku mulai menghitungnya yang ternyata berjumlah empat puluh lima, artinya keseluruhan uang yang dia berikan adalah lima juta."Andai tiap malam nemu pelanggan yang beginian terus, cepat tobat aku." Aku bergumam sendiri. Memandangi uang pecahan seratus ribu itu.Aku tersenyum mengingat wajah Abu gosok. Pemuda berwajah bersih dengan jambang tipis didagu sampai ke pipi. Ah! Kini imajinasi aku melayang jauh. Merasakan bagaimana jika Jampang itu menyentuh pipiku.Hufh, Kiara kamu jangan ngimpi terlalu tinggi. Benar kata sopir usil itu, jika tak mungkin seorang ustadz tampan nan terkenal menikah dengan seorang pe la cur seperti dirinya. Sadar diri sepertinya lebih baik, tapi jujur hati ini begitu tertarik akan dirinya.Apa aku akan menjadi punguk yang merindukan bulan?Aku menjatuhkan bobot pada tempat tidur. Bahkan uang pun masih tergeletak di kasur. Membayangkan wajah sang ustadz tampan itu seolah
Mungkin ini adalah akhir dari hidupku. Ya Allah ... Ampunilah dosa-dosaku! Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.Aku membuka mata, merasakan sakit yang teramat dibagian kepala. Aku memeganginya dan mendapati sudah diperban.Kutatap sekeliling dan baju yang aku gunakan. Aku sudah berada di rumah sakit."Dok, dia sudah sadar!" Seorang suster berkata pada laki-laki yang berjas putih dengan stetoskop di lehernya."Sudah sadar, Mbak? Apa yang anda rasakan?" Dia mulai menempelkan stetoskop pada dada bagian atas ku."Ini sakit banget, Dok." Aku menjawab dengan jujur."Iya, Mbak. Itu luka cukup lebar, bahkan sampai sepuluh jahitan. Apa pusing atau mual?" tanya dokter lagi."Sedikit, Dok.""Ya sudah, kita lihat perkembangannya lagi. Istirahat ya!" Setelah dokter selesai memeriksa, ia pun keluar. Tak lama muncul seorang gadis masuk."Mbak sudah sadar? Siapa yang bisa saya hubungi, Mbak. Takutnya keluarga khawatir." gadis itu terlihat panik. Aku menyempitkan mata."Ngga papa, Dek. Aku sendiri
"Astaghfirullah!" Abu gosok meletakan aku pada brankar dengan kasar. Bahkan aku sampai sakit pinggang."Pelan kenapa? Sakit tahu!" Gerutuku. "Ngga usah ketakutan begitu, Allah pasti mengampuni dosa-dosa hambanya yang tak sengaja." Sengaja aku menyindir, seperti kata dia tadi."Kalau apa-apa panggil saja aku! Jangan lakukan apapun sendiri. Aku ngga mau kamu makin parah karena nanti adikku yang akan disalahkan!" ujarnya dengan nada sedikit ketus. Aku memilih memalingkan wajah.Dia mengaduh dan mengangkat kakinya yang berdarah."Astaga! Itu kena beling, Bu!" ujarku melihat dia tapi tak dapat berbuat apapun.Dia berjalan dengan pincang menuju sofa. Mencoba mencabut pecahan gelas yang menancap pada kakinya.Aku memanggil suster saat melihat ada suster lewat."Sus, bisa bantu obati lukanya dan sapu pecahan kacanya!" "Baik, Mbak. sebentar saya ambil alatnya."Tak lama datang dua suster, satu memegang sapu satunya membawa kotak P3K."Saya obati ya, Mas!" ujar suster yang bertugas mengobati
Aku memilih untuk segera keluar melangkah cepat, tapi sepertinya tangan Abu gosok lebih cepat menggapai tanganku."Kiara tunggu!" Abu gosok menahan tanganku, membuat aku terpaksa untuk berbalik arah. Aku sedikit meronta hingga ia melepaskan genggamannya.'dia pikir ngga sakit apa?'"Maaf, tapi Kiara aku mau bicara, jangan pergi dulu!" ujar Abu gosok dengan sedikit memohon. Aku melihat Ning Sukma yang memilih masuk ke dalam mobil."Kenapa ngga kejar dia dulu, Gus?" tanyaku dengan memegangi tangan yang sakit."Dia tidak penting, yang penting adalah kamu yang sudah lama aku cari!" Abu gosok berkata, tapi aku seperti ingin mendengar ulang ucapannya. 'ah, masa iya dia mencariku?'"Kita bicara didalam!" Ajaknya tanpa menunggu persetujuanku, dia itu memang begitu, di kira semua orang akan mau mengikutinya dengan iklas.Namun akhirnya aku pun memilih mengikutinya, masuk kedalam rumah yang cukup luas dengan beberapa orang yang tengah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Disela kami melewa
