“Aku hanya ingin tahu, apakah kamu benar-benar mencintai Mervyn, atau hanya menganggap dia sebagai ayah dari anak-anakmu?” tanya Sarah memastikan. “Aku mencintainya, Bu,” jawab Mireya tanpa ragu. Sarah mengangguk. “Baiklah. Aku lega mendengarnya.” Namun, ada tatapan yang seakan berbanding terbalik dengan apa yang baru saja terucap dari bibirnya. Setelah Mireya kembali ke kamar, raut wajah Sarah langsung berubah sengit. “Dia tidak boleh jatuh cinta pada Mervyn. Itu hanya akan membuatnya semakin sulit dipisahkan dari Mervyn,” gumamnya sambil mengepalkan kedua tangan erat-erat. *** “Mami, Papi!” panggil Michelle dengan suara penuh kegembiraan. Mireya dan Mervyn saling berpandangan, lalu menghela napas bersamaan. Mireya segera menghampiri kedua anak itu dan berjongkok di depan mereka, mengusap kepala Michelle dengan lembut. “Iya, Sayang?” jawab Mireya, mencoba tersenyum. “Ada apa, hm?” Michelle memandang ibunya, sementara Marcell mendekati Mervyn dan menarik lengan kemejany
"Aku memiliki beberapa cabang perusahaan," kata Mervyn, matanya kini fokus pada sebuah lukisan di dinding yang seolah berbicara lebih banyak daripada sekadar seni. "Salah satunya ada di kota ini. Dan kebetulan, ada proyek besar yang sedang aku jalani di sini." Suaranya terdengar begitu pasti, tapi ada sesuatu yang lebih dalam yang tak bisa disembunyikan. Mireya mendengarkan dengan khidmat, tubuhnya sedikit condong ke depan, memperhatikan setiap gerak gerik Mervyn. Beberapa detik berlalu sebelum dia berbicara, "Dan kamu merasa bersyukur bisa kembali ke sini, kan?" Mervyn mengangguk perlahan, matanya kini bertemu dengan Mireya. "Iya. Karena akhirnya aku bisa bertemu dengan kamu lagi... dan anak-anak," jawabnya, nada suaranya lebih lembut, namun ada kehangatan yang tak terbantahkan di dalamnya. Mireya merespons dengan senyum tipis, meski hatinya terasa dipenuhi dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Mereka sudah lama tidak berbicara seperti ini, seperti dulu, saat semuanya ter
Keesokan harinya .... “Mireya, ini Ayah..." Mireya hampir menjatuhkan panci di tangannya ketika suara berat itu terdengar di seberang telepon. Awalnya, ia sempat ragu-ragu untuk mengangkat panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Namun, saat mendengar suara yang sudah lama tak lagi mampir di telinganya, hatinya seketika bergetar. Itu suara Henry, ayah kandungnya. “Kenapa Ayah meneleponku?” tanya Mireya dingin setelah beberapa detik terdiam. Tangannya mencengkeram ponsel erat, sementara matanya menatap kosong ke arah panci yang berisi sup di atas kompor. Suara Henry terdengar gemetar. “Mireya, Ayah ... Ayah merindukan kamu, Nak. Sangat rindu.” Mireya tersenyum pahit. Rindu? Kata itu terasa begitu asing dari mulut pria yang pernah dengan tega mengusirnya dari rumah tanpa mendengarkan penjelasannya. “Kamu apa kabar, Mireya? Kamu baik-baik saja, kan?” Henry melanjutkan pertanyaannya, suaranya bergetar seolah takut mendengar jawaban dari Mireya. Mireya menelan ludah. Ada
