Rere hanya bisa menarik nafas panjang sambil berdiri dari kursinya, mencoba tersenyum walau tampak sekali terlihat kalau apa yang ia lakukan saat ini seperti sedang berada dalam tekanan.
"Apa kabar, Wa?" Ujarnya, dengan kembali merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Matanya menatap membalas tatapan Dewa dengan pandangan yang biasa saja.
"Kau tampak sangat tidak bersahabat saat melihatku, Dew? Apakah kamu sehat?"
Dewa mulai menabuh genderang perperangan.
Bukannya menjawab apa yang Rere tanyakan, dia malah balik bertanya dengan senyum sinis yang setia di bibirnya.
"Alhamdulillah, buktinya aku ada di sini." Jawab Rere yang walau pun terdengar sama sama sinis, namun senyum Rere terlihat lebih tulus.
"Seperti yang papa ucapkan padamu kemarin, mulai saat ini Dewi yang akan menemanimu menjalankan roda perusahaan. Papa dan dewan direksi sudah berdisk
"Dewa ...."Tanpa mengetuk pintu, seorang perempuan setengah baya, dengan riasan sederhana namun tampak elegan, berambut putih sebahu yang dibiarkan terurai begitu saja, langsung masuk ke dalam ruangan tempat pak Bagas di rawat.Tentu saja kedatangan yang tiba tiba membuat Dewa yang sedang melamun dibuat kaget, hingga terlonjak bangun dari duduknya."Ma, jangan keras keras dong, kalau manggil, bikin aku kaget aja.""Bukan suara mama yang bikin kaget, tapi pikiran kamu yang kemana mana itu buat kamu tersentak." bantah perempuan yang dipanggil mama oleh Dewa."Jelaskan pada mama, kenapa Papamu bisa begini, jangan dikurangi dan jangan dilebih-lebihkan." Titah mamanya pada Dewa, tegas tapi pelan.Beliau memilih duduk di kursi yang tersedia samping Dewa. Setelah sebelumnya menghampiri, memandangi kemudian mencium kening pak Bagas, suaminya.Dewa yang tidak b
"Mbak, ada tamunya di bawah." Tutur Mak sambil mengetuk pintu kamarnya beberapa kali."Iya, Mak sebentar." Jawab Rere dengan malas, terdengar olehnya suara langkah milik Mak yang semakin lama semakin jauh dan akhirnya tak terdengarRere bergegas bangun dari tidur, membenahi penampilan dengan kerudung instan di atas kursi yang langsung dia pakai. Mematutkan diri di depan kaca. Baru kemudian keluar dari kamar."Siapa tamunya, Mak?" Tanya Rere saat kakinya sudah menapaki tangga paling bawah."Nggak tahu, mbak. Laki laki ganteng." Jawab Mak, tanpa ada niat untuk menggoda.Sambil berjalan ke ruang tamu, benak Rere mengira ngira, siapa gerangan tamu yang datang mengunjunginya sore sore begini."Dew ...."Alis mata Rere langsung naik, dengan mata membulat, seakan tak percaya kalau yang ia liat sekarang adalah orang yang tadi pagi menolaknya habis habisan.
