Agatha menggenggam kuat ponsel miliknya untuk waktu yang lama. Rasa panik menghampirinya setelah Ivan menelponnya dan mengatakan akan menetap sedikit lebih lama di Jakarta karena harus mengurus ayahnya yang sedang sakit.Agatha berdiam cukup lama mencoba mengusir perasaan aneh yang kembali ia rasakan ketika memikirkan bahwa ia harus kembali tinggal di Jakarta. Selama ini Agatha telah mempersiapkan diri untuk kemungkinan itu, namun tetap saja semuanya terasa tidak mudah untuknya.Sebenarnya keinginan untuk kembali ke Jakarta sudah sering dibahas oleh kedua orang tua suaminya yang menginginkan mereka agar kembali terlebih lagi karena Ivan hanyalah anak satu-satunya.Suara bel membuyarkan lamunan Agatha. Ia bergegas melangkah ke arah pintu dan melihat siapa orang yang datang dari lubang kecil yang ada di hadapannya. Agatha membuka pintu dan menemukan Darren tengah berdiri dengan beberapa bingkisan di tangannya. Pria itu masih terlihat gagah dengan balutan pakaian musim dinginnya. “Apa
Satu minggu kemudian… Agatha melangkahkan kakinya keluar dari bandara, pandangan matanya sibuk melihat jam yang ada di ponselnya sementara tangan lainnya menggenggam tangan gadis kecil yang dengan setia berdiri di sampingnya sambil memegang lolipop.“Kenapa Papa belum datang?” tanya gadis kecil itu sambil sesekali melihat ke arah Agatha.Disaat yang sama ponsel Agatha berdering dan langsung diangkat olehnya. “Okay, Mas,” Agatha memutuskan sambungan teleponnya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.“Papa masih di jalan, Sayang. Kita tunggu sebentar lagi ya,” ujar Agatha sambil menatap wajah Ayra yang juga tengah menatapnya dengan menganggukan kepala.Tiba-tiba saja tubuh Agatha menegang saat mendengar suara pria yang berdiri tak jauh darinya. Pria itu terdengar sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon dengan nada kesal. “Saya ingin masalah ini selesai secepatnya, kalau perlu pecat saja mereka yang tidak kompeten,” ucap pria itu sambil berjalan melewati Aga
Tubuh Agatha semakin menegang saat melihat Ayra berlari menuju pintu mengikuti Ivan untuk melihat siapa tamu yang datang. Otak Agatha pun seakan membeku, pikirannya terlalu fokus menebak-nebak bagaimana Rafka bisa sampai ke rumahnya dan Ivan atau mungkinkah Rafka sudah mengetahui yang sebenarnya. Agatha segera menggelengkan kepalanya mencoba menepis pikiran itu, yang ingin ia lakukan sekarang hanyalah membawa Ayra pergi dari sana. Namun, Agatha menjadi panik ketika mendengar Ivan menyuruh Rafka untuk masuk. Agatha menghembuskan nafas lega begitu mendengar Rafka menolak ajakan Ivan dan pamit pergi. Beberapa saat kemudian, Ayra masuk dengan senyuman di wajahnya sambil membawa tiga paper bag di tangannya. “Siapa yang datang, Mas?” tanya Agatha dengan memasang wajah pura-pura tidak tahu saat melihat Ivan menutup pintu dan berjalan di belakang Ayra. “Rafka yang kemarin aku ceritakan, ternyata dia tinggal nggak jauh dari sini,” kata Ivan membuat Agatha terkejut.“Terus dia ngapain datan
Hari berikutnya, Ayra sedang bermain bola karet bercorak semangka di taman dekat rumahnya ditemani oleh Agatha yang tengah menyuapi Alvi. Di sekitar mereka, ada juga sekelompok anak kecil lainnya yang dengan riang gembira berlarian kesana kemari.“Jangan jauh-jauh lempar bolanya, Sayang!” teriak Agatha dari tempatnya ketika melihat bola yang Ayra lempar beberapa kali hampir keluar ke tepi jalan. “Iya, Ma,” sahut Ayra dari kejauhan. Sementara Agatha hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat Ayra yang sangat aktif bermain. Saat langit mulai gelap, Agatha memanggil Ayra dengan penuh kasih dan mengajaknya untuk pulang ke rumah. Perjalanan dari taman ke rumah tidak terlalu jauh. Agatha berjalan santai sambil mendorong stroller, dan terdengar suara riang Alvi yang tengah asyik mengoceh, diselingi tawa-tawa kecil ketika Ayra berusaha menghiburnya. Agatha hanya tersenyum melihat anak-anaknya hingga tanpa terasa mereka sudah sampai di seberang jalan rumahnya. Agatha melihat jal
