Nah, kan...! Tapi kok bisa Zayden sama mamanya, ya? Tunggu kelanjutannya, ya! BTW, untuk yang tanya ini updatenya jam berapa, chinta masih belum bisa memastikannya, karena ada beberapa yang perlu dipertimbangkan (sok iye kali!) yang jelas Chinta akan up 2X, yang pasti di pagi hari dan sisanya bisa siang, sore atau malam, hehehe!
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Zayden barusan, jelas membuat tubuh Alisha membeku. CEMBURU?! MANA MUNGKIN!“Cemburu, kamu bilang?! Aduh yang bener aja!” Alisha mendengkus.“Lagian kamu bilang mau bertemu dengan ketua audit, terus kenapa kamu tiba-tiba bertemu dengan mama di sana?” lanjut Alisha lagi.Zayden membuka kelopak matanya lagi dan melihat tajam ke arah Alisha yang saat ini sedang bersungut dengan suara samar. Pria itu lalu menghela napas dalam. Dia kembali duduk hingga membuat posisi keduanya saling berhadapan saat ini.“Alisha, katakan padaku, apa mencampuri urusan masing-masing itu ada dalam poin perjanjian kita?” Pertanyaan dari Zayden tentu membuat Alisha terdiam.“Ingat, poin itu juga kamu yang menambahkannya.” Zayden kembali melanjutkan.Tiba-tiba tubuh Alisha mendadak beku. Benar, dia yang menambahkan poinnya, saat itu, isi perjanjian pernikahan dari Zayden sangat sederhana, hanya saja semua poin itu tampak abu-abu dan kurang jelas untuk Alisha, jadi dia mena
Tama Halim, CEO sebelumnya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Tanpa ada penunjukan pejabat sementara, posisi tertinggi di perusahaan langsung diserahkan kepada Zayden—lewat proses cepat dan tidak biasanya.Dengan mengesampingkan alasan penunjukan yang dikaitkan dengan Alisha, kenyataannya, papa Zayden seolah melihat kesempatan emas. Seperti mendapatkan jackpot, pria itu mendapatkan alasan kuat lain untuk menempatkan Zayden di perusahaan yang saat itu sudah berada di ambang kehancuran.“Tama Halim,” ulang Zayden datar. “Kenapa kamu bisa mengatakan demikian?” tanya Zayden lagi dengan tatapan menyelidik.“Dia memanggilku secara khusus ke ruangannya, dia tahu kalau aku punya pekerjaan lain sebagai pembuat video iklan. Dia menyuruhku untuk membuat video iklan perusahaan dengan tawaran yang menarik, dan sialnya setelah semuanya selesai dia membatalkannya secara sepihak!” Alisha berkata dengan memperlihatkan wajah kesalnya.Zayden mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali. “Tapi … bukannya
“Kenapa menatapku begitu?” tanya Zayden.Alisha masih terpaku, pandangannya menjadi sangat rumit saat melihat Zayden. Kepalanya sangat berisik tentang banyak hal yang mungkin akan terjadi nanti.Ucapan Zayden sebelumnya memang membuatnya lega kalau Zayden akan ada di pihaknya, namun di sisi lain, keteledorannya itu bisa membawanya ke pusaran permasalahan yang pasti melibatkan reputasi Zayden.Ya, tentu saja itu pasti berpengaruh pada reputasi Zayden. Apalagi kalau hal ini sampai diketahui oleh keluarga besar Zayden yang notabe-nya adalah orang-orang terpandang dan memiliki kekuatan besar. Hanya karena dirinya, sudah barang tentu Zayden akan mendapatkan penghinaan.“Apalagi yang kamu khawatirkan saat ini?” tanya Zayden lagi, karena Alisha terlihat memikirkan sesuatu.“Nanti … apa … masalahku ini akan membuat reputasimu buruk?” tanya Alisha ragu.Zayden menanggapinya dengan datar. “Reputasiku tidak tergantung dengan apa yang kamu lakukan. Kamu tenang saja! Lagipula, kamu tidak mau kalau
Alisha harus berpikir tenang di saat seperti ini. Walaupun terasa tekanan itu menghimpitnya dan juga aura dominan Dirga kali ini tampak sangat jelas, Alisha tidak bisa terjebak dengan situasi dan dengan konyolnya mengulang kesalahan yang sama. 'Ternyata, tikus kecil ini mau menjebakku!' Alisha mengejeknya dalam hati. “Ya Bapak benar, ini memang sangat serius, tapi … serius untuk Bapak.” Alisha menjawab dengan cukup tajam. “Saya bukan orang bodoh yang bisa dipermainkan berkali-kali.” Alisha menolak tegas dengan meletakkan pulpen itu dan mendorong file itu ke arah Dirga. Wajah Dirga menjadi berubah kelam, Alisha tidak takut sedikit pun dengan tekanan yang diberikan oleh Dirga ini, karena menurutnya tekanan dan tatapan mata Zayden jauh berkali-kali lipat lebih menyeramkan dari pada pria yang ada di hadapannya ini. Setidaknya kalau untuk urusan aura gelap dominan yang mematikan, Alisha sudah sangat terbiasa! ‘Ah, benar-benar! Tikus seperti ini mau bermain-main denganku ternyata!
