Share

Kesal

Author: Pipit Aisyafa
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Mataku membulat sempurna kala melihat uang merah yang jumlahnya tak sedikit.

"Astaga, ini?" Aku mulai menghitungnya yang ternyata berjumlah empat puluh lima, artinya keseluruhan uang yang dia berikan adalah lima juta.

"Andai tiap malam nemu pelanggan yang beginian terus, cepat tobat aku." Aku bergumam sendiri. Memandangi uang pecahan seratus ribu itu.

Aku tersenyum mengingat wajah Abu gosok. Pemuda berwajah bersih dengan jambang tipis didagu sampai ke pipi. Ah! Kini imajinasi aku melayang jauh. Merasakan bagaimana jika Jampang itu menyentuh pipiku.

Hufh, Kiara kamu jangan ngimpi terlalu tinggi. Benar kata sopir usil itu, jika tak mungkin seorang ustadz tampan nan terkenal menikah dengan seorang pe la cur seperti dirinya. Sadar diri sepertinya lebih baik, tapi jujur hati ini begitu tertarik akan dirinya.

Apa aku akan menjadi punguk yang merindukan bulan?

Aku menjatuhkan bobot pada tempat tidur. Bahkan uang pun masih tergeletak di kasur. Membayangkan wajah sang ustadz tampan itu seolah menjadi candu. Manis senyumnya dan rupawan wajahnya. Aku menggigit bibir bawah, mengingat bagaimana tadi kejadian demi kejadian terlewati bahkan saat suaranya yang merdu menentramkan hati itu terdengar ditelinga.

Mungkinkah ia manusia paling sempurna yang pernah aku temui?

Aku teringat pada pemberian Ning Sukma. Langsung meraih paperbag itu dan membukanya.

"Masya Allah ...." Entah bagaimana kali ini aku menyebutkan keagungan Allah. "Ini mukena cantik banget."

Aku membolak-balikkan mukena putih dengan full bordil. Indah sekali, di hiasi dengan beberapa manik disekitar lubang wajah. Kuusap lembut, menciumnya dalam.

Entah sudah berapa lama aku tak memakai ini, yang artinya entah sudah berapa ribu kali aku ingkang untuk menyembah pada sang pemilik alam semesta.

Tak terasa air mata ini luruh. Berdoa dalam hati agar Allah segera membuka jalan tobat untuk dirinya.

"Mungkin Allah mengirimkan ini, agar aku ingat akan kewajibanku sebagai seorang muslim." 

Dalam hati aku berjanji mulai besok untuk salat. Entah Allah terima atau tidak salatnya orang hina dan kotor, itu jadi rahasia Allah.

***

Pagi hari ponselku berdering, sudah kutebak jika itu dari ibu.

"Halo, Bu, Ibu sehat?" tanyaku langsung.

"Alhamdulilah, Sum. Kamu sehat?" tanyanya. Ibu memang masih memanggil aku dengan sebutan Sumi, ya nama asliku Sumiati.

"Alhamdulilah juga, Bu. Bagaimana dengan Arif dan Intan? Sekolah lancar?" Aku mencari bahan obrolan sebelum akhirnya aku tahu tujuan Ibu menelfon adalah meminta uang atas suruhan ayah. Sengaja sepanjang telfon akupun tak menanyakan dia, aku yakin dia berada tepat disamping Ibu, mendengarkan kami berbicara.

"Ya sudah, Bu. Nanti aku transfer ya. Semoga dengan uang ini, ayah sadar dan berhenti berhutang untuk berjudi. Aku ingin punya Ayah yang waras dan memiliki kasih sayang untuk keluarganya!" Sengaja aku tekan dikata terakhir sebelum kumatikan.

Kadang rasa sesak didada, saat uang belum terpegang tapi Ayah memaksa untuk mengirim. Dengan alasan aku kabur dari kampung, ayah meminta aku mentransfer sejumlah uang setiap bulan jika tak mau aku dibawa pulang paksa dan kembali kepada juragan Komar. Tentu aku lebih memilih jalan itu, lebih memilih jadi Kupu-Kupu malam dari pada menjadi samsak hidup.