Rere berjalan di koridor kantornya menuju ruangannya, pagi itu ia memenuhi janjinya ke Dewa untuk kembali bekerja di kantor."Kamu siapa?" Tanya Rere pada seorang perempuan berdandan menor dengan baju kurang bahan sekali. Duduk di kursi depan ruangannya, di meja terdapat plakat berwarna putih dengan tulisan sekretaris berwarna hitam."Saya Ina, Bu. Saya adalah sekretaris anda." Jawab perempuan yang memperkenalkan dirinya dengan nama Ina. Langsung berdiri dan menundukkan badannya sedikit.Rere tak menjawab dia hanya bisa mengerucutkan bibirnya hingga membentuk huruf 'o'."Kalau gitu, Ina, tolong bawa apa yang harus saya kerjakan hari ini!" tanya Rere dengan wajah tegas, kemudian beranjak membuka pintu dan masuk ke dalamnya tanpa ditutupnya lagi daun pintu ruangannya itu.Rere meletakkan tas yang ia tenteng tadi di atas meja kemudian menghempaskan tubuhnya ke sofa tun
Melihat mimik muka Dyah yang cemas, bukannya kasihan, Rere malah tak bisa menahan rasa ingin tertawa."Bu ...." Muka Dyah tampak sangat membutuhkan pertolongan, apalagi saat Rere yang menggodanya dengan tersenyum yang ditutupi oleh salah satu tangan.Rere hanya bisa menganggukkan kepalanya berulang kali, dengan mulut masih menahan senyum.Toook! Tooook!Rere mengetuk pintu ruangan milik Dewa dengan sangat keras. Mata miliknya dan mata Dyah masih saling memandang, tentu dengan ekspresi wajah yang berbeda."Masuk!"Terdengar suara berat dari dalam ruangan, yang menyuruh Rere masuk.Rere hanya bisa membesarkan matanya dengan sempurna, saat tangan kanannya membuka pintu, dan tampaklah di depannya, punggung seorang wanita berambut panjang dengan warna blonde, berbaju kurang bahan berwarna hitam, yang duduk di atas meja, hingga menghalangi pandangan n
"Kenapa kau tak mematuhi apa yang tadi aku perintahkan padamu?"Dewa yang memerah wajahnya, langsung bertanya dengan emosi pada Rere yang tampak masih kaget akibat bunyi keras yang disebabkan oleh ketukan tangan Dewa di pintunya tadi.Rere masih terdiam, matanya memandang tajam pada lelaki yang masih berdiri di depan mejanya itu, lelaki yang baru saja membuat jantungnya hampir berhenti berdetak karena kaget."Maaf, pak Dewa yang terhormat, tolong beritahukan, letak salah yang saya lakukan di mana? Hingga anda dengan sangat percaya diri menuduh bahwa saya tidak mematuhi perintah anda?" tanya Rere masih dengan tenangnya, malah dia tidak berdiri dari kursi untuk sekedar basa basi."Bukannya tadi aku suruh kamu duduk, kenapa malah keluar dari ruanganku? Kamu sengaja kan tidak hormat padaku di depan klien kita?" Tanya Dewa dengan suara yang penuh tekanan walau di ucapkan dengan volume yang sangat pelan.
"Dew. Nanti jam sepuluh siap siap, kita meeting di luar. Tiga puluh menit sebelumnya kau harus sudah stand by di ruanganku."Setelah mengatakan pesannya, Dewa yang kebetulan bertemu dengan Rere di dalam lift yang sama, langsung pergi begitu saja mendahului dengan langkah cepat ."Ok ...." desis Rere, yang pasti tak akan di dengar oleh Dewa yang sudah melesat jauh meninggalkannya yang masih kaget saat mendengar pesan.Dengan menarik nafas panjang, Rere kembali melangkahkan kakinya dengan gontai, sejak menyetujui untuk kembali bekerja, Rere sepertinya harus mempunyai stok sabar tiada batas."Pagi, Bu." Sapa Ina, spontan berdiri dari kursinya saat melihat Rere."Pagi, Na. Kalau laporan dan jadwal sudah siap, kamu segera masuk ya." Jawab Rere lemas. Langkahnya tak terhenti, walaupun tadi sempat memberikan pesan pada sekretarisnya.Rere terus melangkah ke ru
