Agatha berjalan cepat menuju kamar mandi dan langsung memuntahkan isi perutnya ke dalam kloset. Setelah itu ia menyegarkan wajahnya dan mengusap mulutnya dengan tangan. Agatha menepuk-nepuk pipinya beberapa kali kemudian menatap wajahnya yang cukup pucat di cermin.Agatha berdiam diri cukup lama memandangi wajahnya lalu tak lama ia memutuskan untuk kembali. Baru saja keluar ia dikejutkan oleh Rafka yang tiba-tiba muncul dan memegang tangannya.“Kamu baik-baik aja?” tanya Rafka dengan wajah cemas.“Kondisi aku nggak pernah lebih baik dari hari ini,” balas Agatha sambil memutar pandangannya.“Aku serius, Agatha! seru Rafka lalu memeriksa kening Agatha dengan menempelkan punggung tangannya yang langsung ditepis oleh Agatha.“Aku nggak apa-apa, cuma kebanyakan makan aja,” sahut Agatha.“Maaf kalau situasinya membuat kamu nggak nyaman. Aku nggak tahu kalau Papa juga mengundang kamu dan Adiva,” pungkas Rafka dengan menatap mata Agatha sementara gadis itu hanya terdiam.“Kalau kamu nggak nya
Di dalam kamar Rafka memilih untuk menonton TV sementara Adiva memilih untuk membaca buku Rafka yang berjajar rapi di atas rak lemari. Adiva mengambil salah satu buku lalu membawanya menuju ke sofa. Mereka berdua memilih mengisi keheningan dengan kegiatannya masing-masing meskipun saat ini pikiran Rafka dipenuhi dengan Agatha. Dalam hati dan pikirannya ia sangat ingin menemui gadis itu.Rafka melirik sekilas ke arah Adiva dan melihat gadis itu sudah tampak mengantuk sambil memegang buku di tangannya.Rafka berjalan mendekat ke arah Adiva dan bersiap untuk memindahkan tubuh gadis itu.“Kakak mau ngapain?” tanya Adiva.“Aku lihat kamu ngantuk jadi aku mau pindahin kamu ke sana. Aku rasa mereka akan buka pintu itu nanti.” Rafka menunjuk tempat tidur miliknya.“Aku di sini aja Kak. Lebih baik Kakak yang istirahat di tempat tidur,” sahut Adiva.“Mana mungkin aku membiarkan kamu tidur di sofa,” ujar Rafka.“Aku nggak apa-apa tidur di sofa. Lagipula ini kan kamar Kakak,” balas Adiva.“Poko
Agatha pergi dari rumah Ravindra setelah meninggalkan pesan kepada Darren bahwa ia memutuskan untuk kembali ke Amerika, tetapi sebelum itu Agatha ingin pergi menemui Riana. Agatha mengamati dari dalam mobil yang ia parkir di seberang jalan dekat toko kue milik Riana. Ia berusaha mengumpulkan keberanian sebelum bertemu dengan Ibu kandungnya itu. Pikirannya sibuk menebak-nebak bagaimana reaksi Riana ketika bertemu dengannya. “Ibu pasti sudah tahu apa yang terjadi kan?” tanya Agatha pada dirinya sambil menatap ke arah Riana yang tengah bersiap membuka tokonya.“Tapi gimana kalau ibu belum tahu? Apa aku harus bicara yang sebenarnya?” batin Agatha.Agatha keluar dari mobil dan menutup pintunya. “Kita nggak akan tahu sebelum mencoba,” gumam gadis itu lalu menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan kemudian berjalan menuju toko yang ada di depannya.“Ibu ….” Riana menghentikan kegiatannya dan menoleh menghadap gadis yang berdiri di hadapannya. Mata Riana melebar sementara tangan