Rafka berdiri di depan cermin sambil menatap wajahnya. Ia kembali mengingat pertemuannya dengan Ayra, wajah gadis kecil itu seperti tidak dapat hilang dengan mudah dari pikirannya. Selama beberapa tahun ini Rafka menjadi orang yang tidak berperasaan dan tidak mempedulikan apapun. Namun, setelah melihat gadis kecil itu hampir saja terluka di hadapannya membuat tubuhnya gemetar. Ia sangat takut membayangkan jika sampai terjadi sesuatu kepadanya. Dengan nafas memburu, Rafka melampiaskan amarahnya dengan melayangkan pukulan pada kaca besar di hadapannya. Sejak pertemuannya terakhirnya dengan wanita itu, ia merasa terguncang. Amarah dalam dirinya terlalu besar untuk dapat diekspresikan. Pikiran tentang bagaimana Agatha meninggalkannya dan mengatakan bahwa wanita itu telah menggugurkan calon anak mereka masih sangat membekas di ingatannya.Hal yang juga menakutkan bagi Rafka adalah alasan amarahnya yang mendalam dan berapi-api saat melihat wajah Agatha yang tersenyum bahagia memandang pr
Kata-kata Rafka masih terus terngiang-ngiang di telinga dan pikiran Agatha. Ia kesulitan untuk memejamkan matanya malam ini.“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Ivan sambil berbaring menghadap istrinya.“Nggak apa-apa, cuma ingat film horor yang baru aku tonton tadi, jadinya susah tidur,” jawab Agatha yang sepenuhnya berbohong berharap Ivan tidak menyadari kecemasannya. “Lagian kamu nggak suka horor kenapa masih ditonton?”“Habisnya aku penasaran,” jawab Agatha singkat. “Yaudah sini.” Ivan merentangkan tangannya lalu mendekap tubuh Agatha dan mengelus punggungnya dengan lembut.“Kayak gini sampai aku tidur ya,” gumam Agatha sambil mempererat pelukannya dan menghirup dalam-dalam harum tubuh suaminya.Usapan tangan Ivan di punggungnya membuat Agatha larut dalam tidurnya. Namun, Agatha terbangun saat tengah malam karena mimpi yang baru saja ia alami. Agatha menengok ke arah Ivan yang sudah tertidur lelap, ia turun dari tempat tidur perlahan karena tidak ingin membangunkan suaminya. Agatha ke
Dalam ruang tunggu rumah sakit, suasana tegang terasa semakin intens ketika kekhawatiran Agatha mencampuri perasaan marah yang mulai memuncak di dalam hatinya. Dia tak bisa menghindari untuk menyalahkan Rafka atas kejadian mengerikan ini. Banyak pertanyaan dalam benaknya. Mengapa Rafka bisa ada di sana dan apa yang sebenarnya terjadi dengan Ayra.“Apa yang sudah kamu lakukan sama Ayra?” Agatha bertanya dengan nada tajam, pandangan matanya menatap Rafka dengan penuh kebingungan dan kekhawatiran. Sementara Rafka hanya terdiam saat Agatha terus memukul dadanya. Ia dapat menangkap nada marah dan kecurigaan di dalam suara Agatha.“Apa yang terjadi sama Ayra sebenarnya? dan kenapa kamu bisa ada di sana?” Agatha terus bertanya dan melampiaskan amarahnya pada Rafka. “Sayang udah!” Ivan berusaha menarik tubuh Agatha agar menjauh dari Rafka. “Sekarang bukan saat yang tepat untuk menyalahkan orang lain. Saat ini kita harus fokus sama kondisi Ayra,” ujar Ivan sambil mendekap tubuh istrinya.Aga
Keesokan harinya, suasana di ruang perawatan Ayra masih tegang saat Rafka tiba di rumah sakit. Ia menyambut senyum kecil Ayra dengan hati yang campur aduk, senang melihat putrinya sadar, tetapi juga masih penuh dengan amarah dan kekecewaan terhadap Agatha.Rafka berdiri di samping tempat tidur Ayra, mencoba menahan emosi yang mendalam. Pandangannya bergantian antara Ayra dan Agatha, dan tampaknya dia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi kata-kata itu tak kunjung keluar.Ketika Rafka masuk ke kamar Ayra, senyum sumringah langsung muncul di wajah Ayra saat dia melihat Rafka. “Om Rafka!” serunya dengan suara lemah namun penuh kebahagiaan.Rafka mendekat dan memeluk Ayra dengan lembut. Rasanya hati Rafka hampir meleleh saat dia merasakan kehangatan tubuh kecil putrinya yang dia rindukan selama ini. Dia terkejut dan bahagia melihat Ayra mulai membaik.Sementara itu, Agatha yang juga berada di kamar, berdiri disisi tempat tidur dengan pandangan yang sulit diartikan. Perasaannya masih penuh deng