“Terima kasih ya Dok karena telah menyelamatkan nyawa saya dan mengizinkan saya pulang hari ini,” pungkas Agatha sambil menoleh ke arah dokter Ivan yang tengah memperhatikan jalanan di depannya.“Santai saja … saya juga akan membantu walau bukan kamu orangnya,” jawab dokter Ivan yang terdengar cukup menyebalkan di telinga Agatha.“Terima kasih juga karena mau mengantar saya.” Agatha tersenyum lebar sambil memperlihatkan deretan giginya yang rapi.“Kalau ternyata saya mau menculik kamu bagaimana?” tanya dokter Ivan sambil menyeringai. “Diculik untuk dijadikan istri?” tanya Agatha dengan menaikkan satu alisnya membuat dokter Ivan terdiam dan mengalihkan pandangannya.“Kamu mendengar percakapan saya dan Mama?” tanya dokter Ivan sementara Agatha hanya terdiam dan tersenyum canggung sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.Tak lama, terdengar suara helaan napas dokter Ivan yang cukup panjang membuat Agatha merasa tak enak. “Maaf ya, Dok. Saya nggak sengaja mendengar … harusn
Lima tahun kemudian …“Happy birthday to you … Happy birthday … Happy birthday … Happy birthday Ayra.” Semua orang bertepuk tangan setelah lagu selesai dinyanyikan dan seorang anak perempuan yang baru saja menginjak usia kelimanya selesai meniup jejeran lilin yang tertanam menghiasi kue yang ada di hadapannya. “Selamat ulang tahun ya, Sayang,” ujar Agatha sambil berlutut agar posisinya sejajar lalu mengecup kening anak perempuan yang tengah tersenyum bahagia itu.“Terima kasih ya, Ma. Ayra bahagia sekali hari ini,” balas anak perempuan bernama Ayra itu yang kemudian merentangkan tangannya untuk memeluk Agatha. Di samping Ayra tampak seorang pria yang tengah berdiri lalu beberapa waktu kemudian berlutut mengikuti apa yang Agatha lakukan. Pria itu tersenyum manis sambil menoleh ke arah Ayra dan sesekali melirik Agatha.“Selamat ulang tahun Ayra, semoga kedepannya semakin banyak kebahagiaan yang kamu rasakan,” gumam pria itu sambil memeluk Ayra.“Terima kasih, Papa … Ayra sayang Papa,
Agatha menggenggam kuat ponsel miliknya untuk waktu yang lama. Rasa panik menghampirinya setelah Ivan menelponnya dan mengatakan akan menetap sedikit lebih lama di Jakarta karena harus mengurus ayahnya yang sedang sakit.Agatha berdiam cukup lama mencoba mengusir perasaan aneh yang kembali ia rasakan ketika memikirkan bahwa ia harus kembali tinggal di Jakarta. Selama ini Agatha telah mempersiapkan diri untuk kemungkinan itu, namun tetap saja semuanya terasa tidak mudah untuknya.Sebenarnya keinginan untuk kembali ke Jakarta sudah sering dibahas oleh kedua orang tua suaminya yang menginginkan mereka agar kembali terlebih lagi karena Ivan hanyalah anak satu-satunya.Suara bel membuyarkan lamunan Agatha. Ia bergegas melangkah ke arah pintu dan melihat siapa orang yang datang dari lubang kecil yang ada di hadapannya. Agatha membuka pintu dan menemukan Darren tengah berdiri dengan beberapa bingkisan di tangannya. Pria itu masih terlihat gagah dengan balutan pakaian musim dinginnya. “Apa
Satu minggu kemudian… Agatha melangkahkan kakinya keluar dari bandara, pandangan matanya sibuk melihat jam yang ada di ponselnya sementara tangan lainnya menggenggam tangan gadis kecil yang dengan setia berdiri di sampingnya sambil memegang lolipop.“Kenapa Papa belum datang?” tanya gadis kecil itu sambil sesekali melihat ke arah Agatha.Disaat yang sama ponsel Agatha berdering dan langsung diangkat olehnya. “Okay, Mas,” Agatha memutuskan sambungan teleponnya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.“Papa masih di jalan, Sayang. Kita tunggu sebentar lagi ya,” ujar Agatha sambil menatap wajah Ayra yang juga tengah menatapnya dengan menganggukan kepala.Tiba-tiba saja tubuh Agatha menegang saat mendengar suara pria yang berdiri tak jauh darinya. Pria itu terdengar sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon dengan nada kesal. “Saya ingin masalah ini selesai secepatnya, kalau perlu pecat saja mereka yang tidak kompeten,” ucap pria itu sambil berjalan melewati Aga
