"Jangan deket-deket, Pak!" larang Sinta berjalan mundur, bosnya menyeringai dan Sinta menggeleng-gelengkan kepalanya, jantungnya berdetak sangat kencang. Ia tak tahu harus berbuat apa sekarang, tak bisa berpikir jernih karena takut.
Bosnya terus mendekat sampai Sinta hampir terjerembab ketumpukan pakaian-pakaian yang baru datang, belum diberi bandrol harga.
"Kamu mau nggak jadi istri simpenan saya? saya udah lama pengen jadiin kamu pacar tapi kamu menghindar terus, Sin. Ayolah, mau ya? Apapun saya kasih, dan jangan panggil saya pak lagi, kita kan cuma beda sepuluh tahun aja, Sin," ucap pria yang tiba-tiba menampakkan belangnya ketika mereka sedang berdua saja di gudang ... lebih tepatnya si bos yang menyusulnya ke gudang. Ia terus mendekat sampai Sinta terpojok ke belakang rak.
"Stop, Pak! Jangan deket-deket saya! saya peringatkan Bapak!" Kedua tangan Sinta terulur ke depan, bosnya ingin menciumnya. Sinta mendorong kasar tubuh gempal berisi yang berdiri di depannya, pria itu dengan cepat mendekat lagi menyingkirkan tangan Sinta, memegang dagu gadis manis yang tak lain adalah karyawati tokonya.
"Jadi istri saya itu enak, Sin. Nggak perlu capek-capek kerja, kamu saya jatah lima juta sebulan, di luar biaya kuliah, kamu tetep mau nolak?" ujarnya congkak, ia membuka kancing kemejanya. Sinta menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. "Saya perkasa loh, Sin. Dari pada cowok-cowok di luar sana yang belum tentu bisa buat kamu merasakan nikmat dunia." Bosnya berucap sambil terkekeh pelan, ia sudah bertelanjang dada sekarang. Bosnya berniat melucuti pakaian Sinta.
"Stop, Pak. Inget istri bapak, Bapak gila apa?!" teriak Sinta terus mendorong tubuh kekar yang mengungkungnya.
"Udahlah, istri saya nggak akan tau. Fokus ke kita aja, Sin. Nanti kamu minta berapa aja saya kasih, Sin. Apa kamu masih perawan sampai kamu menolak keras?" Bosnya menarik diri, memberi ruang Sinta untuk menjawab.
"Bukan urusan Bapak!" bentak Sinta sinis.
Bosnya tersenyum, juga mengangguk-angguk ... maju selangkah lagi, ia dengan santai melepas ikat pinggangnya sambil terus saja menatap Sinta, karyawatinya ketar-ketir ingin berteriak.
"Bapak gila ya?!" Sinta menutup matanya dengan satu telapak tangannya.
"Iya, Sin. Saya tergila-gila sama kamu, hehehe."
'Dasar gila!' maki Sinta dalam hati. 'gimana caranya kabur, Ya Tuhan tolooong ...."
Tok Tok Tok!
Ketukan dipintu gudang sontak membuat keduanya menoleh.
"Sin! Kamu di dalem? Lama banget sih ngambil plastiknya? buruan, Sin!"
Hening, Sinta ingin berteriak menjawab namun bosnya lebih dulu membekap mulutnya.
Dok Dok ... Dok Dok Dok
Ketukan pelan kini menjadi gedoran memburu.
Teman kerja Sinta menggedor-gedor keras pintu gudang, kesempatan Sinta untuk kabur, pikirnya.
Bosnya melepas tangannya dan menyuruhnya diam, Sinta berlagak menurut dengan mengangguk-angguk. Sekarang bosnya sibuk memelorotkan celananya, Sinta melesat kabur, namun tangan bosnya sigap meraih tangan kiri Sinta.
"Aduuh! Lepasin, Pak atau saya teriak! Bapak nggak takut?!" ancam Sinta geram. Ia tak habis pikir kenapa bosnya bisa nekat begitu.
"Sin! Cepetan!" teriak Sari yang tak tahu keadaan di dalam gudang.