Kuhitung uang yang semalam di kasih oleh Abu gosok. Entah kenapa, aku merasa punya uang ini sangat berbeda dengan uang yang aku dapat dari laki-laki hidung belang.

Jika biasanya aku akan selalu royal saat menerima uang banyak, entah kenapa kali ini aku tenang, tak panas ataupun membuat gerah untuk segera membelanjakan uang itu.

Aku memilih keluar menuju bank untuk setor tunai. 

"Alhamdulilah," ucapku merasa lega.

Sore menjelang, seperti biasa tentunya aku bersiap untuk berangkat mangkal. Sebelumnya aku menghangatkan lauk yang semalam diberikan oleh Abu gosok. Nasi Kebul-kebul satu kotak juga beberapa lauk pauk yang juga sama satu kotak terpisah. Tadi siang nasinya aku habiskan dan kini tinggal lauk pauknya yang tersisa. Aku bergegas makan setelah mandi kemudian berdandan.

Cinta sudah duduk di cafe saat aku tiba, ia langsung mendekati aku.

"Hey, Kiara, semalam kamu kemana? Dicariin Mami Mawar tuh!" ujarnya langsung menujuk ke cafe dengan dagu.

"Semalam aku dapat orderan diluar, memangnya ada apa Mami Mawar mencari aku?" 

"Ada pelanggan tetap kamu itu, Bang Rozak!" Cinta berkata.

"Benarkah? Duh, males benar sama dia!" Aku mengerutu.

"Memangnya kenapa?" tanya Cinta. Dia memang tak pernah di booking olehnya, karena Bang Rozak lebih suka wanita yang masih muda. Umur kisaran dibawah tiga puluh tahun, sedangkan cinta sudah berusia tiga puluh lima.

"Memangnya kamu ngga tahu, kalau Bang Rozak itu terkenal kucir dan kikir. Gayanya aja selangit, mintanya daun muda tapi uangnya seret pisan! Males kan kalau sama orang yang begitu? Mana banyak maunya kalau di ranjang!" Aku mengatakan semuanya pada Cinta.

"Amit-amit orang begitu ya, Ra?"

"Makanya aku males, Cin. Mending kalau dia mau kesini, aku mau pulang saja deh." Aku beranjak untuk pergi. Cinta pun tak melarang. Ia tahu bagaimana perasaan kita saat pelanggan pelit dan kebanyakan maunya.

"Kiara tunggu!" Tiba-tiba suara Mami Mawar terdengar. Gawat ini, kalau sudah ketemu Mami auto maksa aku untuk melayani Bang Rozak.

Aku menghentikan langkah, siap-siap berdrama untuk meyakinkan Mami Mawar agar boleh kabur.

"Iya, Mam, ada apa?" tanyaku dengan wajah kubuat menahan sesuatu.

"Kamu semalam kemana? Di cariin Bang Rozak!" Cetusnya jutek seperti biasa. Wanita ini hanya akan tersenyum saat menerima lembaran uang, selebihnya menyeramkan seperti rentenir.

"Semalam aku pulang, Mam. Perutku sakit, ini juga mau pulang. Sudah dua hari ini aku diare, tadinya aku pikir udah mendingan mau berangkat karena tak punya duit juga, tapi ternyata perutnya masih ngga bisa dikompromi. Ini juga sudah di ubun-ubun, aku mau pergi dulu, Mam!" Aku segera berlari, bahkan memilih membawa handal hak tinggi ku, agar bisa lari lebih kencang.

Aku ngos-ngosan saat sudah kulihat Mami Mawar tak terlihat, kupastikan dulu agar dia tak mengikuti aku sampai rumah. Aku celingukan karena takut tiba-tiba Bang Rozak atau Mami Mawar menyusul.