"Mireya, apa kamu yakin ingin pergi sendiri?" Suara Mervyn terdengar khawatir di telepon. Mireya bisa merasakan ketegangan dalam nada bicaranya. “Aku yakin, Mervyn. Aku bisa pergi bersama Marcell dan Michelle. Mereka sudah cukup besar untuk ikut denganku,” jawab Mireya meyakinkan. “Tidak, lebih baik aku ikut mengantarmu. Aku tidak suka membayangkan kamu dan anak-anak di perjalanan jauh sendirian,” ucap Mervyn bersikeras. “Mervyn, jangan khawatir. Aku sudah dewasa. Ini juga untuk kepentingan emosional, bukan hanya fisik. Aku ingin bertemu dengan ayahku. Ini penting bagiku.” Mireya menjelaskan dengan nada lembut, berusaha meredakan kekhawatiran Mervyn. “Baiklah, tapi kamu harus berjanji untuk menghubungiku setelah sampai di sana. Dan jika ada apa-apa, langsung telepon aku.” Mervyn akhirnya menyerah. “Aku berjanji,” jawab Mireya, merasa lega. “Sekarang aku harus bersiap-siap. Aku tutup teleponnya, ya?” “Jaga diri ya, sayang,” Mervyn menambahkan dengan suara penuh perhatian
“Begini ...” Henry berhenti sejenak, ragu. “Bukannya Kakek tidak mau datang ke rumah kalian, hanya saja... ada kesalahpahaman antara Kakek dengan ibu kalian. Karena kalian masih kecil, jadi Kakek belum bisa menceritakannya untuk saat ini.” Suara Henry terdengar berat, seolah kata-kata yang hendak dia sampaikan begitu sulit meluncur dari bibirnya. Marcell, yang duduk di dekat Henry, mengerutkan kening. Anak laki-laki itu tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahu yang membuncah. Meskipun masih terlalu muda untuk memahami apa yang sedang terjadi, pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya, murni karena kebingungannya. “Kesalahpahaman apa, Kek?” Suaranya terdengar kikuk, seolah mencari kepastian dari jawaban yang belum ia dapatkan. Mata cokelat Marcell membelalak, berharap Kakeknya akan menjelaskan lebih jauh, memberikan gambaran yang bisa mereka mengerti. Namun, sebelum Henry bisa membuka mulut, Mireya, yang duduk di samping ayahnya, langsung menoleh dan memberikan pandanga
Karin menyebut Mireya sebagai tamu, dan dalam sekejap, Henry langsung menatapnya.Matanya menyipit, tajam, seolah setiap kata yang keluar dari bibir Karin menghantam langsung ke jantungnya.Henry merasa seperti ada beban berat yang menekan dadanya, meski tubuhnya sudah rapuh dan lemah. Sorot matanya itu jelas menunjukkan ketidaksetujuan yang tak bisa disembunyikan, dan bahkan tanpa kata-kata, segala perasaan yang terpendam selama ini meluap begitu saja.“Mireya bukan tamu, Karin. Dia anakku, anak kamu juga,” suara Henry terdengar begitu tegas, meskipun tubuhnya yang terbaring lemah di ranjang seolah menjadi pengingat betapa sedikit lagi kekuatan yang ia miliki. Tetapi, ada semangat yang membara dalam kalimat itu, seolah dia berusaha menunjukkan bahwa kata-kata kasar Karin tidak bisa mengubah kenyataan.Karin hanya mendengkus, suaranya penuh dengan penghinaan yang tak terucap. Ia menyilangkan tangannya di depan dada, sebuah sikap yang penuh dengan sikap defensif dan meremehkan.Wajahny
Karin berdiri di depan Mireya, matanya tajam menilai, menyusuri setiap detail dari tubuh wanita muda di hadapannya. Dari penampilannya yang sedikit lebih kurus, dengan pakaian yang terasa sedikit longgar, Karin mulai merasa ada yang tidak beres. Ia memusatkan pandangannya pada perut Mireya, yang dulunya bulat dan membesar, kini tampak lebih rata. Memori tentang kehamilan Mireya masih segar dalam ingatannya, dan entah mengapa, ada rasa penasaran yang mendorongnya untuk bertanya. "Mana anakmu?" suara Karin datar, tapi penuh penekanan. Ia berusaha membaca ekspresi Mireya, tapi wajah wanita itu tetap tenang, seolah tidak ada yang salah. Mireya menundukkan kepala sedikit, seolah merenung sejenak sebelum akhirnya membuka mulut. "Ada," jawabnya, singkat. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, hanya kata-kata yang disampaikan dengan nada yang cenderung datar, seperti menahan sesuatu yang lebih dalam. Entah itu kebingungan, atau sekadar kelelahan. Tentu saja, Karin tidak bisa mengabaikan