"Iya, Sar!" balas Sinta setengah berteriak.
"Udahlah, Sin biarin aja. Biar saya yang urus kalau ada yang marahin kamu, ya ... Ayo, sekarang aja, Sin, tanggung joni saya udah tegak."
Sinta menatap tajam penuh ancaman ke arah bosnya, tapi bosnya sama sekali tak takut malah tertawa. Dasar gila!
Karena tak kunjung dilepaskan maka Sinta menginjak kaki bosnya hingga bosnya mengaduh dan melepaskan tangan Sinta. Karyawatinya berlari menuju pintu langsung berniat membuka pintu yang terkunci, untungnya kuncinya masih tertancap dilubang kunci. Tangan Sinta gemetaran membuatnya susah memutar kunci.
Si bos masih sibuk mengenakan kembali pakaiannya yang ia tanggalkan. Sinta gelisah, ia terus memeriksa ke belakang takut bosnya menyergap dari belakang, sepuluh detik kemudian Sinta berhasil keluar, bosnya belum muncul. Sinta bisa bernapas lega, ia berjalan cepat diikuti Sari yang kesal.
"Sin, mana kantongnya?" tanya Sari sambil cemberut, mengulurkan tangannya.
"Gue keluar, Sar. Sorry lo ambil sendiri di gudang," balas Sinta mengacuhkan Sari, ia berlalu menuju loker karyawan.
"What? Lo kesambet setan apaan sih, Sin?"
Sinta masuk ke ruangan karyawati, ia melepas kaos kerjanya, namun ia masih memakai tanktop. Ia memakai hoodienya lalu mengambil tasnya buru-buru.
"Maksudnya lo bolos ya? Sin-"
"Gue keluar, gue mau cari kerjaan lain aja, bye, Sar, sampek ketemu di luar sana." Sinta menyambar helm dan keluar tergesa-gesa.
"Sin ... Sin!" pekik Sari sambil berlari mengejar Sinta yang keluar dari toko, namun ia urungkan karena diteriaki pembeli. Ia lantas tak enak hati dan pergi ke gudang untuk mengambil kantong plastik, belum ia masuk ke dalam sana ia berpapasan dengan bosnya yang keluar dari gudang.
Sari hanya menunduk dan berlalu begitu saja tapi dalam batinnya bertanya-tanya, ada apa gerangan.
'Kenapa si bos keluar dari gudang? Jangan-jangan ... Jangan-jangan Sinta diapa-apain?'
"Sari!" panggil si bos menggelegar.
Ia tersadar lalu menyambar kantong plastik lalu kembali menuju meja kasir. Dengan napas memburu, ia mendekat ke kasir.
"I-iya, Pak."
"Ini kenapa pelanggan kamu biarin nunggu lama?"
'Bukannya elo yang ngunciin Sinta di gudang, pake nyalahin gue lagi!' batin Sari kesal, melirik bosnya.
"Sa-saya ngambil kantong plas-"
Bosnya menyambar kantong plastik dan membungkus pakaian milik pelanggannya, semenit kemudian tersenyum ramah dan mengulurkan uang kembalian pada si pelanggan.
"Terima kasih," ucap bosnya ramah.
Sari berniat pergi dari kasir, namun si bos sudah lebih dulu bertanya padanya.
"Sar, Sinta ke mana? toilet?" tanya si bos dengan santainya.
"Emm-anu ... Pak, anu-"
"Apa sih ngomong tuh yang jelas, ini masih jam 7 loh, Sar. Sinta ke mana?"
"Itu-Pak, Sinta katanya keluar," jawab Sari takut-takut, memainkan jemarinya gugup.
'Aduh, gimana nih kalo gue yang kena' batin Sari ingin mengumpat saking kesalnya terjebak dalam situasi tak mengenakkan.
"Apa?!" Si bos keluar dari balik meja kasir. "Harusnya kamu bilang dong, dia katanya pergi ke mana?"
"Katanya bukan keluar ke mana gitu, Pak, tapi resign." Nada bicara Sari merendah.
