Hai-hai selamat pagi semuanya! Terima kasih untuk dukungannya dan juga sudah sabar menunggu kelanjutan cerita ini, ya!
[“Aku akan menjemput Nariza ke rumah sakit sore ini, tadi rumah sakit sudah menghubungiku kalau dia sudah bisa pulang. (≧◡≦)/~☆”]Pesan singkat itu dikirim Alisha kepada Zayden sesaat sebelum dia masuk ke taksi yang sudah dipesannya.Tidak berselang lama, pesan itu dibalas oleh Zayden.[“Aku pulang agak terlambat, hati-hati di jalan.”]Sederhana. Tapi dari obrolan singkat itu, tanpa sadar keduanya mulai terbiasa saling memberi kabar. Seolah... ada kebiasaan baru yang tumbuh di antara mereka.*** Rumah sakit sore itu cukup ramai, dia pergi ke kamar perawatan Nariza dengan langkah cepat, sesampainya di sana adiknya itu tersenyum menyambutnya, wajahnya jauh lebih segar dari sebelumnya.“Kirain tadi Kak Al mau jemput aku malam,” ucap Nariza.“Nggak dong, begitu pihak rumah sakit mengabari kalau kamu sudah diizinkan pulang, kakak cepet dateng ke sini. Iza pasti sudah gak sabar, kan mau lihat kamar baru?” Alisha berkata sembari memasukkan beberapa barang Nariza ke dalam tas.“Kakak, jadi na
“Kak Al, aku sudah menyiapkan piring-piring di atas meja, dan sepertinya makanan itu juga sebentar lagi selesai, lebih baik Kak Al pergi panggil Kak Zayden aja deh, nanti aku yang membereskan sisanya.” Nariza berkata lembut pada Alisha yang kini masih memasak lauk untuk makan malam mereka.Alisha melihat ke arahnya dengan memiringkan kepalanya. “Wah, kamu sepertinya memang sudah sangat sehat sekali, ya!” “Tentu saja, berkat dorongan Kakak,” Nariza terkekeh ringan.“Baiklah, kalau begitu Kakak ke atas dulu, kakak serahkan padamu adikku sayang.” Setelah mengatakan hal itu Alisha langsung naik ke kamar atas.Begitu menaiki tangga dan membuka pintu kamar, aroma sabun khas Zayden langsung menyergap indra penciumannya. Di dalam, pria itu tampak bersandar santai di headboard tempat tidur sambil memainkan ponselnya.Saat Alisha masuk, Zayden langsung menoleh.“Sudah selesai menyiapkan makan malam, istriku?” ucapnya santai, tapi tajam.Alisha menyipitkan mata, menghampiri ranjang sambil melipa
Mata Alisha sontak membulat, debaran jantung yang mendadak liar, tak beraturan. Udara di antara mereka terasa panas. Napasnya tercekat di tenggorokan, dan meski bibir mereka tak benar-benar bersentuhan, tetap hal itu membuatnya tak bisa berpikir jernih.Zayden perlahan menarik tubuhnya menjauh. Wajahnya tenang. Senyumnya tipis, seperti seseorang yang tahu persis efek yang ia tinggalkan.Akan tetapi detik berikutnya, matanya mengikuti arah pandang Zayden ke bawah tangga, ia langsung sadar.Nariza.Adik perempuannya itu berdiri di sana sambil menyunggingkan senyum geli. Tatapannya seperti mengatakan, "Kalian ini, ada-ada saja!" Lalu dengan santai, ia kembali berbalik, melanjutkan kegiatannya.Alisha meremas jari-jarinya sendiri. Panasnya belum reda.Zayden melirik ke arahnya sekilas. “Beruntung aku hanya menghukummu begini,” ujarnya datar, suaranya kembali stabil, seperti biasanya terdengar tanpa emosi berarti. “Kalau tidak ada Nariza barusan, mungkin aku akan mempertimbangkan bentuk huk