Agatha membuka matanya perlahan, aroma obat-obatan menyeruak ke indra penciumannya. Ia meringis kesakitan sambil memegang kepalanya yang terasa pusing. Agatha mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan yang didominasi oleh warna putih. Tak lama, seorang perempuan muda dengan atasan dan bawahan berwarna putih masuk ke dalam ruangan lalu berjalan menghampirinya.“Rupanya anda sudah sadar,” gumam perawat tersebut sambil memeriksa cairan infus yang terlihat sudah berkurang.“Bagaimana saya bisa ada di sini?” tanya Agatha.“Tadi dokter Ivan yang membawa anda ke sini,” jawab perawat tersebut lalu tak lama seorang dokter pria tampan memasuki ruangan tersebut.“Bagaimana anda menemukan saya?” tanya Agatha.“Saya tidak tahu apa yang terjadi denganmu … ketika saya melewati jalan saya menemukan mobilmu sudah menabrak pembatas jalan. “Di mana perempuan itu?” tanya Agatha. “Saya tidak menemukan siapa pun di lokasi kejadian,”balas dokter Ivan dengan singkat.“Apa anda sudah menghubungi keluarga
Agatha sudah bangun sejak pagi tadi, setelah menyantap sarapannya ia kembali berbaring sambil memainkan jari-jarinya karena merasa bosan. Tak lama, pintu kamarnya terbuka lalu seorang pria dengan jas putihnya berjalan masuk menuju ke arah Agatha.“Bagaimana keadaanmu?” tanya dokter Ivan.“Apa Dokter baik-baik saja?” “Wajah Dokter kayak orang belum tidur semalaman. Apa jangan-jangan Dokter memang belum pulang?”“Seharusnya saya yang bertanya tentang kondisi kamu karena kamu pasien saya bukan malah sebaliknya,” jawab dokter Ivan.“Saya rasa Dokter perlu istirahat. Tidak mungkin Dokter akan memeriksa pasien dengan wajah lelah begini,” ujar Agatha tak mau kalah.“Anggap saja saya bicara sebagai pasien yang juga memperhatikan kesehatan dokternya,” sambung Agatha.“Sepertinya kondisimu sudah membaik,” balas dokter Ivan lalu berjalan menuju sofa dan duduk di atasnya.“Dokter mau ngapain?” tanya Agatha.“Kamu bilang saya harus istirahat kan?” “Dokter mau istirahat di sini?” tanya Agatha ya
“Terima kasih ya Dok karena telah menyelamatkan nyawa saya dan mengizinkan saya pulang hari ini,” pungkas Agatha sambil menoleh ke arah dokter Ivan yang tengah memperhatikan jalanan di depannya.“Santai saja … saya juga akan membantu walau bukan kamu orangnya,” jawab dokter Ivan yang terdengar cukup menyebalkan di telinga Agatha.“Terima kasih juga karena mau mengantar saya.” Agatha tersenyum lebar sambil memperlihatkan deretan giginya yang rapi.“Kalau ternyata saya mau menculik kamu bagaimana?” tanya dokter Ivan sambil menyeringai. “Diculik untuk dijadikan istri?” tanya Agatha dengan menaikkan satu alisnya membuat dokter Ivan terdiam dan mengalihkan pandangannya.“Kamu mendengar percakapan saya dan Mama?” tanya dokter Ivan sementara Agatha hanya terdiam dan tersenyum canggung sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.Tak lama, terdengar suara helaan napas dokter Ivan yang cukup panjang membuat Agatha merasa tak enak. “Maaf ya, Dok. Saya nggak sengaja mendengar … harusn
Lima tahun kemudian …“Happy birthday to you … Happy birthday … Happy birthday … Happy birthday Ayra.” Semua orang bertepuk tangan setelah lagu selesai dinyanyikan dan seorang anak perempuan yang baru saja menginjak usia kelimanya selesai meniup jejeran lilin yang tertanam menghiasi kue yang ada di hadapannya. “Selamat ulang tahun ya, Sayang,” ujar Agatha sambil berlutut agar posisinya sejajar lalu mengecup kening anak perempuan yang tengah tersenyum bahagia itu.“Terima kasih ya, Ma. Ayra bahagia sekali hari ini,” balas anak perempuan bernama Ayra itu yang kemudian merentangkan tangannya untuk memeluk Agatha. Di samping Ayra tampak seorang pria yang tengah berdiri lalu beberapa waktu kemudian berlutut mengikuti apa yang Agatha lakukan. Pria itu tersenyum manis sambil menoleh ke arah Ayra dan sesekali melirik Agatha.“Selamat ulang tahun Ayra, semoga kedepannya semakin banyak kebahagiaan yang kamu rasakan,” gumam pria itu sambil memeluk Ayra.“Terima kasih, Papa … Ayra sayang Papa,
