Jihan membuka telapak tangannya dan melihat bekas lukanya yang ada di sana, lalu tiba-tiba terkekeh.Ini pertama kalinya Wina melihat senyuman Jihan yang begitu putus asa ....Wina ingin menjauh, tetapi Jihan malah melangkah mendekat. Wina pun berkata, "Jangan mendekat."Tanpa menoleh, Jihan pun berujar dari dalam mobil dengan suara yang serak, "Ivan berada di vila di depan sana. Sana, pergi temui dia."Wina melirik ke arah vila, lalu Jihan yang berada dalam mobil. Dia akhirnya memalingkan wajahnya, lalu berbalik dan berjalan menuju vila.Jihan menatap Wina yang berlari ke arah Ivan tanpa ragu dengan mata yang memerah ....Jihan menutup telapak tangannya seolah ingin menutup masa lalu. Dia tidak mau mengungkit ataupun memaksakan kehendaknya lagi.Daris pun menoleh menatap Jihan. "Pak Jihan juga sampai mencoba bunuh diri demi dia ...."Jihan tersenyum kecil, lalu berkata, "Dia nggak boleh sampai tahu soal ini.""Kenapa?" tanya Daris sambil mengernyit kebingungan.Jihan sudah melakukan b
Begitu mendengar suara yang tidak asing itu, pria yang duduk di atas kursi roda itu sontak mematung.Dia menoleh perlahan, lalu menatap ke arah orang yang berdiri di puncak tangga ....Sosok itu mengenakan gaun merah panjang dan berambut pendek, angin sepoi-sepoi menggoyangkan rambutnya dan menunjukkan wajahnya yang cantik.Itu adalah wajah yang telah berulang kali Ivan lihat dalam mimpinya. Walaupun gaya berpakaiannya berbeda, wajahnya tetap sama.Ivan termangu menatap sosok itu dari kejauhan, dia sama sekali tidak berani mendekat ....Berulang kali Ivan melihat Wina muncul seperti ini. Setiap kali Ivan bergegas menghampiri, sosok itu langsung lenyap.Mungkin saja yang dia lihat saat ini hanyalah ilusi. Jika Ivan membiarkannya di situ, mungkin dia bisa melihat Wina lebih lama ...."Ivan ...."Ivan merasa seperti sedang bermimpi saat mendengar namanya dipanggil oleh suara yang lembut dan tenang itu ....Ivan benar-benar hanya bergeming sampai dia melihat Wina berjalan perlahan menuruni
Masalahnya, jelas-jelas dia sendiri yang mengantar jenazah Wina ke krematorium. Kenapa bisa-bisanya Wina muncul di hadapannya dalam kondisi baik-baik saja ....Ivan menduga dia sedang berhalusinasi, tetapi jarinya yang menempel pada punggung Wina terasa begitu hangat dan nyata. Sudah jelas Wina adalah manusia sungguhan.Ivan mengangkat tubuh Wina yang gemetar karena menangis itu dengan tangan yang gemetar. Sambil memegangi wajah Wina, Ivan pun menatap wanita itu dengan saksama ....Walaupun sudah tiga tahun berlalu, Wina tidak banyak berubah. Wajahnya justru tidak terlihat pucat lagi dan rona kemerahan di pipinya sudah kembali.Seolah-olah Wina sudah mengucapkan selamat tinggal pada masa lalunya yang penyakitan, lalu sekarang menyambut hidup baru dengan penampilan yang baru pula ....Sambil menatap Wina, Ivan pun memanggil dengan lembut, "Wina ....""Ya," jawab Wina sambil menatap Ivan dengan mata yang berkaca-kaca penuh kegembiraan.Wina di sini, dia ada di sini ...."Untung saja aku
Wina hanya terdiam melamun selama beberapa saat, lalu tersadar kembali dari lamunannya dan menatap kaki Ivan sambil bertanya, "Kamu sendiri gimana? Kakimu kenapa?"Ivan mengikuti arah pandangan Wina, lalu mengelus-elus kakinya yang cacat sambil menjawab dengan santai, "Tenang saja, ini gara-gara kakiku ketembak."Begitu mendengar jawaban Ivan, Wina langsung menyangka semua ini terjadi saat Ivan hendak bunuh diri. Ekspresi Wina pun terlihat sangat bersalah. "Jangan-jangan di depan batu nisanku kamu ...."Ivan menggelengkan kepalanya dan menyangkal, "Nggak, ini nggak ada hubungannya denganmu. Jangan salahkan dirimu sendiri."Namun, mana mungkin Wina percaya? Wina pun berkata sambil mengernyit, "Ivan, kita sudah lama saling kenal. Apa lagi yang belum kamu ceritakan padaku?"Selama sekian tahun, mereka berdua sama-sama menjadi cinta pertama masing-masing dan sudah seperti keluarga. Persahabatan mereka begitu dalam sampai-sampai tidak lekang oleh waktu.Ivan menatap Wina dan terdiam untuk w