"Apa? Dia bilang gitu sama kamu? Wah wah wah, nggak bener ini. Sinta kenapa juga main resign aja, heran," gerutunya sambil masuk ke dalam ruangan kecil yang ia sebut ruang kerjanya. Si bos terlihat panik, Sari melihat kening bosnya berkeringat padahal ditoko sudah terpasang AC.
Kini Sari cemas, entah ia mencemaskan apa, mencemaskan temannya atau dirinya sendiri.
Krieet.
Pintu dibuka muncullah bosnya dari dalam ruangan kerjanya lalu berlalu begitu saja melewati Sari yang mondar mandir dibalik meja kasir.
"Pak, mau ke mana?" tanya Sari gugup.
"Bukan urusan kamu, nanti tutup seperti biasanya, bawa kuncinya."
Si bos tergesa-gesa seperti mengejar sesuatu atau dikejar sesuatu, namun Sari enggan mengurusinya, ia memilih untuk tak menghiraukannya sesuai perintah bosnya.
***
Motor yang dikendarai Sinta tiba-tiba dihadang oleh mobil yang langsung berhenti di jalan depannya. Mau tak mau Sinta mengerem laju motornya dari pada harus ganti rugi jika ada kerusakan yang disebabkan oleh dirinya. Sinta yang moodnya sudah hancur karena bosnya, bukan ... tepatnya mantan bosnya seperempat jam lalu kini tambah kesal karena pengguna jalan yang menghadangnya. Ia mematikan mesin motor dan turun, melepas helmnya dan siap memukulkannya ke pemilik mobil itu.
'Brengsek! Siapa sih yang cari gara-gara, pengen gue hajar kali nih orang!'
Sinta mendekat ke pintu kanan mobil, hendak memprotes namun si empunya keluar dengan girangnya terkekeh, Sinta terkejut dan tak habis pikir.
"Kamu mau ke mana sih, Sin? Kamu nggak bisa lari dari saya, kamu nggak bisa apa nurut gitu?" ujar si bos lembut.
Sinta diam, mengangkat helm dan siap untuk menghantamkannya ke muka bosnya yang cabul.
"Mau saya hajar?" tantang Sinta mencoba berani, namun siapa sangka bosnya malah merebut helm Sinta, dan menariknya agar mau masuk ke dalam mobilnya.
"Ayo, ikut saya aja, masuk ke dalam!"
"Nggak, saya nggak mau! Jangan maksa, Pak!" Sinta berusaha melepas cengkraman di pergelangan tangan kirinya, bosnya menyeretnya menuju ke jok samping kemudi.
"Toloooong! Gue mau diperkosaaa!" teriak Sinta lantang, si bos sedikit panik karena Sinta melawan dan berteriak kencang.
"Diem kamu, Sin. Jangan aneh-aneh!"
"Tolooong! Siapa aja lapor polisi toloong!"
Karena Sinta tak mau masuk ke dalam mobil dan bosnya memaksanya masuk dengan menyeret bagian depan hoodie Sinta, saking kuatnya tenaga si bos hoodie tersebut robek bagian depan, menampilkan tanktop Sinta.
Sinta berteriak semakin kencang sambil mencengkram hoodie yang sobek.
"Toloong!" pekiknya sambil berjongkok takut.