Dirga sontak bangkit, buru-buru merapikan bajunya. “P–Pak Zayden! Ini … hanya kesalahpahaman kecil. Maafkan kami, kami … kami tak tahan lagi menahan perasaan, kami pikir—” “Apa kamu bilang?!” Alisha menoleh cepat, matanya membelalak. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tapi karena marah. “Alisha sayang .…” Dirga mendekat, memasang senyum seolah tak bersalah. Tangannya hendak meraih tangan Alisha. “Aku nggak tahan terus menyembunyikan hubungan kita. Aku ingin semua orang tahu kalau kita—” Plak! Alisha menepis tangannya kasar. Matanya memerah, dan suaranya pecah saat ia berteriak, “Sudah gila kamu! Hubungan?! Aku sudah muak melihatmu! Dan satu hal lagi… AKU SUDAH PUNYA SUAMI!” Suasana langsung membeku. Beberapa pegawai yang datang karena suara gaduh itu langsung terpaku di ambang pintu. Salah satu dari mereka bahkan menjatuhkan berkas yang dibawanya. Alisha sudah bersuami? Sejak kapan? Pertanyaan itu menggantung di antara rekan kerjanya yang hanya diam saling tatap. Sementara
Sementara itu, Alisha sudah sampai di apartemen. Tanpa repot mengganti pakaian, dia langsung menjatuhkan diri duduk di lantai, tepat di depan meja pendek yang berada di antara sofa dan televisi.Kedua sikunya bertumpu di atas permukaan meja, sementara dagunya disandarkan lemas di sana—seolah beban hari ini ikut menekan tulangnya. Tepat di depan wajahnya, sebuah kantong plastik bening berisi obat penghilang memar masih tersegel rapi, teronggok di meja tanpa disentuh.Tatapannya kosong. Televisi di hadapannya menyala, menampilkan tayangan acak yang tak ia pahami. Suaranya hanya menjadi latar samar di tengah apartemen yang hening. Ia tak benar-benar menonton. Ia hanya diam, membiarkan pikirannya melayang entah ke mana.Alisha masih sulit membayangkan apa jadinya jika ia tidak bertindak cepat tadi di ruangan Dirga—menghubungi Zayden secara diam-diam dan merekam seluruh percakapan yang menjadi bukti keterlibatan pria itu dalam kecurangan perusahaan. Syukurlah, tindakan kecil itu cukup untuk
“Apa?!” suara Alisha nyaris melengking, nyaris tak percaya pada pendengarannya sendiri. “Kamu serius mau jadikan aku sekretarismu?!”Zayden mengangguk mantap. Tatapannya tetap datar, tapi mengandung ketegasan yang tak bisa diganggu gugat. “Aku tidak sedang bercanda. Posisi ini akan membuatmu aman. Tidak ada satu pun orang yang bisa menyentuhmu—baik secara hierarki maupun pribadi.”Alisha masih ternganga. “Tapi… bukannya ada Arsel?”“Arsel itu personal assistant,” jawab Zayden dengan nada tenang. “Selama ini dia merangkap banyak pekerjaan. Sekarang dia mulai kewalahan. Aku butuh seseorang khusus untuk urusan kantor, seseorang yang bisa kupercaya sepenuhnya.”Alisha langsung terdiam. Otaknya langsung menyusun kemungkinan-kemungkinan yang terasa terlalu absurd untuk bisa dinalar.‘Jadi sekretaris Zayden artinya aku akan selalu bersamanya? Di kantor, di rumah, di mana pun dia berada? Gila… ini benar-benar gila!’ desisnya dalam hati.“Aku butuh seseorang yang benar-benar kupercaya,” ucap Za