"Hei ....!" Alman berteriak, tampak wajahnya tak suka saat mendengar apa yang baru saja Rere katakan tentang dirinya."Alman, aku tidak yakin kamu akan kesepian di sana, kamu tahu tidak? Orang Palembang itu banyak yang cantik, mereka berkulit putih, berhidung mancung, dengan etika yang jempol, aku tidak percaya jika sampai melewatkan pesona mereka. Kamu carilah satu, lalu kau nikah. Biar aman hidupmu.""Hahahaha. Setelah kau menolakku lalu sekarang kau mau aku menikah secepatnya, wow ... terimakasih doanya." Sahut Alman dengan nada setengah mengejek."Aku tahu kamu, Man. Malah aku lebih paham dirimu bila di bandingkan dengan Dewa. Jadi aku yakin kamu pasti akan mendapatkan perempuan cantik itu dalam waktu tidak lama." Rere kembali menjelaskan, karena dia yakin dengan apa yang ada dalam pikirannya pasti akan terjadi."Jadi sekarang, kau mulai membandingkan aku dengan Dewa. Ah, sudahlah. Kamu sudah nggak asyik,
Ina terdiam, ia terlihat sedang meremas kedua tangannya, tampak sekali kalau dia sedang berperang sendirian."Na. Aku berjanji, apa pun nanti yang akan kamu katakan, tidak akan merubah sikap ini kepadamu, malah itu bisa saja membuatku semakin berhati-hati, percayalah." bujuk Rere saat melihat perempuan yang sekarang menggunakan lagi hijabnya itu, tampak gelisah."Aku hanya takut bila ibu nantinya akan menganggap saya tukang ngadu dan bila apa yang saya ucapkan tidak benar benar terjadi, bakalan menjadi fitnah .... Tapi sumpah Bu, saya benar benar mendengarnya.""Tidak, aku tidak bakalan melakukan apa yang kau pikirkan saat ini. Jadi cepatlah, katakan apa yang kau dengar, waktuku tidak banyak." Desak Rere, matanya sesekali melirik jam tangannya dengan gelisah.Setelah meragu, akhirnya Ina pun memberanikan diri bercerita walau dengan terbata bata menceritakan kepada Rere apa yang tadi di dengarnya saat p
"Mbak ...." panggil Mak dari arah luar pintu, kedua tangannya membawa baki berisi piring yang kemudian dia letakkan di atas meja."Yang lainnya biar aku yang ambil, Mak," ujar Dewa yang segera berlari ke luar pintu, menuruni tangga, kemudian naik lagi ke atas dengan tangan kanan membawa dua botol minuman air mineral yang terlihat basah karena dingin. Dan keranjang buah."Mak, sini. Kita makan bersama? Looo kok piringnya cuma dua?" tanya Dewa saat melihat di atas meja."Saya sudah makan tadi, tuan, maaf."Dengan sedih Mak meminta maaf karena sudah membuat Dewa dan Rere kecewa."Nggak pa-pa kok, Mak."Dewa tersenyum, dia tak ingin membuat Mak merasa bersalah hanya karena masalah sepele."Dan ... jangan panggil saya dengan sebutan tuan, mas aja, ya." pinta Dewa dan kali ini ditanggapi oleh senyum dan anggukan Mak sebagai jawaban dari permintaan Dewa padanya.Dewa dan Rere pun segera menikmati makan si
Dari samping tubuh Rere, Dewa sedikit membuka kancing atas daster yang istrinya pakai, hingga tampaklah dengan jelas di depan matanya bukit lembut, kenyal dan indah yang menawarkan wangi sabun.Dewa mengulum dua pucuk bukit berwarna merah itu dengan lembut, secara bergantian. Suara khawatir Rere yang tadinya terdengar kini berganti dengan erangan manja.Tangannya pun tak mau kalah, meremas dan memilin, hingga membuat desahan Rere semakin terdengar."Mas ...," ujar Rere di sela sela rintihan akibat kenikmatan yang Dewa berikan.Tak ingin bermain kasar dan cepat, Dewa sengaja membuka baju atau pun celana dari tubuh istrinya, teringat pesan dari dokter tadi di rumah sakit, dia harus bermain pelan.Dia ingin istrinya merasakan lebih dulu kenikmatan sentuhan agar istrinya bisa lebih tenang."Mas ...."Dewa tersenyum, akhirn