Tangan sebelah Sinta dilepaskan mendadak oleh bosnya karena seorang lelaki menarik bosnya mundur dan langsung menghajarnya tanpa ampun. Bugh Bugh Bugh BughSinta ketakutan melihat bosnya dihajar bertubi-tubi diseluruh tubuhnya hingga babak belur. Sampai si bos merengek memohon sambil bersimpuh agar tak dihabisi oleh lelaki yang menolong Sinta. Lelaki yang berpakaian setelan jas itu membiarkan bos Sinta lari tunggang langgang setelah memperingatkannya agar tak mengganggu Sinta lagi. Ya, dia malaikat Sinta, menyelamatkan gadis malang dari bosnya yang cabul. Pria yang masih menggunakan setelan jas itu mendekat ke Sinta yang masih berjongkok di samping trotoar. Melepas jasnya lalu menyampirkannya ke punggung Sinta. Sinta mendongak menatap lelaki itu, belum bisa berkata-kata saking takut dan gemetaran. Dan lelaki itu sama saja dengannya, tak mengucapkan sepatah katapun. Tak lama seorang pria yang lebih dewasa turun dari mobil mewah dan menghampirinya. Berbisik ditelinga laki-laki yang
Sinta panik, ia tak bisa berpikir sekarang kepalanya mendadak pusing. "Lo udah tanda tangan kontrak, Sin. Kalo nggak lanjut lo disuruh bayar, emang mau?" kata Yoyo mengingatkan, bukan ... lebih tepatnya mengancamnya agar tak keluar. Sinta berpikir keras, ia tak mau membayar kompensasi dan juga tak mau kerja menjadi SPG miras, tapi dia tak ada pilihan selain bekerja di sana. Uang dari mana untuk bayar denda? Ah, dia akhirnya pasrah dan mengikuti Yoyo yang sedari tadi meninggalkannya. "Nih, pake baju ini dan tawarin minumannya ke semua pelanggan yang sudah datang, nanti diajarin sama Dewi, lo perhatiin baik-baik." Sinta mengangguk lesu kemudian berganti pakaian di toilet. Ia mematut diri di kaca toilet wanita, sungguh menjengkelkan. Dress mini yang pendek dan ketat, belahan dadanya terlihat bahkan pantatnya sedikit terekspos. "Sialan ini baju apa bikini?" umpat Sinta kesal, menarik-narik dress warna hitam itu agar melar namun sama sekali tak menutupi pahanya. "SPG baru ya?" tanya
Dengan tubuh gemetar Sinta menatap siapa yang menendang pintu bilik toilet. Om yang akan melecehkannya itu ditarik kasar ke belakang sampai terjengkang. Sinta diam ditempat, ia masih syok dengan apa yang menimpanya. Dia menyaksikan om itu dihajar. Lelaki itu duduk diatas om itu, meninju mukanya kanan dan kiri bergantian. Bugh Bugh Bugh Bugh"Aaaaarrrgggghhh!" teriaknya pilu berulang kali. Om itu bahkan tak bisa bergerak karena lelaki itu mengunci kedua lengannya, ia hanya bisa pasrah dihajar membabi buta. Setelah puas menonjok muka sampai memar kebiruan, lelaki muda itu menginjak dada om tersebut. "Masih belum cukup?" Tatap lelaki itu nyalang, tubuhnya yang atletis begitu gagah waktu menghajar si om gembul. "Cukup, ampun. Aku tidak bermaksud memperkosanya." Sinta melihat lelaki itu melirik ke arahnya, ia memalingkan mukanya. Dia belum beranjak dari kloset duduk. "Minta maaf padanya!" teriak lelaki itu lantang. "Maaf-maafkan aku gadis muda, maaf aku minta maaf." Masih dalam kea