"Sepertinya sudah aman, lebih baik aku pulang saja!" Aku bergegas untuk pulang dengan kaki telanjang. Terasa begitu sakit saat menginjakan kaki pada kerikil kecil. Aku memilih berjalan dipinggir trotoar agar tak terasa makin menusuk.

Saat tiba-tiba dipinggir trotoar yang tengah aku gunakan jalan ternyata licin dan aku terpeleset tepat saat itu sebuah mobil tengah melaju. Aku yang jatuh kejalan raya harus terbentur dengan badan mobil bagian samping. Tentu sopir pasti kaget dan banting setir kekanan walau nyatanya tetap saja aku terkena benturannya.

Aku merasa tubuhku guling-guling diatas aspal setelah merasakan sakit yang teramat dibagian kepala. Aku berusaha berdiri walau sangat sulit, melihat cairan merah menetes dari rambutku. Hingga terasa begitu lemas dan tak bertulang hingga akhirnya tak berdaya.

Related chapters

  • Pak Ustadz, Jadilah Imanku!   Siuman

    Mungkin ini adalah akhir dari hidupku. Ya Allah ... Ampunilah dosa-dosaku! Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.Aku membuka mata, merasakan sakit yang teramat dibagian kepala. Aku memeganginya dan mendapati sudah diperban.Kutatap sekeliling dan baju yang aku gunakan. Aku sudah berada di rumah sakit."Dok, dia sudah sadar!" Seorang suster berkata pada laki-laki yang berjas putih dengan stetoskop di lehernya."Sudah sadar, Mbak? Apa yang anda rasakan?" Dia mulai menempelkan stetoskop pada dada bagian atas ku."Ini sakit banget, Dok." Aku menjawab dengan jujur."Iya, Mbak. Itu luka cukup lebar, bahkan sampai sepuluh jahitan. Apa pusing atau mual?" tanya dokter lagi."Sedikit, Dok.""Ya sudah, kita lihat perkembangannya lagi. Istirahat ya!" Setelah dokter selesai memeriksa, ia pun keluar. Tak lama muncul seorang gadis masuk."Mbak sudah sadar? Siapa yang bisa saya hubungi, Mbak. Takutnya keluarga khawatir." gadis itu terlihat panik. Aku menyempitkan mata."Ngga papa, Dek. Aku sendiri

  • Pak Ustadz, Jadilah Imanku!   Percaya Diri

    "Astaghfirullah!" Abu gosok meletakan aku pada brankar dengan kasar. Bahkan aku sampai sakit pinggang."Pelan kenapa? Sakit tahu!" Gerutuku. "Ngga usah ketakutan begitu, Allah pasti mengampuni dosa-dosa hambanya yang tak sengaja." Sengaja aku menyindir, seperti kata dia tadi."Kalau apa-apa panggil saja aku! Jangan lakukan apapun sendiri. Aku ngga mau kamu makin parah karena nanti adikku yang akan disalahkan!" ujarnya dengan nada sedikit ketus. Aku memilih memalingkan wajah.Dia mengaduh dan mengangkat kakinya yang berdarah."Astaga! Itu kena beling, Bu!" ujarku melihat dia tapi tak dapat berbuat apapun.Dia berjalan dengan pincang menuju sofa. Mencoba mencabut pecahan gelas yang menancap pada kakinya.Aku memanggil suster saat melihat ada suster lewat."Sus, bisa bantu obati lukanya dan sapu pecahan kacanya!" "Baik, Mbak. sebentar saya ambil alatnya."Tak lama datang dua suster, satu memegang sapu satunya membawa kotak P3K."Saya obati ya, Mas!" ujar suster yang bertugas mengobati