Pagi itu, udara di kantor terasa lebih sepi dari biasanya, hanya ada suara detak jam dinding yang mengisi ruang, menciptakan kesan hening yang begitu berat.Mireya melangkah melewati lorong kantor, pikirannya terfokus pada satu tujuan yang sudah ia tentukan. Ia tidak pernah merasa seberat ini, namun ia tahu ini adalah langkah yang harus ia ambil. Surat pengunduran dirinya sudah ada di tangannya, rapi terlipat, siap diserahkan. Begitu sampai di depan pintu ruang Julian, Mireya berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Takut dan ragu bercampur aduk, namun ia tahu ini adalah yang terbaik. Dengan hati yang sedikit berdebar, ia mengetuk pintu. "Masuk," suara Julian terdengar serak dari dalam. Mireya menarik napas lagi sebelum memutar gagang pintu dan melangkah masuk. Julian sedang duduk di belakang meja kerjanya, tubuhnya sedikit condong ke depan, tampak begitu tenggelam dalam pekerjaannya. Namun, ketika ia melihat Mireya masuk dan mendekat dengan langkah pa
Di ruang CEO, Mervyn tampak duduk di kursi putar seraya menatap Rayyan yang berdiri di depan meja kerjanya.“Apa sudah kamu informasikan kepada orang-orang itu mengenai kedatangan istriku hari ini?” tanya sang CEO.Rayyan menjawab, “Sudah, Pak. Persiapannya juga sudah matang.”“Bagus!” Mervyn mengangguk, merasa puas mendengar jawaban asistennya. “Bagaimana dengan hadiah yang aku bicarakan kemarin?”“Hadiahnya juga aman, Pak. Saya sudah menyuruh seseorang untuk memberikan hadiahnya kepada Nyonya, Tuan dan Nona Kecil ketika mereka sampai di rumah.”“Kerja bagus!” puji Mervyn. Rayyan memang selalu dapat diandalkan kapan dan di mana pun dia membutuhkannya.***Beberapa jam setelah melakukan perjalanan, Mireya, Marcell dan Michelle akhirnya tiba di lokasi tujuan.Kedatangan Mireya bersama kedua anaknya di tempat kediaman Mervyn disambut oleh banyak orang yang telah dipekerjakan oleh Mervyn dengan posisi bagian dan tugas yang berbeda-beda.Saat melewati pintu, ada beberapa penjaga yang lang
Mervyn meraih telapak tangan Mireya untuk digenggam. “Kamu tahu, ‘kan, alasan dari kedatangan aku ke sini hanya untuk mengurus project anak perusahaan Grup Jordan?”Mireya mengangguk pelan, tetapi dia mulai bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang ingin disampaikan oleh Mervyn.“Dan sekarang urusannya sudah selesai. Aku berencana akan membawa kamu dan anak-anak kembali ke kota A. Apa kamu keberatan?” tanya Mervyn tanpa banyak basa-basi. Sebab, cepat atau lambat dia memang harus bicara jujur pada Mireya.Wajah Mireya berubah murung ketika mendengar ucapan Mervyn.Bagi Mireya, kota A menyimpan banyak kenangan pahit yang telah lama berusaha dia kubur bersama luka-lukanya.Dari sejuta mimpi buruk yang dia miliki di kota tersebut, satu-satunya yang bisa dia syukuri hingga sekarang hanyalah kehadiran anak kembar dalam hidupnya. Sementara sisanya tak lebih dari tumpukan benang yang hanya akan memperparah bongkahan luka di dada.“Maksud kamu, kita akan tinggal di sana?” tanya Mireya dengan