Zayden hanya menatap keduanya sebentar, sebelum akhirnya mengikuti langkah neneknya dengan diam. Mereka berjalan melewati lorong panjang, melintasi beberapa lukisan tua yang tergantung di dinding rumah keluarga besar Wicaksana itu, lalu berhenti di depan sebuah pintu kayu yang tinggi dan tebal—ruang kerja Henry Wicaksana.Helena membukanya lebih dulu, dan Zayden masuk menyusul.Begitu pintu tertutup, suasana berubah. Hening. Ada wibawa yang berbeda di ruangan itu. Lemari berisi buku-buku berjajar rapi, serta aroma kayu tua yang khas langsung menyergap penciuman.Helena berjalan ke arah meja kerja Henry, lalu duduk di kursi besar itu dengan anggun di sana. “Duduklah,” ucapan wanita itu dengan suara tegas dan penuh kelembutan, matanya tajam menatap Zayden, tapi bukan dengan kemarahan—melainkan sebuah bentuk ketegasan dan sedikit rasa kerinduan.Kalau dipikir lagi, sudah sangat lama Zayden tidak bicara dengan Helena berdua seperti ini, terakhir kali mereka berada dalam jarak yang cukup d
Zayden berdiri perlahan dari kursinya—gerakannya tenang, tapi ada tekanan yang membuat ruang di sekitarnya terasa mengecil.“Aku akan menganggap pembicaraan tentang istriku hari ini … tidak pernah terjadi.” Suaranya terdengar dalam dan berat, setiap katanya mengandung peringatan. “Dan jangan pernah sekali pun Anda menyelidiki hubunganku, apalagi menyentuh masa lalu istriku. Jangan pernah melibatkan dia terlalu jauh.”Nada Zayden begitu tegas. Ia tidak berteriak—tak perlu—karena intonasi rendah dan mantapnya justru lebih menggetarkan. Sorot matanya menajam, seolah-olah menusuk Helena yang masih duduk di seberangnya.Helena mengangkat alis sedikit. Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat, namun cukup untuk menunjukkan bahwa ia tidak gentar. Wanita itu juga masih terlihat tenang seperti sebelumnya.“Nenek tidak pernah bilang kalau nenek tidak menyukainya,” ucapnya santai, seolah mencoba meredakan bara api yang baru saja dilemparkan. “Entah informasi yang kudapat benar atau tidak… tapi dari c
Udara di antara mereka jadi terasa berat. Tika menelan ludahnya sendiri, matanya tak berkedip menatap Alisha—berusaha membaca apakah ini sungguhan atau hanya gurauan level tinggi. Lalu, tawa Alisha meletup. Ringan dan renyah, memecah ketegangan yang menggantung. Ia menggeleng sambil menutup mulut dengan telapak tangan. “Duh, Tika! Mukamu barusan pucat banget, sumpah lucu banget ekspresimu!” Alisha terpingkal, menepuk-nepuk bahu temannya. Tika mendesah panjang, menepuk dada. “Astaga, Al! Kamu tuh ya… kalo mau ngelawak, yang lain aja topiknya! Jantungku kayak mau copot tahu gak!” “Tapi aku serius, loh.” Alisha masih tersenyum, tapi matanya tak bergeser sedikit pun dari wajah Tika. “Ya ampun, udah deh jangan becanda. Nggak lucu,” kata Tika setengah protes, tapi masih terlihat ragu-ragu. Alisha mendekat, mencondongkan tubuhnya, lalu berbisik pelan di telinga Tika, “Gimana kalau memang istri Pak Zayden itu ... aku?” Tika memundurkan tubuhnya sedikit, lalu melipat tangan di dada. “Kal
Saat Alisha membuka pintu ruangan kerja Zayden, matanya langsung menangkap sosok pria itu yang berdiri membelakangi mereka, sibuk dengan telepon di tangan, suaranya rendah namun terdengar tegas. Arsel yang duduk di kursi tamu di depan meja kerja Zayden segera berdiri. Ia tersenyum sopan lalu menghampiri Alisha. “Nyonya Alisha,” sapanya pelan. Alisha membalas dengan anggukan kecil dan senyum manis, lalu melirik Zayden yang masih sibuk berbicara sambil membelakangi mereka. Suasana ruangan itu terasa sedikit tegang, tapi Alisha tetap memberanikan diri berbisik pelan pada Arsel. “Dia, lagi menelpon siapa?” tanya Alisha sambil bisik-bisik. “Dia lagi nelepon siapa?” bisiknya sambil sedikit mencondongkan tubuh. Arsel hanya tersenyum kecil, tampak geli melihat tingkah istri muda bosnya itu yang berusaha bergosip. “Nyonya Helena,” jawabnya singkat. Alisha membelalak pelan. “Nenek?” Arsel mengangguk. “Bukannya tadi sudah ketemu?” tanya Alisha lagi. “Mungkin urusannya masih belum seles