PoV Kiara"Itu kan mobil Abu dan yang keluar adalah Ning Sukma?" Aku terkejut kalau melihat Ning Sukma keluar dari mobil ditemani seorang sopir yang aku sendiri sepertinya baru melihat.Aku hampir menutupi wajahku, ketakutan jika Ning Sukma melihat aku berada di sini. Namun seketika aku sadar bahwa ning Sukma belum pernah melihat wajahku."Oh iya dia kan tak pernah melihat aku tanpa cadar, jadi Aku pastikan dia tak akan mengenaliku." Akhirnya aku untuk berdiri dengan percaya diri.Ning Sukma lihat anggun, dengan pakaian gamis lebar dan indah berwarna putih dipadukan dengan jilbab yang sama."Pak, apa ustadz Abu ada di dalam?" Pertanyaan Ning Sukma membuat aku mengkerutkan kening. Kenapa dia menanyakan abu gosok di sini?"Maaf, Mbak, Ustadz Abu tengah jalan-jalan bersama yang lain. Tadi bilangnya lari-lari kecil untuk membuat keringat. Tapi sampai sekarang belum kembali." Pak satpam menjawab, aku memilih untuk tetap di sana mendengarkan percakapan mereka.Ning Sukma terlihat bingung,
PoV KiaraSepertinya aku harus bertahan di sini, Aku pun tak mungkin membiarkan Cinta tertipu oleh laki-laki semacam Farel. Aku sangat tahu jika dia hanya memanfaatkan Cinta, rasa sayangku pada dia, membuat aku memilih bertahan, walau dia mungkin sudah tak menginginkan aku tinggal.Hari ini tanpa aku ketahui, Cinta dan Farel ada di rumah, seperti biasa mereka akan berdua lama-lama di kamar. Aku pun memilih untuk tak mengganggu mereka, namun naasnya saat aku mengambil air minum satu gelas tersampar oleh tanganku hingga jatuh dan pecah."Ada apa?" Keluarlah Farel dengan hanya menggunakan handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya, bagian atasnya telanjang dada."Ini gelas tak sengaja aku senggol." Jawabku tanpa memperdulikan tatapannya. Aku berniat untuk segera masuk kamar, namun tangan Farel justru langsung memegang lenganku, membuat tubuhku seketika oleng dan jatuh tepat di dadanya."Farel, Kiara?!" Cinta keluar dari kamar dan mendapati aku dan Farel dengan posisi yang sulit aku jela
PoV Abu.Atas izin Abah dan Umi, aku mendirikan rumah singgah bagi penderita HIV, di sana nantinya para ODHA bisa menyambung semangat dengan bersilaturahmi dan saling mendukung. Dengan demikian juga mereka bisa belajar, mengaji atau bahkan menghabiskan waktu dengan hal-hal yang positif.Meminimalisir diskriminasi terhadap para penderita ODHA (orang dengan HIV dan Aids) dengan mendirikan rumah singgah, berniat untuk membuat masyarakat tak memandang rendah atau bahkan tak mau mendekat atau berhubungan dengan mereka.Rumah singgah itu akan aku jadikan juga tempat untuk mengaji dan belajar ilmu agama. "Abah, akan dukung apapun yang kamu lakukan selama itu masih hal yang positif." Senang rasanya mendengar jawaban seperti itu dari Abah. Rasanya setelah mereka mengetahui apa yang aku sembunyikan selama ini, mereka tak sekalipun diskriminasikan atau membedakan. Bayangan-bayangan yang selama ini menghantui pikiranku ternyata tak terjadi sedikitpun."Terima kasih, Bah. Telah mendukung apapun
PoV KiaraAku tiba di rumah Cinta saat hari sudah mulai malam, suasana lebaran di kota tentu sangat berbeda, jika di desa momen lebaran justru akan hingar-bingar dan ramai, berbeda dengan di kota yang justru terlihat lenggang.Ketuk pintu dengan perlahan, ucapkan salam dan tak menunggu lama aku pun mendapatkan jawaban."Waalaikumsalam sebentar!" Teriak Cinta, aku sangat hafal suaranya. Dia yang memang menjadi single parent, mungkin memilih tak pulang kampung, biasanya hanya anak-anaknya yang menyusul ke kota."Kiara?" Cinta terlihat sedikit kaget, namun kemudian segera membantu meraih tasku. "Kamu kenapa apa diusir oleh ibumu karena dia tahu tentang rahasiamu?"Aku menyempitkan mata, kenapa tebakan Cinta begitu benar atau ...."Maafkan aku ya Kiara, aku pagi tadi menelpon, tanpa tahu jika itu bukan kamu yang mengangkat Aku mengatakan dan mengabari jika ARV mu sedikit terlambat, namun ternyata justru ibumu yang bersuara dan menanyakan tentang hal itu, itu aku tak bisa berbohong lagi da
