Setelah selesai memerintahkan Daris, Jihan pun menatap tangan kanannya itu dengan saksama. "Kalau sudah beres mengirimkan hadiah pertunangannya, kamu bisa langsung pindah ke rumah yang kamu suka."Sorot mata Daris sontak tampak berbinar. Dia mendadak merasa dipotong gaji selama empat bulan bukanlah apa-apa.Saat hendak menjawab, tiba-tiba Daris teringat akan rumah besar senilai 200 miliar yang sudah sejak dulu dia incar itu.Daris pun menggaruk bagian belakang kepalanya dengan kikuk, lalu memberi tahu Jihan, "Tapi, Pak Jihan, rumah yang kusuka ada di Kota Remolon.""Kamu pikir aku nggak sanggup beli?" cibir Jihan yang berdiri di depan pintu mobil itu.Daris langsung mengibas-ngibaskan tangannya. Mana mungkin pria terkaya di Benua Siana satu ini tidak sanggup membeli sebuah rumah? Mustahil ....Jihan tidak kekurangan apa-apa, apalagi uang. Jika Daris menerima rumah itu, dia membantu Jihan mengurangi beban kebanyakan uang.Pemikiran seperti ini sontak membuat Daris merasa lebih tenang da
Wina pikir Jihan akan pergi ke Grup Lionel setelah mengantarnya kembali ke vila Sara, tetapi Jihan ternyata mengikutinya masuk ke dalam vila.Begitu melihat Jihan datang, Bibi Nelsa yang merupakan pelayan Sara pun sontak tampak gembira seperti sedang melihat menantunya sendiri. Bibi Nelsa langsung menyapa Jihan dengan hormat dan mempersilakan pria itu ke ruang tamu."Silakan Tuan Jihan duduk di sini dulu sebentar, biar kubuatkan kopi ...."Setelah itu, Bibi Nelsa pun menoleh menatap Jihan sambil membuat gestur memberikan semangat kepada Wina dan mengisyaratkan Wina dengan matanya untuk mengambil gambarnya.Wina pun mengusap keningnya, lalu berjalan menghampiri Jihan sambil berkata, "Jihan, aku ambil hadiahku dulu buatmu, ya."Jihan duduk bersandar di sofa sambil menyilangkan kedua kakinya dengan santai. Begitu mendengar Wina hendak memberinya sesuatu, mata Jihan pun tampak berbinar penuh senyuman. "Oke."Wina berbalik dan pergi ke ruang kerja. Sementara itu, Jihan mengeluarkan ponselny
Wina sontak terpana. Bukankah yang Jihan maksud adalah rumah pengantin yang Jihan belikan untuk Winata tiga tahun lalu?Namun, Wina tidak berani bertanya. Dia hanya menunduk dan menatap kosong ke arah tangannya yang sedang memegangi kemeja jas Jihan.Untung saja Jihan bisa membaca isi hati Wina. Pria itu pun buru-buru menjelaskan, "Aku membeli rumah itu untukmu, bersamaan dengan gaun pengantin itu. Sama sekali nggak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Itu memang milikmu seorang."Wina jadi teringat gaun pengantin bertakhtakan berlian yang harganya setinggi langit itu. Rasa kecewanya perlahan-lahan memudar.Tiga tahun lalu, Jihan sampai membeli gaun pengantin yang mahal itu demi Wina. Jihan bilang awalnya ingin melamar Wina, tetapi ....Wina langsung berhenti mengingat masa lalu dan menenangkan dirinya, lalu menatap Jihan. "Oke, kalau gitu biar aku yang mendesain rumahnya."Wina pun bersandar di pelukan Jihan lagi dan bertanya sambil tersenyum, "Apa Tuan Jihan punya preferensi gaya t
Saat Wina dan Sara sedang sibuk berdiskusi, Daris pun memerintahkan orang-orang itu untuk meletakkan semua kotak dengan kata sandi yang mereka bawa ke atas meja kaca. Setelah itu, Daris melapor kepada Jihan yang duduk di atas sofa."Pak Jihan, hadiah pertunangannya sudah siap. Aku juga sudah memberi tahu Tuan Besar dan menyuruh orang-orang membawakannya ke sini tanpa memedulikan respons Tuan Besar."Jihan balas mengangguk kecil. Setelah selesai berdiskusi, Wina dan Sara pun kembali ke ruang tamu. Jihan langsung bangkit berdiri dan berjalan menghampiri Sara."Nona Sara, tujuan kedatanganku hari ini ke sini adalah untuk meminang Wina. Sebagai kakak perempuannya, Nona Sara-lah yang berhak mengambil keputusan."Biasanya, pihak laki-laki akan mengambil keputusan, lalu melamar. Pinangan resmi seperti ini hanya sekadar formalitas.Namun, seringkali pinangan ini tidak mencapai kata sepakat yang memuaskan. Akibatnya, hubungan sejoli yang hendak menikah pun harus berakhir dan mereka saling membe