Ruangan itu hening sejenak, hanya ada suara AC yang berdengung pelan. Zayden berdiri bersandar di meja, menatap Alisha yang berdiri tegap di depan pintu, lalu kemudian pria itu memberikan isyarat untuk menutup pintu lalu dia duduk di kursi kebesarannya.“Ada apa, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Alisha dengan nada formal..Zayden mengangkat alis. “Biasa saja ngomongnya. Nggak usah kaku. Cuma ada kita berdua di sini.”“Idih, tadi juga pas ada Arsel ngomongnya kaku banget.” Alisha menjawab dengan cemberut dan berjalan mendekat ke meja Zayden.Zayden menatap Alisha dengan sorot tajam. “Walaupun Arsel tahu hubungan kita seperti apa, kamu tetap harus bersikap profesional.”Alisha mengangkat alis. “Aku selalu profesional.”“Tetap hati-hati,” tegas Zayden. “Aku khawatir, kalau nanti ada orang lain selain Arsel, kamu kelepasan … dan hubungan kita ketahuan.”Alisha memutar bola matanya pelan mendengar ucapan barusan.Zayden mencondongkan sedikit tubuhnya, nada suaranya turun, tapi tajam. “
Saat tiba di rumah Zayden terkejut melihat Alisha yang masih belum tidur. Wanita itu sedang berdiri di depan jendela kaca besar dengan penerangan yang minim.“Kamu belum tidur?” tanya Zayden pada Alisha, saat Alisha berbalik melihat ke arahnya.“Ah, belum. Sengaja nungguin kamu.” Alisha menjawab jujur.“Sengaja?” Alisha menganggukkan kepalanya. “Kamu capek banget-banget gak? Kalo kita ngobrol sebentar setelah kamu bersih-bersih boleh, nggak?” Alisha bertanya tanpa basa-basi.Zayden mengangguk. “Baik, tunggulah sebentar kalau begitu.”Setelah mengatakan hal itu Zayden segera masuk ke kamar mandi, sementara Alisha masih terpaku melihat pemandangan kota dengan kerlap-kerlip lampu yang menghiasinya dari jendela besar ini.Tidak menunggu lama, Zayden keluar dari dalam kamar mandi, Alisha langsung menoleh ke arah pria itu, wajah Zayden sudah terlihat lebih segar, Zayden berjalan santai mendekat Alisha yang duduk di salah satu bean bag besar yang menghadap ke arah luar kamar.Makin dekat, wa
Ruangan itu mendadak sunyi. Bahkan detik jarum jam di dinding terdengar lebih lantang daripada detak jantung Alisha yang berdebar cepat.Otak Alisha berpacu, mencari celah untuk mengalihkan perhatian Nariza sebelum sandiwara ini terbongkar.“Ah, jadi kamu nama penamu itu Miss Chinta, ya?” Alisha akhirnya bersuara, berusaha memecah ketegangan dengan senyum tipis dan nada setenang mungkin.Nariza tidak langsung menjawab, hanya mengangguk pelan dengan tatapan tajam, seperti sedang menembus lapisan kepura-puraan.‘Gawat… dia curiga!’Alisha menelan ludah. Tangannya yang tadi santai kini mengepal kecil.“Wah, kalau begitu... kakak jadi penasaran mau baca deh! Siapa tahu kisahnya mirip banget. Kalau sampai sama, berarti kamu nulis kisah cinta kakak, dong?” lanjutnya dengan ekspresi seolah-olah benar-benar takjub.Ia menambahkan senyum lebarnya, mencoba terlihat setulus mungkin—padahal dadanya sudah sesak menahan gugup.Namun belum cukup. Nariza masih menatap, ekspresinya belum melunak.Alish