[“Aku akan menjemput Nariza ke rumah sakit sore ini, tadi rumah sakit sudah menghubungiku kalau dia sudah bisa pulang. (≧◡≦)/~☆”]Pesan singkat itu dikirim Alisha kepada Zayden sesaat sebelum dia masuk ke taksi yang sudah dipesannya.Tidak berselang lama, pesan itu dibalas oleh Zayden.[“Aku pulang agak terlambat, hati-hati di jalan.”]Sederhana. Tapi dari obrolan singkat itu, tanpa sadar keduanya mulai terbiasa saling memberi kabar. Seolah... ada kebiasaan baru yang tumbuh di antara mereka.*** Rumah sakit sore itu cukup ramai, dia pergi ke kamar perawatan Nariza dengan langkah cepat, sesampainya di sana adiknya itu tersenyum menyambutnya, wajahnya jauh lebih segar dari sebelumnya.“Kirain tadi Kak Al mau jemput aku malam,” ucap Nariza.“Nggak dong, begitu pihak rumah sakit mengabari kalau kamu sudah diizinkan pulang, kakak cepet dateng ke sini. Iza pasti sudah gak sabar, kan mau lihat kamar baru?” Alisha berkata sembari memasukkan beberapa barang Nariza ke dalam tas.“Kakak, jadi na
Saat tiba di rumah Zayden terkejut melihat Alisha yang masih belum tidur. Wanita itu sedang berdiri di depan jendela kaca besar dengan penerangan yang minim.“Kamu belum tidur?” tanya Zayden pada Alisha, saat Alisha berbalik melihat ke arahnya.“Ah, belum. Sengaja nungguin kamu.” Alisha menjawab jujur.“Sengaja?” Alisha menganggukkan kepalanya. “Kamu capek banget-banget gak? Kalo kita ngobrol sebentar setelah kamu bersih-bersih boleh, nggak?” Alisha bertanya tanpa basa-basi.Zayden mengangguk. “Baik, tunggulah sebentar kalau begitu.”Setelah mengatakan hal itu Zayden segera masuk ke kamar mandi, sementara Alisha masih terpaku melihat pemandangan kota dengan kerlap-kerlip lampu yang menghiasinya dari jendela besar ini.Tidak menunggu lama, Zayden keluar dari dalam kamar mandi, Alisha langsung menoleh ke arah pria itu, wajah Zayden sudah terlihat lebih segar, Zayden berjalan santai mendekat Alisha yang duduk di salah satu bean bag besar yang menghadap ke arah luar kamar.Makin dekat, wa
Ruangan itu mendadak sunyi. Bahkan detik jarum jam di dinding terdengar lebih lantang daripada detak jantung Alisha yang berdebar cepat.Otak Alisha berpacu, mencari celah untuk mengalihkan perhatian Nariza sebelum sandiwara ini terbongkar.“Ah, jadi kamu nama penamu itu Miss Chinta, ya?” Alisha akhirnya bersuara, berusaha memecah ketegangan dengan senyum tipis dan nada setenang mungkin.Nariza tidak langsung menjawab, hanya mengangguk pelan dengan tatapan tajam, seperti sedang menembus lapisan kepura-puraan.‘Gawat… dia curiga!’Alisha menelan ludah. Tangannya yang tadi santai kini mengepal kecil.“Wah, kalau begitu... kakak jadi penasaran mau baca deh! Siapa tahu kisahnya mirip banget. Kalau sampai sama, berarti kamu nulis kisah cinta kakak, dong?” lanjutnya dengan ekspresi seolah-olah benar-benar takjub.Ia menambahkan senyum lebarnya, mencoba terlihat setulus mungkin—padahal dadanya sudah sesak menahan gugup.Namun belum cukup. Nariza masih menatap, ekspresinya belum melunak.Alish
Setelah pertemuannya dengan Yumi tadi membuat Alisha merasa gelisah. Hanya saja semua bentuk kegelisahannya itu ditutupinya saat tiba di apartemen ini.“Hai, Kak!” sapa Nariza dengan senyum mengembangnya.“Wah, sepertinya kamu benar-benar sudah sangat sehat, ya!” Alisha berkata dengan nada riang seperti sebelumnya, jelas dia tidak mungkin memperlihatkan kegelisahannya itu di depan Nariza.“Kak Zayden pulangnya malam lagi, ya?” tanya Nariza.