  • Pak Ustadz, Jadilah Imanku!   Bertemu Umi

    "Apa aku terlalu percaya diri? Atau kamu yang terlalu serius menanggapi sampai expresinya begitu!" Kelakarku. Melihat dia yang kaget seperti itu membuat aku kasihan padanya.Lagian jika aku yang dinikahi dia, bagaimana dia akan menyembunyikan wajahnya. Dia itu ustadz terkenal, masa nikah sama pe la cur seperti aku.Walau aku tahu, Allah maha pemurah, tapi jelas aku dan dia tetaplah berbeda. Dia rajin ibadah dan berpendidikan tentu akan mencari yang sepadan. Mana mau dia sama aku yang sekolah pun hanya SD dan ngaji cuma sampai jilid dua. Bisa di ketawain jamaah kalau pas manggung. "Ah, sepertinya kamu memang terlalu percaya diri. Kalau dilihat dari prinsip kamu, aku suka. Kamu itu pekerja keras dan optimis, bahkan sangat profesional." Pujinya membuat wajahku memerah.Tentu semua itu dari pengalaman masa lalu. Semua yang terbentuk dari diri seseorang sebagian besar adalah dari pengalaman masa lalu.Aku yang memiliki keluarga utuh namun tak harmonis, tentu tetap berefek pada aku yang me

  • Pak Ustadz, Jadilah Imanku!   PoV ABU BAKAR

    Menjadi seorang ustadz bukan hal yang mudah dilalui, bukan juga sebuah kebanggaan yang harus dipamerkan.Tentu setiap manusia memiliki sisi kelam, begitu pun dengan aku. Walau sekarang mencoba untuk memperbaiki diri, juga Allah bukakan jalan taubat juga rezeki yang mengalir deras. Namun semua itu tetap menjadi noda hitam dalam hidupku.Itulah kenapa aku tak memandang rendah seseorang walau aku sudah tinggi. Aku tak malu bahkan tak segan bergaul dengan siapapun, dari preman, penjahat atau bahkan pelacur. Bagi aku selama mereka tak lagi menjerumuskan aku kepada dosa yang lebih besar lagi, itu hal yang wajar.Bahkan tentu aku harapkan mereka mau bertaubat, walau aku bukan ahli tauziah setidaknya pendekatan pelan aku mampu menyentuh hatinya."Tadz, apa ngga capek setiap mau tampil, Ustadz itu selalu saja bawa orang-orang ngga bener numpang. Saya sampai heran loh, Tadz. Duh ... Apalagi malam ini, bawa Pe la cur yang sangat percaya diri seperti wanita tadi," ujar Pak Yono supir yang selalu

  • Pak Ustadz, Jadilah Imanku!   Salah sebut

    "Terima kasih sudah mengurus semuanya." Aku berkata dengan datar. Malu karena topeng aku yang sebenarnya sudah ia ketahui.Dia tersenyum nakal, seolah tengah mengejek aku yang masih tak bisa berkata-kata setelah terbongkarnya aibku. Aib karena aku menggunakan nama samaran.***Aku memilih mengemasi barang-barang sendiri. Walau memang tadi suster mengatakan jika akan ada yang menjemput aku dan mengantarkan, tentu aku tak mau semua dilakukan orang lain. Pelan-pelan aku mulai mengemasi apa yang dibawa pulang."Assalamualaikum ...." Abu Gosok datang tepat waktu. Aku sudah selesai berberes."Sudah selesai?" tanyanya heran ketika melihat semuanya rapi."Iya, karena aku sudah tak sabar untuk tidur dikasurku yang empuk," ujarku dengan berdiri setelah tadi tengah duduk."Kamu aku bawa ke pesantren dan tinggal disana!" ucapnya tanpa penawaran."Apa? Aku di suruh tinggal di pesantren? Gila kamu ya! Apa aku harus me la cur disana?" Aku yang kaget langsung mencoba menatapnya. Mencari keseriusan da