Agatha menggenggam kuat ponsel miliknya untuk waktu yang lama. Rasa panik menghampirinya setelah Ivan menelponnya dan mengatakan akan menetap sedikit lebih lama di Jakarta karena harus mengurus ayahnya yang sedang sakit.Agatha berdiam cukup lama mencoba mengusir perasaan aneh yang kembali ia rasakan ketika memikirkan bahwa ia harus kembali tinggal di Jakarta. Selama ini Agatha telah mempersiapkan diri untuk kemungkinan itu, namun tetap saja semuanya terasa tidak mudah untuknya.Sebenarnya keinginan untuk kembali ke Jakarta sudah sering dibahas oleh kedua orang tua suaminya yang menginginkan mereka agar kembali terlebih lagi karena Ivan hanyalah anak satu-satunya.Suara bel membuyarkan lamunan Agatha. Ia bergegas melangkah ke arah pintu dan melihat siapa orang yang datang dari lubang kecil yang ada di hadapannya. Agatha membuka pintu dan menemukan Darren tengah berdiri dengan beberapa bingkisan di tangannya. Pria itu masih terlihat gagah dengan balutan pakaian musim dinginnya. “Apa
Rafka menatapnya dengan mata penuh air mata. Tangannya yang besar dan kuat menggenggam tangan Agatha dengan lembut. "Aku mencintai kamu. Aku selalu mencintai kamu, dan aku akan terus mencintai kamu, Tha."Agatha merasa hatinya hangat mendengar kata-kata itu. Meskipun dalam kondisi yang rapuh, cinta mereka tetap mengalir begitu kuat di antara mereka. Agatha menatap mata Rafka dengan pandangan lembut, bibirnya terangkat dalam senyuman yang penuh makna. "Aku juga mencintai kamu, Rafka."Tangan mereka saling berpegangan erat, menyampaikan dukungan, cinta, dan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Agatha merasakan kehangatan dalam genggaman tangan Rafka, seolah-olah itu adalah tali yang mengikat hati mereka.Agatha merasakan rasa sakit yang semakin memburuk. Dia tahu bahwa waktu mereka sangatlah terbatas. Dengan suara yang lemah, ia berbicara lagi, kali ini dengan serius, "Rafka, kamu harus kuat."Rafka menatap Agatha dengan rasa takut yang tidak tersembunyi. "Apa yang kamu bic
Beberapa hari berlalu, kondisi Agatha tetap kritis. Rafka terus menghabiskan waktu di rumah sakit, bergantian menjaga bayi perempuannya dan mengunjungi Agatha. Dia merasa seolah hidupnya berada dalam titik balik yang kritis. Perasaannya bercampur antara rasa harapan dan kegelisahan yang tak terbayangkan.Selama berhari-hari ini, Rafka terus menjaga putrinya dengan penuh kecintaan dan tekad. Dia bersama keluarganya dan keluarga Agatha bergantian menjaga Agatha, berdoa dan berharap agar wanita itu segera pulih dan bisa bersama mereka lagi.Ruang perawatan Agatha juga menjadi tempat di mana para keluarga mereka bergantian menjaga. Karina dan Ravindra, yang penuh kehangatan, seringkali mengambil giliran menjaga Agatha ketika Rafka perlu beristirahat sejenak. Adiva juga ada di sana, membantu dengan segala hal yang dibutuhkan. Meskipun situasinya tidak mudah, atmosfer di dalam ruangan itu penuh dengan kasih sayang dan semangat perjuangan.Ketika hari beranjak malam, Rafka masih terjaga, mem
