[Hei ...!] Rere tanpa sadar berteriak karena kaget saat mendengar ancaman dari Dewa.
Terdengar tawa Dewa di ujung sana. Tampak bahagia sekali sepertinya, karena telah berhasil menggoda Rere.
[Tidurlah, nanti malam kita berangkat]
[Kamu sekarang ada di mana?]
Tiiit ...!
Seketika itu juga bibir mungil Rere terlihat mengerucut, mendengar bunyi nada putus sambung telpon dari pihak Dewa.
Rere meletakkan ponselnya di atas bantal di sebelah bantal yang ia gunakan. Entah berapa lama, akhirnya terdengar juga dengkuran halus dari mulut Rere.
"Iya ... sebentar," sahut Rere saat mendengar pintunya di ketuk dengan sedikit kasar.
"Re ... sudah sore, ayo turun!" suruh Bunda dari balik pintu.
"Yaa, sebentar lagi pasti aku turun."
Tak ada jawaban, hanya terdengar suara langkah kaki yang menjauh.
Rere mengerakkan tubuhnya, hingga terdengar bunyi gemeretak, kemudian bergegas bangun dari ranjang dan berlalu ke kama
"Ayo Dewa, lekas berangkat. Mama sudah siap." Terdengar suara bu Zeza, bersamaan dengan pintu mobil bagian belakang yang terbuka, dan langsung duduk pas di belakang jok yang di duduki RereRere seketika itu juga langsung mengambil nafas panjang, matanya yang melirik ke arah Dewa yang tampak kesal, dengan kedua alis bergerak naik turun, menggoda."Yang lain sudah naik di mobil yang di belakang. Jadi kita bisa langsung berangkat," jelasnya lagi, karena merasa Dewa masih belum menyalakan mesin mobilnya. Bu"Iya, Ma." Dewa kemudian segera menyalakan, dan melajukan mobil yang ia kendarai dengan sesekali melirik Rere, gemas. Dan tentu saja Rere hanya bisa tersenyum penuh kemenangan."Nih, Dew! Kata bunda, kamu belum makan siang, ya?" Bu Zeza memberikan sebotol susu uht yang selalu bunda simpan di kulkas. Saat ada anak dan cucunya datang."Iya, Ma." Rere menerima uluran botol susu dengan membalikkan badannya sedikit ke belakang. Ke arah Bu Zeza.
"Rere percaya Dewa kok, Ma." desis Rere lirih, dengan pandangan mata menghadap ke arah luar mobil dari jendela yang berada di sisinya. Seperti tak ingin di antara Dewa dan Bu Zeza ada yang mendengarnya.Hingga sampai di tujuan, ketiganya masih terdiam. Keluar dari mobil juga dengan tanpa mengucapkan sepatah kata."Dik!"Suara berat yang sangat di kenal oleh Rere membuatnya berhenti melangkah, dari samping kiri tampak mas Rio sedang berlari kecil mendekat, dengan kedua tangan memegang paper bag yang lumayan besar."Ada apa, Mas?" tanya Rere.Dewa dan Bu Zeza yang juga berhenti melangkah, kini mendekat ke arah Rere."Kamu dan Dewa segera ganti baju. Pakai ini, lekas ya! Dokter hanya mengijinkan dua puluh menit saja." Mas Rio menyuruh adiknya untuk segera melakukan apa yang ia katakan."Ini apa?" tanya Rere yang masih tampak bingung dengan penjelasan yang mas Rio uraikan dengan amat sangat singkat.
Pintu yang berbunyi karena di buka, membuat semua mata langsung tertuju ke arahnya.Rere sontak memberikan Wildan kembali pada mbak Santi, saat melihat pak Kyai yang sudah duduk bersama Dewa, melambaikan tangan ke arahnya."Sini ... duduklah di sini." Pak Kyai menunjuk kursi kosong di sebelah Dewa."Kau doakan dulu istrimu, pegang keningnya dan bacakan doa."Dewa melakukan apa yang di suruh oleh pak Kyai. Dengan tangan menyentuh kening Rere dengan mulut berdoa, yang hanya dapat di dengar jelas oleh Rere dan pak Kyai."Apa kau sudah menyiapkan cincin?" tanya pak Kyai, setelah Dewa menyelesaikan doa, kemudian menurunkan tangan, dan menggantinya dengan ciuman di kening walau sekilas.Bu Zeza dengan langkah cepat, mendekat dan memberikan apa yang tadi pak Kyai minta."Ini, pasangkan pada jari manis istrimu."Dewa kembali menuruti apa yang pak Kyai suruhkan. Memasangkan cincin di jari manis Rere y
Begitu tiba di rumah, Rere segera masuk ke dalam kamar dan langsung menutupnya kembali dengan bantuan kaki, tanpa membalikkan badannya.Jeduug ...!Rere tertegun, langkahnya terhenti saat mendengar bunyi yang lumayan keras di luar pintunya."Sayang, kenapa pintunya di tutup?" Dewa membuka pintu kamar Rere dan ikut masuk ke dalamnya."Kamu ngapain masuk ke kamarku?" tanya Rere dengan dahi mengernyit."Kita baru saja menikah, dan kamu sudah lupa? Itu tidak lucu." Dewa menyentuhkan telunjuknya ke pelipis Rere dan menekannya pelan. Hingga membuat Rere sedikit terhuyung ke belakang.Sedangkan Dewa, tanpa merasa bersalah, melangkah melintasi Rere yang masih kaget, sambil tersenyum."Astaugfirulllah," seru Rere setelah sadar kalau sekarang statusnya sudah berbeda."Itu berarti-" Rere memutus ucapannya sendiri saat melihat Dewa dengan tak tahu malunya membuka kaos yang ia pakai di depan Rere, dan langsung menghempaskan badannya ke atas ranjang