“Ya, masih banyak yang harus dia kerjakan di kantor.” Alisha menjawab santai, detik berikutnya, hidungnya mencium bau wangi dari masakan.“Kamu masak?” Alisha memastikan penciumannya.“Ya, aku sudah menyiapkan makanan untuk kita bertiga, cuma sepertinya Kak Zayden tidak makan bareng kita ya malam ini.” Nariza berkata dengan mendesah pelan.“Sudah tenang saja, semua yang kamu siapkan pasti akan habis kok!” Alisha terkekeh ringan.Alisha memang tidak memesan makanan berat saat bersama Yumi tadi, karena dia tahu kalau ada Nariza biasanya adiknya ini su
“Hei!” Yumi menepuk pundak Alisha hingga membuatnya tersadar dari pikirannya yang terbang memikirkan Zayden.“Ah, kamu ngagetin aja deh!” Alisha berkata dengan mengerucutkan bibirnya, lalu dia memasang seat belt dengan santai.Melihat hal itu, Yumi mengernyitkan keningnya. “Jadi, kamu sudah dapat izin nih ceritanya?” Yumi berkata dengan nada sedikit menyindir sahabatnya itu, karena sebelumnya Alisha seolah-olah tidak ada waktu untuk mereka.“Untungnya dia sangat sibuk dan akan pulang larut malam. Jadi, kita bisa ngobrol dengan santai, cuma ….” Alisha menjeda sejenak, dia teringat pesan Zayden itu. “Aku tidak bisa sampai malam banget, karena Nariza sudah pulang dari rumah sakit, kasian dia sendirian di rumah.”“Nariza sudah pulang ya, syukurlah.” Yumi berkata dengan senang. “Ya sudah kita pergi sekarang.”Yumi segera melajukan kendaraannya dengan kecepatan rendah, karena jalanan masih sangat padat. Tidak begitu lama mereka sudah ada di salah satu restoran ala Timur Tengah yang ada di de
Alisha menerima telepon itu dengan cepat, nada bicaranya ringan, tapi penuh ketertarikan. “Halo, Yumi,” sapanya lembut.“Al, kamu sibuk nggak hari ini? Aku pengin banget ketemu. Ada yang mau aku omongin,” ucap Yumi dengan menjeda sebentar, “… dan ini sangat penting!” suara Yumi terdengar sangat serius.Alisha tersenyum, kalau sahabatnya mengatakan hal seperti ini jelas ini berkaitan dengan Alvin Wicaksana, siapa lagi yang membuat Yumi mendadak sangat serius, menatap layar ponselnya sejenak sebelum menjawab. “Aku juga, Yum. Aku malah baru aja mikir kamu orang yang paling pas buat aku ajak ngobrol. Tapi ...” Suara Alisha menggantung.Entah kenapa Alisha mendadak terpikir bagaimana mereka bisa bertemu sementara malam ini dia harus menyiapkan makan malam untuk Zayden.“Tapi kenapa? Apa kamu harus izin dulu sama Kak Zayde?” tanya Yumi cepat dengan nada selidik.“Itu … aku udah janji sama Zayden mau masak makan malam hari ini.” Alisha menggigit bibir bawahnya, matanya menyapu kalender kecil
“Bella, Bella...” Nada suara Alisha terdengar santai, tapi matanya menyiratkan ketegasan saat ia melangkah ke wastafel di sebelah Bella. “Kenapa, sih, kamu hobi banget nyebar gosip nggak penting?”Tangan Alisha memutar keran, air mengalir, membasahi jemarinya yang ramping. “Aku peringatkan ya,” lanjutnya sambil mengusap sabun ke telapak tangan, “jangan asal bikin cerita, apalagi yang nyeret-nyeret nama Pak Zayden.”Bella mendengkus. “Kamu itu ya, Alisha, jangan kebanyakan gaya, mentang-mentang sudah jadi sekretaris CEO!” katanya sinis, melipat tangan di depan dada.Alisha hanya menoleh sekilas, tidak terpancing. Ia melanjutkan mencuci tangan, gerakannya tenang. “Oh, ya?” jawabnya datar, seolah komentar Bella barusan tidak lebih dari sekadar suara angin lewat.“Lihat aja nanti,” ujar Bella lagi, kali ini suaranya mengandung ancaman yang samar. “Kamu pikir kamu bisa bertahan di kantor ini? Jangan terlalu yakin. Semua orang di sini itu terlibat satu sama lain. Kalau ada yang jatuh, semuan