"Mak sama siapa?" tanya Rere, dengan mata berbinar melihat orang yang berdiri di hadapannya."Sendirian, mbak. Soalnya kan Nur masih sekolah." Mak menjawab sambil melangkah mendekat dan langsung memeluk Rere."Terima kasih," ujar Rere pada Dewa sesaat setelah mengurai pelukannya dengan Mak."Hu um." Singkat dan padat Dewa menjawab."Aku bawa Rere ke kamar dulu ya Mak," ujarnya, kemudian mendorong kursi yang diduduki Rere masuk ke dalam.Mak hanya mengangguk dan menutup pintu kemudian mengikuti Dewa yang membawa Rere dari belakang punggungnya."Mak, dua hari lagi saya balik ke Jakarta, tolong jaga Rere ya. Jangan sampai keluar dari kamar," pesan Dewa sambil terus mendorong kursi roda."Kok gitu sih, Mas?!" protes Rere dengan nada tidak suka."Selama seminggu kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi buat anak kita. Aku tidak mau lagi melihat kamu seperti ini." Dewa menjelaskan alasannya kenapa harus
Rere terjaga saat badannya seperti sedang dipeluk oleh seseorang."Mas ...!" serunya kaget, Dewa sudah berbaring di sebelah, dengan tangan mengukung pinggangnya."Biarkan seperti ini, aku kangen banget, Re," pinta Dewa dengan mata terpejam. Sesekali dia menciumi wajah Rere."Malu, Mas. Bagaimana nanti kalau perawat jaga datang ngontrol?" Rere menggerak gerakkan badannya, mencoba melepaskan diri dari kung- kungan tangan Dewa."Mereka sudah datang tadi, pas kamu tidur, jadi aman.""Tapi sempit, Mas.""Apa kamu mau aku menghukummu di sini, sekarang?" ancam Dewa, terdengar sangat menyeramkan di telinga Rere."Memangnya aku punya salah apa?""Tidak usah sok bego, Revia Dewi Ananta. Diam dan tidurlaah." Dewa mulai berkata tegas.Rere terdiam, terasa ada sesuatu yang lembut menciumi cerug lehernya berulang kali, hingga menciptakan senyum yang tak lekang di bibirnya.Matanya menatap langit langit kamar, sunggu
"Mau ke mana, Yang!" tanya Dewa yang baru saja keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ranjang rawat Rere. Dan langsung memergoki istrinya yang seperti hendak turun dari ranjang."Aku ...." Rere sontak tergagap, tangannya yang hendak melepaskan selang infus dari lengannya, perlahan turun kembali ke samping badannya.Tampak sekali betapa kagetnya Rere saat tahu kalau ada Dewa yang sedang menemaninya.Selimut yang tadi ia hempas ke samping ranjang, terpaksa dia tarik lagi dengan perlahan. Membuat Dewa yang melangkah mendekatinya hanya bisa menggelengkan kepala perlahan melihat kelakuan Rere."Kau ingin apa, minum? Atau mau makan?" tanya dewa yang berdiri di samping ranjangnya, tangannya memperbaiki posisi letak selimut yang ada di kakinya.Rere tak menjawab, entah kenapa kali ini dia kembali duduk dari tidurnya, kemudian dengan mendorong tiang infus, melangkah menuju ke kamar mandi."Apa mau aku bantu?" Dewa masih berusaha m