Begitu melihat Wina berjalan pergi, mata Ivan mendadak menjadi berkaca-kaca ....Hatinya terasa disayat-sayat, begitu menyakitkan sampai-sampai Ivan merasa sulit bernapas. Betapa Ivan ingin mengejar dan memeluk Wina agar wanita itu tidak pergi.Sayangnya, kakinya sama sekali tidak mau berkompromi. Punya hak apa seorang cacat sepertinya meminta Wina untuk tetap berada di sisinya ....Ivan pun menengadah menatap matahari yang mulai terbenam. Dia mencoba menahan air matanya, tetapi tidak bisa. Air matanya bergulir turun.Sebelah tangan Ivan menutup matanya dan dia menangis dengan pilu. Tiba-tiba, sesosok tubuh mungil muncul di hadapannya dan mengadang sinar matahari yang menyilaukan dari mata Ivan.Melalui sela-sela jarinya, Ivan bisa melihat Wina sedang memiringkan kepalanya sambil menyodorkan segelas air minum kepada Ivan."Ivan, aku perhatikan bibirmu kering, jadi aku minta segelas air pada Jesse. Kubantu kamu minum, ya?"Ternyata Wina tidak pergi ....Ivan tidak tahu dia harus merasa
Setelah Jesse pergi, Wina terlihat agak kaget. Ternyata Jihan bukan hanya menyelamatkan Ivan, tetapi juga mempekerjakan seseorang untuk merawatnya.Seolah bisa membaca isi pikiran Wina, Ivan meletakkan sendok dan garpunya, lalu menatap Wina dengan ekspresi berkecamuk."Wina, selama tiga tahun ini, Jihan benar-benar berusaha membantuku tetap hidup ....""Kayaknya dia melakukan semua ini demi menebus dosa-dosanya. Aku nggak tahu dosa mana yang mau dia tebus, tapi yang kutahu dia sangat mencintaimu."Setelah mengucapkan kalimat terakhir, Ivan seolah menebus penyesalannya karena waktu itu tidak mengakui perasaannya kepada Wina.Ivan menghela napas dengan lega, lalu menatap Wina. Dia ingin tahu apakah setelah tiga tahun berlalu, Wina masih mencintai Jihan atau tidak.Wina menurunkan pandangannya untuk menyembunyikan sorot tatapannya, lalu bertanya dengan lembut, "Kalau kamu masih hidup, kenapa semua berita mengabarkan kematianmu?"Alih-alih menanggapi ucapannya, ternyata Wina memilih untuk
Tangan Ivan yang sedang memegang sendok sontak menjadi kaku, dia termangu menatap Wina. Sorot tatapannya terlihat sangat tidak percaya.Wina menolak panggilan Alvin, lalu berkata kepada Ivan."Ivan, setelah aku siuman, aku dengar kamu sudah mati. Aku nggak percaya, jadi aku bertekad pulang secepatnya untuk mencari tahu kebenarannya.""Tapi, Alvin takut aku nggak akan pernah balik lagi ke Britton dan pergi dengan jantung kakakku, jadi dia memintaku untuk menikah dengannya. Kalau aku menolak, aku dilarang pulang ke sini. Aku setuju, tapi aku menikah dengannya atas nama kakakku, Vera. Nggak ada perasaan apa pun di antara kami."Setelah mendengarkan penjelasan Wina, ekspresi kaget Ivan perlahan-lahan berubah menjadi iba. "Maaf, Wina. Gara-gara aku yang gegabah, kamu sampai diancam begitu."Wina menggelengkan kepalanya. Ekspresinya terlihat begitu tegas dan mantap. "Sekalipun aku menolak menikahinya, tetap saja dia akan mengontrolku karena jantung kakakku berdetak di dalam tubuhku.""Wina,
Ucapan terima kasih Wina membuat Lilia makin merasa bersalah. Dia masih memikirkan kejadian waktu itu.Akan tetapi, di hadapan Rian, dia tidak boleh gegabah mengungkit-ungkitnya.Setelah mengobrol sebentar, Wina dan Lilia pun memeriksa kaki Rian. Khususnya terkait kekuatan otot kaki Rian.Saraf kaki Rian sudah rusak, jadi Rian memang tidak bisa berdiri lagi. Yang terpenting sekarang adalah menjaga agar otot kaki Rian tidak menyusut terlalu banyak.Setelah Lilia selesai memeriksa, Wina pun menarik Lilia dengan tidak sabar dan bertanya, "Dokter Lilia, bagaimana kondisi kakinya? Kapan dia bisa berdiri?"Lilia hendak menjawab jujur, tetapi Ivan menutupi mulutnya dengan satu tangan dan berpura-pura berdeham. Sorot matanya mengisyaratkan kepada Lilia untuk tidak menjawab jujur.Lilia langsung mengernyit. Dia tidak mengerti kenapa Rian tidak mau berkata jujur kepada Wina. Setelah terdiam sejenak, Lilia pun menjawab, "Tanya dia saja langsung."Lilia tidak mau lagi menyembunyikan penyakit orang