Jihan yang sedari tadi diam saja pun berkata dengan santai kepada Wina dan Sara yang tampak stres, "Aku juga yang menghasilkan aset Keluarga Lionel saat ini, sama sekali nggak ada hubungannya dengan Keluarga Lionel. Aku mau memberikan apa itu urusanku, jadi tenang saja. Lagi pula ....""Ke depannya juga semua asetku akan menjadi milik Wina," sambung Jihan sambil menatap Wina.Jihan bukan hanya memberikan seluruh aset Keluarga Lionel sebagai hadiah pertunangannya, tetapi juga kekayaan bersihnya dan setiap sen uang yang akan dia hasilkan ke depannya!Sara hendak mengatakan sesuatu lagi, tetapi Jihan langsung menyelanya, "Nona Sara, buatku ini semua cuma harta benda. Aku nggak peduli soal ini, aku bahkan rela memberikan hidupku untuk Wina. Jadi, nggak usah terlalu mencemaskan soal hadiah pertunangannya."Sara bisa merasakan ketulusan Jihan, jadi dia akhirnya mengalah dan hanya bertanya, "Gimana dengan para tetuamu? Apa mereka setuju? Wina 'kan belum pernah bertemu dengan mereka?""Akulah
Setelah Jihan pergi, Wina segera bangkit berdiri dan pergi ke kamar tidur utama untuk menemui Sara.Sara duduk di depan meja rias sambil termangu menatap dokumen di tangannya. Wina pun segera mengetuk pintu."Kamu lagi lihat apa, Sara?"Begitu mendengar bunyi ketukan pintu, Sara langsung memasukkan amplop dokumen yang Ivan berikan sebelumnya ke dalam laci.Ivan memang meminta Sara untuk memberikan amplop ini kepada Wina di hari pernikahan Wina, jadi Sara refleks menyembunyikannya.Tentu saja Wina melihat respons panik Sara, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi dan berkata, "Sara, aku sudah membeli vila di sebelahmu."Sara hendak mengatakan bahwa Wina tidak perlu membeli vila di sebelah dan tinggal saja di sini, tetapi dia tiba-tiba mengerti maksud Wina.Wina pasti khawatir Keluarga Lionel akan meremehkannya sebagai calon istri Jihan, itu sebabnya Wina sengaja menyiapkan rumahnya sendiri sebelum menikah.Ternyata menikah dengan keluarga kaya juga ada tidak enaknya. Untung saja Wina
Wina mendengus dingin, "Sam! Kamu jelas tahu kalau Alvin menculikku, kenapa kamu nggak datang menyelamatkanku?"Sam menyeka kasar debu di wajahnya sembari berkata dengan acuh, "Aku nggak sanggup mengalahkannya, kalau aku pergi menyelamatkanmu, yang ada aku cari mati.""Lagi pula Presdir Grup Lionel, si Jihan itu juga nggak mungkin akan diam saja, aku memberikannya kesempatan menjadi sang pahlawan penyelamat seorang tuan putri, ide yang bagus bukan?"Wina sudah tidak bisa berkata-kata. "Wah, sadar diri banget."Sam tersenyum miring sembari menggodanya. "Sadar diri itu aturan paling dasar yang harus aku miliki sebagai seorang manusia!"Setelah mengatakan itu, seketika sekelompok pekerja Siana Tenggara muncul dari arah seberang jalan sembari berteriak keras."Dialah orangnya! Dia yang bersekongkol dengan kontraktor untuk menunggak upah kita!""Saudara-saudaraku, angkat sekop kalian, maju dan serang dia sampai mati!"Sesaat kemudian, dari ujung telepon Wina mendengar suara pergerakan Sam y
Wina tertawa mendengarnya, baru saja ingin membalas membujuk Gisel kembali, George sudah lebih dulu membalasnya dengan sebuah pesan. "Nona Wina nggak perlu khawatir, aku bisa membujuk Gisel untuk pergi sekolah."Wina ikut mengetik membalas pesan itu. "Dokter George, kalau memang Gisel masih ingin tinggal dengan Alvin untuk beberapa saat, mohon bantuanmu untuk menjaga Gisel, mohon jangan sampai dia terluka."George segera memberikan balasan. "Tenang saja Nona Wina, sebenarnya Alvin sangat menyayangi Gisel."Wina menatap lama pesan yang dikirimkan George, setelah beberapa saat, wanita itu akhirnya mengetikkan kata "OK" padanya.Awalnya Alvin bersikap buruk kepada Gisel, tetapi sepertinya pria itu mulai menerima kehadiran gadis kecil itu.Mungkin dengan keberadaan Gisel di sisinya, Alvin juga akan perlahan pulih dari kesedihan kehilangan kakaknya dan menerima kembali kehidupan yang baru.Dengan pikiran itu, Wina terduduk termenung di meja belajar. Dia mengeluarkan ponsel, kemudian bangkit