Sinta setengah sadar menjawabnya. "Pacar?" "Iya, kamu mau kan?" tanya Biru setelah melepaskan bibirnya dari Sinta. Kedua tangannya menumpu bobot tubuhnya yang berada di atas Sinta. Gadis itu terkekeh pelan. "Apa aku boleh nolak? Ada pilihan lain?" tanya Sinta, ia seperti pelacur saja sekarang. "Kamu nggak boleh nolak dan aku tidak memberimu pilihan lain," ucap Biru memagut bibir Sinta lagi, lidahnya melesak masuk menari-nari memenuhi rongga mulut Sinta. Gadis itu sampai kewalahan dan tak bisa bernapas, ia melepaskan ciuman Biru yang beringas dan menuntut. "Aku anggap ini balas budi karena kamu menolongku tadi, kita impas kan?" "Nggak. Aku nggak menerima balas budimu, di sisiku saja sudah cukup. Kamu nggak perlu ngelakuin apapun selain menuruti inginku." Biru mencumbu setiap senti tubuh Sinta, ia tak melewatkan menciumi tubuh seksi yang tersuguh indah di depan matanya. "Maksudmu memuaskanmu di ranjang seperti ini? Tolong, aku nggak mau jadi pelacur." Sinta mendesah sesekali ka
Sinta refleks berhenti ketika ada yang memanggilnya, kemudian balik badan karena penasaran dengan sosok yang memanggilnya tersebut. Detik itu juga jantungnya berdetak lebih kencang. Gadis itu sedikit terkejut pasalnya bukan Pak Sony yang didapati melainkan Biru yang muncul di depan matanya. Gadis itu mengerjapkan matanya, menatap takjub lelaki tampan yang sudah rapi dengan setelan jasnya, ia kemudian menunduk dan menatap dirinya yang kusut meski mengenakan pakaian bermerek milik lelaki itu. "Kamu mau pulang?" tanya Biru, berjalan menuju meja makan. Sinta termangu ingat kejadian semalam dan beberapa detik kemudian mengerjapkan matanya lagi. "Ehm-iya," jawabnya malu-malu, berdiri mematung dengan pipi bersemu merah. Biru duduk di kursi makan dan siap menyantap sarapan buatan Bibi. Tak lama kemudian dari belakang Bibi tergopoh membawa barang-barang Sinta. Hosh hosh hoshBibi mengulurkan tas dan pakaian Sinta, napasnya masih terengah-engah. Biru menyuap makanan ke mulutnya, Sinta seb
Ponsel Pak Sony berdering nyaring, ia mengangkatnya segera. "Iya, Tuan ..." "Cepat ke kantor, Sekarang. Urus sekretaris ini, kalau dalam waktu satu minggu tetap nggak bisa kerja pecat aja!" ucap Biru dari seberang sana, napasnya memburu dan Sony tahu Bosnya sedang marah. "Baik, saya akan segera ke kantor." Sambungan telepon diputus Biru, ia lalu duduk dikursi putarnya, mengurut pelipis yang beberapa menit lalu terasa pening. Pak Sony menyimpan ponsel dan menyalakan mesin mobil, menginjak pedal gas dan menyetir mobil pergi dari sana. ***Mobil yang dikemudikan Pak Sony berhenti diparkiran, pria itu keluar dan bergegas ke ruangan Bosnya yang tak sabaran. Benar saja, baru saja ia mengetuk pintu Bosnya langsung menyuruhnya masuk. Gadis itu menunduk lesu, berdiri mematung di balik meja kerja Bosnya. Pak Sony mengamati dari ujung kaki sampai kepala, kakinya terlihat gemetaran. Ia berhenti tepat di samping meja kerja Biru, si empunya perusahaan langsung paham kalau asistennya datang, l
Sinta heran siapa lelaki yang berani menolongnya dari geng Lolita yang terkenal beringas dan sadis. Hanya karena ayah Lolita salah satu penyumbang dana terbesar di kampus makanya tak ada yang mau berurusan dengannya, ayahnya juga cukup berkuasa di luar sana. "Eh, ka-kamu ganteng bangeeet," ucap Loli langsung melepas tas Sinta. Mereka bertiga langsung mendekat pada lelaki itu, Sinta dan Vivi tak sempat melihat siapa lelaki itu karena buru-buru kabur agar bisa lepas dari geng Lolita. Keduanya berlari kencang sambil tertawa terbahak. Napas keduanya tak beraturan, akhirnya mereka berhenti berlari dan langsung bersandar di samping gedung perpus. "Siapa ya tadi yang nylametin kita?" tanya Vivi penasaran. "Tauk, tapi berani juga ya?!" "Sekilas tadi kayak kenal deh gue suaranya," kata Sinta mengingat-ingat, napasnya mulai kembali teratur dan ia melangkah menuju di mana motornya terparkir. "Emang lo tau siapa dia? Kayaknya asing ditelinga gue." Vivi melangkah mencari motornya. "Ya ... ka