  • Pak Ustadz, Jadilah Imanku!   Mencoba

    "Maaf, maksudnya ustadz Abu, pasalnya ini cuma ada empat piring?" Aku membenarkan ucapan."Nggak, Mbak. Aa Abu mah ngga pernah makan bareng, dia itu sukanya menyendiri, apa-apa sendiri dan terpisah, itulah yang membuat Abah juga Umi khawatir tak dapat jodoh." Nay berkata dengan antusias. Aku mendengar dengan segsama."Nay!" Pangil Abah terdengar tak suka anak perempuannya berkata terus terang."Tak usah pikirkan itu, Nduk, makan dulu! Setelah itu istirahat, Nay sudah menyiapkan kamar untukmu." Kali ini Umi yang bersuara, aku hanya mengangguk dan mulai memakan hidangan yang tersaji.Aku menikmati dengan khusu, makanan yang terhidang memang lezat, apalagi gratis."Mbak sebentar lagi kan puasa, nanti kita salat tarawih bareng ya!" Ajak Nay berbicara disela makan.Tarawih? Ah rasanya sudah lama sekali aku tak melakukan salat itu, entah sudah berapa tahun, aku tak mengikuti puasa. Mungkin lebih tepatnya saat aku di nikahi oleh juragan Komar. Jangankan untuk salat tarawih bersama, bahkan s

  • Pak Ustadz, Jadilah Imanku!   Ketiduran

    Aku langsung berjingkrak dan lari masuk ke kamar, menutup pintu dengan keras."Astaghfirullah! Apa ya tadi?" Aku masih berdiri dibelakang pintu. Nafas masih ngos-ngosan.Mungkin mitos tentang pesantren yang banyak hantunya itu real. Kali ini aku mengalaminya. Aku masih mencoba mengatur nafas saat sebuah ketukan kembali membuat aku berjingkrak."Kiara, Ki! Ini aku Abu, tadi itu aku yang memangil dan melemparkan benda kecil agar kamu menoleh, kamu ngga apa-apa, Kiara?" Ketukan itu disertai ucapan Abu.Huh, ternyata dia! Aku sampai hampir jantungan karenanya. Aku siap memutar kenop pintu namun sebuah suara membuat aku urungkan."Ehem!""Abah?" Suara Abu terdengar kaget.Artinya Abah pasti ada disana juga. Aku memilih untuk tetap berada dibelakang pintu tanpa membuka."Masuklah, ini sudah malam. Ngga baik ngetuk pintu kamar seorang perempuan." Terdengar nada tegas Abah. Aku menelan saliva. Untung aku belum keluar."Tadi hanya ingin menjelaskan kesalah pahaman, Bah." Terdengar Abu masih be

  • Pak Ustadz, Jadilah Imanku!   Dicari

    Jalan Hijrah Si Kupu-Kupu Malam 15Aku masih memainkan ujung jari, rasanya sulit sekali mulut ini membuka, seperti terkunci bahkan terasa dilem."Kiara?" Panggilnya lagi, aku bingung mau memulai dari mana, tapi sepertinya aku harus mengatakan sekarang."A-apa aku boleh disini sampai dekat lebaran nanti?" tanyaku tercekat. Aku takut dia mengira aku disini karena ingin dekat dengannya. Nanti dia ke GR an. Ah, bukan dia yang ke GRan, tapi aku yang terlalu berharap."Tentu saja, kamu boleh disini sampai kapanpun, bahkan aku senang jika kamu mau taubat dan mau hijrah," jawabnya dengan mata berbinar. Apa dia memiliki perasaan padaku?Kiara! Jangan selalu berfikir demikian, ingatlah kamu siapa dan dia siapa? Jika Ning aja dia tolak apalagi hanya aku yang seongok sampah."Kamu tak perlu merasa sungkan dan segan disini, kamu bisa meminta bantuan Nay atau santriwati jika kamu ingin belajar tapi malu untuk belajar dengan Asatidzah." Ia kembali berkata dengan antusias.Aku hanya mengangguk pelan,

Latest chapter

  • Pak Ustadz, Jadilah Imanku!   KEBAHAGIAAN (TAMAT)