PoV AbuNing Sukma menggeleng, sepertinya ia tak percaya dengan apa yang aku katakan."Jangan bercanda, Gus. Ini tak lucu, mana mungkin kamu memiliki masa lalu yang buruk hingga sampai tertular virus itu. Virus yang dianggap aib sebagian orang tak mungkin singgah pada orang suci seperti kamu, Gus!" Ning Sukma masih mencoba tak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Tapi nyatanya ini semua fakta, jika boleh memilih aku pun menginginkan jika semua ini hanya mimpi."Tidak, Ning. Ini semua bukan candaan apalagi lelucon, ini semua adalah kenyataan yang harus kamu tahu sebelum benar-benar menjadi istriku." Aku meyakinkan, lihat mata Ning Sukma kini sudah berkaca-kaca.Iya masih saja terus menggelengkan kepala, namun tak lama ia memilih mundur beberapa langkah dan kemudian membalikkan badan hingga keluar dari ruangan itu dengan keadaan menangis.Aku pasrah, apapun keputusannya nanti aku akan menerima dengan senang hati.Setelah keluarnya Ning Sukma, Umi langsung masuk. Aku yakin mereka pun pas
PoV Kiara"Ibu?" Aku sedikit heran kenapa ibu menghindar saat tangannya ingin kuraih dan kucium.Dia terlihat sendu, ada air di kedua matanya yang hampir jatuh. Apa aku punya salah yang tak termaafkan, hingga di hari raya ini ia tak sudi untuk memaafkan."Apa aku telah menyakiti ibu? Sampai-sampai Ibu tak memberikan maaf padaku?" Aku bertanya dengan menatapnya kemudian beralih kepada bapak yang juga memiliki pandangan bingung."Tidak, Nak, tidak! Tidak ada dosa yang tak termaafkan oleh ibu, hanya saja Ibu kecewa karena kamu selama ini telah menyembunyikan rahasia besar." Air mata Ibu luruh juga, ia menangis tersedu-sedu. Aku ingin meraihnya tapi sepertinya dia tak ingin aku peluk, buat 1001 pertanyaan di benakku. Ada apa dengan ibu?"Apa maksud ibu?" Tanya aku penasaran."Kamu tak usah berbohong lagi, Ibu sudah tahu tentang pekerjaan kamu di kota, kamu menjajakan diri kepada lelaki hidung belang dan sekarang kamu sakit HIV," ucapan ibu membuat aku langsung terdiam, tertunduk malu dan
PoV AbuAku menghela nafas, rasanya susah sekali untuk memulai pembicaraan ini. Apa lebih baik aku katakan nanti saja saat bertemu."Gus, kamu masih disana?" Suara Ning Sukma membuat aku yang tengah membatin tersadar."Eh iya, Ning. Maaf, karena ini adalah hal yang sangat penting, jadi sebaiknya kita bicarakan besok saja." Akhirnya aku memilih untuk mengatakan saat lamaran nanti saja, aku takut dia mematikan panggilannya sebelum aku selesai mengatakan semuanya."Baiklah, Gus, saya tunggu esok hari." Suara Ning Sukma masih sama, riang dan bahagia.Aku menjatuhkan bobot dan berusaha memejamkan mata, tapi sepertinya susah sekali mata ini terpejam. Namun, entah kenapa seolah kantuk tak hinggap padaku. Pikiranku melayang untuk esok hari. Aku sangat takut jika semua tak berjalan sesuai harapan. Bagaimana jika nantinya keluargaku malu? Apa aku sembunyikan ini saja? Tapi bagaimana jika suatu saat tahu dan akan menambah panjang serta runyam.Saat seperti ini aku justru teringat pada Kiara, ent
PoV Kiara"Apa aku ngga salah dengar, Juragan? Kamu bilang aku masih istrimu? Kalau begitu kemana selama ini kewajibanmu? Bukankah akan jatuh talak pertama saat seorang suami tak memberi nafkah pada Istrinya selama tiga bulan?" Aku mencoba cari kartu merahnya, agar ia tak kepedean menganggap dirinya sosok suami."Kamu mau nuntut apa? Nuntut nafkah selama satu tahun! Aku akan berikan itu, asal kamu mau kembali menjadi istriku!" Dia memang orang yang pandai berkelit, mentang-mentang hartanya banyak sombongnya minta ampun."Maaf, tapi aku ngga minat untuk melanjutkan pernikahanku dengan kamu, permisi!" Aku berusaha untuk segera pergi, tapi gerak dia lebih cepat dan membuat aku hampir terjengkang kala dia menarik tanganku paksa."Lepaskan, Juragan!" Aku meronta, tapi dia tak memberi ampun padaku. Dia terus menarik tanganku untuk mengikutinya. Benar-benar sudah kesetanan dia.Aku terus di paksa untuk jalan, Intan yang melihat aku ditarik oleh Juragan Komar hanya bisa diam kemudian lari ent