Dewa hanya bisa terus menerus menatap sang istri yang tertidur karena obat, tangannya menggenggam erat jemari Rere.Entah apa yang ada di dalam benak lelaki tampan itu. Sesekali tangannya yang bebas mengusap perut di mana ada calon anaknya. Dengan mata berkaca kaca, pandangannya menatap nanar pada sang istri."Aku sudah menghubungi pak Bagas, beliau memintamu untuk jangan dulu menghubungi keluarga yang di Surabaya, karena pak Satria baru saja di perbolehkan pulang." Alman yang masuk ke dalam ruangan, dengan suara pelan, langsung memberikan laporan."Bagaimana kondisinya?" tanya Alman lagi, matanya ikut menatap sang sahabat yang terbaring. Berdiri di samping kursi yang Dewa duduki."Dia hanya butuh istirahat dan tenang," jawab Dewa."Ya, aku pikir juga seperti itu,""Sekarang bagaimana caranya untuk membuat dia tetap tenang saat tahu aku ada di sini." Tampaknya Dewa masih sangat kepikiran dengan masalah yang di alaminya dengan san
"Mbak Wita, tolong bantu mbak Dewi masak ya," pinta Vera pada seorang perempuan yang sepertinya dari tadi hanya mengawasi saja, orang orang yang seliweran bekerja di dapur, saat itu."Masak apa, mbak?" tanya wanita yang tadi dipanggil Wita oleh Vera, kepada Rere."Biarkan dia yang menentukan menunya, tolong di maklumi orang lagi ngidam," jawab Vera sambil tersenyum, yang langsung di iyakan oleh Wita.Seketika terdengar dengungan orang yang berkata 'o'."Kalian mau makan apa?" tanya Rere pada Vera, dengan tangan yang sibuk menggunakan bib apron, salah satu celemek paling umum yang biasanya dipakai oleh para koki."Apa saja boleh kok, Mbak,"jawab Vera yang kemudian pamit untuk duduk bersama kekasihnya, Faisal.Baru lima belas menit Vera duduk, seorang karyawan datang membawa minuman ke meja, Vera langsung mengenduskan hidung ke udara saat tercium aroma yang sanggup membuat orang lapar."Dengan jarak yang sedemikian jauh, mbak Rere
"Pagi, mbak ...," sapa Faisal yang datang pagi itu untuk menjemput Vera dan Rere.Rere setuju untuk membantu Vera di bagian keuangan cafe yang dirintisnya, karena selama ini Vera cukup direpotkan, semuanya harus dia sendiri yang handle."Sudah sarapan, Sal?" tanya Rere yang baru saja keluar dari pintu pagar, kepada Faisal yang juga tengah membantu Vera meletakkan barang di bagasi mobilnya."Kami biasa makan bersama, mbak. Hanya di saat itu yang bisa kami nikmati berdua." Vera membantu menjawab pertanyaan Rere kepada Faisal, kekasihnya."Mmm ... Sepertinya itu bisa kutiru nanti," sahut Rere. Yang di sambut senyum bahagia Vera dan Faisal.Tanpa mereka bertiga sadari, di seberang jalan, sepasang mata rindu milik Dewa sedang mengawasi Rere dari dalam mobil.Andai saja tidak memikirkan resiko, Ingin rasanya Dewa segera terbang menemui sang istri, apa lag
"Hai .... Wa!"Dewa yang saat itu tengah terpekur menatap layar komputer, langsung mendongakkan kepalanya saat mendengar suara orang yang menyapa bersamaan dengan bunyi derit pintu yang dibuka."Alman, ada perlu apa datang ke sini? Bukannya dua minggu lagi kamu akan nikah?" sapa Dewa yang langsung berdiri dengan wajah ceria, membuka tangannya untuk menyambut saat tahu siapa yang datang siang itu."Brugh!"Dewa yang tak menyangka dapat serangan tiba tiba, hanya bisa pasrah menerima pukulan keras di rahangnya."Apa yang sudah kau lakukan pada Dewi?"Dengan tangan meraba pipi yang tadi di pukul Alman, Kening Dewa mengernyit, mendengar pertanyaan dari sahabatnya yang baru datang itu, bagaimana Alman bisa tahu kalau dirinya sedang bermasalah dengan Dewi."Aku ....""Brugh ....!"Belum selesai Dewa menjelaskan, Alman kembali melayangkan pukulannya di tempat yang sama, di wajah Dewa.D