    Aku memilih untuk segera keluar melangkah cepat, tapi sepertinya tangan Abu gosok lebih cepat menggapai tanganku."Kiara tunggu!" Abu gosok menahan tanganku, membuat aku terpaksa untuk berbalik arah. Aku sedikit meronta hingga ia melepaskan genggamannya.'dia pikir ngga sakit apa?'"Maaf, tapi Kiara aku mau bicara, jangan pergi dulu!" ujar Abu gosok dengan sedikit memohon. Aku melihat Ning Sukma yang memilih masuk ke dalam mobil."Kenapa ngga kejar dia dulu, Gus?" tanyaku dengan memegangi tangan yang sakit."Dia tidak penting, yang penting adalah kamu yang sudah lama aku cari!" Abu gosok berkata, tapi aku seperti ingin mendengar ulang ucapannya. 'ah, masa iya dia mencariku?'"Kita bicara didalam!" Ajaknya tanpa menunggu persetujuanku, dia itu memang begitu, di kira semua orang akan mau mengikutinya dengan iklas.Namun akhirnya aku pun memilih mengikutinya, masuk kedalam rumah yang cukup luas dengan beberapa orang yang tengah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Disela kami melewa

  • Pak Ustadz, Jadilah Imanku!   Bertemu

    PoV Kiara"Itu kan mobil Abu dan yang keluar adalah Ning Sukma?" Aku terkejut kalau melihat Ning Sukma keluar dari mobil ditemani seorang sopir yang aku sendiri sepertinya baru melihat.Aku hampir menutupi wajahku, ketakutan jika Ning Sukma melihat aku berada di sini. Namun seketika aku sadar bahwa ning Sukma belum pernah melihat wajahku."Oh iya dia kan tak pernah melihat aku tanpa cadar, jadi Aku pastikan dia tak akan mengenaliku." Akhirnya aku untuk berdiri dengan percaya diri.Ning Sukma lihat anggun, dengan pakaian gamis lebar dan indah berwarna putih dipadukan dengan jilbab yang sama."Pak, apa ustadz Abu ada di dalam?" Pertanyaan Ning Sukma membuat aku mengkerutkan kening. Kenapa dia menanyakan abu gosok di sini?"Maaf, Mbak, Ustadz Abu tengah jalan-jalan bersama yang lain. Tadi bilangnya lari-lari kecil untuk membuat keringat. Tapi sampai sekarang belum kembali." Pak satpam menjawab, aku memilih untuk tetap di sana mendengarkan percakapan mereka.Ning Sukma terlihat bingung,

  • Pak Ustadz, Jadilah Imanku!   Ke rumah singgah

    PoV KiaraSepertinya aku harus bertahan di sini, Aku pun tak mungkin membiarkan Cinta tertipu oleh laki-laki semacam Farel. Aku sangat tahu jika dia hanya memanfaatkan Cinta, rasa sayangku pada dia, membuat aku memilih bertahan, walau dia mungkin sudah tak menginginkan aku tinggal.Hari ini tanpa aku ketahui, Cinta dan Farel ada di rumah, seperti biasa mereka akan berdua lama-lama di kamar. Aku pun memilih untuk tak mengganggu mereka, namun naasnya saat aku mengambil air minum satu gelas tersampar oleh tanganku hingga jatuh dan pecah."Ada apa?" Keluarlah Farel dengan hanya menggunakan handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya, bagian atasnya telanjang dada."Ini gelas tak sengaja aku senggol." Jawabku tanpa memperdulikan tatapannya. Aku berniat untuk segera masuk kamar, namun tangan Farel justru langsung memegang lenganku, membuat tubuhku seketika oleng dan jatuh tepat di dadanya."Farel, Kiara?!" Cinta keluar dari kamar dan mendapati aku dan Farel dengan posisi yang sulit aku jela