Langkah Sinta terhenti kala Biru memanggilnya. "Sin!" Gadis itu bimbang antara menoleh atau terus berjalan, penampilannya kalah jauh dibandingkan wanita yang tadi cipika-cipiki dengan Biru, ia tak mau membuat Biru malu karena jalan dengannya. "Sinta!" panggil Biru lagi. Akhirnya Sinta terus melangkah, dadanya terasa sesak melihat Biru dicium mesra oleh wanita lain, padahal dirinya dengan Biru juga tak ada hubungan spesial. Sekarang ia berlari kecil menjauh dari sana dan masuk ke dalam lift. Gadis itu buru-buru menyeka buliran bening disudut matanya yang hampir jatuh. 'Aneh, kenapa gue nangis segala?!' batinnya kesal. Sepasang kekasih di samping kirinya memperhatikannya dan kelihatannya mereka langsung iba padanya. Saat pintu lift baru saja terbuka Sinta langsung keluar dahulu saking tak nyamannya berada di dalam lift. Ia berlari menuju ke pinggir jalan raya, menoleh ke segala arah mencari apa yang bisa ditumpanginya. Namun, ia baru sadar bahwa ia punya sahabat yang bisa diandal
"Pak, nanti ikut saya ke showroom," ucap Biru. Dia kemudian membereskan beberapa berkas kemudian memasukkannya ke dalam tas lalu beranjak dari tempat duduknya. "Pak, nanti saya telepon kalo saya udah nyampek sana." "Ba-baik, Tuan." Pak Sony menatap Biru sebentar lalu mengangguk paham, tapi sedikit bingung ... menggaruk tengkuknya pelan, ekor matanya memperhatikan Biru yang keluar dari ruangan. Pintu tertutup, tapi tak lama kemudian langkah kaki terdengar mendekati pintu, dan ... kriit"Pak, siapin kamar dan private dinner buat tanggal 10 di resort kemarin," pinta Biru melongok dari luar pintu. Pak Sony memegang dadanya yang berdetak kencang karena terkejut. "Astaga!""Haha, maaf, Pak-sengaja ..." Biru membuka pintu lebar, terkekeh pelan. "Nggak, Pak, aku bercanda.""I-iya, Tuan," balas Pak Sony sekenanya. "Jangan sampek lupa ya, Pak," pesan Biru, balik badan melangkahkan kakinya melewati pintu ruang kerjanya. Tapi ketika Biru akan menutup pintu, Pak Sony menghentikannya. "Maaf, T
Sinta tersenyum penuh arti dan Vivi mengernyitkan dahinya, heran. "Woy, jawab dong malah nyengir," protes Vivi pada sahabatnya yang menurutnya jadi agak berbeda dari yang lain. "Eemmm-kayaknya gue kenal sih, kayak nggak asing gitu mukanya," papar Sinta santai. Vivi menghela napas dalam mengembuskannya kasar, meletakkan sendok dan mengelus dadanya berusaha sabar dengan jawaban sahabatnya yang datar sekali. "Elo kenal apa kagak? kalo nggak kenal emang lo gak takut diliatin terus? Iiih, ngeri," sambung Vivi bergidik ngeri, dia masih belum paham dengan maksud Sinta. "Udah tenang aja, lanjut makan," titah Sinta menatap Vivi, sahabatnya itu mendengus kesal dan melanjutkan makannya begitu pula Sinta. Mengacuhkan dua pengawal Langit yang terang-terangan mengawalnya ... Ah, bukan, lebih tepatnya membuntuti dirinya. Bagaimana tidak, mereka berdua sangat terang-terangan, seperti belum profesional dalam membuntutinya. Sinta selesai makan begitu pula Vivi. Sebelum masuk kelas dia mengirimkan