Setelah pertemuannya dengan Yumi tadi membuat Alisha merasa gelisah. Hanya saja semua bentuk kegelisahannya itu ditutupinya saat tiba di apartemen ini.“Hai, Kak!” sapa Nariza dengan senyum mengembangnya.“Wah, sepertinya kamu benar-benar sudah sangat sehat, ya!” Alisha berkata dengan nada riang seperti sebelumnya, jelas dia tidak mungkin memperlihatkan kegelisahannya itu di depan Nariza.“Kak Zayden pulangnya malam lagi, ya?” tanya Nariza.“Ya, masih banyak yang harus dia kerjakan di kantor.” Alisha menjawab santai, detik berikutnya, hidungnya mencium bau wangi dari masakan.“Kamu masak?” Alisha memastikan penciumannya.“Ya, aku sudah menyiapkan makanan untuk kita bertiga, cuma sepertinya Kak Zayden tidak makan bareng kita ya malam ini.” Nariza berkata dengan mendesah pelan.“Sudah tenang saja, semua yang kamu siapkan pasti akan habis kok!” Alisha terkekeh ringan.Alisha memang tidak memesan makanan berat saat bersama Yumi tadi, karena dia tahu kalau ada Nariza biasanya adiknya ini su
“Hei!” Yumi menepuk pundak Alisha hingga membuatnya tersadar dari pikirannya yang terbang memikirkan Zayden.“Ah, kamu ngagetin aja deh!” Alisha berkata dengan mengerucutkan bibirnya, lalu dia memasang seat belt dengan santai.Melihat hal itu, Yumi mengernyitkan keningnya. “Jadi, kamu sudah dapat izin nih ceritanya?” Yumi berkata dengan nada sedikit menyindir sahabatnya itu, karena sebelumnya Alisha seolah-olah tidak ada waktu untuk mereka.“Untungnya dia sangat sibuk dan akan pulang larut malam. Jadi, kita bisa ngobrol dengan santai, cuma ….” Alisha menjeda sejenak, dia teringat pesan Zayden itu. “Aku tidak bisa sampai malam banget, karena Nariza sudah pulang dari rumah sakit, kasian dia sendirian di rumah.”“Nariza sudah pulang ya, syukurlah.” Yumi berkata dengan senang. “Ya sudah kita pergi sekarang.”Yumi segera melajukan kendaraannya dengan kecepatan rendah, karena jalanan masih sangat padat. Tidak begitu lama mereka sudah ada di salah satu restoran ala Timur Tengah yang ada di de
Alisha menerima telepon itu dengan cepat, nada bicaranya ringan, tapi penuh ketertarikan. “Halo, Yumi,” sapanya lembut.“Al, kamu sibuk nggak hari ini? Aku pengin banget ketemu. Ada yang mau aku omongin,” ucap Yumi dengan menjeda sebentar, “… dan ini sangat penting!” suara Yumi terdengar sangat serius.Alisha tersenyum, kalau sahabatnya mengatakan hal seperti ini jelas ini berkaitan dengan Alvin Wicaksana, siapa lagi yang membuat Yumi mendadak sangat serius, menatap layar ponselnya sejenak sebelum menjawab. “Aku juga, Yum. Aku malah baru aja mikir kamu orang yang paling pas buat aku ajak ngobrol. Tapi ...” Suara Alisha menggantung.Entah kenapa Alisha mendadak terpikir bagaimana mereka bisa bertemu sementara malam ini dia harus menyiapkan makan malam untuk Zayden.“Tapi kenapa? Apa kamu harus izin dulu sama Kak Zayde?” tanya Yumi cepat dengan nada selidik.“Itu … aku udah janji sama Zayden mau masak makan malam hari ini.” Alisha menggigit bibir bawahnya, matanya menyapu kalender kecil
“Bella, Bella...” Nada suara Alisha terdengar santai, tapi matanya menyiratkan ketegasan saat ia melangkah ke wastafel di sebelah Bella. “Kenapa, sih, kamu hobi banget nyebar gosip nggak penting?”Tangan Alisha memutar keran, air mengalir, membasahi jemarinya yang ramping. “Aku peringatkan ya,” lanjutnya sambil mengusap sabun ke telapak tangan, “jangan asal bikin cerita, apalagi yang nyeret-nyeret nama Pak Zayden.”Bella mendengkus. “Kamu itu ya, Alisha, jangan kebanyakan gaya, mentang-mentang sudah jadi sekretaris CEO!” katanya sinis, melipat tangan di depan dada.Alisha hanya menoleh sekilas, tidak terpancing. Ia melanjutkan mencuci tangan, gerakannya tenang. “Oh, ya?” jawabnya datar, seolah komentar Bella barusan tidak lebih dari sekadar suara angin lewat.“Lihat aja nanti,” ujar Bella lagi, kali ini suaranya mengandung ancaman yang samar. “Kamu pikir kamu bisa bertahan di kantor ini? Jangan terlalu yakin. Semua orang di sini itu terlibat satu sama lain. Kalau ada yang jatuh, semuan