  • Pak Ustadz, Jadilah Imanku!   Tumbang Kembali

    PoV Abu.Atas izin Abah dan Umi, aku mendirikan rumah singgah bagi penderita HIV, di sana nantinya para ODHA bisa menyambung semangat dengan bersilaturahmi dan saling mendukung. Dengan demikian juga mereka bisa belajar, mengaji atau bahkan menghabiskan waktu dengan hal-hal yang positif.Meminimalisir diskriminasi terhadap para penderita ODHA (orang dengan HIV dan Aids) dengan mendirikan rumah singgah, berniat untuk membuat masyarakat tak memandang rendah atau bahkan tak mau mendekat atau berhubungan dengan mereka.Rumah singgah itu akan aku jadikan juga tempat untuk mengaji dan belajar ilmu agama. "Abah, akan dukung apapun yang kamu lakukan selama itu masih hal yang positif." Senang rasanya mendengar jawaban seperti itu dari Abah. Rasanya setelah mereka mengetahui apa yang aku sembunyikan selama ini, mereka tak sekalipun diskriminasikan atau membedakan. Bayangan-bayangan yang selama ini menghantui pikiranku ternyata tak terjadi sedikitpun."Terima kasih, Bah. Telah mendukung apapun

  • Pak Ustadz, Jadilah Imanku!   Tahu Diri

    PoV KiaraAku tiba di rumah Cinta saat hari sudah mulai malam, suasana lebaran di kota tentu sangat berbeda, jika di desa momen lebaran justru akan hingar-bingar dan ramai, berbeda dengan di kota yang justru terlihat lenggang.Ketuk pintu dengan perlahan, ucapkan salam dan tak menunggu lama aku pun mendapatkan jawaban."Waalaikumsalam sebentar!" Teriak Cinta, aku sangat hafal suaranya. Dia yang memang menjadi single parent, mungkin memilih tak pulang kampung, biasanya hanya anak-anaknya yang menyusul ke kota."Kiara?" Cinta terlihat sedikit kaget, namun kemudian segera membantu meraih tasku. "Kamu kenapa apa diusir oleh ibumu karena dia tahu tentang rahasiamu?"Aku menyempitkan mata, kenapa tebakan Cinta begitu benar atau ...."Maafkan aku ya Kiara, aku pagi tadi menelpon, tanpa tahu jika itu bukan kamu yang mengangkat Aku mengatakan dan mengabari jika ARV mu sedikit terlambat, namun ternyata justru ibumu yang bersuara dan menanyakan tentang hal itu, itu aku tak bisa berbohong lagi da

  • Pak Ustadz, Jadilah Imanku!   Lamaran dikembalikan

    PoV AbuNing Sukma menggeleng, sepertinya ia tak percaya dengan apa yang aku katakan."Jangan bercanda, Gus. Ini tak lucu, mana mungkin kamu memiliki masa lalu yang buruk hingga sampai tertular virus itu. Virus yang dianggap aib sebagian orang tak mungkin singgah pada orang suci seperti kamu, Gus!" Ning Sukma masih mencoba tak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Tapi nyatanya ini semua fakta, jika boleh memilih aku pun menginginkan jika semua ini hanya mimpi."Tidak, Ning. Ini semua bukan candaan apalagi lelucon, ini semua adalah kenyataan yang harus kamu tahu sebelum benar-benar menjadi istriku." Aku meyakinkan, lihat mata Ning Sukma kini sudah berkaca-kaca.Iya masih saja terus menggelengkan kepala, namun tak lama ia memilih mundur beberapa langkah dan kemudian membalikkan badan hingga keluar dari ruangan itu dengan keadaan menangis.Aku pasrah, apapun keputusannya nanti aku akan menerima dengan senang hati.Setelah keluarnya Ning Sukma, Umi langsung masuk. Aku yakin mereka pun pas