Tubuh Agatha semakin menegang saat melihat Ayra berlari menuju pintu mengikuti Ivan untuk melihat siapa tamu yang datang. Otak Agatha pun seakan membeku, pikirannya terlalu fokus menebak-nebak bagaimana Rafka bisa sampai ke rumahnya dan Ivan atau mungkinkah Rafka sudah mengetahui yang sebenarnya. Agatha segera menggelengkan kepalanya mencoba menepis pikiran itu, yang ingin ia lakukan sekarang hanyalah membawa Ayra pergi dari sana. Namun, Agatha menjadi panik ketika mendengar Ivan menyuruh Rafka untuk masuk. Agatha menghembuskan nafas lega begitu mendengar Rafka menolak ajakan Ivan dan pamit pergi. Beberapa saat kemudian, Ayra masuk dengan senyuman di wajahnya sambil membawa tiga paper bag di tangannya. “Siapa yang datang, Mas?” tanya Agatha dengan memasang wajah pura-pura tidak tahu saat melihat Ivan menutup pintu dan berjalan di belakang Ayra. “Rafka yang kemarin aku ceritakan, ternyata dia tinggal nggak jauh dari sini,” kata Ivan membuat Agatha terkejut.“Terus dia ngapain datan
Hari berikutnya, Ayra sedang bermain bola karet bercorak semangka di taman dekat rumahnya ditemani oleh Agatha yang tengah menyuapi Alvi. Di sekitar mereka, ada juga sekelompok anak kecil lainnya yang dengan riang gembira berlarian kesana kemari.“Jangan jauh-jauh lempar bolanya, Sayang!” teriak Agatha dari tempatnya ketika melihat bola yang Ayra lempar beberapa kali hampir keluar ke tepi jalan. “Iya, Ma,” sahut Ayra dari kejauhan. Sementara Agatha hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat Ayra yang sangat aktif bermain. Saat langit mulai gelap, Agatha memanggil Ayra dengan penuh kasih dan mengajaknya untuk pulang ke rumah. Perjalanan dari taman ke rumah tidak terlalu jauh. Agatha berjalan santai sambil mendorong stroller, dan terdengar suara riang Alvi yang tengah asyik mengoceh, diselingi tawa-tawa kecil ketika Ayra berusaha menghiburnya. Agatha hanya tersenyum melihat anak-anaknya hingga tanpa terasa mereka sudah sampai di seberang jalan rumahnya. Agatha melihat jal
Rafka berdiri di depan cermin sambil menatap wajahnya. Ia kembali mengingat pertemuannya dengan Ayra, wajah gadis kecil itu seperti tidak dapat hilang dengan mudah dari pikirannya. Selama beberapa tahun ini Rafka menjadi orang yang tidak berperasaan dan tidak mempedulikan apapun. Namun, setelah melihat gadis kecil itu hampir saja terluka di hadapannya membuat tubuhnya gemetar. Ia sangat takut membayangkan jika sampai terjadi sesuatu kepadanya. Dengan nafas memburu, Rafka melampiaskan amarahnya dengan melayangkan pukulan pada kaca besar di hadapannya. Sejak pertemuannya terakhirnya dengan wanita itu, ia merasa terguncang. Amarah dalam dirinya terlalu besar untuk dapat diekspresikan. Pikiran tentang bagaimana Agatha meninggalkannya dan mengatakan bahwa wanita itu telah menggugurkan calon anak mereka masih sangat membekas di ingatannya.Hal yang juga menakutkan bagi Rafka adalah alasan amarahnya yang mendalam dan berapi-api saat melihat wajah Agatha yang tersenyum bahagia memandang pr
Kata-kata Rafka masih terus terngiang-ngiang di telinga dan pikiran Agatha. Ia kesulitan untuk memejamkan matanya malam ini.“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Ivan sambil berbaring menghadap istrinya.“Nggak apa-apa, cuma ingat film horor yang baru aku tonton tadi, jadinya susah tidur,” jawab Agatha yang sepenuhnya berbohong berharap Ivan tidak menyadari kecemasannya. “Lagian kamu nggak suka horor kenapa masih ditonton?”“Habisnya aku penasaran,” jawab Agatha singkat. “Yaudah sini.” Ivan merentangkan tangannya lalu mendekap tubuh Agatha dan mengelus punggungnya dengan lembut.“Kayak gini sampai aku tidur ya,” gumam Agatha sambil mempererat pelukannya dan menghirup dalam-dalam harum tubuh suaminya.Usapan tangan Ivan di punggungnya membuat Agatha larut dalam tidurnya. Namun, Agatha terbangun saat tengah malam karena mimpi yang baru saja ia alami. Agatha menengok ke arah Ivan yang sudah tertidur lelap, ia turun dari tempat tidur perlahan karena tidak ingin membangunkan suaminya. Agatha ke