Pertanyaan polos Michelle membuat Mireya gelagapan. Napasnya berhenti sejenak seiring kelopak mata yang terbuka lebar. Dengan cepat dia pun menyembunyikan jejak kemerahan di lehernya menggunakan telapak tangan.“I–ini ....” Mireya mencoba menemukan alasan yang masuk akal.Tapi apa?Tak jauh darinya, Mireya melihat Mervyn sedang berdiam diri di depan pintu toilet sembari menahan tawa. Membuatnya melotot kesal.Bisa-bisanya pria itu tertawa dengan sikap yang begitu tenang, sementara Mireya sedang pusing memikirkan jawaban!Padahal, tanda merah yang Mireya dapatkan jelas-jelas dibuat olehnya!Mireya kembali menatap Michelle. “Elle bisa tanya langsung pada Papi. Karena, Papi lebih tahu,” ucapnya seraya tersenyum lebar.“A–apa?” Mervyn mengerjap. Raut wajahnya berubah datar hanya dalam hitungan detik. “Kenapa harus aku yang jawab?”Mireya tersenyum miring. Merasa puas menyaksikan reaksi sang suami. “Bukankah kamu yang menyebabkan ini terjadi? Jadi, kamu saja yang jawab!” putusnya secara mu
Mervyn dan Mireya terkejut ketika ada yang mengetuk pintu dari luar. Setelah itu, suara imut khas anak kecil mulai terdengar.“Mami, Papi! Acell dan adik boleh buka pintunya, tidak?” tanya Marcell.Sepasang suami dan istri itu tampak kelimpungan. Bagaimana mungkin mereka membiarkan kedua anak itu masuk dalam keadaan tubuh yang tidak mengenakan apa pun?Ah, kecuali Mervyn yang hanya memakai celana panjang.“T–tunggu sebentar! Mami akan membukanya,” sahut Mireya, lalu mengambil pakaian yang berserakan di lantai dan segera mengenakannya.Usai keduanya mengenakan kembali pakaian mereka, Mireya pun berjalan untuk membukakan kunci pintu.“Elle, Acell, ada apa?” tanya Mireya, sementara Mervyn baru saja masuk ke toilet untuk buang air kecil.“Mami ... eum, ada yang ingin kami katakan, tapi kami khawatir Mami akan marah,” ujar Marcell dengan raut wajah terlihat sedikit cemas.Mireya mengernyit. “Bagaimana kalian bisa tahu Mami akan marah atau tidak, sedangkan kalian saja belum mengatakan apa-a
Di atas kasur, Mireya tampak mengenakan selimut tebal yang menutupi seluruh tubuh polosnya.Wanita itu memandang Mervyn yang baru saja memungut celana dan kaos miliknya yang berserakan di lantai, lalu mulai memakainya kembali.Mireya cukup terkejut menerima perlakuan suaminya yang tiba-tiba menjadi begitu liar dan brutal.Dugaan sementara, Mireya menaruh curiga bahwa semua yang dilakukan Mervyn disebabkan oleh rasa cemburu akibat kesalahpahaman antara pria itu, Mireya dan juga Julian.Selesai mengenakan celana panjang berbahan levis, dengan tubuh bagian atas yang masih telanjang, Mervyn naik ke atas kasur untuk kembali mendekati istrinya.Cup!Mervyn mendekap wanita itu seraya mengecup pelipisnya sekilas. “Ingat apa yang tadi kukatakan? Kamu, dan semua yang ada pada dirimu adalah milikku, Mireya. Jangan biarkan orang lain menyentuhnya!”Mireya mengangguk, tetapi perasaannya tidak kunjung lega meskipun dirinya kini sedang ada dalam dekapan hangat sang suami.“Kenapa menatapku begitu, h
Brak!Mervyn membuka pintu kamar, mendapati Mireya yang kini sedang melipat pakaian sembari duduk di tepi kasur bermotif bunga mawar.Wanita itu mendongak saat mendengar derit pintu, lalu bergegas bangkit menghampiri suaminya yang baru pulang ke rumah entah dari mana.“Kamu sudah kembali?” sambut Mireya seraya tersenyum manis.Mervyn, dengan wajah garang serta sorot mata yang menunjukkan amarah, sama sekali tidak menjawab kalimat tanya yang diajukan oleh Mireya.Di sepanjang jalan menuju ke rumah, Mervyn sudah terlalu banyak menahan emosi, dan sekarang kemarahan itu bertambah semakin besar saat dia melihat ekspresi lugu istrinya yang terkesan seakan tidak melakukan kesalahan apa pun di belakangnya.Mireya menyadari ada yang tidak beres dari raut wajah Mervyn. Lantas pada saat dirinya berada di hadapan Mervyn, dia segera mengangkat satu tangan guna menyentuh pipi pria itu.“Mervyn, apa yang terjadi?” tanya Mireya lembut. “Apa kamu baru saja mendapatkan masalah?” tambahnya.Tatapan Merv