  • Pak Ustadz, Jadilah Imanku!   Kembali ke Kota

    PoV Kiara"Ibu?" Aku sedikit heran kenapa ibu menghindar saat tangannya ingin kuraih dan kucium.Dia terlihat sendu, ada air di kedua matanya yang hampir jatuh. Apa aku punya salah yang tak termaafkan, hingga di hari raya ini ia tak sudi untuk memaafkan."Apa aku telah menyakiti ibu? Sampai-sampai Ibu tak memberikan maaf padaku?" Aku bertanya dengan menatapnya kemudian beralih kepada bapak yang juga memiliki pandangan bingung."Tidak, Nak, tidak! Tidak ada dosa yang tak termaafkan oleh ibu, hanya saja Ibu kecewa karena kamu selama ini telah menyembunyikan rahasia besar." Air mata Ibu luruh juga, ia menangis tersedu-sedu. Aku ingin meraihnya tapi sepertinya dia tak ingin aku peluk, buat 1001 pertanyaan di benakku. Ada apa dengan ibu?"Apa maksud ibu?" Tanya aku penasaran."Kamu tak usah berbohong lagi, Ibu sudah tahu tentang pekerjaan kamu di kota, kamu menjajakan diri kepada lelaki hidung belang dan sekarang kamu sakit HIV," ucapan ibu membuat aku langsung terdiam, tertunduk malu dan

  • Pak Ustadz, Jadilah Imanku!   pingsan saat Lamaran

    PoV AbuAku menghela nafas, rasanya susah sekali untuk memulai pembicaraan ini. Apa lebih baik aku katakan nanti saja saat bertemu."Gus, kamu masih disana?" Suara Ning Sukma membuat aku yang tengah membatin tersadar."Eh iya, Ning. Maaf, karena ini adalah hal yang sangat penting, jadi sebaiknya kita bicarakan besok saja." Akhirnya aku memilih untuk mengatakan saat lamaran nanti saja, aku takut dia mematikan panggilannya sebelum aku selesai mengatakan semuanya."Baiklah, Gus, saya tunggu esok hari." Suara Ning Sukma masih sama, riang dan bahagia.Aku menjatuhkan bobot dan berusaha memejamkan mata, tapi sepertinya susah sekali mata ini terpejam. Namun, entah kenapa seolah kantuk tak hinggap padaku. Pikiranku melayang untuk esok hari. Aku sangat takut jika semua tak berjalan sesuai harapan. Bagaimana jika nantinya keluargaku malu? Apa aku sembunyikan ini saja? Tapi bagaimana jika suatu saat tahu dan akan menambah panjang serta runyam.Saat seperti ini aku justru teringat pada Kiara, ent

  • Pak Ustadz, Jadilah Imanku!   Lebaran

    PoV Kiara"Apa aku ngga salah dengar, Juragan? Kamu bilang aku masih istrimu? Kalau begitu kemana selama ini kewajibanmu? Bukankah akan jatuh talak pertama saat seorang suami tak memberi nafkah pada Istrinya selama tiga bulan?" Aku mencoba cari kartu merahnya, agar ia tak kepedean menganggap dirinya sosok suami."Kamu mau nuntut apa? Nuntut nafkah selama satu tahun! Aku akan berikan itu, asal kamu mau kembali menjadi istriku!" Dia memang orang yang pandai berkelit, mentang-mentang hartanya banyak sombongnya minta ampun."Maaf, tapi aku ngga minat untuk melanjutkan pernikahanku dengan kamu, permisi!" Aku berusaha untuk segera pergi, tapi gerak dia lebih cepat dan membuat aku hampir terjengkang kala dia menarik tanganku paksa."Lepaskan, Juragan!" Aku meronta, tapi dia tak memberi ampun padaku. Dia terus menarik tanganku untuk mengikutinya. Benar-benar sudah kesetanan dia.Aku terus di paksa untuk jalan, Intan yang melihat aku ditarik oleh Juragan Komar hanya bisa diam kemudian lari ent

DMCA.com Protection Status