Rafka menyodorkan amplop coklat kepada Adiva sementara gadis itu menatapnya dengan kening berkerut. Setelah membuka amplop itu Adiva menyadari akan maksud Rafka datang menemuinya.“Aku akan mengabulkan keinginan kamu selama ini,” ujar Rafka sambil menatap wajah Adiva dengan tulus.Adiva masih terdiam sambil menatap surat di tangannya. Ia merasakan sedikit terkejut ketika menyadari bahwa laki-laki yang selalu menunjukkan rasanya cintanya ini akhirnya memilih untuk menceraikannya. “Oke kalau gitu nanti akan aku kabarin lagi setelah aku isi semuanya,” ujar Adiva dengan tersenyum.“Seharusnya kamu bisa telepon aku dan nggak perlu repot-repot datang ke sini,” sambung Adiva.“Kebetulan aku ada pekerjaan di sekitar sini. Jadi, aku pikir nggak ada salahnya untuk datang ke sini,” balas Rafka lalu tak lama ponselnya berdering dan beberapa saat kemudian ponsel Adiva juga berdering.“Sorry, Div. Sepertinya aku harus pergi karena masih ada urusan yang harus aku selesaikan,” pamit Rafka lalu bangk
Agatha berjalan cepat menuju kamar mandi dan langsung memuntahkan isi perutnya ke dalam kloset. Setelah itu ia menyegarkan wajahnya dan mengusap mulutnya dengan tangan. Agatha menepuk-nepuk pipinya beberapa kali kemudian menatap wajahnya yang cukup pucat di cermin.Agatha berdiam diri cukup lama memandangi wajahnya lalu tak lama ia memutuskan untuk kembali. Baru saja keluar ia dikejutkan oleh Rafka yang tiba-tiba muncul dan memegang tangannya.“Kamu baik-baik aja?” tanya Rafka dengan wajah cemas.“Kondisi aku nggak pernah lebih baik dari hari ini,” balas Agatha sambil memutar pandangannya.“Aku serius, Agatha! seru Rafka lalu memeriksa kening Agatha dengan menempelkan punggung tangannya yang langsung ditepis oleh Agatha.“Aku nggak apa-apa, cuma kebanyakan makan aja,” sahut Agatha.“Maaf kalau situasinya membuat kamu nggak nyaman. Aku nggak tahu kalau Papa juga mengundang kamu dan Adiva,” pungkas Rafka dengan menatap mata Agatha sementara gadis itu hanya terdiam.“Kalau kamu nggak nya
Di dalam kamar Rafka memilih untuk menonton TV sementara Adiva memilih untuk membaca buku Rafka yang berjajar rapi di atas rak lemari. Adiva mengambil salah satu buku lalu membawanya menuju ke sofa. Mereka berdua memilih mengisi keheningan dengan kegiatannya masing-masing meskipun saat ini pikiran Rafka dipenuhi dengan Agatha. Dalam hati dan pikirannya ia sangat ingin menemui gadis itu.Rafka melirik sekilas ke arah Adiva dan melihat gadis itu sudah tampak mengantuk sambil memegang buku di tangannya.Rafka berjalan mendekat ke arah Adiva dan bersiap untuk memindahkan tubuh gadis itu.“Kakak mau ngapain?” tanya Adiva.“Aku lihat kamu ngantuk jadi aku mau pindahin kamu ke sana. Aku rasa mereka akan buka pintu itu nanti.” Rafka menunjuk tempat tidur miliknya.“Aku di sini aja Kak. Lebih baik Kakak yang istirahat di tempat tidur,” sahut Adiva.“Mana mungkin aku membiarkan kamu tidur di sofa,” ujar Rafka.“Aku nggak apa-apa tidur di sofa. Lagipula ini kan kamar Kakak,” balas Adiva.“Poko
Agatha pergi dari rumah Ravindra setelah meninggalkan pesan kepada Darren bahwa ia memutuskan untuk kembali ke Amerika, tetapi sebelum itu Agatha ingin pergi menemui Riana. Agatha mengamati dari dalam mobil yang ia parkir di seberang jalan dekat toko kue milik Riana. Ia berusaha mengumpulkan keberanian sebelum bertemu dengan Ibu kandungnya itu. Pikirannya sibuk menebak-nebak bagaimana reaksi Riana ketika bertemu dengannya. “Ibu pasti sudah tahu apa yang terjadi kan?” tanya Agatha pada dirinya sambil menatap ke arah Riana yang tengah bersiap membuka tokonya.“Tapi gimana kalau ibu belum tahu? Apa aku harus bicara yang sebenarnya?” batin Agatha.Agatha keluar dari mobil dan menutup pintunya. “Kita nggak akan tahu sebelum mencoba,” gumam gadis itu lalu menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan kemudian berjalan menuju toko yang ada di depannya.“Ibu ….” Riana menghentikan kegiatannya dan menoleh menghadap gadis yang berdiri di hadapannya. Mata Riana melebar sementara tangan