Rafka berusaha untuk tenang dan kuat di hadapan Ayra. Gadis kecil itu masih belum paham betapa seriusnya situasi ini, dan Rafka ingin melindungi perasaannya. Dia menundukkan badan untuk berada pada tingkat mata Ayra ketika gadis kecil itu menatapnya dengan mata penuh pertanyaan. "Papa, apa yang terjadi sama Mama?" tanyanya dengan nada khawatir.Rafka membungkukkan tubuhnya untuk berada sejajar dengan Ayra. Dia menyeka air mata yang hampir jatuh dari mata kecil Ayra dengan lembut, mencoba memberikan senyum lembut. "Ayra, Mama sedang sakit dan sedang dirawat oleh dokter. Papa dan semua orang sedang berusaha yang terbaik untuk membantu Mama."Ayra menggigit bibirnya, terlihat cemas. "Mama akan baik-baik saja, kan, Papa?" tanyanya dengan penuh harapan.Rafka mengecup kening Ayra lembut. "Kita berdoa bersama-sama, sayang. Mama sangat kuat dan Mama juga ingin cepat kembali bersama kita."Tak lama kemudian, semua keluarga berdatangan ke rumah sakit. Karina dan Ravindra datang dengan wajah pe
Agatha terus menjalani rawat inap di rumah sakit, dipantau dengan ketat oleh para dokter dan perawat. Setiap detik waktu terasa berharga bagi Rafka dan semua orang yang peduli dengan Agatha. Rafka duduk di samping tempat tidur Agatha, matanya tidak pernah lepas dari wanita yang sedang berjuang ini. Dia merasakan ketidakpastian yang semakin mendalam, kekhawatiran yang tak terkendali.Agatha terbaring lemah di tempat tidurnya, wajahnya pucat dan matanya terlihat letih. Pendarahan yang dialaminya telah membuat kondisinya semakin memburuk. Meskipun Agatha mencoba menjaga semangatnya, tetapi tubuhnya semakin tak mampu mempertahankan. Rafka merasa frustasi karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu Agatha. Dia ingin sekali bisa menghapus semua rasa sakit yang Agatha rasakan, namun dia tahu dia hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik.Rafka menggenggam tangan Agatha dengan erat, merasakan getaran kelemahan dalam genggaman itu. Dia merasa hatinya teriris melihat Agatha yang
Di dalam ruang perawatan yang hening, mata Agatha perlahan terbuka dan tatapannya memandang wajah lelah Rafka. Luka lebam di pipi pria itu memperoleh perhatiannya, dan segera Agatha mengeluarkan pertanyaan khawatir dari bibirnya. "Wajah kamu kenapa?"Namun, jawaban yang ia terima bukanlah tentang luka lebam itu. Rafka hanya menatapnya dengan ekspresi yang rumit, seolah ada banyak hal yang ingin ia sampaikan, tetapi dia kesulitan menemukan kata-kata yang tepat. Agatha bisa merasakan kecemasan yang menghantui Rafka, dan ia tahu bahwa saat ini mereka harus menghadapi kenyataan bersama."Bagaimana kondisimu?" tanya Rafka, suaranya lembut namun penuh dengan kekhawatiran. Agatha terpancar kekaguman dalam tatapannya saat melihat perasaan Rafka yang terangkum dalam raut wajahnya.Agatha mencoba tersenyum lemah, meskipun rasa sakit dan kebingungannya masih menghantui. "Aku baik-baik saja," jawabnya pelan.Namun, perhatian Rafka beralih dari kesehatannya sendiri dan dengan penuh kekhawatiran ia
Dalam keheningan ruang perawatan, setelah berbicara dengan Agatha, Ivan merasa seolah dia tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak tertahankan. Dia berusaha memproses semua yang telah terjadi, memahami pilihan-pilihan yang sulit yang telah dibuat oleh Agatha, dan merasa terhempas oleh kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada wanita itu dan bayi yang dikandungnya.Namun, pandangannya tiba-tiba terganggu oleh sosok yang mendekat dari kejauhan. Rafka, dengan wajah yang penuh kekhawatiran, berjalan menuju Ivan dengan langkah tergesa-gesa. Ivan bisa merasakan adanya ketegangan di udara saat Rafka semakin mendekat. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang berat.Tak lama setelah Rafka berada di depan Ivan, pria itu seolah melepaskan semua ketegangan yang ada dalam dirinya. Ia langsung mencengkeram kerah baju Ivan dengan kasar, menggeramkan pertanyaan yang memancar dari dalam hatinya. "Apa yang kamu lakukan kali ini?"Ivan menatap tajam Rafka, mencoba membaca perasaan yang ada di