Mendengar hal itu Alisha sontak menggeleng-gelengkan kepalanya, dia memandang Zayden dengan sorot mata yang cukup rumit. Entah kenapa dia merasa sangat berat menjadi Zayden. Sepertinya, dia bukan orang yang disukai di keluarganya sendiri.Mulai dari sepupunya Tania, lalu Tante Vivian, sekarang anaknya Vivian–Austin. Entah kenapa dia melihat Zayden sedikit berbeda. Namun, semua itu masih ditahannya untuk mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya, mengingat saat ini mereka tidak hanya berdua saja di mobil ini.“Kenapa?” tanya Zayden mempertanyakan ekspresi Alisha itu.“Nanti saja,” ucap Alisha lalu melihat ke arah sopir itu, sementara Zayden mengangguk pelan, mengerti bahwa apa yang akan dikatakan Alisha sangat privasi untuk mereka berdua.“Malam ini kamu mau makan apa?” tanya Alisha mengalihkan topik pembicaraan mereka.“Apa saja yang kamu siapkan,” jawab Zayden singkat.Jawaban ini, jelas membuat Alisha menghela napas berat. “Ya sudah, jangan protes kalau kamu tidak suka dengan makanan
Sesampainya di mobil, Alisha masuk lebih dulu dan langsung duduk diam. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Tatapannya tertuju lurus ke depan, meski ekor matanya beberapa kali mencuri pandang ke arah Zayden yang kini duduk di sebelahnya—dengan wajah jauh lebih kelam dari biasanya.Banyak yang ingin ia tanyakan. Banyak hal yang memenuhi pikirannya. Tapi… Alisha memilih diam. Saat ini, ia tak punya cukup keberanian untuk mengusik ketegangan yang menggantung rapat di antara mereka.Sampai akhirnya suara berat Zayden memecah hening, dingin namun terdengar seperti tantangan.“Katakan, apa yang kamu mau?”Kalau sebelumnya dia sangat bersemangat dengan reward yang akan diberikan Zayden, tetapi kali ini dia tidak tahu apa yang dia inginkan dari pria itu, apalagi ancaman Austin terdengar sangat serius.“Aku tidak mungkin mengingkari ucapanku, kan? Kamu sudah berhasil membuatku dan Austin bertemu. Sesuai kesepakatan aku akan memenuhi janjiku.” Zayden berkata tegas.“Ah, itu ….” Suarany
Seketika atmosfer di ruangan itu berubah. Tegang. Padat. Seperti udara dipenuhi arus listrik. Wajah Austin mengeras, senyumnya pudar. Kilatan marah muncul di matanya, tapi ia menahan diri. Rahangnya mengencang. Tangannya mengepal, nyaris tak terlihat di balik meja, tapi cukup untuk menyampaikan satu hal—ia tersulut. Alisha menelan ludah. Ia bisa merasakan denyut nadi di lehernya berdetak lebih cepat. Matanya bergantian menatap dua pria di hadapannya, keduanya berdiri seperti dua kutub yang siap saling hantam kapan saja. Tak ada basa-basi. Tak ada formalitas manis. Kemudian, pikiran yang tidak masuk akal muncul dalam benaknya. ‘Apa dia ini kekasihnya Zayden?!’ Hanya saja, itu seperti tidak mungkin. ‘Tidak, tidak, tidak! Ini tidak masuk akal. Konyol sekali!" Alisha membantah pikirannya sendiri. Zayden tanpa diperintah duduk dengan santainya di sofa kulit berwarna hitam itu, lalu menengadahkan tangannya ke arah Alisha, memberikan isyarat pada wanita itu untuk memberikan file