Mireya pun menjelaskan kejadian mengenai Felix yang membohonginya dengan mengatakan bahwa Henry, ayah mereka, sedang mengalami kritis di rumah sakit. Namun, ternyata Felix malah membawanya ke tempat asing dan menjadikannya jaminan utang. “Felix?” Mervyn mengerutkan dahi saat mendengar nama yang tak dia kenal. “Siapa dia?” “Dia kakak laki-lakiku. Kami lahir dari ibu yang berbeda, tetapi masih satu ayah,” terang Mireya. “Kalau begitu, artinya dia juga kakaknya Felly?” tebak pria itu. Lantas Mireya mengangguk. “Ya, mereka satu ibu,” tambahnya. Mervyn manggut-manggut paham, lalu terdiam setelahnya. Akan tetapi, isi kepalanya terus bekerja memikirkan sosok Felix yang telah membuat istri kesayangannya hampir menjadi korban pemerkosaan. Mervyn bersumpah, suatu saat Felix pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya! “Mervyn, kenapa melamun?” Mireya menyentuh sebelah pipi Mervyn dan membuatnya sedikit terkejut. Mervyn menunduk, menatap ke dalam mata cantik ist
“Hey ... apa yang kamu pikirkan?” Mervyn menyelipkan anak rambut Mireya ke belakang telinga wanita itu. “Aku tidak pernah menganggap kamu pembawa sial. Sebaliknya, aku justru merasa lebih bahagia setelah bertemu kembali dengan kamu dan anak-anak. Siapa bilang kalau kamu pembawa sial?”Mireya merasa sedikit lebih lega. Namun, perasaan sedih dan bersalah itu masih belum hilang sepenuhnya dari dalam diri. Melihat kondisi Mervyn yang tidak berdaya seperti saat ini membuatnya sangat sedih.“Mervyn, apa boleh aku menceritakan alasan yang sebenarnya?” tanya Mireya seraya mendongak, menatap mata sang suami dengan lebih serius dan dalam.Cup!Mervyn mengecup pelipis Mireya lekat-lekat. “Ceritakanlah,” balasnya.Mireya menghela napas sejenak. “Sebenarnya ... saat tiba di rumah sakit, aku duduk menunggu kamu di luar ruangan. Aku terus mendoakan untuk keselamatan kamu. Kemudian, tiba-tiba Ibu datang bersama Lisa. Aku menjelaskan pada Ibu mengenai apa yang terjadi dengan kamu, lalu Ibu menyalahkan
Setelah menjalani rawat inap selama hampir satu minggu di rumah sakit, Mervyn akhirnya diperbolehkan pulang oleh dokter hari ini. Akan tetapi, dia tetap membutuhkan banyak istirahat di rumah, supaya proses penyembuhan luka di perutnya lebih cepat selesai.Malam itu, di saat Marcell dan Michelle sedang belajar bersama di kamar mereka, Mireya membuatkan segelas susu hangat untuk Mervyn.Mireya menghampiri Mervyn yang berbaring di atas kasur, meletakkan sejenak gelas di atas meja. Kemudian, membantu Mervyn mengubah posisi menjadi duduk dengan kedua kaki diluruskan serta punggung yang bersandar pada kepala kasur.“Minumlah ...” ucap Mireya sembari menyodorkan kembali susu di dalam gelas berbahan kaca ke arah Mervyn.“Terima kasih,” ucap Mervyn seraya mengambil alih benda itu dan mulai meneguk minumannya pelan-pelan.“Mireya, aku mau tanya sesuatu.” Mervyn meletakkan gelas di atas meja, lalu menatap istrinya dengan serius.“Tanyakan saja,” kata Mireya yang tengah duduk di tepi kasur, menun