Entah sudah berapa lama terlelap, hingga akhirnya dia menggelinjang saat merasa ada yang sedang memainkan pucuk bukit di dadanya.Dia segera menjauhkan tangan Dewa dari badannya."Sudah pagi sayang, aku menagih kewajibanmu." Dewa berkata dengan nafas yang tampak memburu. Wajah Rere di kecupnya, dan tak lupa memberikan stempel kepemilikan di leher jenjang milik istrinya.Rere tak menjawab ucapan Dewa yang seperti sedang menagih janji. Dengan tersenyum, tangan itu kembali menolak sentuhan suaminya, saat menyentuh di bagian dada.Tampaknya Dewa sangat kecewa dengan penolakan istrinya. Tanpa bersuara, pelan-pelan Dewa menggeser menjauh. Namun, saat dia hendak melangkah di atas badan Rere.Tiba tiba sebuah tangan malah menariknya mendekat hingga membuat Dewa yang kehilangan keseimbangan terjatuh di atas badan Rere.Bagaikan durian jatuh, saat Dewa tepat terjatuh, saat itu pula Rere melumat mesra bibir bawah Dewa.Merasa mendapatkan ke
Dewa tersenyum, saat mendengar erangan Rere yang di sebabkan oleh kelakuan jemari tangan kanannya, yang sedang mengusap dan membuka belahan bukit berbulu itu dengan lembut dan pelan."Dewa ...!"Lagi, dan lagi, Rere mengerang memanggil Dewa untuk segera menyembuhkan rasa panas di dalam tubuhnya. Bersama dengan gerakan badan dan tangan Rere yang semakin menggila.Brugh!Rere yang sudah tak sabar, dengan sekuat tenaga merobohkan Dewa hingga telentang di ranjang, kini posisi mereka berubah. Rere berada di atas tubuh Dewa.Kaki Dewa seperti di kunci oleh kedua paha Rere yang mulai mengangkanginya. Namun, justru inilah yang membuat Dewa memejamkan matanya, ia menahan erangannya saat gesekan antara miliknya dengan milik Rere, yang kini tanpa di halangi oleh selembar kain, sangat terasa nikmatnya.Tangan Dewa yang berada di samping badan pun tidak dapat melakukan apa- apa karena sedang di genggam erat oleh tangan Rere. Dan di jadika
"Mbok, tolong buatkan mie instan, tiga bungkus dengan telur mata sapi dua!" pinta Dewa pada seorang asisten rumah tangga. Lapar membuatnya terpaksa langsung ke dapur."Baik, Ndoro," jawab asisten itu dengan tergagap karena kaget, tidak biasanya tamu datang langsung ke belakang untuk minta di masakan sesuatu."Nanti tolong di antar ke kamar ya, mbok, sekalian sama minumnya," pinta Dewa dengan mata menyapu ruangan meja makan yang masih tampak sepi dan bersih."Iya, Ndoro.""Kok sepi? Semua sudah pada sarapan?" tanya Dewa yang tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Matanya kembali memperhatikan sekitar ruang makan dan ruang keluarga."Semua ke rumah sakit, Ndoro. Subuh tadi ada kabar kalau tuan besar sudah sadar." Sang asisten menjawab sambil memasak apa yang tadi Dewa minta."Alhamdulillah. Cepat bikin ya, mbok." Rona bahagia tampak sekali di wajah Dewa saat itu.Dewa berlari kembali ke lantai atas dan langsung masuk ke dalam
"Sebenarnya berita itu sudah dari tadi subuh. Tapi--""Apa?" Rere menghentikan langkahnya dengan tiba tiba hingga membuat Dewa juga berhenti mendadak karena mereka saling bergenggaman tangan."Hei ... dengerin dulu, kabar itu aku tahu dari si Mbok. Jadi bukan aku yang sengaja menyembunyikan darimu, kalau kau tak percaya nanti kau tanya sendiri pada bunda atau mama." Dewa akhirnya memberikan pembelaan diri.Rere terdiam, dia kembali melangkah, malah kini berbalik. Kini, dia yang berada di depan langkah Dewa yang melihatnya sambil menggelengkan kepala.Mereka sama-sama memilih diam hingga langkah mereka berhenti di sebuah kamar yang pintunya terbuka."Assalamualaikum ...."Rere masuk lebih dahulu, karena Om Bagas sudah menarik Dewa ke luar ruangan."Ssst ...." Bunda menyuruh Rere untuk mempelankan suaranya. Dengan isyarat ibu tangan yang beliau letakkan di depan bibir."Ayah gimana, Bunda?" tanya Rere yang langsung mendekat