Sinta bangun pagi dengan perasaan gembira walau tubuhnya terasa remuk, lelah sekali. Sudah waktunya kembali ke kampus, dia harus melanjutkan kuliahnya, seperti hubungan percintaannya yang terus berlanjut dan menuju jenjang yang lebih serius. Sinta merentangkan kedua tangannya, duduk di tepi ranjang mengerjap-ngerjapkan matanya sambil menguap. Senyum indah terbit begitu saja dari bibir Sinta, dia terkikik kala menyadari hidupnya terasa bagai dongeng pengantar tidur. "Udah adzan subuh aja, gue harus bangun ... siap-siap buat ke kampus ..." ucap Sinta beranjak dari kasurnya. "bisa-bisa gue ditendang keluar ntar kalo kebanyakan bolos," gumamnya berjalan gontai menuju meja belajarnya.***Sinta memarkir motornya ke belakang gedung perpustakaan, tak lama kemudian Sinta mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya, tak ada suara motor berhenti. Sinta tak berpikir macam-macam dan segera membawa tumpukan buku penting ke dekapannya tanpa menoleh ke belakang. "Wih hebat bener lo udah tuna
Semua orang yang ada di ballroom hotel itu terpana melihat Sinta yang anggun dengan balutan kebaya warna pink pastel dengan jarik motif bunga. Tatanan rambut yang menawan, anggun dan cocok dengan kepribadian Sinta. Ratusan pasang mata tertuju pada gadis itu, mereka sampai membuka mulut karena terkesima dengan paras elok Sinta."Cantik juga tunangannya," ucap salah seorang pria, yang tak lain tak bukan ialah tamu undangan. "Iya, pasti pintar dan terpelajar," timpal lelaki lain. Pak Lukman berjalan berdampingan dengan Sinta, putri sulungnya itu memegang lengan bapaknya, jantung mereka berdetak kencang. "Tapi, keluarganya rumornya bukan orang kaya," ucap wanita itu setengah berbisik. Sinta dan Pak Lukman berusaha bersikap biasa, melewati tamu undangan yang sibuk membicarakan dia sekaligus keluarganya. "Gue denger-denger hubungan mereka gak direstui pihak ortu Biru, pasti si cewek ini ada apa-apanya." "Kayaknya cewek biasa sih, anak kuliahan mungkin," sahut yang lain. Acara sudah b
"Pakai lagi cincinnya, Sin," titah Biru menatap datar Sinta, gadis itu tak bergeming ia malas, malah bersedekap membuang muka ke samping. "Ayo, Sin pakai lagi," bujuk Biru, dia tetap sabar. "Nggak, kita putus," balas Sinta. "Kamu yakin? Kalau kamu bilang putus sekali lagi aku akan bener-bener pergi selamanya, kamu mau jauh dari aku?" Sinta menoleh, ia menghadap ke Biru, dia bersiap menumpahkan segalanya. "Kamu pikir gampang jadi aku? Harus nerima penghinaan dari keluarga kamu, kamu pikir aku nggak sakit hati?!" Sinta menitikkan air mata, dia tak sanggup membendungnya lagi. "Maaf, Sayang. Ayo kita hadapi ini sama-sama, kamu berdiri di samping aku," ujar Biru, menggenggam erat jemari Sinta. "Latar belakang kita beda, Langit, beda jauuh ... bagai langit dan bumi." Sinta melepas tangannya dari genggaman Biru. "Dan aku yang akan buat mereka tidak berjarak, Sin. Kita bersatu, buktikan ke orang tuaku kalau kita punya cinta, kekuatan itu yang buat kita bersama." Sinta menggeleng dan me
Setelah mereka bertiga selesai mengisi perut yang kosong, barulah Biru bertanya ada apa gerangan Pak Sony menyusulnya ke sini. Biru menatap lekat asisten pribadinya, melipat kedua tangan di atas meja. Sinta yang hendak pergi di tahan oleh Biru untuk sekadar menemaninya, tak ada hal yang ingin ia rahasiakan dengan calon istrinya itu. "Gimana, Pak? Ada apa?" Pak Sony mengelap mulutnya dengan tisu kemudian mulai berbicara. "Begini, Tuan. Ibu meminta saya untuk menyusul Tuan, meminta Tuan untuk segera pulang." Raut wajah Pak Sony berubah drastis, menjadi sangat serius. Biru hanya santai mendengarnya, menyedot kembali smoothie buah naga pesanannya yang belum habis, setelah Pak Sony diam lelaki itu meletakkan minumannya dan menatap asprinya, menyatukan jemari tangannya yang diletakkan di atas meja. "Saya sudah bilang ke mama, Pak, saya ada urusan di luar kota, Bapak juga tinggal bilang gitu harusnya.""Tapi, Ibu memaksa saya untuk membawa pulang Tuan hari ini