Agatha membuka matanya perlahan, aroma obat-obatan menyeruak ke indra penciumannya. Ia meringis kesakitan sambil memegang kepalanya yang terasa pusing. Agatha mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan yang didominasi oleh warna putih. Tak lama, seorang perempuan muda dengan atasan dan bawahan berwarna putih masuk ke dalam ruangan lalu berjalan menghampirinya.“Rupanya anda sudah sadar,” gumam perawat tersebut sambil memeriksa cairan infus yang terlihat sudah berkurang.“Bagaimana saya bisa ada di sini?” tanya Agatha.“Tadi dokter Ivan yang membawa anda ke sini,” jawab perawat tersebut lalu tak lama seorang dokter pria tampan memasuki ruangan tersebut.“Bagaimana anda menemukan saya?” tanya Agatha.“Saya tidak tahu apa yang terjadi denganmu … ketika saya melewati jalan saya menemukan mobilmu sudah menabrak pembatas jalan. “Di mana perempuan itu?” tanya Agatha. “Saya tidak menemukan siapa pun di lokasi kejadian,”balas dokter Ivan dengan singkat.“Apa anda sudah menghubungi keluarga
Agatha sudah bangun sejak pagi tadi, setelah menyantap sarapannya ia kembali berbaring sambil memainkan jari-jarinya karena merasa bosan. Tak lama, pintu kamarnya terbuka lalu seorang pria dengan jas putihnya berjalan masuk menuju ke arah Agatha.“Bagaimana keadaanmu?” tanya dokter Ivan.“Apa Dokter baik-baik saja?” “Wajah Dokter kayak orang belum tidur semalaman. Apa jangan-jangan Dokter memang belum pulang?”“Seharusnya saya yang bertanya tentang kondisi kamu karena kamu pasien saya bukan malah sebaliknya,” jawab dokter Ivan.“Saya rasa Dokter perlu istirahat. Tidak mungkin Dokter akan memeriksa pasien dengan wajah lelah begini,” ujar Agatha tak mau kalah.“Anggap saja saya bicara sebagai pasien yang juga memperhatikan kesehatan dokternya,” sambung Agatha.“Sepertinya kondisimu sudah membaik,” balas dokter Ivan lalu berjalan menuju sofa dan duduk di atasnya.“Dokter mau ngapain?” tanya Agatha.“Kamu bilang saya harus istirahat kan?” “Dokter mau istirahat di sini?” tanya Agatha ya
“Terima kasih ya Dok karena telah menyelamatkan nyawa saya dan mengizinkan saya pulang hari ini,” pungkas Agatha sambil menoleh ke arah dokter Ivan yang tengah memperhatikan jalanan di depannya.“Santai saja … saya juga akan membantu walau bukan kamu orangnya,” jawab dokter Ivan yang terdengar cukup menyebalkan di telinga Agatha.“Terima kasih juga karena mau mengantar saya.” Agatha tersenyum lebar sambil memperlihatkan deretan giginya yang rapi.“Kalau ternyata saya mau menculik kamu bagaimana?” tanya dokter Ivan sambil menyeringai. “Diculik untuk dijadikan istri?” tanya Agatha dengan menaikkan satu alisnya membuat dokter Ivan terdiam dan mengalihkan pandangannya.“Kamu mendengar percakapan saya dan Mama?” tanya dokter Ivan sementara Agatha hanya terdiam dan tersenyum canggung sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.Tak lama, terdengar suara helaan napas dokter Ivan yang cukup panjang membuat Agatha merasa tak enak. “Maaf ya, Dok. Saya nggak sengaja mendengar … harusn
Lima tahun kemudian …“Happy birthday to you … Happy birthday … Happy birthday … Happy birthday Ayra.” Semua orang bertepuk tangan setelah lagu selesai dinyanyikan dan seorang anak perempuan yang baru saja menginjak usia kelimanya selesai meniup jejeran lilin yang tertanam menghiasi kue yang ada di hadapannya. “Selamat ulang tahun ya, Sayang,” ujar Agatha sambil berlutut agar posisinya sejajar lalu mengecup kening anak perempuan yang tengah tersenyum bahagia itu.“Terima kasih ya, Ma. Ayra bahagia sekali hari ini,” balas anak perempuan bernama Ayra itu yang kemudian merentangkan tangannya untuk memeluk Agatha. Di samping Ayra tampak seorang pria yang tengah berdiri lalu beberapa waktu kemudian berlutut mengikuti apa yang Agatha lakukan. Pria itu tersenyum manis sambil menoleh ke arah Ayra dan sesekali melirik Agatha.“Selamat ulang tahun Ayra, semoga kedepannya semakin banyak kebahagiaan yang kamu rasakan,” gumam pria itu sambil memeluk Ayra.“Terima kasih, Papa … Ayra sayang Papa,