Ivan berdiri di samping tempat tidur Agatha, pandangannya tetap terfokus pada wanita yang terbaring di sana. Hatinya terasa berkecamuk, sulit untuk mengurai perasaan yang datang menghujam. Ia melihat Agatha, seorang wanita yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, sekarang tengah mengalami hal yang begitu serius. Dia merasa bingung, marah, dan khawatir dalam waktu yang bersamaan.Dokter yang berbicara dengannya tampak serius dan penuh perhatian. Ivan mencoba untuk tetap tenang dan mendengarkan penjelasan dokter dengan seksama. Dokter menjelaskan bahwa masalah yang Agatha alami adalah plasenta previa, di mana plasenta berada di dekat atau menutupi rahim bagian bawah. Kondisi ini bisa berisiko tinggi, terutama ketika mendekati waktu persalinan.Ivan merasakan jantungnya berdetak lebih cepat saat mendengar bahwa kondisi ini berbahaya bagi Agatha dan bayinya. Dia merasa tidak ingin kehilangan Agatha, terlebih lagi dengan keadaan yang semakin rumit setelah semua yang terjadi. Namu
Setelah meninggalkan rumah Karina dan Ravindra, Agatha merasa perasaannya masih dalam keadaan campur aduk. Namun, dia tahu bahwa ada satu hal lagi yang harus dia lakukan. Dia pergi ke rumah Ivan untuk menemui Adiva dan Alvi. Sesampainya di sana, dia melihat Adiva dan Alvi sedang bermain dengan penuh kebahagiaan.Agatha tersenyum melihat pemandangan itu. Alvi, bayi yang dulunya begitu tenang berada dipelukannya, kini sudah tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Dia sudah mulai berjalan dan berbicara, dan Agatha bisa melihat betapa Adiva merawatnya dengan penuh cinta.Agatha merasa bahagia melihat keakraban antara Adiva dan Alvi. Melihat Alvi tumbuh sehat dan bahagia membuat hatinya hangat."Adiva," panggil Agatha dengan suara lembut. Adiva menoleh dan tersenyum melihat Agatha. Mereka bertatap mata, dan Agatha bisa merasakan campuran antara rasa bersalah dan rasa terima kasih di dalam hatinya.Alvi melihat Agatha, dan meskipun dia masih kecil, wajahnya sudah penuh dengan keceriaan. "
Beberapa minggu kemudian, setelah Rafka berangkat bekerja dan Ayra pergi ke sekolah, Agatha memutuskan untuk mengunjungi rumah ibunya. Sudah lama sejak terakhir kali dia menghabiskan waktu dengan Riana, dan Agatha merasa butuh pelukan dan nasihat ibunya. Begitu Agatha memasuki rumah, aroma kue hangat langsung menyambutnya. Ibu Agatha, Riana, dengan senyum hangatnya, sudah menanti di ruang tamu.Sesampainya di rumah, Agatha disambut dengan senyuman hangat oleh Riana. Wanita itu terlihat begitu bahagia melihat putrinya. Mereka duduk di ruang tamu yang nyaman, dikelilingi oleh bunga-bunga dan foto-foto keluarga di dinding.Agatha menghabiskan waktu berjam-jam bersama ibunya. Agatha mulai bercerita tentang kesehariannya, tentang bagaimana dia mencoba untuk memperbaiki hubungannya dengan Rafka dan Ayra. Dia bercerita tentang momen-momen kebersamaan yang berhasil mereka ciptakan, meskipun rasa bersalah masih menghantuinya. Agatha juga menceritakan tentang kehamilannya yang semakin membesar,