Mendengar hal itu Alisha sontak menggeleng-gelengkan kepalanya, dia memandang Zayden dengan sorot mata yang cukup rumit. Entah kenapa dia merasa sangat berat menjadi Zayden. Sepertinya, dia bukan orang yang disukai di keluarganya sendiri.Mulai dari sepupunya Tania, lalu Tante Vivian, sekarang anaknya Vivian–Austin. Entah kenapa dia melihat Zayden sedikit berbeda. Namun, semua itu masih ditahannya untuk mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya, mengingat saat ini mereka tidak hanya berdua saja di mobil ini.“Kenapa?” tanya Zayden mempertanyakan ekspresi Alisha itu.“Nanti saja,” ucap Alisha lalu melihat ke arah sopir itu, sementara Zayden mengangguk pelan, mengerti bahwa apa yang akan dikatakan Alisha sangat privasi untuk mereka berdua.“Malam ini kamu mau makan apa?” tanya Alisha mengalihkan topik pembicaraan mereka.“Apa saja yang kamu siapkan,” jawab Zayden singkat.Jawaban ini, jelas membuat Alisha menghela napas berat. “Ya sudah, jangan protes kalau kamu tidak suka dengan makanan
Sesampainya di mobil, Alisha masuk lebih dulu dan langsung duduk diam. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Tatapannya tertuju lurus ke depan, meski ekor matanya beberapa kali mencuri pandang ke arah Zayden yang kini duduk di sebelahnya—dengan wajah jauh lebih kelam dari biasanya.Banyak yang ingin ia tanyakan. Banyak hal yang memenuhi pikirannya. Tapi… Alisha memilih diam. Saat ini, ia tak punya cukup keberanian untuk mengusik ketegangan yang menggantung rapat di antara mereka.Sampai akhirnya suara berat Zayden memecah hening, dingin namun terdengar seperti tantangan.“Katakan, apa yang kamu mau?”Kalau sebelumnya dia sangat bersemangat dengan reward yang akan diberikan Zayden, tetapi kali ini dia tidak tahu apa yang dia inginkan dari pria itu, apalagi ancaman Austin terdengar sangat serius.“Aku tidak mungkin mengingkari ucapanku, kan? Kamu sudah berhasil membuatku dan Austin bertemu. Sesuai kesepakatan aku akan memenuhi janjiku.” Zayden berkata tegas.“Ah, itu ….” Suarany
Seketika atmosfer di ruangan itu berubah. Tegang. Padat. Seperti udara dipenuhi arus listrik. Wajah Austin mengeras, senyumnya pudar. Kilatan marah muncul di matanya, tapi ia menahan diri. Rahangnya mengencang. Tangannya mengepal, nyaris tak terlihat di balik meja, tapi cukup untuk menyampaikan satu hal—ia tersulut. Alisha menelan ludah. Ia bisa merasakan denyut nadi di lehernya berdetak lebih cepat. Matanya bergantian menatap dua pria di hadapannya, keduanya berdiri seperti dua kutub yang siap saling hantam kapan saja. Tak ada basa-basi. Tak ada formalitas manis. Kemudian, pikiran yang tidak masuk akal muncul dalam benaknya. ‘Apa dia ini kekasihnya Zayden?!’ Hanya saja, itu seperti tidak mungkin. ‘Tidak, tidak, tidak! Ini tidak masuk akal. Konyol sekali!" Alisha membantah pikirannya sendiri. Zayden tanpa diperintah duduk dengan santainya di sofa kulit berwarna hitam itu, lalu menengadahkan tangannya ke arah Alisha, memberikan isyarat pada wanita itu untuk memberikan file