Dari kejauhan, lelaki dan perempuan itu menyipitkan mata memandang ke halaman bangunan lobi, melangkah semakin dekat ... Biru menangkap sosok yang tak asing baginya yaitu asistennya, Pak Sony. "Bukannya itu pak Sony?" tebak Sinta ragu, menatap lelaki yang menggandengnya, Biru menatap sebentar pada kekasihnya dan menatap depan lagi. "Iya, kamu bener, yuk kita ke sana." Biru dan Sinta mempercepat langkah untuk menghampiri Pak Sony yang berdiri di samping mobil berwarna hitam. "Iya, yuk," balas Sinta mengangguk samar. Pak Sony terlihat gelisah, sesekali melirik ke pergelangan tangannya dimana jarum arlojinya terus berjalan, pria itu lantas menoleh ke kiri dengan waspada lalu ke kanan. Senyumnya terbit ketika melihat orang yang ditunggu-tunggu berjalan mendekat, mereka saling berpandangan. "Ah, Tuan, akhirnya Anda datang juga," ucap Pak Sony tersenyum setelah majikannya berdiri di hadapannya, asistennya tersebut menegakkan badan kemudian membungkuk sebentar. "Apa Bapak sudah lama nu
Dia lupa, Sinta lupa, dirinya tak melihat apakah Biru memakai pengaman atau tidak. Dia terlena sampai benar-benar lupa akan hal yang penting."Mati gue!" batinnya resah."Kamu kenapa sih, Honey?" tanya Biru masih dengan mata terpejam. "Nggak," balas Sinta singkat, dia kesal dan sekarang merubah posisinya memunggungi Biru. Laki-laki itu malah memeluk Sinta dari belakang. "Nggak papa ngomong aja pasti aku dengerin kok," ucapnya. Sinta memutar bola mata malas, dia tak percaya dengan ucapan lelaki di belakangnya. Sinta memindahkan tangan Biru yang melingkari perutnya, namun tangan itu malah memeluknya lagi bahkan rasanya ingin meremukkan tulang iganya. Sekarang 2 tangannya bergerilya ditubuhnya, tangan kirinya menyelusup ke bawah pinggangnya, dan satunya lagi di atas perutnya, Biru malah makin mengeratkan pelukannya. "Lepasin dong!" pekiknya sambil berusaha membuka kedua tangan Biru. "Nggak ... nggak akan aku lepas sebelum kamu jujur ke aku ada masalah apa," balas Biru tenang."Plis
Sinta terpana dengan panorama laut malam, bulan bersinar dengan terangnya, bintang-bintang bertaburan ... deburan ombak diiringi angin sepoi-sepoi, terasa sejuk dan menenangkan. Sinta duduk agak dekat dengan pinggiran laut, berjarak dua meter saja. Biru yang heran menggelengkan kepalanya karena Sinta tak menghampirinya malah berjalan mendekat ke pinggir laut, lelaki itu kemudian langsung menghampiri Sinta, duduk di sampingnya. "Nakal ya kamu," ucap Biru sambil memencet hidung Sinta. Sinta cemberut, menepuk punggung tangan Biru yang berhasil membuat hidungnya merah sekejap. "Cium nih," ancam Biru, mendekatkan wajahnya ke Sinta. Gadis itu tersipu, meski Biru tak melihat jelas rona merah dipipinya namun ia tahu Sinta tersenyum. Biru melekatkan bibirnya menyapu permukaan bibir Sinta, gadis itu langsung menutup matanya. Lelaki itu menjauh dan menatap gadisnya sejenak, Sinta yang heran karena Biru tak lagi menciumnya akhirnya membuka matanya perlahan. Biru tersenyum, berhasil menjahili